KENANGAN masa lalu memang selalu membangkitkan gairah. Dengan antusias, Iie Sumirat berbagi cerita saya tentang kemasalaluan dan harapannya. Juga soal prasasti-prasasti di sudut-sudut dunia lewat piala dari bulutangkis yang pernah diraihnya.
Dia memang lupa-lupa ingat mengenai urutan capaian prestasi emasnya. Tapi, itu bukan soal sulit. Asal, perbincangan dilakukan di GOR SGS Elektrik, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung.
Di ruangan yang berbatasan dinding dengan GOR SGS Elektrik di Bandung itu tersusun medali dan piala miliknya. Belum memfosil tapi sudah berlumur debu tipis dan sebagian mulai menebal.
Ya, di sanalah Iie menyimpan hasil kerja keras dankeringatnya semasa jadi pemain profesional bulutangkis. Kebanyakan diletakkan dalam lemari kaca.
Di tempat tersebut juga banyak foto Iie yang sedang beraksi di lapangan. Ada juga foto saat dia menerima penghargaan bersama pemain Indonesia lainnya. Termasuk The Magnificent Seven saat itu, Christian Hadinata dan Ade Chandra. Foto setelah menjadi pelatih juga terpampang di sana. Dia bergaya paling banyak bersama Taufik Hidayat.
Foto-foto tersebut dipajang di dinding GOR yang memiliki tiga lapangan itu atau dalam ruang istirahat. Namun, banyak pula foto yang hanya tergeletak di atas meja, berserak di antara alat-alat musik miliknya.
"Ini hanya tempat istirahat. Saya tak sempat membersihkannya setiap hari," ujar Iie dengan logat Sunda yang begitu kental.
Menurut dia, dengan adanya piala, medali, serta foto-foto kesuksesan tersebut, para anak didiknya saat ini bisa merasakan atmosfer juara.
"Ini adalah salah satu klub yang pernah melahirkan juara. Saya juga pernah menjadi juara. Mereka harus memiliki role model," ujar pria yang baru saja berulang tahun pada 15 November tersebut.
Baca Juga: Iie Sumirat, Sang Legenda yang Setia Menabur Bibit di Tanah Kelahiran
Ya, Iie memang pernah jadi tumpuan Merah Putih di turnamen-turnamen internasional bulutangkis. Iie masuk pelatnas setelah lolos seleksi nasional di tahun 1970. Setahun berikutnya mengikuti kejuaraan All England bersama bintang bulu tangkis lain, seperti Rudy Gunawan, Mulyadi, dan Indra Gunawan.
Tapi All England tahun itu tidak menjadi milik Iie. Meski demikian, setelah All England tersebut, prestasinya terus meningkat. Iie yang ekpresif sangat terkenal dengan gaya kedut, yakni sebuah trik gerakan untuk mengecoh lawan. Ia menjadi bagian kisah sukses Piala Thomas tahun 1976 dan 1979.
Sebelum bermain di Piala Thomas tahun 1976, Iie lebih dulu memperkuat
Indonesia dalam invitasi bulu tangkis Asia yang diselenggarakan World
Badminton Championship di Bangkok. Dalam kejuaraan yang digelar
sebagai pesaing All England ini, Indonesia berhadapan dengan China
yang saat itu sudah terkenal sebagai raksasa bulu tangkis.
Namun, Iie mematahkan pesimisme banyak orang dengan mengalahkan Tang
Shien-hu di semifinal. Sukses itu berlanjut dengan menundukkan Hou
Chia-Chang pada partai puncak melalui rubber set.
Iie membuktikan kepada dunia bahwa para pemain China dapat dikalahkan.
Tidak pelak, media massa menjuluki Iie sebagai "the giant killer", si pembunuh raksasa.
Saat memperkuat tim Piala Thomas tahun 1979 di Jakarta, Iie bertanding
dan menang dalam tiga dari sembilan partai yang dipertandingkan. Saat
itu ia bermain rubber set dalam dua pertandingan tunggal dan mendadak
harus menggantikan Johan Wahyudi yang tiba-tiba sakit di nomor ganda.
Setelah lima tahun sejak 1982 melatih klub Sarana Muda, Iie kemudian
bersama Lutfi Hamid dan Edy Ismanto mendirikan klub SGS pada 1987.
Bahkan, sejak 1990 Iie juga melatih di Pusdiklat Lippo.
Tak disimpan sendiri, ilmu kedut itu dititiskan kepada Taufik Hidayat. Iya, Taufik si peraih emas Olimpiade 2004 Athena itu.
Iie masih terjun secara langsung di dunia olahraga. Dia menjadi pengurus Ikatan Atlet Nasional Indonesia (IANI) Jawa Barat. Dia turut memperjuangkan nasib mantan atlet yang kurang beruntung.
Dia tidak sendirian. Dia beberapa kali menggandeng mantan atlet top, seperti Robby Darwis. Terakhir dia mengumpulkan dana untuk korban gempa bumi di Pengalengan.
"Bagaimanapun, kami bersaudara. Kesulitan mereka menjadi kesulitan kami. Minimal, kami bisa membantu tetangga terdekat," ujarnya. (Bersambung)
Pernah dimuat di Jawa Pos November 2009 dan kemudian dikompilasi dengan data dari Majalah Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar