Senin, 18 April 2016

Karena Sony Sudah Terlatih Patah Hati

Sony Dwi Kuncoro bangkit lagi dengan membuat kejutan di Singapura Terbuka Super Series. Bertanyalah kepadanya bagaimana dia begitu terlatih patah hati.



"Cedera, cedera apa? Tidak ada cedera kok, saya baik. Gelar juara ini buktinya kalau saya baik-baik saja," kata Sony dengan bibir yang tak pernah berhenti tersenyum.

Jawaban itu diberikan Sony tepat setelah dia mengukuhkan diri sebagai juara Singapura Terbuka pada Minggu (16/4/2016). Sony meraih titel itu setelah mengalahkan pemain Korea Selatan Son Wan Ho dengan skor 21-16, 13-21, 21-14 dalam tempo satu jam dan tiga menit.

Sony terlihat sudah mau mati di game kedua. Nafasnya mulai putus-putus dan sering membuat kesalahan sendiri. Tapi, dia bangkit di game penentuan. Hasilnya, Sony menyajikan klimaks tontonan di hari Minggu buat mereka yang hadir di stadion atapun publik Indonesia yang menyaksikan via streaming ataupun televisi kabel setelah laga Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari versus pasangan Jepang, Misaki Matsutomo/Ayaka Takahashi, batal digelar.

Bahkan Sony sendiri tak menyangka bisa menjadi juara. Apalagi jalan menuju partai puncak amat terjal. Pemain 31 tahun itu harus merangkak lewat kualifikasi. Maka jika normalnya pemain yang langsung tampil di babak utama menjalani lima laga, Sony harus menambah dua laga lagi dalam satu hari.

Di semifinal dia malah harus berjumpa dengan 'Super Dan' Lin Dan yang masih menunjukkan konsistensi di super series. Sementara Sony, sejak meninggalkan pelatnas di pertengahan 2014 sudah tak pernah lagi jadi juara di turnamen bintang empat dan di atasnya.

Sudah begitu kemenangan itu sekaligus membayar tuntas dendam para pemain Indonesia lainnya. Bisa-bisanya di Singapura Terbuka ini semua pemain tunggal Indonesia, kecuali Anthony Ginting, harus berjumpa dengan Lin Dan yang mengoleksi dua emas Olimpiade. Pertama-tama Ihsan Maulana Mustofa yang menjadi korban Lin Dan, kemudian berlanjut dengan Jonatan Christie dan Tommy Sugiarto.

Ya, Sony jangankan juara, untuk ikut serta dalam turnamen saja dia kesulitan. Bukan hanya soal prestasi, Sony sempat tak punya klub setelah tak lagi menjadi pemain PB Jaya Raya Suryanaga Surabaya, tak mempunyai pelatih, tak mempunyai manajer, juga sponsor untuk mendanai tur mengikuti turnamen-turnamen. Bahkan, keinginan dia untuk melanjutkan karirnya di bulutangkis sudah kosong. Semua habis-habisan.

"Setelah saya keluar (dari pelatnas), saya seperti patah hati," curhat Sony pada kemunculannya di Indonesia Terbuka 2015.

Dengan hati terluka itu, Sony pulang ke Surabaya. Dia sempat antipati terhadap bulutangkis. Dia memilih cara paling brutal untuk mengekspresikan patah hatinya: dia menolak semua turnamen. Padahal kala itu peringkat dunianya masih lumayan. Dia masih bisa tampil di Kejuaraan Dunia, juga China Super Series, Denmark Terbuka tanpa kualifikasi.

Ya, Sony memilih larut dalam marah dan luka. Dia memutuskan untuk mengambil langkah paling gampang: menyalahkan keadaan. Patah hati itu dirasakannya jauh-jauh lebih dalam ketimbang luka di tahun 2008.

Satu momen menyedihkan dan membuatnya patah terjadi di tahun 2008, tepat setelah pulang dari Olimpiade Beijing. Sony yang pulang tanpa medali dari Olimpiade di China itu 'dicuekin' pengurus dan barisan pewarta. Sony dengan kepala menunduk menepi menjauhi gerombolan meriah fans, pengurus, dan media untuk Markis Kido/Hendra Setiawan yang meraih emas juga Maria Kristin Yulianti yang membuat kejutan membawa pulang medali perunggu. Sony kandas di babak perempatfinal kala itu.

Situasi yang amat kontradiktif ketimbang empat tahun sebelumnya, kala dia pulang membawa medali perunggu dari Athena. Dia dan Taufik Hidayat yang meraih emas mendapatkan sambutan meriah. Semua media berlomba-lomba mengejar dia dan Taufik. Luka itu kembali didapatkan Sony saat Piala Thomas 2014. Masih konsisten bermain di super series dan peringkatnya masih unggul ketimbang para pemain tunggal putra nasional lainnya, dia malah tak dipanggil masuk dalam tim Thomas.

Baca juga: Curhat Sony Soal Keinginan Comeback ke Jalur Profesional

Hati yang patah berulang kali itu pelan-pelan disembuhkan sang istri, Gading Safitri. Gading terus memompa semangat Sony. Pelan-pelan Sony mulai membuka diri dan mau kembali ke arena bulutangkis. Gading yang pernah menjadi atlet bulutangkis meski level domestik tahu rasanya jatuh dan patah hati seperti yang dialami suami. Dia atur lagi latihan dan pola makan Sony yang sempat awut-awutan.

Dalam prosesnya Sony bergabung dengan Tjakrindo Masters, Surabaya. Dia kemudian menapaki lagi langkah-langkah kecil di bulutangkis. Dimulai dari turnamen-turnamen lokal, sirkuit nasional, ajang challenge, kemudian grand prix. Hasilnya lumayan. Sony bisa juara Indonesia Challange tahun 2015, kemudian naik podium tertinggi di Taiwan Masters.

Kesulitan-kesulitan di atas lapangan sudah tak berarti ketimbang kerepotan menyelesaikan urusan visa, hotel, dan detail kebutuhan di setiap turnamen. Meski sudah bertahun-tahun menjalani profesi sebagai pebulutangkis, urusan ini itu di luar pertandingan biasanya sudah diselesaikan PBSI. Sony dan paa pemain pelatnas hanya perlu berangkat bawa badan. Urusan cedera? Jika dulu ada saja cedera yang jadi keluhan Sony, rasa patah hati yang berulang itu sudah mengalahkannya kini. Cedera pinggang, cedera telapak kaki dianggapnya sebagai teman kini.

Dan sekarang Sony telah membuktikan dirinya belum habis. Dia seperti terlahir kembali. Bisa jadi di antara seringnya patah hati yang didapatkannya, Sony masih berpegang teguh kepada kalimat "Tidak masalah seberapa sering kita jatuh, yang terpenting adalah seberapa cepat kita bangkit".

Dengan tambahan gelar di Singapura itu, Sony masih menjadi tunggal putra Indonesia dengan koleksi gelar super series terbanyak sejak tahun 2007, yakni lima kali. Dia diikuti Simon Santoso dengan tiga kali menjadi juara, Taufik Hidayat satu kali dan Tommy Sugiarto juga sekali.

Bisa jadi gelar juara Sony akan berlanjut. Iya, siapa tahu karena Sony tentu tak ingin merasakan patah hati lagi untuk kesekian kalinya. Lagipula, bukankah lebih menyenangkan saat bisa berdiri di atas podium paling tinggi?

***

Note: Pernah dimuat di detikSport pada 18 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar