Hari ini tidak hanya dimulai sejak membuka mata, tetapi di diawali jauh sebelum itu. Dengan perjalanan karier yang naik turun, bahkan sampai hampir tak bisa bermain basket lagi seumur hidup, Amin Prihantono menyetujui kalimat itu.
Kecemerlangannya di musim Indonesian Basketball League (IBL) 2008 tak
didapatkan karena kerja instan. Tetapi, Amin sudah memulai karirnya itu dari yang paling bawah. Dia menjadi pemain cadnagan yang cuma diturunkan selama iga menit dalam tiap pertandingan yang dilakoni Stria Muda Britama.
Pengalaman itu didapatkan ketika Amin menjadi pemain baru di Satria Muda di tahun 2004, Kala itu, SM ditangani pelatih asal Filipina, Nath Canson.
Perubahan alur kariernya dimulai seiring perubahan pelatih. Manajemen SM merekrut Fictor "Ito" Gideon Roring menjadi pelatih. Nath naik pangkat sebagai penasehat tim. SM mematok juara kepada Ito setelah sealu paceklik gelar di dengan racikan Nath.
"Saya mulai dipercaya bermain lebih lama saat ditangani Ito," tutur Amin.
Amin mulai optimistis bakal mendapatkan porsi bermain lebih besar lagi. Menjadi starter adalah impiannya. Tapi persiangan di internal SM begitu ketat. Dia masih kalah saing dengan Denny Sumargo yang kini memperkuat Garuda Bandung.
Kompetisi di dalam tim dianggap sebagai tantangan. Amin berhasrat besar menjadi pemain nomor satu. Dalam perjalannya Amin mulai bergantian dengan Densu--sapaan karib Denny Sumargo--menjadi starter tim. Di musim 2005, SM sukses menuai gelar juara.
"Tangan saya sampai gemetaran, percaya nggak percaya bersama rekan-rekan setim saya bisa mendapatkan gelar juara," kenang Amin.
Tak berselang lama, Amin dipanggil untuk memperkuat tim nasional proyeksi SEA Games XIV/2005 Manila. Tapi, Filipina urung memperebutkan medali di cabang tersebut. Hingga kemudian dia rutin menjadi bagian skuat tim nasional.
Tapi Satria Muda bukanlah klub pertama Amin belajar basket. Amin mulai serius mengasah kemampuan basketnya di klub Halim Kediri, Jawa Timur. Dia bergabung dengan Halim mulai tahun 1998.
Meskipun menyisakan kisah yang kurang manis, Amin tak pernah melupakan klub tersebut. "Saya pernah diancam untuk tidak boleh lagi bermain basket seumur hidup," tutur Amin yang mulai memainkan bola basket sejak
Sekolah Dasar itu.
Begini kisahnya.
Dua tahun setelah direkrut Halim, kemampuan Amin menonjol dibandingkan teman-teman satu tim. Dia mulai dilirik pelatih-pelatih klub profesional yang bermarkas di Jakarta.
Anak daerah dan mendapatkan tawaran bergabung dengan tim Jakarta dianggap jadi sebuah kebanggaan oleh Amin. Siapa yang tak berminat
dengan ajakan itu?
Semula, Amin dan keluarga di Wonosobo sempat bingung untuk menerima tawaran itu atau tidak. Tapi diam-diam Amin setuju. Dia sudah ngiler untuk jadi anak Jakarta, bermain untuk tim Jakarta itu.
Tapi, Amin mempunyai perjanjian dengan Halim yang tertuang dalam surat kontrak saat masuk klub itu. Nah, salah satu isinya menyebutkan dia tak akan meninggalkan klub hingga mendapatkan gelar S1.
Situasi itu menjadi dilema buat Amin. Bersama Wendha Wijaya mereka bersekongkol untuk ke Jakarta. Dia pun minggat dari markas Halim. Aksi itu menuai ganjaran skorsing dari Halim.
Tak ingin persoalan berbuntut panjang, Amin memilih cuti panjang dari basket. "Keluarga yang panik karena mendapatkan surat skorsing itu. Maka, saya memilih untuk beristirahat setahun tanpa main basket," ungkap tutur putra pasangan Sukadjat dan Ida tersebut.
Cuti itu diambil setelah Amin berkonsultasi dengan PB Perbasi. Istirahat dari basket selama satu tahun memang langkah mundur, tapi bsia menyelamatkan karir Amin. Sebab, ternyata dalam peraturan yang berlaku skorsing berlaku maksimal selama satu tahun.
Maka, kendati cuti dijalankan Amin tetap bermain basket. Dia menjadi pencetus SMA Al Ma'ruf memiliki klub basket.
Dalam perjalannya, SMA Al Ma'ruf menjadi juara dalam kompetisi lokal. Amin jadi motornya.
"Bukannya nyombong, saya bisa mengantarkan Al Ma'ruf jadi juara antar sekolah waktu itu, tiga kali berturut-turut malah," tutur dia.
Meski Halim ditinggalkannya dengan menyisakan persoalan, Amin yang telah menjadi kacang tak mau melupakan kulitnya.
"Dari sana saya mendapatkan gemblengan yang sangat tangguh. Sampai sampai saya berpikiran seberapa beratnya beban latihan yang saya dapatkan sekarang belum ada bandingannya daripada di Halim," tukas Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar