Rabu, 20 April 2016

Ketika Bepe 'Belajar Bicara'

Unek-unek, buah pikir, sampai curhatan Bambang Pamungkas bisa dibaca pada buku dan blognya. Untuk kali pertama Bepe akan berbicara langsung soal dirinya. Tentang cinta dan tanggung jawabnya.

Berbicara di atas panggung, di hadapan banyak orang jadi hal yang baru untuk Bepe. Sebagai pesepakbola dia dikenal sebagai sosok yang irit bicara. Dia juga sangat selektif mengeluarkan komentar.

Tapi mulai sekarang Bepe akan sering berbicara di hadapan publik. Bepe akan memulai profesi baru sebagai motivator. Dia mengatakan pilihan itu bermula dari diskusi kegalauan soal sepakbola Indonesia dua bulan lalu. Mau tak mau dia harus belajar bicara.

Mengenakan jas biru, Bepe mengumumkan rencana itu di hadapan media, di Jakarta, Rabu (20/4/2016). Dia didampingi Valentino Simanjuntak sebagai EO acara.

"Sebenarnya kurang lebih sama (antara menulis dan bicara), tapi menulis lebih bisa diedit karena saya mempunyai waktu untuk mengedit. Setiap kali ada typo di sana atau di sini bisa dibenarkan. Kalau bicara kan tidak bisa diedit. Kalau suda keluar ya sudah akan jadi konsumsi," kata Bepe.

"Jujur selama 1,5 bulan ini saya sedang beljar bicara sampai anak saya bilang: 'bapakmu sudah gila ya', karena sering saat di kamar mandi atau di ruangan lain dan di manapun saya belajar bicara. Itu bagian dari tanggung jawab saya ketika saya terima bagian project ini selalu berusaha terbaik semampu saya. Itu bagian dari komitmen dalam setiap yang saya lakukan. jadi kesimpulannya: lebih sulit berbicara sebenarnya," tutur dia.

Keampuan bicara Bepe itu akan diuji dalam acara #BEPE20Bicara Battle of Life 'Cinta versus Tanggung Jawab'. Agenda tersebut bakal dihelat pada 28 April 2016 di Usmar Ismail Hall, Kuningan, Jakarta.

Dalam acara yang digagas Belife Project tersebut, pemain yang akrab disapa Bepe itu bakal mengungkapkan perjuangan dia sebagai pesepakbola. Termasuk sisi-sisi kontroversi yang dibuat dalam kariernya itu. Termasuk pergulatan batin dan pertengkaran Bepe sebagai anak, suami dan menjadi bapak.

"Teman-teman sudah melihat saya bermain bola, membaca tulisan saya maka mendengar saya berbicara akan jadi opsi lain. Battle of life dalam hidup saya adalah cinta dan tanggung jawab. Seperti itulah pertempuran saya dalam menjalani hidup. Bisa jadi atlet lain memiliki battle of life-nya masing-masing."

"Ada lima poin atau lima hal atau lima pertarungan terberat dalam karier saya, mungkin teman-teman sudah tahu hasilnya tapi mungkin tidak tahu prosesnya. Selengkapnya nanti akan saya beberkan di sana. Misalnya kenapa saya tidak mau main di tim nasional tapi kemudian akhirnya bergabung. Proses sampai saya memutuskan bergabung akan saya sampaikan nanti," tutur dia.

Senin, 18 April 2016

Karena Sony Sudah Terlatih Patah Hati

Sony Dwi Kuncoro bangkit lagi dengan membuat kejutan di Singapura Terbuka Super Series. Bertanyalah kepadanya bagaimana dia begitu terlatih patah hati.



"Cedera, cedera apa? Tidak ada cedera kok, saya baik. Gelar juara ini buktinya kalau saya baik-baik saja," kata Sony dengan bibir yang tak pernah berhenti tersenyum.

Jawaban itu diberikan Sony tepat setelah dia mengukuhkan diri sebagai juara Singapura Terbuka pada Minggu (16/4/2016). Sony meraih titel itu setelah mengalahkan pemain Korea Selatan Son Wan Ho dengan skor 21-16, 13-21, 21-14 dalam tempo satu jam dan tiga menit.

Sony terlihat sudah mau mati di game kedua. Nafasnya mulai putus-putus dan sering membuat kesalahan sendiri. Tapi, dia bangkit di game penentuan. Hasilnya, Sony menyajikan klimaks tontonan di hari Minggu buat mereka yang hadir di stadion atapun publik Indonesia yang menyaksikan via streaming ataupun televisi kabel setelah laga Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari versus pasangan Jepang, Misaki Matsutomo/Ayaka Takahashi, batal digelar.

Bahkan Sony sendiri tak menyangka bisa menjadi juara. Apalagi jalan menuju partai puncak amat terjal. Pemain 31 tahun itu harus merangkak lewat kualifikasi. Maka jika normalnya pemain yang langsung tampil di babak utama menjalani lima laga, Sony harus menambah dua laga lagi dalam satu hari.

Di semifinal dia malah harus berjumpa dengan 'Super Dan' Lin Dan yang masih menunjukkan konsistensi di super series. Sementara Sony, sejak meninggalkan pelatnas di pertengahan 2014 sudah tak pernah lagi jadi juara di turnamen bintang empat dan di atasnya.

Sudah begitu kemenangan itu sekaligus membayar tuntas dendam para pemain Indonesia lainnya. Bisa-bisanya di Singapura Terbuka ini semua pemain tunggal Indonesia, kecuali Anthony Ginting, harus berjumpa dengan Lin Dan yang mengoleksi dua emas Olimpiade. Pertama-tama Ihsan Maulana Mustofa yang menjadi korban Lin Dan, kemudian berlanjut dengan Jonatan Christie dan Tommy Sugiarto.

Ya, Sony jangankan juara, untuk ikut serta dalam turnamen saja dia kesulitan. Bukan hanya soal prestasi, Sony sempat tak punya klub setelah tak lagi menjadi pemain PB Jaya Raya Suryanaga Surabaya, tak mempunyai pelatih, tak mempunyai manajer, juga sponsor untuk mendanai tur mengikuti turnamen-turnamen. Bahkan, keinginan dia untuk melanjutkan karirnya di bulutangkis sudah kosong. Semua habis-habisan.

"Setelah saya keluar (dari pelatnas), saya seperti patah hati," curhat Sony pada kemunculannya di Indonesia Terbuka 2015.

Dengan hati terluka itu, Sony pulang ke Surabaya. Dia sempat antipati terhadap bulutangkis. Dia memilih cara paling brutal untuk mengekspresikan patah hatinya: dia menolak semua turnamen. Padahal kala itu peringkat dunianya masih lumayan. Dia masih bisa tampil di Kejuaraan Dunia, juga China Super Series, Denmark Terbuka tanpa kualifikasi.

Ya, Sony memilih larut dalam marah dan luka. Dia memutuskan untuk mengambil langkah paling gampang: menyalahkan keadaan. Patah hati itu dirasakannya jauh-jauh lebih dalam ketimbang luka di tahun 2008.

Satu momen menyedihkan dan membuatnya patah terjadi di tahun 2008, tepat setelah pulang dari Olimpiade Beijing. Sony yang pulang tanpa medali dari Olimpiade di China itu 'dicuekin' pengurus dan barisan pewarta. Sony dengan kepala menunduk menepi menjauhi gerombolan meriah fans, pengurus, dan media untuk Markis Kido/Hendra Setiawan yang meraih emas juga Maria Kristin Yulianti yang membuat kejutan membawa pulang medali perunggu. Sony kandas di babak perempatfinal kala itu.

Situasi yang amat kontradiktif ketimbang empat tahun sebelumnya, kala dia pulang membawa medali perunggu dari Athena. Dia dan Taufik Hidayat yang meraih emas mendapatkan sambutan meriah. Semua media berlomba-lomba mengejar dia dan Taufik. Luka itu kembali didapatkan Sony saat Piala Thomas 2014. Masih konsisten bermain di super series dan peringkatnya masih unggul ketimbang para pemain tunggal putra nasional lainnya, dia malah tak dipanggil masuk dalam tim Thomas.

Baca juga: Curhat Sony Soal Keinginan Comeback ke Jalur Profesional

Hati yang patah berulang kali itu pelan-pelan disembuhkan sang istri, Gading Safitri. Gading terus memompa semangat Sony. Pelan-pelan Sony mulai membuka diri dan mau kembali ke arena bulutangkis. Gading yang pernah menjadi atlet bulutangkis meski level domestik tahu rasanya jatuh dan patah hati seperti yang dialami suami. Dia atur lagi latihan dan pola makan Sony yang sempat awut-awutan.

Dalam prosesnya Sony bergabung dengan Tjakrindo Masters, Surabaya. Dia kemudian menapaki lagi langkah-langkah kecil di bulutangkis. Dimulai dari turnamen-turnamen lokal, sirkuit nasional, ajang challenge, kemudian grand prix. Hasilnya lumayan. Sony bisa juara Indonesia Challange tahun 2015, kemudian naik podium tertinggi di Taiwan Masters.

Kesulitan-kesulitan di atas lapangan sudah tak berarti ketimbang kerepotan menyelesaikan urusan visa, hotel, dan detail kebutuhan di setiap turnamen. Meski sudah bertahun-tahun menjalani profesi sebagai pebulutangkis, urusan ini itu di luar pertandingan biasanya sudah diselesaikan PBSI. Sony dan paa pemain pelatnas hanya perlu berangkat bawa badan. Urusan cedera? Jika dulu ada saja cedera yang jadi keluhan Sony, rasa patah hati yang berulang itu sudah mengalahkannya kini. Cedera pinggang, cedera telapak kaki dianggapnya sebagai teman kini.

Dan sekarang Sony telah membuktikan dirinya belum habis. Dia seperti terlahir kembali. Bisa jadi di antara seringnya patah hati yang didapatkannya, Sony masih berpegang teguh kepada kalimat "Tidak masalah seberapa sering kita jatuh, yang terpenting adalah seberapa cepat kita bangkit".

Dengan tambahan gelar di Singapura itu, Sony masih menjadi tunggal putra Indonesia dengan koleksi gelar super series terbanyak sejak tahun 2007, yakni lima kali. Dia diikuti Simon Santoso dengan tiga kali menjadi juara, Taufik Hidayat satu kali dan Tommy Sugiarto juga sekali.

Bisa jadi gelar juara Sony akan berlanjut. Iya, siapa tahu karena Sony tentu tak ingin merasakan patah hati lagi untuk kesekian kalinya. Lagipula, bukankah lebih menyenangkan saat bisa berdiri di atas podium paling tinggi?

***

Note: Pernah dimuat di detikSport pada 18 April 2015

Jumat, 15 April 2016

Amin Prihantono: Anak Boleh Jadi Atlet Apapun, asal Jangan Pebasket

Banyak mantan atlet yang enggan meneruskan kepiawaian kepada anak-anaknya. Tapi Amin Prihantono tak melarang buah hatinya untuk mengikuti jejak dia sebagai atlet, asalkan bukan jadi pebasket. Kenapa?
Tak sedikit mantan atlet yang tak ingin anak-anak mereka mengikuti karir sebagai atlet. Alasannya kesejahteraan dari pemerintah belum bagus-bagus amat.

Tapi, prinsip itu tak dianut Amin Prihantono. Dia memberikan kebebasan kepada anak semata wayang yang kini masih berusia 15 bulan Nasywa Putri Ayu Aristy. Dia optimistis sikap pemerintah bakal berubah seiring perjalanan waktu. Kalaupun tidak terjadi, dia sudah membuktikan sebagai pemain profesional mampu menjadi tulang punggung keluarga.

Namun, tak lantas Amin memberikan kebebasan tanpa syarat. "Asal jangan basket tak apalah dia nanti memilih untuk jadi atlet," ungkap Amin. Lho kenapa?

Sebagai pemain, Amin melihat risiko para pemain wanita lebih besar daripada pria. Karena, pemain basket harus sering melakukan adu badan. "Kasihan kalau anak cewek," imbuh suami Christy Setyawaty tersebut. 

Hingga saat ini, dia memang belum memiliki rencana untuk mengarahkan Nasywa menekkuni satu bidang olahraga.  Dia memilih untuk melihat bakat puteri pertamanya itu seiring pertambahan usia.
       
Amin mengakui tak gampang membagi waktu bersama Nasywa.  Apalagi,
saat kompetisi Indonesian Basketball League (IBL) sedang digeber. Hampir setiap akhir pekan dia meninggalkan Jakarta. 

Bahkan, kalau sedang ada jadwal latihan pagi, Amin rela tidur di mess SM di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sedangkan di weekdays, Amin masih harus menyempatkan waktunya untuk ke kampus STIE Perbanas di kawasan Kuningan, Jakarta.

Note: ditulis 29 Mei 2008

Amin Prihantono Mengembangkan Usaha di Toko A-17

Tahun ini, Amin Prihantono berharap bisa tamat dari kuliah di
jurusan ekonomi manajemen, STIE Perbanas. Dia juga memulai usaha dengan membuka toko di kampung halamannya, Wonosobo.

Selain bertumpu kepada profesi pebasket, Amin mulai menjadi wirausaha. Dia mendirikan toko sepatu basket di daerah asalnya Wonosobo, Jawa Tengah.

Pemilihan lokasi yang terletak di kaki dataran tinggi Dieng itu bukan tanpa alasan.  "Kalau di sana ada mama yang mengurus, tapi kalau di sini (Jakarta, red) saya belum bisa terjun langsung," ungkap Amin.
       
Selain itu, Wonosobo belum memiliki toko yang menyediakan sepatu basket. Dari pengalamannya, tidak mudah para pemain basket yang biasanya memiliki ukuran sepatu jumbo mudah menemukan sepatu di sana. Tentu saja itu menjadi potensi pasar yang menggiurkan..

Dulu, sewaktu masih tinggal di Wonosobo, Amin bahkan harus ke ibukota Jawa Tengah, Semarang, untuk mendapatkan sepatu sesuai ukuran kakinya yang mencapai 44.
       
Tes pasar tidak sulit. Dua tahun lalu, Amin mengadakan 3 on 3 di Wonosobo. Tak disangka, pesertanya melimpah. "Dari sana timbul ide untuk membuka toko sepatu.  Syukurlah sampai sekarang lancar," ungkapnya.

Kebetulan, rumah orang tuanya yang terletak di tepi jalan raya itu memang memiliki kios yang awalnya digunakan untuk usaha wartel.  Sayang, perkembangan handphone alias telepon genggam membuat wartel itu sepi. Awalnya, keluarga Amin tetap mempertahankan usaha lawasnya itu tapi tetap tak bisa melawan zaman.

Untuk lebih memopulerkan tokonya itu, Amin sengaja memilih nama tokonya dengan inisial dan nomor punggung yang kerap dipakainya. Jadilah A-17 sebagai nama toko sepatunya itu.

Meski toko itu berada di Wonosobo, Amin memilih untuk belanja di Jakarta. "Di sini lebih banyak sale," ucap dia. 

Selain itu, dia juga tak ragu untuk membeli sepatu bekas pakai rekan-rekannya di SM untuk menambah keragaman toko tersebut. 


Amin Prihantono Pernah Diancam Tak BIsa Main Basket Seumur Hidup

Hari ini tidak hanya dimulai sejak membuka mata, tetapi di diawali jauh sebelum itu. Dengan perjalanan karier yang naik turun, bahkan sampai hampir tak bisa bermain basket lagi seumur hidup, Amin Prihantono menyetujui kalimat itu.

Kecemerlangannya di musim Indonesian Basketball League (IBL) 2008 tak
didapatkan karena kerja instan. Tetapi, Amin sudah memulai karirnya itu dari yang paling bawah. Dia menjadi pemain cadnagan yang cuma diturunkan selama iga menit dalam tiap pertandingan yang dilakoni Stria Muda Britama.

Pengalaman itu didapatkan ketika Amin menjadi pemain baru di Satria Muda di tahun 2004, Kala itu, SM ditangani pelatih asal Filipina, Nath Canson.

Perubahan alur kariernya dimulai seiring perubahan pelatih. Manajemen SM merekrut Fictor "Ito" Gideon Roring menjadi pelatih. Nath naik pangkat sebagai penasehat tim. SM mematok juara kepada Ito setelah sealu paceklik gelar di dengan racikan Nath.

"Saya mulai dipercaya bermain lebih lama saat ditangani Ito," tutur Amin. 

Amin mulai optimistis bakal mendapatkan porsi bermain lebih besar lagi. Menjadi starter adalah impiannya. Tapi persiangan di internal SM begitu ketat. Dia masih kalah saing dengan Denny Sumargo yang kini memperkuat Garuda Bandung.

Kompetisi di dalam tim dianggap sebagai tantangan. Amin berhasrat besar menjadi pemain nomor satu. Dalam perjalannya Amin mulai bergantian dengan Densu--sapaan karib Denny Sumargo--menjadi starter tim. Di musim 2005, SM sukses menuai gelar juara. 

"Tangan saya sampai gemetaran, percaya nggak percaya bersama rekan-rekan setim saya bisa mendapatkan gelar juara," kenang Amin.

Tak berselang lama, Amin dipanggil untuk memperkuat tim nasional proyeksi SEA Games XIV/2005 Manila. Tapi, Filipina urung memperebutkan medali di cabang tersebut. Hingga kemudian dia rutin menjadi bagian skuat tim nasional.

Tapi Satria Muda bukanlah klub pertama Amin belajar basket. Amin mulai serius mengasah kemampuan basketnya di klub Halim Kediri, Jawa Timur. Dia bergabung dengan Halim mulai tahun 1998.

Meskipun menyisakan kisah yang kurang manis, Amin tak pernah melupakan klub tersebut. "Saya pernah diancam untuk tidak boleh lagi bermain basket seumur hidup," tutur Amin yang mulai memainkan bola basket sejak
Sekolah Dasar itu.

Begini kisahnya.

Dua tahun setelah direkrut Halim, kemampuan Amin menonjol dibandingkan teman-teman satu tim.  Dia mulai dilirik pelatih-pelatih klub profesional yang bermarkas di Jakarta. 

Anak daerah dan mendapatkan tawaran bergabung dengan tim Jakarta dianggap jadi sebuah kebanggaan oleh Amin. Siapa yang tak berminat
dengan ajakan itu?

Semula, Amin dan keluarga di Wonosobo sempat bingung untuk menerima tawaran itu atau tidak. Tapi diam-diam Amin setuju. Dia sudah ngiler untuk jadi anak Jakarta, bermain untuk tim Jakarta itu. 

Tapi, Amin mempunyai perjanjian dengan Halim yang tertuang dalam surat kontrak saat masuk klub itu. Nah, salah satu isinya menyebutkan dia tak akan meninggalkan klub hingga mendapatkan gelar S1.

Situasi itu menjadi dilema buat Amin. Bersama Wendha Wijaya mereka bersekongkol untuk ke Jakarta. Dia pun minggat dari markas Halim. Aksi itu menuai ganjaran skorsing dari Halim.

Tak ingin persoalan berbuntut panjang, Amin memilih cuti panjang dari basket. "Keluarga yang panik karena mendapatkan surat skorsing itu. Maka, saya memilih untuk beristirahat setahun tanpa main basket," ungkap tutur putra pasangan Sukadjat dan Ida tersebut.

Cuti itu diambil setelah Amin berkonsultasi dengan PB Perbasi. Istirahat dari basket selama satu tahun memang langkah mundur, tapi bsia menyelamatkan karir Amin. Sebab, ternyata dalam peraturan yang berlaku skorsing berlaku maksimal selama satu tahun. 

Maka, kendati cuti dijalankan Amin tetap bermain basket. Dia menjadi pencetus SMA Al Ma'ruf memiliki klub basket. 

Dalam perjalannya, SMA Al Ma'ruf menjadi juara dalam kompetisi lokal. Amin jadi motornya.

"Bukannya nyombong, saya bisa mengantarkan Al Ma'ruf jadi juara antar sekolah waktu itu, tiga kali berturut-turut malah," tutur dia. 

Meski Halim ditinggalkannya dengan menyisakan persoalan, Amin yang telah menjadi kacang tak mau melupakan kulitnya.

"Dari sana saya mendapatkan gemblengan yang sangat tangguh. Sampai sampai saya berpikiran seberapa beratnya beban latihan yang saya dapatkan sekarang belum ada bandingannya daripada di Halim," tukas Amin.

Kamis, 14 April 2016

Tentang Amin Prihantono

Amin Prihantono lahir dan besar di Wonosobo, Jawa Tengah. Dia kemudian menemukan jalan dan berkarir sebagai atlet basket. Namanya cemerlang hingga dikenal sebagai raja slam dunk Indonesia.

Lahir: Wonosobo, 27 Mei 1982
Tinggi/berat: 188cm/82kg
Isteri: Christy Setyawaty
Anak: Nasywa Putri Ayu Aristy, 15 bulan
Orang tua: Sukadjat/Ida
Anak bungsu dari dua bersaudara
1. Nur Sulis Setyorini, 30th

Klub:
- Halim Kediri 1998-2000
- STIE Perbanas 2002-2003
- Satria Muda Britama 2003-sekarang

Pendidikan:
- TK Kristen Wonosobo
- SD Kristen Wonosobo
- SMPN 2 Wonoboso
- SMUN 2 Wonosobo (1999-2002)
- STIE Perbanas Jakarta (2002-sekarang)

Prestasi:
- Juara slam dunk all star IBL 2005, 2006, 2007, 2008
- Juara IBL 2004, 2006, 2007 (bersama SM)
- Runner-up IBL 2005 (bersama SM)
- Runner-up Kejuaraan Junior Asia Tenggara U-24 2004
- Juara Libama bersama STIE Perbanas Jakarta 2002
- Medali emas PON 2004 bersama DKI Jakarta
- Medali perak SEA Games Thailand 2007
- MVP All Star 2006

Note: biodata sampai dengan 29 Mei 2008

Senin, 11 April 2016

Amin Prihantono: Juara, Menikah, Kuliah, Lantas Pikirkan Rumah

Amin Prihantono tak hanya sukses menyangkal cibiran banyak orang yang menilai karirnya bakal anjlog setelah menikah. Malah, dia semakin bersinar setelah memiliki puteri pertama.  
 

Kantuk masih menggelayut di pelupuk mata Amin Prihantono. Semalam dia begadang, berpesta dan bersenang-senang bersama teman-teman satu klub Satria Muda Britama. Wajar saja SM baru saja merayakan suka cita usai menjadi juara Indonesian Basketball League, Selasa (27/5).

Saat mata masih berat dan badan masih di atas kasur, tiba-tiba ada yang mengusilinya. Setelah membuka mat adna tahu kalau Nasywa Putri Ayu Aristy, 15 bulan, puteri semata wayangnya yang usil, Amin segera duduk. Bukannya marah, malah seringai senyum langsung menghiasi wajah forward SM tersebut. 

Dia malah berterima kasih telah dibangunkan oleh Masywa. Apalagi, sisa waktunya pagi itu cukup pendek untuk menimang sang bocah. 

"Saya harus ke kampus," ungkap Amin.

Ya, sejak 2002 lalu Amin sudah tercatat sebagai mahasiswa STIE Perbanas, di kawasan bisnis Kuningan, Jakarta. Maka, setelah bercengkerama sejenak bersama Nasywa dan sang isteri Christy Setiawaty, Amin pun lantas berkemas. Sekitar pukul 08.30 WIB Amin meninggalkan rumah di Cipayung, Jakarta Timur dengan Tiger kesayangannya.

"Untuk saat ini, basket memang sudah bisa menjadi sumber penghasilan.
Tetapi, tidak ada jaminan untuk ke depannya," ungkap pria kelahiran
Wonosobo, Jawa Tengah  27 Mei 1982 itu. 

Maka, meski sudah tertinggal dari rekan-rekan seangkatannya di STIE Perbanas, Amin tetap bersikukuh merampungkan pendidikan tingginya.  Dalam takaran normal, seharusnyadia sudah menyelesaikan kuliah.  Tetapi, karena kerap meninggalkan kuliah untuk mengikuti kompetisi, Amin belum juga dianugerahi gelar SE alias Sarjana Ekonomi hingga semester 12 ini.

Untungnya manajemen SM memberikan kesempatan yang cukup luas bagi
para pemain, termasuk Amin, untuk mengejar gelar sarjana.  Dispensasi
untuk latihan pun diberikan meski hanya saat ujian.

"Saya tidak bisa meninggalkan basket, karena berkat olahraga ini pula saya berkesempatan kuliah.  Sebaliknya, saya juga tak mau mengorbankan
kuliah, karena basket ada batasnya," tutur pemain yang mendapatkan
julukan raja slam dunk itu.
      
Amin bersyukur, sejatinya tak hanya kesempatan kuliah yang
diperolehnya setelah menjadi pemain basket profesional.  Tetapi,
aliran rejeki juga datang bak air mengalir.  Motor yang menjadi
temannya di jalan bahkan hanya menjadi kendaraan alternatif
sebelumnya. Sebidang tanah dengan luas hampir 140 meter persegi telah
pula dimilikinya berkat kerja kerasnya seagai pemain. 

Sebelumnya, Toyota Corolla yang menjadi teman setianya kemanapun mengelilingi Jakarta.

"Saya harus jual untuk nombokin beli tanah ini," tutur Amin.

Keyakinannya akan rejeki dari basket kian menebal setelah dia meminang
Christy Setyawaty 18 Mei 2005 lalu. Nyatanya, dia mampu memberi nafkah isteri dan satu anaknya dari basket. 

"Tak perlu mewah, lebih penting berkecukupan," tegas dia.  Memang keputusan itu sempat memicu pertanyaan banyak pihak.  "Banyak yang bertanya, apakah saya tak menyesal karena nikah muda, bagaimana dengan kelanjutan karir saya," imbuhnya.

Ingatannya pun melayang ke salah satu ruang ICU RS Darmais, Jakarta.
Kala itu, calon mertuanya Retno Setyawati terbaring dengan vonis
kanker rahim.  Setelah sekian lama berobat, kesembuhan tak kunjung
diperoleh.

Sebaliknya, pihak keluarga yang sudah tak tega melihat
kondisi Retno memilih merelakannya.  Sayang, sikap pasrah itu tak
kunjung mendapatkan jawaban.  "Mungkin ada yang ditunggu," demikian
celetuk salah stau pembesuk yang juga keluarga Retno.

Setelah saling diam, Amin sendiri yang menyeletuk, kemungkinan mama
menanti Christy menikah. Padahal, Amin mengakui kala itu boleh
dibilang dia belum memiliki bekal materi yang cukup.  Saat itu, dia
berusia 22 tahun.

Kebetulan, tim nasional basket proyeksi SEA Games XXIV/Manila batal
memperkuat Indonesia karena tuan rumah tak memperebutkan medali dari
cabang tersebut.  Setelah mendengar keputusan itu, Amin memutuskan
untuk mengurus surat-surat nikah di Pengadilan Agama. Langkah itu tak
lantas mulus.  Petugas Pengadilan Agama tak bersedia menyediakan waktu
hanya seminggu.

Namun, Amin tetap bersikukuh bisa mendapatkan surat it dalam rentang
waktu tujuh hari.  Akhirnya, Pengadilan Agama mengabulkannya. Maka,
menikahlah Amin dan Christy di ruang ICU itu disaksikan sang bunda dan
keluarga dari Wonosobo. 

"Saya semakin yakin setelah Erick (Tohir) dan Ito (Fictor Gideon Roring) memberikan dukungan," kenang Amin.  Benar saja tepat sebulan setelah pernikahan Amin dan Christy, Retno segera dipanggil Yang Kuasa.

"Saat ini, saya menargetkan untuk menyelesaikan kuliah. Bersama SM,
juara IBL sudah didapatkan, saya sudah menikah, dan nyaris memiliki
rumah," tegas Amin. Dia juga dengan bangga menjawab bahwa isterinyalah
yang menyuntikkan motivasi hingga dia mampu menjadi seperti sekarang.


Pernah dimuat di Jawa Pos, 29 Mei 2008


Rabu, 06 April 2016

Iie Sumirat yang Tumbuh dan Besar Dalam Keluarga Bulutangkis

Bulutangkis sudah menjadi hidup dan penghidupan Iie Sumirat. Dia lahir, besar, dikenal dunia, dan kini menegaskan atmosfer bulutangkis itu sebagai seornag pembibit di Bandung. 

Iie dan bulu tangkis memang telah menyerupai dua sisi mata uang.Iie tak bisa dilepaskan dari bulutangkis.

Sejak kecil kesehariannya sudah akrab dengan bulutangkis. Ayahnya, almarhum Atik Suganda, yang seorang pemilik bengkel mobil mempunyai klub Rama Putra. Bukan sebuah klub seperti PB SGS elektrik Bandung yang menelorkan pemain-pemain muda, klub itu menampung orang dewasa penghobi bulutangkis.

Manara Suganda, kakak Iie, malah sempat masuk pemusatan latihan nasional untuk nomor ganda. "Kalau saya malah tidak diarahkan untuk menjadi pemain bulutangkis," kata Iie mengenang masa kecilnya.

Dia hanya bermain-main bulutangkis dengan raket kayunya. Dia bermain bersama teman-temannya di sekitar rumah.

Sebuah jalan untuk makin menyukai bulutangkis tiba ketika dia menjadi juara turnamen ketika dia berusia 12 tahun. Kala itu turnamen dihelat bersamaan dengan pameran industri di Braga, Bandung.


Dalam perjalannya, Iie menjadi pemain nasional di nomor tunggal. Saat menajdi pelatih tangan dinginnya juga cukup diakui dunia. Iie berperan memoles Taufik Hidayat.

Iie Sumirat, Pemain Nyentrik Lebih Mirip Seniman

Iie Sumirat tak hanya dikenal sebagai juara di lapangan. Dia lebih mirip seniman ketimbang seorang atlet.

Iie tak cuma mempunyai senjata andalan dengan pukulan kedut yang seringkali mengejutkan lawan. Iie juga dikenal sebagai pemain flamboyan. Pada zamannya, dia juga mudah diingat dengan gayanya yang menghalakan segala cara untuk memantik emosi lawan.

Pernah suatu kali dia ngibing layaknya orang yang mendengarkan alunan musik dangdut saat menghadapi Svend Pri pada partai final Piala Thomas 1979. Saat itu pertandingan mempertemukan Indonesia melawan Denmark. lewat duel rubber set, Iie menuai kemenangan.

Cuma itu? Tidak dia juga seniman di tengah lapangan. Permainannya menarik. Penampilannya nyentrik.

Saat masih menjadi pemain top, Iie kerap membuat orang geleng-geleng  kepala. Rambutnya gondrong, kukunya warna-warni, bajunya gejreng.

Rupanya, darah seni memang mengalir dalam tubuhnya. Iie gemar dan piawai bermain musik. Tak hanya raket, medali, dan piala serta foto-foto di atas podium kala melatih, atau kegiatan di ata slapangan bulutangkis yang menjadi hiasan di belakang hall bulutangkis milik PB SGS Elektrik di tengah kota Bandung. Di sana juga ada seperangkat alat band.

Iie kerap memainkan organ dan gitar. Drum juga kadang-kadang ditabuhnya bersama Yayan Trihartawan, anak keenamnya.

"Kalau lagi senggang, biasanya saya main musik. Istri saya juga pinter menyanyi, lho," ujarnya berpromosi.

Bukan hanya itu. Iie juga memiliki usaha sampingan menyewakan peralatan musik dangdut. "Lumayan lah untuk tambahan," kelakar Iie.

Selasa, 05 April 2016

Piala Tanda Juara Itu Dibiarkan Berdebu

KENANGAN masa lalu memang selalu membangkitkan gairah. Dengan antusias, Iie Sumirat berbagi cerita saya tentang kemasalaluan dan harapannya. Juga soal prasasti-prasasti di sudut-sudut dunia lewat piala dari bulutangkis yang pernah diraihnya. 

Dia memang lupa-lupa ingat mengenai urutan capaian prestasi emasnya. Tapi, itu bukan soal sulit. Asal, perbincangan dilakukan di GOR SGS Elektrik, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung.

Di ruangan yang berbatasan dinding dengan GOR SGS Elektrik di Bandung itu tersusun medali dan piala miliknya. Belum memfosil tapi sudah berlumur debu tipis dan sebagian mulai menebal.

Ya, di sanalah Iie menyimpan hasil kerja keras dankeringatnya semasa jadi pemain profesional bulutangkis. Kebanyakan diletakkan dalam lemari kaca.

Di tempat tersebut juga banyak foto Iie yang sedang beraksi di lapangan. Ada juga foto saat dia menerima penghargaan bersama pemain Indonesia lainnya. Termasuk The Magnificent Seven saat itu, Christian Hadinata dan Ade Chandra. Foto setelah menjadi pelatih juga terpampang di sana. Dia bergaya paling banyak bersama Taufik Hidayat.

Foto-foto tersebut dipajang di dinding GOR yang memiliki tiga lapangan itu atau dalam ruang istirahat. Namun, banyak pula foto yang hanya tergeletak di atas meja, berserak di antara alat-alat musik miliknya.

"Ini hanya tempat istirahat. Saya tak sempat membersihkannya setiap hari," ujar Iie dengan logat Sunda yang begitu kental.

Menurut dia, dengan adanya piala, medali, serta foto-foto kesuksesan tersebut, para anak didiknya saat ini bisa merasakan atmosfer juara.

"Ini adalah salah satu klub yang pernah melahirkan juara. Saya juga pernah menjadi juara. Mereka harus memiliki role model," ujar pria yang baru saja berulang tahun pada 15 November tersebut.


Baca Juga: Iie Sumirat, Sang Legenda yang Setia Menabur Bibit di Tanah Kelahiran

Ya, Iie memang pernah jadi tumpuan Merah Putih di turnamen-turnamen internasional bulutangkis. Iie masuk pelatnas setelah lolos seleksi nasional di tahun 1970. Setahun berikutnya mengikuti kejuaraan All England bersama bintang bulu tangkis lain, seperti Rudy Gunawan, Mulyadi, dan Indra Gunawan.

Tapi All England tahun itu tidak menjadi milik Iie. Meski demikian, setelah All England tersebut, prestasinya terus meningkat. Iie yang ekpresif sangat terkenal dengan gaya kedut, yakni sebuah trik gerakan untuk mengecoh lawan. Ia menjadi bagian kisah sukses Piala Thomas tahun 1976 dan 1979.

Sebelum bermain di Piala Thomas tahun 1976, Iie lebih dulu memperkuat
Indonesia dalam invitasi bulu tangkis Asia yang diselenggarakan World
Badminton Championship di Bangkok. Dalam kejuaraan yang digelar
sebagai pesaing All England ini, Indonesia berhadapan dengan China
yang saat itu sudah terkenal sebagai raksasa bulu tangkis.

Namun, Iie mematahkan pesimisme banyak orang dengan mengalahkan Tang
Shien-hu di semifinal. Sukses itu berlanjut dengan menundukkan Hou
Chia-Chang pada partai puncak melalui rubber set.

Iie membuktikan kepada dunia bahwa para pemain China dapat dikalahkan.
Tidak pelak, media massa menjuluki Iie sebagai "the giant killer", si pembunuh raksasa.

Saat memperkuat tim Piala Thomas tahun 1979 di Jakarta, Iie bertanding
dan menang dalam tiga dari sembilan partai yang dipertandingkan. Saat
itu ia bermain rubber set dalam dua pertandingan tunggal dan mendadak
harus menggantikan Johan Wahyudi yang tiba-tiba sakit di nomor ganda.

Setelah lima tahun sejak 1982 melatih klub Sarana Muda, Iie kemudian
bersama Lutfi Hamid dan Edy Ismanto mendirikan klub SGS pada 1987.
Bahkan, sejak 1990 Iie juga melatih di Pusdiklat Lippo.

Tak disimpan sendiri, ilmu kedut itu dititiskan kepada Taufik Hidayat. Iya, Taufik si peraih emas Olimpiade 2004 Athena itu.

Iie masih terjun secara langsung di dunia olahraga. Dia menjadi pengurus Ikatan Atlet Nasional Indonesia (IANI) Jawa Barat. Dia turut memperjuangkan nasib mantan atlet yang kurang beruntung.

Dia tidak sendirian. Dia beberapa kali menggandeng mantan atlet top, seperti Robby Darwis. Terakhir dia mengumpulkan dana untuk korban gempa bumi di Pengalengan.

"Bagaimanapun, kami bersaudara. Kesulitan mereka menjadi kesulitan kami. Minimal, kami bisa membantu tetangga terdekat," ujarnya. (Bersambung)

Pernah dimuat di Jawa Pos November 2009 dan kemudian dikompilasi dengan data dari Majalah Tempo

Iie Sumirat, Sang Legenda yang Setia Menabur Bibit di Tanah Kelahiran

Tak banyak lagi yang mengenal Iie Sumirat. Tingkah lakunya yang kontroversial di tengah dan di luar lapangan mungkin hanya menjadi kenangan.

GAMPANG-gampang susah menemui Iie Sumirat. Mobilitasnya cukup tinggi. Sebagian besar waktunya memang dihabiskan untuk melatih bulu tangkis di Bandung, Jawa Barat. Namun, Iie tak pernah menolak untuk pergi ke luar kota.

Kegiatannya masih berkutat kepada bulu tangkis. Maklum, dia calon kuat Ketua Umum Pengcab PBSI Kabupaten Bandung.

Selain itu, jabatannya sebagai ketua umum Ikatan Atlet Nasional Indonesia (IANI) cukup menyibukkan dia. Maka, mantan-mantan atlet juga menjadi 'pasiennya' saat ini.

Kebetulan pula, pada akhir pekan lalu Iie tengah menyiapkan pesta ulang tahunnya ke-57 yang jatuh pada 15 November. Rencananya, dia tak hanya mengundang sanak saudara. Mantan pemain dan pengurus PBSI juga diundang. "Yang penting bisa ngumpul bareng dengan para pemain di klub dan teman-teman lama," ujar Iie.

Ya, kini Iie memang berfokus mengurusi Perkumpulan Bulu Tangkis Sangkuriang Graha Sarana (SGS) Bandung. Namun, salah satu klub bulu tangkis papan atas tanah air itu memiliki dua gedung. Yaitu, di Soreang, Kab Bandung dan kawasan Soekarno-Hatta, Bandung.

Anak didiknya cukup banyak. GOR di Soreang, Kab Bandung, menampung 150 orang, sedangkan di Bandung 100 siswa. Mulai usia 5 tahun hingga peralihan menuju dewasa. Semua ditangani Iie sendiri.



Dia juga tak pelit berbagi ilmu. Tak melihat gender, baik pemain pria maupun wanita. "Tapi, saya hanya berkonsentrasi kepada pemain tunggal," tutur penyuka kudapan cumi asam manis itu.

Dengan hanya memiliki tiga lapangan di masing-masing GOR, Iie harus mengatur jadwal sedemikian rupa bersama asistennya. Setiap Senin, Kamis, dan Minggu Iie akan memoles anak didiknya di Soreang. Selasa, Rabu, Jumat, dan Sabtu giliran GOR Soekarno-Hatta yang diperhatikan.

Jadwal latihan berlangsung pukul 11.00-22.00 WIB.Itu sudah jauh berkurang.Sebelumnya, Iie juga harus menangani langsung klub lain. "Ini saja mereka tak bisa berlatih setiap hari. Lapangan tidak cukup," tutur Iie.

Masih banyaknya calon pemain itulah yang membuat Iie tetap saja setia tinggal di Bandung. Suami Ovadiani itu juga cukup sadar, di antara banyaknya anak didik itu belum tentu akan muncul bintang.

Namun, paling tidak hatinya pernah begitu puas. Di tanah kelahirannya itu dia sukses menitiskan ilmu yang dimiliki -pukulan penuh power disertai kedutan pergelangan tangan- kepada seorang pemuda asal Pengalengan. Dialah Taufik Hidayat, peraih medali emas Olimpiade 2004 Athena dan jawara Kejuaraan Dunia 2005.

"Kalau bukan kami yang membesarkan bulu tangkis, siapa lagi yang bisa diharapkan," ujar pemain yang mendapatkan julukan giant killer semasa menjadi pemain itu.

Malah, dengan potensi yang ada, Iie memprediksi akan melahirkan lebih banyak lagi Taufik Hidayat selanjutnya. Tak dipikirkannya persoalan penghasilan itu pula yang membuat Iie tak pernah menerima tawaran menjadi pelatih di negara lain. Hongkong, Kamboja, dan Malaysia adalah negara yang pernah meminangnya secara terang-terangan. Namun, Iie bergeming. Dia setia tinggal di Bandung.(Bersambung)

BIODATA:
Nama: Iie Sumirat
Lahir: Bandung, 15 November 1952
Isteri: Ovadiani

Anak:
Meilinda
Meladna
Fani Fanina
Ima Delima
Yulian
Yayan Trihartawan
Vine Audine

PENDIDIKAN :
SD Tegallega
SMP Pasundan 2
SMAN 11 dan SMAN 4 Bandung

PRESTASI:
Tim Thomas Cup 1970, 1973, 1976, 1979
Juara Asian Games 1976, 1977
Runner-up Asian Games 1978
Juara Dunia 1976 di Bangkok
Juara Indonesia Open 1973
Juara Singapura Open 1971, 1972, 1973
Juara Nagasaki Open 1978
Juara Taiwan Open 1979

PENGHARGAAN:
Satya Lencana Kebudayaan 1970

JABATAN ORGANISASI:
Ketua IANI Jawa Barat 2007-sekarang
Ketua Komunitas Bulu Tangkis Indonesia di Jawa Barat 2007-sekarang

Pernah dimuat di Jawa Pos November 2009

Senin, 04 April 2016

Merayakan Rio Haryanto, Mengontrol Harapan

Sebuah mimpi menjadi nyata. Rio Haryanto benar-benar menjadi pebalap Formula 1. Indonesia memiliki pebalap F1. Untuk pertama kalinya.
Dari instagram Pertamina

Ya, untuk pertama kalinya Indonesia bakal mempunyai local hero di ajang balapan single seater F1 paling bergengsi sejagat itu. Kalau biasanya kita mengidolakan pebalap asing, kini kita punya Rio di sana. Dia pemuda yang lahir di Solo, Jawa Tengah 23 tahun lalu.

Rio yang setiap wawancara selalu ada yang berbisik-bisik," kok medok ya?" Padahal bukan sekali ini saja mendengar Rio diwawancara. Sudah berulang kali Rio tampil di televisi yang menayangkan video juga audio. Tapi tetap saja membicarakan kemedokan Rio menjadi sebuah hal yang diulang-ulang.

Sosok Rio yang amat dekat itu menjadikan sebagian besar pemuda yang bukan siapa-siapa ikut terdongkrak rasa pede-nya. Muncullah meme: dua foto cowok--satu Rio satu lagi siapa saja dengan kalimat "Kalau semua pria sama saja, berarti aku sama dong dengan Rio?"

Ya, Rio sudah menjelma sebagai hero yang mewakili kita. Rio sudah menunjukkan kalau mimpi bisa menjadi sebuah kenyataan.

Semedok-medoknya Rio, kini dia menjadi salah satu bagian dari pelaku global sport. Tercatat, cuma sepuluh global sport yang masuk ke dalamnya ini. Salah satunya, F1 ini. Lainnya, ada Olimpiade, Piala Dunia--yang digulirkan empat tahun sekali--, juga NBA Final.

Faktanya, eskpos media internasional memang gila. Belum apa-apa Rio sudah menjadi perbincangan dunia. Pertama soal tarik ulur Rio bergabung dengan Manor. Bagaimana satu kursi tersisa, puzzle F1 musim ini tinggal menanti satu pebalap. Iya, tidak, iya, tidak. Jadi atau tidak, jadi atau tidak. Soal dana kemudian yang menjadi isunya. Rio tak punya cukup uang untuk bergabung dengan Manor.

Sebuah usaha kemudian dibuat. Rio bersama-sama manajemen dan keluarganya mendatangi Menpora. Mereka meminta agar dibukakan jalan untuk dukungan ke F1. Cuma untuk membukakan jalan. Begitulah menurut saya.

Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, merespons dengan sebuah keputusan yang memantik pro dan kontra publik. Imam menyebut akan melibatkan APN bahkan sampai potong gaji PNS.

Tentu usulan itu membuat dahi mengernyit, sebagian pihak geleng-geleng kepala. Sebagian lannya menghujat dan mengkritik tajam. Apalagi para PNS-nya. Bagaimana dapur mereka kalau gaji benar-benar dipotong (untuk Rio)?

Tapi, Imam sudah mampu membuat para pengusaha (setidaknya) berlomba untuk ikut urunan membantu (atau malah rebutan foto bareng) Rio. Imam juga sudah berkirim surat dan mengajak bicara menteri dan kepala BUMN agar membantu Rio. Setidaknya dana sebesar Rp 100 miliar.

Terlepas dari itu, Rio mulai mendapatkan panggung luar biasa. Ingat kan soal teori mestakung--alam semesta akan mendukung--kalau ada niat bulat dan teguh maka seluruh jagat akan mendukung. Pokoknya tiba-tiba ada saja jalan terbuka. Dan semua itu terjadi kepada Rio di hari-hari terakhir penentuan pebalap Manor.

Rio menjadi viral di media sosial. Muncul instagram, twitter, dan facebook para pencinta Rio, sahabat Rio, dukung Rio, atau apapun namanya. Juga hesteg yang menyertainya.

Belum apa-apa, Rio yang mempunyai wajah cute dan kulitnya yang bikin cewek-cewek bilang, "duh, jadi pengen luluran dan facial terus" sudah jadi pusat perhatian.

Ditambah lagi, sorotan media yang tiba-tiba menjadi luar biasa. Rio disebut-sebut banyak media Inggris ketika namanya menggantikan pebalap Inggris, Will Stevens. Bahkan ketika media nasional belum begitu ngeh dengan situasi itu.

Situasi di dalam negeri juga tak kalah heboh. Di saat bersamaan nama Rio muncul di media-media Inggris, para pewarta nasional malah dapat kejutan yang berakhir manis.

Begini ceritanya. Media nasional Indonesia 'kecele' saat datang ke kantor Pertamina, Kamis (19/2/2016) siang itu. Ternyata 'persekongkolan' antara Kemenpora, Pertamina dan manajemen Rio cukup mengejutkan.

Dikira berupa acara pengumuman Pertamina sebagai sponsor Rio dengan nominal 5 juta euro atau setara dengan Rp 77 miliar, ternyata acara itu merupakan perayaan Rio sebagai pebalap Manor Racing.

Dan siang itu, faktanya Rio benar-benar resmi menjadi pebalap F1!

Dan Rio pun makin heboh karena dia masuk sebagai pebalap F1 pay driver makin digoyang. Ada yang bilang istilah itu setara dengan nyogok.

Ya, Rio sebagai pay driver dengan harus membayar uang sponsor senilai 15 juta euro (sekitar 218,9 miliar) kepada Manor tak lantas meredup. Perang lover dan hater di media sosial pun justru menggairahkan jalan Rio ke F1.

Padahal kan kalau disimak pay driver di ajang F1 cukup lumrah. Kalau pernah menonton film Rush, ada adegan Niki Lauda memutuskan untuk meminjam uang bank sebesar 2 shilling Austria (sekitar Rp 1,84 miliar) untuk bergabung dengan tim F1, BRM. Lauda malah berani 'ngutang' ke bank setelah pengajuan pinjaman ke ayahnya ditolak mentah-mentah.

Selain Lauda, Michael Schumacher dan Fernando Alonso juga mengawali kariernya di balapan F1 sebagai pay driver. Tentunya mereka membawa banyak uang, bukan recehan.

Begitu pula Rio. Nominal sponsor yang wajib dibawa putra pemilik pabrik buku tulis Kiky itu untuk Manor juga mahal. Apalagi kalau sudah dikonversi ke rupiah.

Tapi, nilai itu amat kecil kalau dibandingkan berapa nominal yang dibutuhkan Manor musim lalu untuk menurunkan dua mobil. Sebagai gambaran Manor menghabiskan dana sebesar 83 juta euro di musim lalu dan menjadi tim paling hemat di natara para pesaing. Tim dengan anggaran paling tinggi Red Bull mencapai 468,7 juta euro.

Cobalah dibandingkan dengan investasi Garuda untuk Liverpool per tahun. Ada uang yang terlibat USD 9 juta per tahunnya. Garuda dan Liverpool sempat bekerja sama selama empat tahun.

Atau bandingkan dengan nominal yang dibayarkan Erick Thohir, seorang pengusaha Indonesia kepada Italiano, Roberto Mancini. Erick Thohir menggaji Mancini 4 juta euro atau sekitar Rp 63 miliar per musim hingga menjadi pelatih termahal Serie A. Belum lagi 23 pemain di tim inti Inter Milan. Sebagai gambaran Mauro Icardi 4 juta poundsterling atau sekitar Rp 58 miliar per musimnya.

Investasi Pertamina untuk Rio juga tak ada apa-apanya kalau dibandingkan kerugian negara akibat kasus Hambalang yang mencapai Rp 2,5 triliun bukan? Kalau Presiden Joko Widodo geleng-geleng kepala, ke mana para hater yang biasanya nyinyir luar biasa?

Kenapa Rio yang mau membalap di F1 malah mendadak muncul begitu banyak hater? Bahkan, sampai saat ini tidak secuil pun APBN yang digunakan Rio, lho. Lagipula kalau peruntukannya pas, misalnya 'Wonderful Indonesia' nempel besar-besar di mobil Manor dan kostum Rio pas balapan atau konferensi pers--lihat kan Rio selalu mendapatkan jatah wawancara bersama-sama pebalap top sebelum serie pertama F1 di Australia bergulir--juga tak masalah kan. 

Terus di mana untungnya? Jangan berpikir keluar uang sekarang, dapat untung sekarang juga. Teman saya bilang itu sih strategi pedagang warkop. Keluar modal buat kulakan pagi ini, pas tutup warung diniharinya sudah bisa menghitung untung rugi.

Satu hal yang tampak jelas sebagai keuntungan tentunya itu tadi, ekspos media. Kendati Manor tak masuk dalam kandidat juara atau tim papan atas di tiap seri, tapi FIA tentunya memiliki aturan soal persentase sorotan kamera. Seperti pertandingan-pertandingan Real Madrid dan Barcelona di Spanyol yang memang disorot habis-habisan tapi tim lain juga dapat, dengan persentase lebih sedikit dan ganjaran hak siar lebih kecil.

Bahkan, bos Manor Stephen Fitzpatrick sudah menyadari situasi itu sejak awal. Dia begitu welcome terhadap Rio, memberi kemudahan kepada Rio dengan tenggat yang tak kaku.

"Kehadiran Rio bagus untuk tim dan F1," ucap orang Irlandia itu.

Sebuah harapan bisa ditumbuhkan dengan Manor yang membuat perubahan sebelum musim balapan bergulir. Fitzpatrick merombak skuat tim. Mereka juga menggunakan mesin Mercedes. Mesin yang dianggap terbaik di F1 saat ini. Dari kesepakatan, Mercedes menjanjikan semua tim menggunakan mesin dengan spesifikasi yang sama. Artinya, mesin yang dipakai dua pebalap Manor sama dengan yang dipakai tim utama Mercedes, Williams, dan Force India.

Publik Indonesia juga boleh GR saat menyaksikan video konferensi pers Rio kemarin. Rio ada di antara si juara bertahan, Lewis Hamilton, Sebastian Vettel, Daniel Ricciardo, juga Esteban Gutierrez dan rookie lain dari tim Renault, Joylon Palmer.

Dari foto-foto yang diunggah di twitter dan situs resmi F1, media-media olahraga yang meliput langsung, Rio sukses membuat penasaran fans yang datang. Tak sedikit yang minta tanda tangan, juga foto bersama. Bukankah F1 musim ini akan menjadi seri terpanjang dengan 22 seri?

Tapi ya jangan lantas keterlaluan memasang ekspektasi kepada Manor dan Rio. Manor masih sulit untuk bertarung dengan Mercedes, McLaren, atau Red Bull. Bukan cuma soal mesin, Rio dan rekan satu timnya, Pascal Wehrlein, adalah muka baru di balapan F1.

Masih berniat sekedar mencerca Rio dan Manor Racing lewat sosial media? Begini saja, bukankah lebih baik untuk mendukungnya. Toh kita tidak dirugikan apa-apa.

Malah kalau masih ada cukup saldo di rekening belilah tiket penerbangan ke Melbourne. Setahu saya ada yang direct yang bisa jadi lebih mahal ketimbang transit di Denpasar. Mumpung balapan masih jauh-jauh hari. Bukankah membeli tiket jauh-jauh hari lebih murah?

Sepertinya lebih membanggakan menjadi saksi sejarah ketimbang cuma ngomel di media sosial. Kalau doku tidak cukup, tunggu siaran langsungnya di Global TV atau Fox Sport.

Nah, soal siaran langsung di televisi teresterial saja sudah jadi sinyal bagus buat para penguasaha kalau ingin beriklan, bukan? Maka, tak ada ruginya mendukung Rio karena produknya bakal terpampang di mobil dan kostum Manor dan Rio bukan. Ingatkan kalau musim sebelumnya tak ada yang menayangkan F1?

Keluarga Sungkar: Kecil di Bengkel, Besar di Lintasan

Rifat Sungkar, Halina Shafira, dan Rizal Sungkar menjalani masa kecil yang sama: berkutat di bengkel bersama ayahnya Helmy Sungkar. Ketika tumbuh besar ketiganya akrab dengan lintasan balap.



Soal darah balap yang mengalir dalam diri Rifat, Halina, dan Rizal memang berasal dari orang tua mereka: Helmi Sungkar dan Kamaria Ekawanti. Helmi sudah menggeluti balap sejak lama, sementara Kamaria yang putri pasangan Soehirman dan Atika Oetji, pemilik perusahaan otomotif Inremco Soehirman Gondokesoemo, juga mempunyai hobi balapan. 

Kisah cinta Helmi dan Ria (panggilan akrab Kamaria) bahkan dimulai di lintasan balap. Tepatnya garis start kejuaraan nasional Reli Jawa-Bali pada tahun 1972.

Kisah kasih mereka berdua ternyata awet sampai sekarang dan melahirkan putra-putri yang juga menggeluti dunia balap serta menorehkan prestasi membanggakan. Bukan cuma anak laki-laki, sang putri juga punya minat besar pada otomotif.

"Putri satu-satunya, Fira (Halina Syafira, red) juga pernah jadi navigator saya. Malah putri pertama Fira, Rinjani Arifandi, mulai senang memegang kemudi," cerita Ria.

Sejatinya Ria dan Helmy tak pernah memaksakan putra-putrinya untuk reli. Namun karena keseharian mereka tidak bisa dilepaskan dari kegiatan otomotif, termasuk menjadi promotor, maka hal tersebut langsung berpengaruh pada anak-anak mereka.

"Setiap akhir pekan orang-orang mengajak anak-anak mereka belanja ke mall, sedangkan kami diajak nonton balap," cetus Rifat menceritakan masa kecilnya.

Maka kegiatan sehari-hari Keluarga Sungkar pun tak lepas dari modifikasi mobil, beragam perlombaan reli dan prestasi berupa diraihnya podium. "Hari biasa Papa kerja di bengkel, wajar kan kalau saya sejak kecil sudah hapal mobil dan onderdilnya," lanjut suami Sissy Pricilla itu.

Kalau kemudian keluarga Sungkar banyak meraih prestasi, itu rasanya tidak bisa dilepaskan dari prinsip yang dipunya sang Ibu. Ria menegaskan ke anak-anaknya kalau setiap aktivitas yang menyita banyak waktu haruslah disertai prestasi. Apalagi jika hanya dijalani sebagai hobi balap dan modifikasi mobil terbilang mahal. Rifat dan Rizal pun 'dipacu' untuk meraih podium setiap kali balapan.

Pada awalnya Rifat dan Rizal coba-coba ikut kejuaraan nasional reli. Meski promotornya ayah sendiri, keduanya tetap wajib membayar iuran keikutsertaan. Seiring berjalannya waktu, prestasi demi prestasi terus mereka torehkan. Penghargaan Bintang Prestasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006 menjadi salah satu bukti akan hal tersebut.

Meski bangga dengan 'dinasti balap' yang dibangunnya, kekhawatiran orang tua terhadap anak dan cucu yang beraksi dalam kecepatan tinggi tetap tak bisa dihilangkan. Dengan usia yang kini sudah 85 tahun, Atika Oetji tak pernah berhenti waswas jika cucu-cucunya sedang menggeber mobil dalam kecepatan tinggi.

"Dulu reli mengandalkan ketepatan waktu, tapi sekarang kecepatan. Siapa yang cepat sampai finis dia yang juara, risikonya lebih besar makanya bikin waswas," kata Atika yang di sela waktunya menggemari tontonan tenis di layar kaca.

Atika sih tetap berharap ada penerus reli sebagai ciri khas keluarganya, atau paling tidak menjadi atlet di cabang olahraga lain. Suaminya juga bukan pereli saja, Soeherman pernah menjadi peserta PON di cabang sapta lomba. Ria juga pernah ikut serta dalam timnas bridge.

"Kalau bisa mewakili Indonesia itu lebih bagus. Kami semua dulu juga senang olahraga. Yang muda-muda harus bisa berolahraga lebih banyak lagi, kalau bisa tidak cuma reli," kata dia.

Pernah dimuat di detikSport pada 10 September 2013 merayakan Hari Olahraga Nasional

Sabtu, 02 April 2016

Radja Nasution Menunggu Sang Putra Mahkota

Kendati sudah bersuka hati karena cucunya ada yang mengikuti jejak sebagai perenang, Radja Nasution masih punya satu keinginan. Dia berharap ada Nasution yang bisa meneruskan dinasti renangnya.
 

Namun Radja harus bersabar. Hanya Akbar Nasution yang bisa mengabulkannya. Sebab, keempat putrinya tak bisa membawa marga Nasution kepada putra putri mereka.

"Saya bilang sih dinasti renang Nasution sudah habis! Kecuali Akbar bisa meneruskannya," kata Kevin Rose Nasution, putri keempat Radja.

Peluang untuk meneruskan dinasti itu tak tertutup karena mereka memetik tak hanya kebanggaan mewakili Merah Putih tapi juga efek samping sebagai atlet. Pendidikan dan penghargaan serta klub renang yang jadi milik sendiri adalah penenan setelah kerja keras saat menjadi atlet.

Baca Juga: Radja Nasution dan Raja-Ratu Kolam Renang Indonesia

"Aku sama sekali nggak menyesal. Alhamdullilah, aku sama keluarga juga bersyukur banget karena dengan kita pernah berprestasi. Orang jadi ingat kita, masih ingat kalau kita pernah bela negara dari olahraga," kata wanita yang mengidolakan Janet Even itu.

Akbar sendiri belum bisa bicara banyak. Dia tengah menikmati momen-monen sebagai pengantin baru, bersama belahan jiwanya Karmia Krisanti Nasution.

Belum kepikiran. Tapi kalau melihat masa kecil saya dulu yang ikut-ikutan ke kolam renang dan melihat kakak-kakak bisa ke luar negeri dengan mudah, virus renang itu mudah menular," kata Akbar. (Habis)


Pernah dimuat di detikSport pada 10 September 2013 bertepatan Hari Olahraga Nasional

Radja Nasution dan Raja-raja Kolam Renang Indonesia

Dinasti olahraga juga dibangun oleh Radja Murnisal Nasution. Dia mendirikan kerajaan di kolam renang.


Di pinggir kolam renang dari atas kursi rodanya, Radja Murnisal Nasution masih penuh semangat memberi instruksi pada murid-muridnya. Sesekali dia mengayun kedua tangannya, memberi contoh agar diikuti.

Di usianya yang sudah 64 tahun dan penyakit yang terus menggerogoti, Radja sama sekali tak terlihat lelah. Sebaliknya, semangat hidupnya masih terlihat membara, passion-nya pada renang tak padam. Perenang-perenang cilik yang jadi siswa di perkumpulan renang Pari Sakti milik Radja pun tekun menyimak perintah-perintahnya.

Salah satu murid yang dibimbing Radja memakai kostum berwarna merah muda kombinasi hitam. Namanya Neeve Jasmine Latifah Adam, dia cucu Radja, anak dari Kevin Rose Nasution.

"Saya ingin jadi perenang. Jadi atlet itu kayaknya enak," kata Neeve. Karena keinginan besar itu, Neeve lah yang selalu nagih kepada mamanya, Kevin Nasution, untuk diantar ke kolam renang. Neeve pun menjadi penerus 'klan' Nasution di kolam renang.

Disebutkan Neeve, di sekolahnya SMP Muhammadiyah 8 Jakarta tak ada ekstra kurikuler renang. "Yang ada cuma ekstra kurikuler futsal dan basket. Aku sih sudah minta kepada gurunya karena kalau ada perlombaan biar bisa mewakili sekolah," kata Neeve.

Ibunda Neeve, Kevin, yang adalah putri keempat Radja, tak menyangka anaknya tertarik dengan renang. Sebab, dia tak pernah memaksa putri sulungnya itu untuk mengikuti jejak keluarga besarnya.

Keluarga Nasution sudah terlanjur identik sebagai raja kolam renang. Elfira Rosa Nasution, Maya Masita Nasution, Elsa Manora Nasution, dan Kevin Rose Nasution serta si bungsu Muhammad Akbar Nasution menjadi perenang handal di persaingan nasional. Mereka juga acapkali menjadi tumpuan 'Merah Putih' di ajang internasional.

Padahal Radja bukanlah lahir dari keluarga atlet. Ayahnya polisi.

"Dulu di Medan tidak ada aktifitas olahraga, sedangkan rumah saya dekat kolam renang jadi ikut saja coba renang kemudian saya suka," cerita Radja pada detikSport.

Meski awalnya hobi, Radja kemudian memutuskan untuk serius menekuninya dan tak mau main-main. Dia tertantang mengembangkan renang di Medan. Bahkan saat dia harus hijrah ke Jambi. Kebetulan kelima anaknya kompak menjadi perenang. Makin mudahlah dia membuka jalan untuk mengembangkan renang.

Kini Radja bersuka cita karena cucunya rajin mengikuti latihan di klub binaannya. Radja senang nama besar Nasution yang sudah dibangunnya punya penerus. Dia juga senang karena Neeve sanggup melahap menu latihan yang diberikan seorang pelatih sangar seperti dia.

"Program latihan opa berat karena ada sprint-nya. Tapi kadang-kadang enak juga," kata dia.

Neeve juga sudah merancang rencana untuk serius di renang. Dia memasang target tinggi untuk tampil di Olimpiade. Tak hanya mengejar prestasi tapi juga bisa bersaing dengan idolanya di ajang multieven empat tahunan itu.

Ya, Radja benar-benar bersuka cita karena Neeve lah yang meminta untuk serius berlatih renang. Radja tak bisa menutupi hati kecilnya yang selalu berharap akan ada penerus yang mewarisi renang di kemudian hari.

"Saya itu menekuni olahraga, berprestasi di olahraga karena ada tantangannya. Mereka bisa dapat beasiswa sampai ke luar negeri. Saya sudah dapatkan. Jadi saya menyebarkan informasi yang positif kepada pada mereka, bukan menggambarkan hanya duit melulu. Kesempatan yang kita dapatkan dari hasil renang itu juga positif, tidak soal uang," tuturnya lagi.

Janji Radja tidak salah. Dari renang anak-anaknya bisa mencicipi sekolah di Amerika Serikat. Elfira lebih dulu merasakan jadi mahasiswa desain interior California State University. Yang terakhir, Akbar yang juga lulusan Chaffey College.

"Sekarang malah tak perlu ragu-ragu, banyak pihak yang siap memberikan apresiasi jika ada prestasi yang menonjol," tegasnya.

"Masih banyak orang tua yang menganggap atlet bukan suatu pekerjaan, tapi jaman sekarang dengan melihat apa yang sudah didapat, itu sudah jadi profesi. Pertama perenang bisa mendapatkan biaya hidupnya sendiri, bisa upgrade prestasi, bisa belajar di luar negeri, jadi banyak keuntungannya," timpal Kevin.

Baca Juga: Elsa Manora Nasution, Kombinasikan Pengalaman Parenting dengan Ilmu Renang

Radja juga berharap klub Pari Sakti yang dibangun sejak 16 Agustus 1996 tak bubar dan terus bersaing di tingkat nasional. Klub tersebut sudah berprestasi dengan meraih gelar juara umum pada 2002 lampau pada kejuaraan renang antarperkumpulan setanah air, dan kini dipercayakan pada Akbar. Sementara Kevin menjadi salah satu pelatihnya.

"Dulu saya membangun sendiri klub itu. Kami menyewa kolam dan membayar gaji pelatih. Waktu itu anggotanya 20 orang, sekarang sudah ratusan. Sudah remaja juga klub ini, sudah 17 tahun," kata dia.

Elsa juga tidak bisa jauh dari kolam renang. Dia menjadi pelatih, hanya saja dia mengkhususkan diri ke latihan privat. "Siapa tidak senang apa yang sudah dibangunnya di masa lalu diteruskan anak-anak dan cucunya," kata Radja. (Bersambung)

Pernah dimuat di detikSport pada 10 September 2013 bertepatan hari Olahraga Nasional