Sabtu, 31 Desember 2016

Video Inspiratif Martunis dan Pesan 'Sepakbola Satukan Perbedaan'

Sepakbola bisa menyatukan perbedaan. Bocah kecil Martunis menjadi inspirasi bertahan hidup. Kombinasi dua pesan itu dimunculkan dalam sebuah video pendek ESPN.



Martunis, bocah kelahiran Banda Aceh itu, telah menginspirasi dunia. Bukan karena dia pemain top atau masuk daftar orang terkaya sejagat. Kisahnya yang sanggup bertahan hidup dari bencana tsunami Aceh 2004 mendapatkan ekspos luar biasa lewat sepakbola.

Kisah itu dirangkum dalam video berdurasi 3 menit dan 45 detik. Inspirising Bonding Moments. Begitulah judul yang mengantarkan kisah Martunis.

Tayangan itu dibuka dengan tawaran view pantai dengan hamparan berpasir putih berlatar hutan dan laut biru. Kemudian kaki-kaki bocah tengah memainkan bola di atas pasir itu.

Di tempat lain, mulailah Martunis berkisah. Dia menyebut hobinya waktu kecil. Kemudian narator mengajak penonton untuk menyaksikan dasyatnya bencana yang menimpa Aceh 12 tahun lalu tersebut. Gambaran situasi itu makin mengerikan dengan tambahan narasi jumlah korban jiwanya.

Martunis kecil menjadi salah satu korban becana itu. Martunis yang tengah bermain bola bersama teman-temannya merasakan gempa. Dia memilih langsung berlari pulang dan bergabung dengan keluarganya. Tapi rupanya kondisi di rumah tidak lebih baik. Orang-orang sudah sibuk menyelamatkan diri.

Namun nasib tak bisa ditawar, mereka malah tersapu ombak. Martunis dan keluarga pun terpisah satu dengan yang lainnya. 21 hari setelah tsunami itu, Martunis ditemukan seorang relawan Inggris di area rawa-rawa.

"Saya tidak pernah berpikir apakah saya akan selamat. Saya pikir sudah kiamat," ucap Martunis.

Martunis, bocah yang sanggup bertahan hidup di tengah sapuan tsunami telah menarik perhatian media internasional. Satu tambahan lagi, sebuah jersey timnas Portugal yang dikenakannya membetot perhatian federasi sepakbola Portugal, juga para pemainnya.


Dalam prosesnya, Martunis kemudian diajak ke Portugal untuk berjumpa dengan para pemain timnas Portugal. Nah, dalam kesempatan itulah dia berjumpa dengan Cristiano Ronaldo.

Ronaldo kemudian memberikan perhatian ekstra lewat yayasannya. Ronaldo jadi ayah angkat Martunis.

Hubungan itu tak putus di sana. Yayasan Real Madrid membuka akademi sepakbol asia dini di Banda Aceh.

Ronaldo juga membukakan jalan kepada Martunis untuk bergabung dengan akademi Sporting Lisbon di Portugal selama satu tahun.

"Selalu ada hikmah di balik bencana. Sepakbola telah menyatukan perbedaan, orang ataupun negara," ucap Martunis menutup video tersebut.

Video itu diunggah Kamis (1/12/2016). Hingga hari ini video itu telah ditonton lebih dari 1 juta pengguna facebook dan dibagikan lebih dari 2,3 ribu netizen.

"Dengan keahlian dan kemitraan ESPN, kami berharap video kisah nyata ini menginspirasi anak-anak di belahan dunia," kata Ranjit Gopi, direktur marketing TCL, rekan ESPN dalam pembuatan video tersebut.

Dimuat di detikcom, Selasa (6/12/2016)

Sabtu, 17 Desember 2016

Timnas Tak Juara, tapi Tetap Bikin Bangga

Tim nasional menyudahi AFF Suzuki Cup 2016 sebagai runner-up. Tak cuma menghidupkan harapan, 'Pasukan Garuda' juga membuktikan kepada publik kalau mereka memiliki kolektivitas dan toleransi tanpa batas.

Foto: Rachman/detikcom

Foto-foto pemain timnas yang tengah bertarung di tengah lapangan hijau menjadi santapan sebulan terakhir. Jika mulanya tak ada harapan dan akan maklum saja kalau tersingkir di babak grup, harapan publik terbangun setelah timnas yang dipoles Alfred Riedl ini lolos ke babak semifinal.

Ya, timnas di Piala AFF kali ini memang tak dijagokan untuk bisa melaju jauh. Boleh dibilang timnas cukup meramaikan Piala AFF.

Bukan publik yang membangun situasi itu sendiri, tapi justru induk organisasi sepakbola tanah air yang menyulutnya. Mereka bersama operator liga dan manajemen klub bersepakat membatasi jumlah pemain masing-masing klub untuk dikirimkan ke timnas, maksimal cuma dua. Sebab, liga tetap harus berjalan. Liga tengah kejar tayang harus segera usai.

Riedl juga cuma punya waktu pendek untuk menyusun tim seadanya itu. Kepastian timnas bisa ambil bagian dalam Piala AFF itu cuma didapatkan lima bulan sebelum perhelatan. Tepatnya setelah sanksi FIFA terhadap PSSi dicabut pada pertengahan Mei.

Tapi, ternyata timnas yang seadanya itu menolak menyerah. Mereka melawan dengan kemampuan dan ketidakmampuan mereka di ajang itu.

Timnas berhasil menyemai harapan dalam lubuk hati 250 juta jiwa penduduk Indonesia dengan cara memberikan perlawanan habis-habisan di tengah lapangan. Mereka berbekal semangat untuk membanggakan Merah Putih. Sempat tertinggal, mereka comeback dan memenangi beberapa pertandingan. Termasuk dalam leg pertama final engan Thailand di Stadion Pakansari, Bogor.

Baju kedaerahan dan klub mereka tinggalkan. Perbedaan agama tak dijadikan soal.

Segala perbedaan dan keterbatasan itu dinilai dengan kalmat sederhana khas orang kita: ada hikmah di baliknya. Ya, aturan maksimal dua pemain itu justru menjadi sebuah jalan timnas ini dibentuk dari lebih banyak klub. Dalam timnas ini tak muncul istilah sebuah timnas rasa Persib Bandung, Persipura Jayapura, atau tim lain karena dominannya pemain salah satu klub. Riedl bisa bertepuk dada kalau dia lah pelatih timnas Indonesia yang sebenarnya.


Foto: Rachman/detikcom

Dari contoh kecilnya dari sektor kiper. Dari mana tiga kiper yang ada di timnas kali ini: Kurnia Meiga, Andritany Ardhiyasa, dan Teja Paku Alam? Kurnia Meiga dan Andritany memang lahir di Jakarta tapi mereka identik dengan klub yang berbeda Persija Jakarta dan Arema Malang. Teja kelahiran Painan, Sumatera Barat yang bermain untuk Sriwijaya FC.

Siapa kapten timnas ini? Boaz Solossa seorang kelahiran Sorong dan telah menjadi ikon Persipura. Posisi dan keberadaan Boaz di dalam timnas seolah menunjukkan siapa bilang orang timur tak dapat tempat utama di negeri ini?

Zulham Zamrun dan Rizky Rizaldi Pora berdarah Ternate, Maluku Utara. Lerby Eliandry dari Toraja, Sulawesi Selatan. Evan Dimas, Bayu Gatra, Andik Vermansah, Hansamu Yama sama-sama dari Jawa Timur.

Stefano Lilipaly malah lahir di Utrecht, Belanda. Dia seorang blasteran dari ayah asli Belanda dan ibu dari Ambon.

Andik dan Stefano juga 'pulang' dari klub di tanah orang untuk membela timnas. Andik terdaftar sebagai pemain Slenagor FC, sedangkan Stefano ber-jersey Telstar.

Soliditas dan kolektivitas itu tak cuma tersuguh di tengah lapangan. Mereka juga kompak di ruang ganti dan luar lapangan.

Foto-foto para pemain yang tengah solat berjamaah menjadi hal lain yang diperbincangkan dari timnas ini. Kebetulan pertandingan digulirkan pukul 19.00 WIB, di mana mereka sudah harus berkumpul di stadion sejak saat waktu maghrib.

Yang menarik bukan urusan sholat itu sendiri karena toh memang sudah kewajiban umat muslim untuk menjalankannya. Tapi, dalam beberapa foto terlihat para pemain nonmuslim duduk di belakang mereka yang tengah sholat berjamaah.


Itu saja? Tidak. Beberapa video keasyikan timnas ini juga muncul di media sosial. Mereka berjoget di selasar hotel. Joget-joget itu tidak cuma dilakukan para pemain muda jebolan timnas U-19 yang menjadi juara Piala AFF 2013 bisa jadi memang sudah kompak sejak digenjot oleh Indra Sjafri. Acara joget bareng itu dipimpin oleh Boaz sebagai pemain paling senior di dalam timnas.

Dalam aktivitas beragama itu, para pemain nonmuslim juga bebas ke gereja. Bahkan ketika harus bermain tandang.

Mereka bersatu dalam aksi bela timnas. Itu saja.

Dengan segala hal itu, timnas yang dibangun dengan segala keterbatasan ini tetap menuai acungan jempol meskipun terhenti sebagai runner-up.

Harapan tetap dikibarkan publik kepada mereka menghadapi turnamen-turnamen ke depan. Mereka diharapkan bisa memperbaiki perolehan di SEA Games 2017 Kuaala Lumpur. Memang tak akan semua pemain ini bisa tampil karena ada batasan usia di SEA Games nanti.

Namun tentunya para pemain tak akan sanggup menyandang beban itu sendirian. Pengurus PSSI dituntut lebih serius memelihara dan mengontrol potensi, keberagaman, dan harapan publik. PSSI semestinya tidak bisa cuma membangun timnas yang membanggakan karena daya juangnya. Sudah saatnya PSSI membangun timnas yang membanggakan karena daya juang dan prestasi.

Jangan biarkan Pasukan Garuda tersungkur berulang kali, PSSI!

Rabu, 14 Desember 2016

Satu Sore di Senayan Bersama Rexy Mainaky

Masa depan Rexy Mainaky di PP PBSI belum jelas. Rexy santai menanggapi situasinya.


Ketua umum PP PBSI terpilih, Wiranto, telah mengumumkan kabinetnya. Di antara nama pengurus, tak tercantum nama Rexy yang pada kepengurusan sebelumnya menjabat sebagai ketua bidang pembinaan prestasi. Posisinya diisi mantan pemain nasional lain: Susy Susanti.

Sementara dengan kontrak yang habis akhir tahun ini, nasib Rexy bersama para pelatih masih menggantung. Sebab, hingga saat ini belum ada komunikasi dari pengurus anyar soal masa depan Rexy.

Kami berbincang pada Jumat (9/12/2016) siang hingga petang di seuah cafe di Senayan, Jakarta Pusat. Rexy datang mengenakan polo shirt hitam dengan tas slempang. Rexy datang setengah jam lebih awal dari jam kami janjian bersama satu rekannya, Tony.

Awalnya saya mengajak Rexy untuk kongkow-kongkow, sekadar ngobrol. Soal apa saja. Sebab sebelumnya saya sudah bicara cukup banyak dengan penggantinya di PBSI, Susy Susanti. Kami bicara usai pengumuman kepengurusan PBSI di Senayan.

[Baca Juga: Ketika Susy Susanti Turun Gunung]

Rasanya tidak adil jika tidak mengajak bicara Rexy. Karena PBSI belum mengadakan konferensi pers, saya ajak juga rekan-rekan pewarta lain yang kerap menyambangi markas PBSI di Cipayung.

Sore itu dia menuturkan banyak hal. Kami mengira dia galau dengan ketidakpastian masa depan dia bersama PBSI. ternyata, memang ada sedikit kegundahan yang dirasakannya, namun Rexy bersikap profesional. Sejak awal dia sudah memprediksi situasi ini.

Rexy juga bercerita soal keinginan bikin akademi. Rencana itu sudah jalan 30 persen, ada pemodal juga GOR yang akan dipakai. Kami tak percaya ketika di abilang belum ada satupun negara lain yang menginginkan dirinya untuk menangani timnas bulutangkis mereka.

"Bohong," begitu jawaban soal negara lain itu.

"Kalau bohong, tidak perlu dilanjutkan lagi ngobrolnya, Belum apa-apa sudah enggak percaya," canda Rexy.

Banyak hal yang dia ungkapkan sore itu. Beberapa off the record, sebagian lagi dia blak-blakan dan bersedia dikutip untuk media.

Tanya (T): Saat pengumuman pengurus PP PBSI apakah menyangka nama Mas Rexy tak termasuk di dalamnya?

Jawab (J): Saya sama sekali tak memusingkan posisi saya saat itu. Saya selalu berprinsip posisi bukanlah sebuah hal yang harus dikhawatirkan berlebihan dan dijaga. Bagi saya, posisi adalah tempat saya harus kerja keras dan total.

T: Setelah pengumuman itu dan nama Mas Rexy tak ada di sana apakah ada komunikasi dengan pengurus baru?

J: Tidak ada. Terus terang sampai nama pengurus baru itu keluar, tidak ada pertanyaan dan permintaan apapun. Komunikasi itu tidak ada, tidak hanya kepada saya saja tetapi wartawan pun tidak tahu soal ini.

T: Apakah Anda sakit hati dengan situasi yang mendera ini?

J: Sejak awal saya sudah menyadari bahwa pekerjaan saya ini selalu mengandung risiko. Dengan kondisi yang ada saat ini, saya tak merasa sakit hati. Masing-masing kepengurusan mempunyai gaya sendiri-sendiri. Misalnya, Pak Gita memilih para pengurusnya orang-orang ini, sangat wajar kalau yang ini tidak lagi dipakai pada kepengurusan Pak Wiranto.

T: Lantas bagaimana dnegan program-program yang sudah dibuat Binpres kemarin? Apakah lanjut atau berhenti?

J: Itu kewenangan pengurus saat ini. Kalau mau dilanjutkan silakan kalau tidak ya terserah mereka. Semua sudah dikemukakan saat Munas, mereka menilai berhasil atau tidak. Ada catatannya semua.

T: Kalau sama Pak Gita masih ada komunikasi?

J: Masih terus. Kami banyak berbicara dan tukar pikiran. Bapak Gita itu kan orangnya memang enak diajak ngobrol, karena dia bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Istilahnya, sampai kemarin malam saja ada misscalled dari dia, lalu saya telepon balik untuk berbicara. Terus terang Bapak Gita sampai bertanya, "Rexy apa yang bisa saya bantu?"

T: Sejak awal, saat dipanggil pulang ke Indonesia oleh Pak Gita apakah Anda telah siap yang seperti ini?

J: Tidak ada pikiran seperti itu. Terus terang ya, saya sudah terbiasa dengan sistem secara profesional (kontraknya). Saya kerja pertama jadi pemain, sistemnya kan jelas. Dengan menempatkan status kerja artinya ada konsekuensinya yang akan diambil. Jadi ketika Bapak Gita tidak terpilih, ya saya pikir biar saja.


T: Ada alasan lain sampai bisa kuat hati seperti itu?

J: Kalau bicara di Inggris, bukan sombong, Inggris itu tetap ingin mempertahankan saya. Kalau saya tidak mau ke Malaysia, saya pasti sudah di sana terus untuk mengurus tim nasional. Tetapi, saya bilang saya ingin ada tantangan baru, ya mereka mengerti. Jadi istilahnya saya bekerja dan hasilnya ada. Maka mereka mempertahankannya. Kalau di Indonesia kan tidak, kalau kita berhasil belum tentu. Apalagi kalau gagal, ampun-ampun ha..ha..ha.

T: Pada akhirnya kembali ke Indonesia?

J: Pak Gita telepon saya, dia menaruh kepercayaan pada saya. Saya bilang,"Pak, saya tidak minta macam-macam, saya cuma ingin Bapak percaya sama saya atau tidak, kalau Bapak percaya saya datang. Karena saya biasa bekerja dengan kepercayaan. Saya tahu pekerjaan ini ada konsekuensinya, jadi saya tidak pernah bekerja untuk manjaga kursi saya. Lagipula, tanya semua pelatih yang melanglang buana kemana-mana, pasti akhirnya ingin menangani timnasnya sendiri.

T: Dengan kembalinya tradisi emas Olimpiade, bukankah selayaknya Anda dipertahankan?

J: Yang terpenting, dalam kepengurusan saya, saya sudah berhasil mengembalikan tradisi emas di Olimpiade untuk Indonesia. Saya berharap setelah dapat emas daerah-daerah akan kembali termotivasi untuk menelorkan atlet-atletnya, melakukan pembinaan. Biar mereka bisa semangat dan program yang jalan ini untuk mengangkat pelatih-pelatih daerah dan memotivasi mereka.

T: Apa rencana Anda dengan situasi ini?

J: Saya katakan bahawa saya masih enjoy dengan kehidupan saya dulu-lah. Saya berencana membangun akademi, juga ini jadi kesempatan saya untuk dekat dengan keluarga. Bisa sering-sering pulang ke Kuala Lumpur. Istri saya kan tinggal di sana.

T: Jadi baru kali ini istirahat sejak melatih timnas pertama?

J: Saya itu dari Inggris lima tahun, lalu Malaysia tujuh tahun dan Filipina satu tahun. Baru kemudian balik ke Indonesia empat tahun. Jadi lanjut terus belum pernah ada break. Baru kali ini saja.

T: Masih berminat menangani timnas negara lain?

J: Amin kalau ada yang memberi tawaran. Tapi sejauh ini hanya rumor saja soal tawaran itu karena sejauh ini belum ada.Tapi kita kan tidak tahu, waktu kan terus berjalan.

T: Untuk sementara ini rencana mau seperti apa?

J: Ada rencana untuk bikin akademi bersama teman saya. Bos sudah ada, GOR juga ada. Nanti setelah ini saya akan ke Depok untuk membicarakannya lebih lanjut. Kalian kan yang minta saya tetap tinggal di Indonesia?

T: Kalau soal sampai kapan mau terus bergelut dengan bulutangkis?

J: Itu sama artinya seperti menyuruh saya berhenti bersentuhan dengan istri saya ha...ha...ha..


Senin, 05 Desember 2016

Ketika Susy Susanti Turun Gunung

Susy Susanti menerima jabatan sebagai ketua pembinaan dan prestasi PP PBSI periode 2016-2020. Sebuah kejutan hingga Susy bersedia turun gunung.


Mengenakan kemeja putih dan celana panjang warna abu-abu, Susy muncul di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, Minggu (4/12/2016) petang. Perempuan 45 tahun itu menghadiri pengumuman susunan pengurus PP PBSI kabinet Wiranto kepada publik di hadapan media.

Saat daftar pengurus dibacakan, nama Susy ada di sana. Dia menjabat sebagai ketua bidang pembinaan dan prestasi. Itu jabatan serupa yang diemban Rexy Mainaky dalam kepengurusan kabinet Gita Wirjawan dari tahun 2012-2016.

Sebuah keputusan yang mengejutkan. Sebab, sejak dia pensiun sebagai pemain pada tahun 1998 Susy memilih untuk menjaga jarak dengan PBSI. Dia lebih senang untuk menjadi penonton dari luar arena.

Lama setelah pensiun itu, Susy mulai mendekat ke PBSI pada 2008. Kala itu, dia menjadi manajer tim Uber yang masa kerjanya cuma beberapa bulan, tidak bertahun-tahun.

Waktu itu banyak yang menilai keputusan Susy menjadi manajer tim Uber cukup gila. Muncul kekhawatiran, pamor Susy bakal turun karena tim Uber diisi pemain-pemain medioker. Bahkan dewa yang memimpin tim itu pun tak akan berhasil. Begitulah kelakar yang muncul mengiringi tim Uber yang main di kandang sendiri.

Dengan skuat yang dipandang sebelah mata, ternyata Susy mampu membawa Maria Kristin dkk. menjadi runner-up dalam ajang yang dihelat di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Tim Uber bertahan lebih lama ketimbang tim Thomas yang tersingkir di babak semifinal, meski ditarget minimal sebagai finalis.

Keberhasilan itu membuat banyak pihak meminta Susy untuk turun langsung menangani pemain, sebagai pelatih ataupun pengurus PBSI. Namun, Susy bersikukuh untuk tetap menjaga jarak dengan PBSI.

Susy sedikit luluh saat diminta Gita untuk masuk kepengurusannya. Namun, Susy meminta agar tak duduk sebagai pengurus yang harus ngantor di Cipayung sehari-hari. Dia pun menerima posisi sebagai staf ahli.

Diminta langsung oleh Gita dan situasi yang memang tengah genting-- Indonesia gagal mempertahankan emas Olimpiade--Susy bersedia masuk jajaran pengurus. Namun, bukan sebagai pejabat teras.

Waktu itu, istri Alan Budikusuma tersebut dipercaya mengisi posisi staf ahli pembina dan prestasi. Jabatan ini tak masuk kategori pengurus harian, jadi ke Cipayung sesekali tak masalah.

Kini, tim formatur meminta Susy lebih intens bersama-sama PBSI. Setelah diyakinkan beberapa kali oleh tim formatur, Susy akhirnya menerima tugas sebagai kabid binpres untuk empat tahun ke depan.

Sebuah langkah strategis memang untuk merekrut Susy dalam barisan pengurus teras. Selain punya pengalaman di bidangnya, PBSI bisa memetik keuntungan lain. Dia kerap berkeliling negara-negara bulutangkis semasa memasarkan produk apparel miliknya.

Dengan bisnisnya itu, Susy punya hubungan dekat dengan federasi bulutangkis negara lain dengan cara yang lebih luwes, tidak formal. Karena masih berkutat pada apparel bulutangkis, Susy juga tetap bisa membaca peta kekuatan bulutangkis dunia. Dia pun mengenal secara personil para para pengurus dan pelatih negara-negara lain lewat cara di luar lapangan.


Susy sendiri punya pertimbangan matang untuk menerima tugas tersebut.

"Sering (untuk diminta jadi pengurus), hanya saja pada periode sebelumnya saya ingin berfokus membesarkan anak-anak saya dan usaha saya. sekarang dua anak saya sudah bersekolah di Australia dan yang paling kecil duduk di bangku SMP. Saya rasa inilah waktunya," ucap Susy.

Selain itu, selama menjadi staf ahli PBSI, Susy menjadi lebih paham perkembangan regenerasi bulutangkis Indonesia yang terseok-seok. Utamanya pada kelompok spesialisnya, tunggal putri.

Susy tak bisa lagi menahan kegemasannya untuk mencetak pemain tunggal putri yang mumpuni. Dia tak sampai hati menyaksikan juara-juara nomor ini muncul dari negara-negara yang baru mengenal bulutangkis, seperti Carolina Marin dari Spanyol. Dia ingin pemain tunggal putri Indonesia muncul lagi di deretan papan atas peringkat dunia.

Tugas yang tampaknya bakal sangat berat untuk Susy sekalipun. Peringkat para pemain tunggal putri saat ini sebagai gambaran. Selain itu, berkaca pada tataran super series laju para pemain tunggal putri tak cukup awet.

Soal itu bahkan sampai muncul kelakar sebagai campuran kritik dan kerinduan dari para jurnalis olahraga. Utamanya jurnalis media cetak atau TV yang punya halaman dan slot terbatas dalam tayangan berita. Mereka harus memprioritaskan mewartakan hasil tunggal putri dalam partai-partai awal.

"Khawatir si ini dan si anu segera tersingkir, nanti keburu mereka tersingkir dan tidak ada kabar tentang tunggal putri." Begitulah guyonan itu.

Susy menyadari tugas berat itu. Susy telah menyiapkan sejumlah rencana untuk mendongkrak prestasi semua sektor yang ada di pelatnas plus perencanaan untuk mengandeng klub dan pengprov PBSI. Termasuk barisan pelatih yang akan dipertahankan ataupun dicoret.

Juga tercantum poin-poin kerja jangka pendek dan jangka panjang. Salah satu yang krusial adalah membangun lagi pelatnas pratama. Susy akan menggodok lagi para pemain usia 15 tahun hingga 19 tahun di Cipayung.

Soal sport science, Susy telah mempunyai gambaran besar. Dengan pengalaman pernah berhubungan dengan pengembangan sport science di Jerman--kala dia menjadi atlet--, Susy akan mengombinasikan poin ini dengan pengalaman dia sebagai seorang atlet. Lagi-lagi soal teknologi, Susy biasa kerkutat karena dia juga dituntut mengembangkan raket terbaik untuk para pebulutangkis.

Rencana-rencana itu disusun Susy dalam lembaran-lembaran kertas HVS setebal 80-an halaman. Masih cukup sederhana memang. Belum ada tanggal dan durasi kerja. Juga dana yang dibutuhkan untuk mewujudkannya.

"Ini perlu bicara dengan jajaran pengurus lain," ucap perempuan bernama lengkap Lucia Francisca Susy Susanti itu.


Ya, Susy memang tak bisa bekerja sendirian. Dia butuh bidang-bidang lain agar rencana di atas kertas HVS itu bukan hanya angan-angan atau malah susunan doa.

Pengurus PBSI periode 2016-2020 juga semestinya menyadari jika langkah merekrut Susy dalam kepengurusan punya risiko lebih besar ketimbang tanpa menyertakan namanya. Bukan cuma soal prestasi bulutangkis di level dunia, tapi juga tetap menjaga nama besar Susy sebagai legenda bulutangkis yang namanya masuk dalam buku rekor dunia.

Bukan cuma terhadap pengurus Susy berharap program kerjanya mendapatkan dukungan, dia, dengan amat rendah hati, mengutarakan harapan kepada publik untuk membantu tugasnya.

"Saya meminta dukungan masyarakat Indonesia dan insan-insan bulutangkis dan mereka yang mempunyai pengalaman untuk memberikan masukan apapun. Saya berharap sekali di kemudian hari, satu atau dua tahun ada perubahan yang lebih baik, khususnya tunggal putri yang sedikit terpuruk ini bisa menelorkan bibit-bibit baru, tidak cuma menyamai saya, tapi lebih bagus lagi," tutur Susy.

Selamat bekerja, Susy!


Sabtu, 26 November 2016

Dewi Yuliawati: Dari Gubuk Muara Angke & Hampir Jadi TKW, Kini Jagoan Indonesia

Dewi Yuliawati berhasil menembus Olimpiade 2016 Rio de Janeiro lewat babak kualifikasi. Dewi tak pernah menyesal pernah ngotot menolak tawaran jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW).


Dewi tumbuh dan besar di Muara Angke, kawasan pelabuhan treadisional di Jakarta Utara. Dia tinggal berimpitan dengan orang tua dan delapan saudara dalam gubuk berukuran 3x3 meter.

Rumah itu bisa sedikit longgar saat satu per satu penghuninya berkurang. Tiga saudaranya meninggal dunia, kemudian ada yang menikah. Dewi sendiri sudah lebih sering tinggal di asrama pelatnas dayung, di Pengalengan, Jawa Barat sejak awal tahun 2016.

Kini, orang tua Dewi--Carsa dan Carkem--juga tak setiap hari tinggal di rumah itu. Mereka pulang kampung ke Indramayu, Jawa Barat.

"Emak dan bapak sudah lebih sering di kampung karena ada rencana relokasi Muara Angke. Kalau ada rencana kumpul bareng kami ke sana," kata Dewi.

Seorang alumni SMP N 261 Jakarta Utara, tempatnya bersekolah, yang juga atlet dayung membuka jalan yang mengubah jalan hidup Dewi. Saat itu, Dewi masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Dia diajak berlatih dayung bersama pelajar lain di Pusat Pembinaan Latihan Pelajar Daerah (PPLPD) DKI Jakarta.

Prosesnya tak mulus. Orang tuanya melarang Dewi berlatih. Bukan apa-apa, mereka khawatir Dewi tenggelam karena Dewi tak bisa berenang. bahkan, sampai saat ini setelah dia menjadi olimpian.

Tapi sudah terlanjur jatuh cinta dengan dayung, Dewi cuek saja. Dia tetap berlatih di Ancol, tiap sore. Ongkos angkutan umum Muara Angke-Ancol pulang pergi dibayar dengan tarif pelajar. Selain itu, kalau semestinya harus ganti tiga kali angkot, Dewi memilih untuk jalan kaki pada salah satu trayeknya. Atau sebisa mungkin dia cari tebengan saat pulang. Yang penting dia bisa bayar ongkos angkutan drai rumah ke tepat latihan.

Soal biaya angkutan ini memang cukup rumit buat Dewi. Dia harus mencari sendiri. Sudah tak mungkin lagi mint aongkos kepada orang tuanya. Untuk memenuhinya, Dewi bekerja sebagai buruh kupas kerang hijau yang banyak di kawasan tempat tinggalnya. Lumayan setengah drum besar minyak tanah dia diberi upah Rp 5 ribu.

"Kalau kerjaan enggak keburu, saya minta teman yang sama-sama latihan buat nalangin ongkosnya dulu. Kalau enggak ya nebeng," ucap dia.

Kondisi ekonomi membuat orang tuanya sesekali mengingatkan lagi agar Dewi berhenti latihan dan berlama-lama kerja. Sulitnya keuangan keluarga sampia membuat Dewi diminta untuk berhenti sekolah. Ibunya merayu agar Dewi mau jadi TKW. Dewi masih bisa menolaknya. Dia bertekad tak akan putus sekolah. Setidaknya sampai lulus SMP.

Dewi punya keyakinan, putus sekolah dan bekerja tanpa ijazah SMP tak akan menolongnya keluar dari persoalan. Dia berkaca kepada tujuh kakaknya yang paling tinggi lulusan Sekolah Dasar.

Tapi suatu ketika kondisi memaksanya untuk hampir menyerah. Ayah yang jadi tulang punggung keluarga sakit. Ibunya juga jatuh sakit beberapa hari kemudian.

Dengan ayah dan ibu yang sakit, praktis beban Dewi untuk mencari uang bertambah. Dia makin sulit untuk membayar uang sekolah dan membayar ongkos transport ke tempat latihan.

Kondisi itu membuat Dewi sering kali menangis tiba-tiba. Kekuatan ingin bersekolah membuat Dewi memberanikan diri untuk curhat kepada gurunya. Dua gurunya, Ibu Sri yang guru Bahasa Indonesia dan Ibu Endang guru PPKN, merespons positif. Mereka yang membiayai dewi sekolah. Cuma satu syarat diberikan kepada Dewi. Dia diminta tetap menekuni dayung dan berlatih keras.
Dewi Yuliawati: Dari Gubuk Muara Angke & Hampir Jadi TKW, Kini Jagoan Indonesia Foto: Matthias Hangst/Getty Images

Malah sang guru itu tak henti memotivasi Dewi dengan contoh-contoh atlet dayung yang sudah sukses lebih dulu. Beruntung buat Dewi, dia ditangani pelatih yang punya disiplin tinggi: Qurrotul Ayun di Pemusatan Latihan Daerah (Pelatda) DKI.

Dewi berhasil menjawab janji kepada sang guru SMP itu. Dewi menjadi wakil Indonesia ke Olimpiade Rio lewat jalur kualifikasi pada nomor Single Sculls (W1X). Dia lolos ke Brasil sebagai tiga besar Kejuaraan Dayung Asia-Oceania 2015 yang juga babak kualifikasi Olimpiade di Chung-Ju, Korea Selatan.

Sekolahnya juga berlanjut melebihi harapannya. Dewi mahasiswi semester 5 jurusan PGSD di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

"Emak dan Bapak juga bisa lebih santai pulang kampungnya karena saya bisa kirim uang bulanan buat mereka," ucap Dewi.

Dewi sendiri tak mau disebut pahlawan olahraga. Dia merasa belum layak karena belum bisa mengibarkan bendera Merah Putih di Olimpiade.

"Saya baru merasa bisa mewakili jajaran pahlawan olahraga kalau saya sudah bisa mengibarkan bendera Merah Putih di Olimpiade," kata Dewi.

"Gambarannya seperti pak Soekarno yang jadi idola saya. Beliau orang yang sangat gigih memperjuangkan bangsa Indonesia pada waktu itu," ucap dia.



Eko Yuli Irawan: Berteman Cedera Demi Medali-Medali untuk Indonesia

Tak perlu menanyakan arti nasionalisme kepada Eko Yuli Irawan. Tiga medali dari tiga Olimpiade beruntun menjadi bukti, meski selalu bersama deraan cedera. 

Foto: Getty Images/Lars Baron via detikSport

Cedera menjadi hal yang paing menakutkan bagi seorang atlet. Tapi Eko Yuli menganggap cedera sebagai sahabat. Tak ada gunanya dijadikan musuh.

Lifter kelahiran 24 Juli 1989, itu sadar sejak awal jika cedera adalah risiko sebagai atlet. Apalagi profesinya menuntut dia harus menelan beban angkatan ratusan kilogram selama berjam-jam setiap hari.

Maka tak ada pilihan, ketimbang dijadikan musuh lebih baik Eko Yuli berteman dengan cedera. 'Pertemanan' itu menghasilkan sukses yang luar biasa. Eko Yuli mencatat sejarah sebagai satu-satunya atlet Indonesia yang sukses menyumbangkan medali dari tiga olimpiade yang diikutinya. Ya, dari Olimpiade, multi event olahraga paling bergengsi sedunia yang digelar cuma setiap empat tahun sekali itu.

Eko Yuli melakukannya ketika meraih medali perak di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Perak. Medali yang menyimbolkan seorang atlet sebagai yang terbaik kedua di seluruh jagat raya.

Torehan itu sekaligus memperbaiki penampilannya pada dua Olimpiade sebelumnya. Eko Yuli menyumbangkan medali perunggu pada Olimpiade 2012 London dan 2008 Beijing.

Padahal penampilannya di Olimpiade disertai cedera. Selalu saja ada keraguan setiap kali Eko Yuli bakal tampil dalam ajang olahraga paling akbar sejagat itu.

Begini rentetan cedera yang sudah jadi 'kawan' Eko Yuli itu.

Sebelum tampil di Beijing 2008, Eko Yuli mengalami cedera hamstring kiri.

Menyerah? Tidak. Eko Yuli bertekad untuk menyumbangkan medali yang lebih sip lagi pada Olimpiade empat tahun kemudian.

Padahal penanganan cedera atlet di Indonesia, dari pengakuan beberapa atlet Indonesia yang hijrah ke negara lain, kurang sip. Ada yang terkait teknologi, kdang kala juga dipengaruhi pembiaraan si atlet dan pelatih.

Cedera yang sudah jadi 'teman' Eko itu kembali membekap Eko Yuli menjelang Olimpiade 2012. Pria dengan tinggi 154 centimeter itu mengalami retak tulang kering kaki kanan.

Eko Yuli kembali mendapatkan deraan cedera sebelum menuju Rio de Janeiro. Dia dibekap cedera lutut. Cedera tersebut sampai membuat dia absen dari Kejuaraan Asia Angkat Besi di Tashkent, Uzbekistan, 22-30 Mei.

Namun, bersama cedera itu perak dipersembahkan Eko Yuli dari kelas 62 kg. Dia mencatatkan total angkatan 312 kg. Emas diraih Oscar Figueroa, asal Kolombia, dengan angkatan 318 kg.

Kalau saja Eko Yuli takut dengan cedera atau menganggap musuh cedera, bisa jadi Eko Yuli akan tetap tinggal di sebuah kampung di tanah kelahirannya, Metro, Lampung.

Bisa jadi dia masih berkutat dengan kegiatan hariannya sebagai penggembala kambing. Bisa jadi Eko Yuli akan tetap menyaksikan ayahnya, Saman, dan ibunya, Wastiah, menekuni pekerjaan sebagai tukang becak dan penjual sayur.

Dari sebuah sasana angkat besi di Metro itu pula Eko Yuli mengubah kegiatannya sehari-hari. Gara-gara menyaksikan sekelompok orang berlatih angkat besi di Sasana Gajah Lampung, Pringsewu, Eko Yuli ingin coba-coba. Dia masih nyambi menggembala kambing dan berlatih.

Eko Yuli Irawan: Berteman Cedera Demi Medali-Medali untuk IndonesiaFoto: detikcom/habibi

Dari coba-coba dan restu orang tua, Eko Yuli membetot perhatian publik. Dia menjadi juara dunia junior angkat besi tahun 2007. Setelah naik kelas ke level senior, Eko Yuli terus menjadi andalan Indonesia. Bersama cederanya yang mungkin akan sulit untuk pulih total.

Untuk Indonesia Eko Yuli bersedia bersahabat dengan cederanya itu. Bahkan untuk empat tahun ke depan.

"Tidak ada atlet Indonesia lainnya yang bisa meraih tiga medali Olimpiade secara beruntun. Namun, cita-cita utama saya adalah meraih emas untuk Indonesia," kata Eko Yuli usai mendapatkan medali perak Olimpaide di Rio de Janeiro.


Jumat, 11 November 2016

Maria Natalia Londa, Lewat Lompat Jauh Jadi Ratu Asia

Maria Natalia Londa bukan berasal dari keluarga atlet. Lewat lompat jauh, gadis yang lahir dan besar di Bali itu menjadi ratu Asia dengan donasi emas Asian Games 2014.


Penampilan Londa membetot perhatian kala tampil di Asian Games 2014 Incheon, Korea Selatan. Lompatan sejauh 6,55 meter menjadikan dia sebagai atlet putri terbaik di nomor tersebut.

Londa sekaligus berhasil mengakhiri paceklik medali emas atletik di ajang tersebut sejak 1998. Saat itu, Indonesia merebut medali dari Supriyati Sutono di nomor lari 5.000 meter. Dahaga 18 tahun terbayarkan.

Lagu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih dikibarkan paling tinggi di antara negara-negara lain. Londa berucap terimakasih kepada Indonesia atas sukses tersebut.

Padahal jika disimak Londa mengasah kemampuannya dengan upaya sendiri. Bersama-sama pelatih yang menemukan kemudian memolesnya, Londa berlatih tanpa tempat khusus. Bali tak memiliki stadion dengan trek lari sintetis.

Beruntung buat Londa, kotak pasir di tanah kelahirannya, di Bali, tak terbatas. Pantai-pantai dengan pasir putih terhampar begitu saja menjadi 'tempat bermain' Londa.

Kadang kala Londa juga bermain di parkiran sebuah hotel. Seperti sebuah berkah tapi juga cukup ironis, bukan?

Emas Asian Games itu belum mampu membuka mata stake holder olahraga untuk menyediakan sarana kelas dunia di Bali. Trek sintetis baru dibangun setelah Londa memastikan tiket ke Olimpiade.

Londa pun benar-benar menjadi kontestan di sana, pada sebuah ajang olahraga terakbar yang cuma dihelat empat tahun sekali. Bukan lewat wildcard atau kuota pengganti, Londa lolos lewat kualifikasi.

Tak punya tempat latihan juga bukan dari keluarga atlet, Londa mampu membuktikan pengibar bendera Merah Putih bisa dari kalangan mana saja. Kini, kiprah Londa di lompat jauh sudah menginspirasi sepupu dan anak-anak untuk mengikuti jejaknya: menjadi ratu Asia lompat jauh.

Ya, bukan cuma soal tempat latihan yang minim. Londa juga bukan berasal dari keluarga atlet.

Ayahnya, Pamilus (almarhum), seorang desain interior. Ibundanya, Anastasia Ari Ningsih, penjahit kampung yang kadang lebih senang menyebut dirinya ibu rumah tangga.

Dalam trah keluarga besarnya yang asli Flores pun, tak ada yang berkarier sebagai atlet. "Ini semua gara-gara ayah," kata Londa mengenang masa kecilnya.

Kata Londa, ayahnya rutin mengajak dia jalan-jalan pagi. Sekitar pukul 04.00-05.00 WITA.

"Awalnya di alun-alun, terus tahu kalau ada stadion, kami jalan-jalan ke stadion," tutur perempuan kelahiran Denpasar 26 tahun lalu tersebut.

Saat pagi-pagi itu, Stadion Ngurah Rai, Denpasar itu jadi tempat latihan atlet Denpasar. Karena tak menyukai lari, Londa terdorong untuk melihat nomor-nomor lain. Lompat jauh dan lompat jangkit langsung membetot perhatian dia.


Beruntung buat Londa, dia ditangani pelatih yang mampu memoles potensi dan bakatnya dengan sip. Mereka Ali Anak Agung Alit Ardana dan I Ketut Pageh. Duet asisten pelatih dan pelatih itu kini masih menangani Londa. Londa juga tak melupakan guru olahraga yang akrab disapanya Pak Cok.

Roda telah berputar. Jalan-jalan kecil di pagi hari melewati Stadion Ngurah Rai itu menjadi awal Londa menjelajah dunia dan mengukuhkan diri sebagai ratu lompat jauh Asia. Setujukah kalau menyebut Londa sebagai pahlawan masa kini?

"Saya tak pernah menyangka disebut-sebut sebagai pahlawan olahraga. Yang saya tahu, ponakan-ponakan saya jadi mau menekuni atletik," tutur Londa merendah.

Saat ditanya soal sosok pahlawan idolanya, apa jawaban Londa? "I Gusti Ngurah Rai karena dia kan pahlawan dari Bali. walaupuan saya dari Flores tapi banyak hal di Bali yang bikin saya jadi seperti ini sekarang," ucap dia.

Kamis, 10 November 2016

Emilia Nova, Penjaga Estafet Lari Gawang Putri Indonesia

Dedeh Erawati mulai turun di ajang Masters. Sang penerus sudah menyodok dan siap mengemban tugas. Dia Emilia Nova.


Perawakannya langsing. Kakinya jenjang. Rambutnya dicat pirang. Sedikit kenes. Penampilannya kekinian.

Kalau sudah membuka T-shirt dan tinggal mengenakan brasport, lengannya terlihat kencang. Perutnya juga sixpect.

Dia bukan model. Cewek itu, Emilia, atlet atletik DKI Jakarta. Nomor spesialisasinya sapta lomba dengan keistimewaan pada 100 meter lari gawang.

Sebuah bukti dipertontonkan Emilia saat tampil pada Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 di Stadion Cibinong, Bogor. Penampilannya membetot perhatian publik kala meraih emas sapta lomba. Bukan cuma berhasil mendonasikan emas, tapi dia sekaligus mencetak rekor baru yang dikuasai Rumini selama 23 tahun.

Cuma itu? Tidak. Emilia juga memecahkan rekor PON milik Dedeh Erawati dari lari 100 meter gawang di nomor sapta lomba itu. Dalam perlombaan tersebut Emilia membuat catatan waktu 13,52 detik.

Belum selesai. Emilia kembali membuat catatan apik saat babak penyisihan di nomor lari 100 meter lari gawang sehari kemudian. Dia sudah membuat rekor PON dengan catatan waktu 13,50 detik untuk menyelesaikan lintasan. Saat tampil di babak final, Emilia bisa makin cepat. Catatan waktunya 13,35 detik di babak final. Dedeh, ratu nasional, di nomor itu ada di peringkat kedua.

"Mungkin orang berpikir saat itu saya pasti capek karena turun di sapta lomba dan nomor gawang. Tapi saya itu tipe orang yang semakin capek malah bagus," kata gadis kelahiran Jakarta, 20 Agustus 1995 itu.

Sukses Emilia menjadi sebuah harapan baru bagi lari gawang putri nasional. Sebab, Dedeh yang selama ini jadi tumpuan, mulai berumur. Bagus jika keduanya bisa bersama-sama jadi andalan Indonesia ke ajang internasional.

Kalau toh waktu Dedeh untuk gantung sepatu tiba, Emilia sudah makin matang dan siap meneruskan tongkat estafet sang ratu. Dedeh memang belum berpikir pensiun, namun faktanya dia mulai terjun di ajang Masters yang jadi tempat berlomba para atlet atletik veteran.

***

Emilia yang memang menyukai tekanan dan tantangan tak keberatan dengan tugas tersebut. Sejak awal keluarga memang sudah membiasakan dia untuk berkompetisi di olahraga, meskipun tak ada saudara yang berprofesi sebagai atlet.

Ayahnya, Zainur, akrab dengan olahraga karena hobi. Makanya Emilia juga sudah familiar dengan bermacam-macam kegiatan olahraga.

"Ayah itu hanya hobi olahraga saja. Jadi waktu saya kecil sering diajak lari, joging. Juga dikenalkan kepada taekwondo," kata Emilia.

Prestasinya di cabang olahraga taekwondo cukup menjanjikan. Emilia pernah juara se-Jabodetabek.

"Tapi kata ayah tidak perlu dilanjutkan karena cabang olahraga ini tidak fair. Penilaiannya cenderung subjektif," tutur Emilia menirukan sang ayah.

Dengan pertimbangan itu, Emilia dijuruskan ke nomor lari. Sejak 2010, Emilia memutuskan pindah cabang olahraga.

Latihan sih bukan masalah buat Emilia. Tapi soal senioritas sempat bikin Emilia keki. Lolos seleksi mewakili sebuah klub untuk ajang se-DKI Jakarta, dia dianggap tak layak oleh seniornya. Namanya tak masuk tim dan diganti atlet dengan hasil seleksi di bawah dia.

Untungnya persoalan itu tak bikin Emilia dan ayahnya kapok. Bersama ayahnya, Emilia mencari klub yang bisa menampungnya untuk latihan dan bisa mengantarnya untuk ikut kejuaraan. Mereka memutuskan untuk bergabung dengan klub Meteor.

Dua bulan latihan, Emilia membuktikan diri mampu menjadi yang terbaik se-DKI saat usianya menginjak 15 tahun.

Sebuah latihan di Stadion Madya, Senayan, Jakarta membuka jalan Emilia ke pelatnas. Ketua Umum PB PASI, Bob Hasan, langsung kepincut kepadanya. Melihat potensi Emilia, lewat ayahnya, Bob Hasan minta agar Emilia bisa dididik di Senayan. Tawaran itu diiyakan. Emilia dipoles di nomor jarak pendek.

Tapi rupanya karier di nomor 100 meter tak bagus. Selama dua tahun berlatih dan turun dalam turnamen, Emilia tak mampu bicara banyak. Dia kemudian pindah nomor. Emilia memilih 100 meter lari gawang.

Dua minggu latihan, Emilia diturunkan pada kejuaraan di Nusa Tenggara Timur bersama Dedeh. Dia lolos posisi empat dengan catatan waktu yang lumayan.

Dari situ, Emilia merasa menemukan jalan yang tepat. Pembuktian dibuat pada Jatim Open dan kejuaraan remaja dengan pecah rekor remaja. Sayang, saat itu pencatat waktu elektronik mati sehingga rekornya tidak diakui. Di siis lain ada berkah. Dengan penampilan di Jatim Open itu, Emilia lolos PON 2012. Meski pada saat perlombaan hanya mampu finis di posisi empat.

Karier di atletik diikuti bertambahnya usia. SMA lulus dia pun kuliah di Universitas Negeri Jakarta. Di UNJ itulah emilia berjumpa dengan seniornya, yang saat ini menjadi pelatihnya, Fitri Haryadi. Bersama dia, Emilia digembleng soal teknik berlari yang benar.

"Dia melihat teknik lari saya. Katanya jelek. Akhirnya saya dibantu dia, teknik lari segala macam. Lalu di Kejurnas senior dapat perak," tutur Emilia.

Tahun berikutnya, Emilia mencoba nomor baru yaitu sapta lomba. Meski belum dibilang spesialis, namun dia nekad ikut lomba dan juara 1 pada Agustus 2014.

"Bulan Desember saya ikut pekan olahraga mahasiswa se-asia tenggara di Palembang, di nomor gawang saya dapat emas, sedangkan nomor sapta lomba dapat perak. Nah di gawang itu, sebelum saya lari di sapta lomba 14,26 detik. setelah itu saya lari di sapta lomba 13, 69 detik. Pecah rekor junior dari catatan waktu Agustine Bawele 14, 10 detik," kenang dia.

Menjelang SEA Games 2015 Singapura namanya masuk daftar atlet timnas. Emilia menyudahi ajang itu dengan finis di posisi empat dengan catatan waktu 13, 78 detik.

"Jadi sebulan jelang SEA Games itu antara Februari sampai Mei saya harus berkutat dengen cedera. Makanya efektif latihan baru sebulan. Sempat putus asa juga tetapi saya mencoba bangkit sampai akhirnya sembuh," kenangnya.

Dorongan motivasi dari pelatih dan keluarga, akhirnya membuat kepercayaan diri Emilia terus bangkit. Dua bulan, Emilia turun di Kejurnas untuk sapta lomba, dan poinnya naik lagi.

"Akhir tahun saya ikut perlombaan di Aceh, saya turun tiga nomor dan dalam sehari saya bisa empat kali lari. lari gawang dua kali dan lari 200 meter dua kali. Mungkin lelah ya, jadi saya kena cedera hamstring lagi selama lima bulan dari Desember 2015 sampai April 2016 itu. Karena merasa sudah sembuh, bulan berikutnya, saya ikut bertanding ini untuk meningkatkan kepercayaan diri saya."

Ini penting. Sebab, Emilia sendiri sudah dinanti PON 2016. Tekadnya besar meski hanya punya waktu tiga bulan berlatih. Tetapi dia berhasil membuktikannya.

"Saya cuma berpikir jika kita bersungguh-sunguh latihan disiplin pasti ada hasilnya. Bakat itu akan kalah dengan yang rajin karena kalau bakat tidak diasah atau digunakan maksimal. Ya tidak bisa juara."

Emilia memang tidak mau berpuas diri hanya dengan menjadi yang terbaik di level nasional. SEA Games 2017 menjadi target jangka pendeknya. Dia akan turun di nomor sapta lomba dan 100 meter lari gawang.

"Di nomor gawang itu yang ditingkatkan start gawangnya. Kalau ingat PON kemarin, saya itu masih kalah dari mba Dedeh dari gawang pertama sampai kelima. Dawang ke enam mulai sama, lalu gawang ketujuh saya bisa salip. Jadi antar gawangnya harus dipercepat," kata dia.

Kemudian catatan waktu dari setiap lompatan ke gawangnya. Disebutkan Emilia, catatan waktunya masih 1,07 detik di setiap gawangnya. Sementara jika ingin dapat catatan waktu lari 13,00 detik. Emilia harus melompati di setiap gawangnya minimal 1,02 detik.

"Begitu dengan teknik lari juga masih harus diperbaiki karena gawang perempuan kan pendek, jadi harus mendukung lari sprintnya. Beda sama yang cowo gawangnya tinggi, jadi lompatan dan sprint harus bagus."

"Ya, Insyallah pecah rekor nasional di gawang di SEA Games nanti dan pecah rekor lagi di sapta lombanya. Setelah itu fokus Asian Games 2018 dan Olimpiade 2020," pungkasnya.

***
Biodata
Nama: Emilia Nova
Jakarta, 20 Agustus 1995
Anak pertama dari 2 bersaudara
Ayah : Zainur
Ibu : Delvia
Klub :
Meteor 2010
FMM 2016

Prestasi :
Juara 100 meter gawang di Asian University Games 2014 di Palembang dan Singapura 2016
Juara nomor 100 meter lari gawang U-21 Vietnam 2013
Runner-up Sapta lomba Asean University Games 2014
Juara 1 4x100 meter Hong Kong Open 2016
Runner-up 4x100 meter Vietnam Open 2016
Runner-up 100 meter lari gawang Singapura Open 2015
Juara 1 100 meter gawang ANQ track n field championship townsville, Australia

Tontowi/Liliyana: Pahlawan dari Arena, Wakili Toleransi

Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir menjadi pahlawan ketika Indonesia tampil di Olimpiade 2016 Rio de Janeiro. Mereka sekaligus mewakili toleransi. 


Ketika perbedaan suku, agama, dan ras dijadikan cara untuk memecah belah negara ini, duo pebulutangkis kita mempunyai cara sendiri untuk mengajak bersatu. Mereka menunjukkan kalau Indonesia punya kekuatan raksasa di kancah dunia.

Dua pemain itu, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Rentetan prestasi bagus di level dunia sudah dibuktikan oleh mereka. Puncaknya ketika Owi/Butet--sapaan karib Tontowi/Liliyana--mempersembahkan kado medali emas Olimpide 2016 Rio de Janeiro pada HUT RI ke-71. Ganda campuran terbaik tanah air itu menyatakan dengan tegas kalau Indonesia tak bisa dikalahkan.

Bermain di babak final, mereka menundukkan pasangan Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying dengan skor 21-14, 21-12. Apa yang mereka lakukan untuk merayakan kemenangan? Kompak mereka berlari ke arah pelatih, memeluk kemudian mengambil bendera Merah Putih dan membawa berkeliling bendera itu.

Kemudian lagu Indonesia Raya berkumandang. Bendera Merah Putih dikerek paling atas dalam upacara penerimaan medali di Riocentro Pavilion 4, Rio de Janeiro. Owi/Butet mengangkat tangan memberi hormat. Keharuan tak bis aditutupi. Apalagi itulah satu-satunya emas yang didapatkan Indonesia di Olimpiade Rio.

"Saya bersyukur kepada Allah SWT. Inilah kado terindah bagi kami dan untuk seluruh masyarakat Indonesia di Hari Kemerdekaan ini, terima kasih atas segala dukungannya," kata Tontowi.

Medali emas Tontowi dan Liliyana itu bukan cuma membuat mereka dianggap sebagai pahlawan olahraga. Mereka dinilai mewakili arti toleransi.

Tontowi dan Liliyana memang berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Tontowi Jawa totok, sedangkan Liliyana lahir di Manado dan keturunan Tionghoa.


Cara mereka mengucapkan syukur pada tiap poin yang didapatkan pun berbeda. Owi yang beragama Islam akan mengangkat tangan dan mengusapkannya ke wajah. Sementara Liliyana bersyukur dengan cara Katolik. Semua terjadi di atas lapangan hijau.

Semua itu bergabung dalam kerja keras, wadah yang tepat, dan tangan dingin barisan pelatih di pelatnas PBSI sejak 2010. Mereka juga mewakili keberagaman Indonesia. Adalah Richard Mainaky--pelatih ganda campuran pelatnas PBSI--yang memasangkan keduanya. Iya, Richard juga beda suku. Dia orang Ternate.

Siapa asisten Richard? Selama membesut Owi/Butet, Richard didampingi Nova Widianto, seorang Jawa tulen.

Kalau menurut Butet apa arti pahlawan?

"Pahlawan adalah anak bangsa yang bisa mengharumkan nama bangsa dengan prestasi luar biasa di bidang apapun."

Sepakat, kan kalau Tontowi dan Liliyana mewakili pahlawan masa kini dengan sukses mereka mengibarkan bednera Merah Putih pada podium tertinggi di turnamen-turnamen internasional? Juga mewakili arti toleransi?

Kamis, 03 November 2016

Sarengat Punya Pengalaman Pahit dengan Narkoba

Muhammad Sarengat sukses menorehkan tinta emas sebagai manusia tercepat Asia. Tapi dia juga punya sisi kelam pernah gagal sebagai orang tua karena narkoba. 

 Foto: Jawa Pos

Selasa, 28 Oktober nanti tak hanya istimewa bagi Sarengat. Di tanggal yang berbarengan dengan Sumpah Pemuda itu, dia tepat berusia 68 tahun. Selain itu, Sarengat diingatkan pada sebuah kegagalan seorang ayah mendidik anaknya.

Kehidupan bukanlah ilmu matematika dengan 1 + 1 = 2.  Dengan gelar dokter, yang tentu dibekali pengetahuan kesehatan termasuk bahaya narkoba, Sarengat tak bisa mencegah anak bungsunya, Muhammad Landung Setyoutomo Suryoputro, terjerat di dalamnya.

“Kalau hanya berpatokan malu, saya tidak mau bercerita.  Tapi, ini kenyataan dan harus menjadi pelajaran bagi yang lain. Saya gagal menjadi orang tua sekaligus dokter waktu itu,” ujar Sarengat.

Sarengat tak menampik masa-mas aitu begitu berat dijalani. Bukan cuma rasa malu, tapi bagaimana cara untuk merehabilitasi sang putra.

Baca Juga: 'Namaku Sarengat', Autobiografi Manusia Tercepat Asia yang Cuma Tersimpan dalam Almari

Ya, harga dirinya sebagai dokter seperti dipertaruhkan.  Beruntung setelah melewati rehabilitasi, Landung sembuh dan kembali masuk dalam kehidupan normal.

Dari pengalaman pahit itu, Sarengat mendapatkan inspirasi lain. Dia tak ingin ada anak-anak muda lain yang jadi korban narkoba.

Pria yang pernah tercatat sebagai manusia tercepat Asia tersebut mendirikan Sport Campus Wijaya Kusuma, pusat rehabilitasi pecandu narkotika, pada tahun 1999. Hingga kini, dia menjabat sebagai ketua yayasan Wijaya Kusuma.

Dengan yayasan itu Sarengat ingin agar keluarga adalah faktor terpenting untuk si korban agar bisa terbebas dari jeratan narkoba.

Baca Juga: Bisikan Presiden Soekarno yang Memacu Mohammad Sarengat Jadi Manusia Tercepat Asia

Tapi tak banyak yang menyadarinya. Biasanya, keluarga--yang seharusnya bisa menyelamatkan korban narkoba--malah turut melarikan diri. kalau tidak  mempercayai kenyataan, ya malah menyembunyikan si korban karena gengsi.

“Tragisnya kalau sudah over dosis dan berakibat kematian, baru nyadar,” keluh Sarengat.

bersama Landung, Sarengat gencar mencari terobosan-terobosan baru untuk mendukung penyembuhan. Therapeutic Community menjadi metode penyembuhan yang diterapkan di SCWK. Metode itu mengambil prinsip dasar membantu diri sendiri dengan membantu orang lain.

Baca Juga: Tentang Muhammad Sarengat yang Pernah Berpredikat Manusia Tercepat Asia

Selasa, 01 November 2016

Pilih Gita yang Sudah Beri Bukti atau Jendral Baru untuk PBSI?

Dua nama muncul sebagai calon ketua umum PBSI periode 2012-2016, Gita Wirjawan dan Wiranto. Pilih siapa?


Sosok militer dalam tampuk kepemimpinan PBSI bukanlah pengalaman baru bagi induk organisasi tepok bulu Indonesia. Sebelum Gita Wirjawan, PBSI dipimpin oleh Panglima Djoko Santoso.

Semasa kepemimpinan Djoko, boleh dibilang PBSI menjalani masa kegelapan prestasi. Tradisi emas Olimpiade terhenti, juga untuk pertama kalinya Piala Thomas gagal ke semifinal.

Atmosfer di pelatnas juga kurang sip. Ketua umum cuma sekadar 'pajangan'. Kesibukan dalam tugas kenegaraan seorang panglima membuat peran sekretaris jenderal PBSI lebih menonjol. Kala itu sekjend dijabat oleh Ketua mum Pengprov PBSI Jawa Timur, Jacob Rusdiyanto.

Kini, PBSI membuat langkah serupa. Memunculkan calon ketua umum seorang jenderal yang juga menjabat sebagai menteri koordinator. Dengan tradisi pemilihan ketua umum PBSI yang pada akhirnya dipilih secara aklamasi dan mendukung calon baru yang muncul, maka bisa terbaca ketua umum nanti adalah Wiranto yang seorang jenderal dan menko polhukam.

Maka menjadi sebuah hal yang wajar, kan kalau banyak yang mereka-reka potensi ketua umum sebagai pajangan akan berulang lagi?

Padahal zaman sudah berubah. Kerja ketua umum PBSI di masa kini sudah tak bisa disambi. Apalagi dengan jabatan menko polhukam yang tengah diberi tugas untuk memberantas pungutan liar, juga agenda demo besar pada 4 Oktober nanti.

Ya, PBSI mau tak mau harus berubah. Tak bisa lagi kerja setengah-setengah. Turnamen yang berderet-deret, di level elite dan lapisan di bawahnya. Belum lagi ajang beregu setiap tahun berselang-seling Piala Thomas Uber dan Piala Sudirman. Juga multievent SEA Games, Asian Games dan Olimpiade.

Dengan sejarah juara, tentunya Indonesia tak cuma bisa mengirim atlet dan pulang dengan tangan kosong, sekadar jadi penggembira istilahnya. Kondisi itu dipahami benar oleh pengurus provinsi.

"Tuntutan seorang ketum PBSI sangat tinggi saat ini. Sebagai gambaran kita jadi runner-up saja sudah dianggap gagal," ucap Wijanarko Adi Mulya, ketua umum Pengprov PBSI Jawa Timur.

Belum lagi tuntutan pengurus provinsi yang selalu ingin diperhatikan. Kok bisa?

Ya, fakta di lapangan sebelum Munas dan pada Munas di Surabaya perhatian ketua umum ini terus didengungkan, selain soal desentralisasi, oleh pengprov peserta Munas.

Pengprov-pengprov PBSI menyatakan ketidakpuasan atas kinerja kabinet Gita soal minimnya kehadiran ketua umum atau sekretaris jenderal pada acara di daerah. Di antaranya, kehadiran Gita atau Anton Subowo dalam pembukaan sirkuit nasional yang diputar di daerah dan pelatikan pengurus provinsi.

Dua poin itu memang kurang dipraktikkan Gita dalam masa kepengurusan. Dua poin itu pula yang dibuat pendukung Wiranto untuk melemahkan Gita.

Dalam laporan pertanggungjawabannya kepada pengurus PBSI yang dibacakan Minggu (31/10/2016) pagi, Gita mengunggulkan tiga aspek kepengurusannya. Pertama soal sistem kontrak pemain, dari kolektif menjadi individu. Kemudian akuntabilitas keuangan organisasi dan regenerasi.

Pengprov PBSI menerima laporan itu dan memujinya.

Nah, menilik dua calon yang muncul, boleh dibilang Gita memiliki waktu lebih senggang. Dia tak lagi terlibat dalam partai politik. Gita juga tak memegang jabatan apapun dalam pemerintahan. Soal manajerial dan lobi-lobi sponsor Gita sudah membuktikan dengan menghidupi PBSI lewat dana swasta, bukan menyusu kepada pemerintah.

Selain tiga aspek yang disebutnya dalam laporan pertanggungjawaban itu, Gita bikin gebrakan: membuat PBSI lebih modern dan kekinian. Informasi perkembangan prestasi PBSI bisa dengan mudah didapatkan lewat website Badminton Indonesia, twitter, dan instagram mereka, kan?

Memang kebijkan PBSI tak melulu bikin pro, satu kebijakan pelatnas PBSI yang hanya membolehkan media melongok pelatnas pada hari Rabu dan Jumat sempat dikritik. Juga ketika Gita sempat menghilang usai mengikuti konvensi Demokrat.

Tapi ya itu tadi, faktanya 33 pengprov--1 pengprov sebagai peninjau--menerima dengan pujian kinerja Gita selama empat tahun ini.

Coba tanya kepada atlet lebih senang mana, kontrak individu atau kolektif? Perubahan sistem kontrak pemain itu bisa dikembangkan semasa kabinet Gita setelah mereka membuka diri kepada beberapa produsen apparel untuk menjadi sponsor pribadi skuat pelatnas, juga sponsor PBSI. Sebelumnya PBSi hanya membolehkan satu apparel sebagai sponsor PBSI. PBSI lah yang mengolah dana untuk operasional dan kontrak atlet.

"Diibaratkan membangun rumah, Pak Gita sudah berhasil membuat bangunan setengah jadi, tinggal atap yang belum," tutur salah satu peserta pengprov.

Soal regenerasi dan kaderisasi, Gita juga berhasil membawa pulang pelatih-pelatih top Indonesia yang menangani negara lain. Seperti Rexy Mainaky yang kini menjabat ketua bidang pembinaan dan prestasi, juga Eng Hian dari Singapura yang berhasil mengangkat prestasi ganda putri. Selain itu. kabinet Gita telah berhasil mengajak mantan-mantan pemain, seperti Susy Susanti untuk masuk dalam kepengurusan.

Boleh dibilang Gita berhasil membuat PBSI tak menyusu kepada pemerintah.

perkembangannya kini dalam Munas, pengurus provinsi malah berharap mereka mendapatkan back up yang kuat dari orang pemerintahan. Apalagi kalau bukan soal dana biar lebih lancar?

Sebuah pemikiran yang mundur dengan ingin menyusu lagi kepada APBN atau APBD.


Selain itu, kesibukan Wiranto sebagai Menko Polhukam tak djadikan soal. Mereka tetap optimistis bisa didampingi oleh Wiranto setiap kali ada pelantikan atau pembukaan sirnas.

Tampak ada standar ganda kepada Gita dan Wiranto, bukan?

"Dengan kedudukan beliau yang sekarang tentu mencari sponsor akan lebih mudah karena pembinaan tanpa anggaran yang besar, olahraga tidak akan berkembang. Makanya kami meminta Pak Wiranto untuk menjadi ketum PBSI. Itu alasannya," kata TB Herman, ketua pengprov Aceh, yang menjadi salah satu provinsi yang turut dalam tim sukses Wiranto.

Padahal posisi Wiranto sudah disoal oleh Menteri Pemuda dan Olahraga imam Nahrawi. Dia mengingatkan agar cabang olahraga prioritas, termasuk bulutangkis, dipimpin oleh seorang ketua umum yang siaga 24 jam.

Sementara itu, Wiranto tengah menjabat sebagai menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan. Yang kini kinerjanya tengah diuji untuk membersihkan pungutan liar lewat paket kebijakan hukum. gkis tak jadi pekerjaan sambilan.

"Ini peringatan karena target ke depannya sangat berat maka dibutuhkan orang yang benar-benar bisa siaga 24 jam untuk mengurus atlet. Jangan sampai fokusnya terganggu maka itu butuh orang yang kerjanya tidak disambi," ucap Imam.

***

Ditulis sebelum pemilihan ketua umum PBSI 2016-2020
Surabaya, 31 Oktober 2016


Jumat, 28 Oktober 2016

'Namaku Sarengat', Autobiografi Manusia Tercepat Asia yang Cuma Tersimpan dalam Almari

“Namaku Sarengat”. Sebuah autobiografi yang ingin sekali diterbitkan Muhammad Sarengat, manusia tercepat Asia dari Indonesia. 

(Foto: Jawa Pos)

Sarengat menorehkan prestasi menawan pada Asian Games 1962 di Jakarta. Dia menjadi manuasi tercepat dengan meraih medali emas nomor 100 meter sekaligus memecahkan rekor di nomor tersebut.

Sarengat kemudian sekolah kedokteran dan masuk tentara. Namanya diabadikan sebagai nama stadion di kota tempatnya tumbuh besar, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Nah agar kisah hidupnya itu tak terlupakan begitu saja, Sarengat merekamnya dalam tulisan. Dia terobsesi untuk menerbitkannya sebagai autobiografi. Tulisannya sudah selesai. Dengan kertas kuarto tulisannya setebal 200 halaman.

Awalnya, autobiografi itu diberinya judul: Emas Untuk Bangsa. Tapi di tengah jalan dia berubah pikiran.

“Tapi setelah dipikir-pikir rasanya kok tidak cocok karena tak hanya saya yang mendapatkan emas. Sudah banyak atlet lain yang leboiih berprestasi,” ungkap Sarengat.

Dari perenungannya, Sarengat memilih kalimat yang lebih sederhana dan langsung mengacu kepadanya.

Alasan lain Sarengat memilih judul 'Namaku Sarengat' adalah ada tulisan dengan judul serupa dalam buku yang disusunnya secara mencicil sejak 1992 tersebut.

Baca Juga: Bisikan Presiden Soekarno yang Memacu Mohammad Sarengat Jadi Manusia Tercepat Asia

Sarengat memberi bocoran sedikit dalam bab itu. Muhammad Sarengat, menurut Sarengat kecil, bukanlah nama yang lumrah, tidka banyak anak kecil seusianya yang mempunyai nama seperti itu. Dia pernah menyimpan perasaan ingin sekali ganti nama. Pokoknya sal jangan Sarengat.

“Waktu itu saya tidak tahu apa maknanya. Kok saya diberi nama itu,” ucap Sarengat dengan nada tanya.

Pertanyaan itu terus mengganggunya. Dalam perjalannannya, Sarengat pun menanyakan kepada sang ayah, Prawirosuprapto.

Jawaban sang ayah membuat dia terkejut. Ternyata Sarengat mempunyai makna mendalam.

Menurut sang ayah nama itu adalah pemberian kakek Sarengat. Sebab Prawirosuprapto sendiri menyiapkan nama berbeda. Karena lahir pada tanggal 28 Oktober, Prawirosuprapto memberi nama M. Ramelan.

"Tapi kakek tak setuju dengan nama itu, karena sebagai cucu pertama sudah seharusnya mendapatkan nama yang istimewa. Kakek memberi nama Sarengat. Itu dari bahasa Arab sare’at yang bermakna hukum agama," tutur Sarengat.

Masih ada kisah lain dalam autobiografi itu. Sayang, saya tak sempat membacanya. Sarengat tak membawa buku itu saat kami berjumpa.

Baca Juga: Tentang Muhammad Sarengat yang Pernah Berpredikat Manusia Tercepat Asia

Selain itu. perjalanan hidup Sarengat lainnya bisa jadi akan tetap tersimpan dalam laci di salah satu almari rumahnya. Sebab, hingga dia menutup mata, tulisan itu tak pernah terbit.

“Belum ada sponsor,” ungkapnya pendek.

padahal lewat biografi itu, Sarengat ingin sekali berbagi pengalaman kepada orang lain, utamanya kepada atlet-atlet muda jaman sekarang.

“Bahwa saya pernah memiliki prestasi untuk negeri ini,” ungkapnya diplomatis.

Memang cukup minim atlet Indonesia yang memiliki biografi.  Tercatat baru ada atlet bulu tangkis yang rajin membukukan perjalanan prestasinya.

Terakhir, taekwondoin wanita Juana Wangsa Putri telah merangkum kehidupannya dari mengenal taekwondo hingga menjadi pelatih saat ini.

“Mudah-mudahan ada sponsor yang mau melirik,” tukas penyuka tempe goreng ini.

***

Obrolan dengan itu sudah terjadi delapan tahun lalu,  saat Sarengat masih sehat. Dia menawarkan wawancara di kawasan Hang Tuah, Jakarta Selatan, di sebuah restoran kecil dengan ruang praktik milik dia di ruang lainnya. Dia masih nyetir sendiri waktu itu.

Saya tidak tahu apakah akhirnya autobiografi tersebut terbit atau tidak. Dari antauan di toko buku sih saya tak pernah menemukannya.

Mumpung mau Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang, saya berharap biografi itu bisa muncul ke permukaan dan tak hanya dibiarkan berdebu.



Kamis, 27 Oktober 2016

Tentang Muhammad Sarengat yang Pernah Berpredikat Manusia Tercepat Asia

Muhammad Sarengat telah tiada. Tapi torehan prestasinya untuk Indonesia sebagai manusia tercepat Asia belum tergantikan.


Sarengat lahir di Banyumas, Jawa Tengah pada 28 Oktiber 1940. Dia meninggal 13 Oktiber 2014. bapak tiga anak itu sudah menderita stroke sejak 2010. Saat masuk rumah sakit Pondok Indah di bulan Oktober itu, Sarengat menghembuskan nafas terakhirnya.

Muhammad Sarengat

Lahir: Banyumas, 28 Oktober 1940
Isteri: Nani Supatmiani Titi Utari, 62 tahun
Anak:
- Retnosari Meidysina Setyorini, 39 th
- Dwi Ratnasari Setyoutsmi, 35 th
- Muhammad Landung Setyoutomo Suryoputro, 30 th

Pendidikan

- SDN 1 Batang
- SMPN 1 Pekalongan
- SMA Budi Utomo, Jakarta
- Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
- Magister Universitas Ora et Labora

Baca Juga: Bisikan Presiden Soekarno yang Memacu Mohammad Sarengat Jadi Manusia Tercepat Asia

Prestasi

- 2 emas, 1 perunggu Asian Games IV/1982 Jakarta
- 1 emas Ganefo 1963

Penghargaan

- 1967 Satya Lencana Kebudayaan
- Termasuk 100 atlet legendaris indonesia versi KONI

Karir

- Dokter pribadi wakil presiden Sultan Hamengkubuwono IX (1973-1978)
- Dokter pribadi wakil presiden Adam Malik
- Ketua Bidang pembinaan PB PASI
- Sekjen KONI Pusat
- Direktur Operasi Badan Pengelola Gelora Bung Karno

Baca Juga: 'Namaku Sarengat', Autobiografi Manusia Tercepat Asia yang Cuma Tersimpan dalam Almari

Favorit Sarengat:

Makanan

“Bapak tidak rewel soal makan. Tempe goreng dan sayur lodeh adalah makanan kesukaannya.”

Musik

“Saya tidak begitu suka musik jazz, tetapi kalau liriknya melankolis saya akan bisa menyukainya. Jangan salah saya sangatmenyukai Nidji dan Ungu yang sedang tren sekarang.”

Peliharaan

“Berganti-ganti, dari ayam kate, ikan nirwana, sampai anthurium.  Yang penting bisa nambah penghasilan.”

Olahraga

“Sekarang tinggal jogging saja.  Sebab setelah stroke saya sudah tidak lagi kuat melakukan membawa-bawa stik golf.”



Kamis, 13 Oktober 2016

Bisikan Presiden Soekarno yang Memacu Mohammad Sarengat Jadi Manusia Tercepat Asia

Mohammad Sarengat membawa harum nama Indonesia di era 1960-an. Dia sukses membawa Merah Putih berkibar di Asian Games IV/1962 di Jakarta sebagai manusia tercepat Asia. 

(Foto: Jawa Pos)

Tidak sulit bikin janji dengan Sarengat. Tempat yang dipilihnya juga tak jauh dari Senayan, tempat kami biasa kongkow saat liputan: di sebuah kedai di Jl. Hangtuah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sarengat bilang kedai itu milik istrinya. Jadi mau ngobrol dalam durasi berapa lamapun tidak akan sungkan. Selain itu, dia menjanjikan sajian istimewa yang jadi menu andalan di kedainya itu: "risolnya enak lho," tutur dia.

Sesuai hari dan jam yang disepakati, kami berjumpa di kedai itu. Untuk ngobrol sekaligus foto-foto.

Selain ngobrol soal profesi dokter dan tentara, obrolan juga bergulir soal masa jayanya sebagai atlet. Sarengat yang seorang manusia tercepat Asia.

Namanya harus dan tercatat sebagai salah satu atlet top nasional. Oleh Komite Olahraga Nasional indonesia (KONI) Sarengat dimasukkan dalam 100 atlet legendaris. Ada enam atlet atletik yang ada dalam buku itu. Sarengat disebut sebagai atlet yang paling sukses di Asian Games.

Tinta emas itu tak terukir begitu saja. Ada sebuah prestasi yang membuat nama Sarengat bisa amat melegenda. Ya, Sarengat adalah peraih emas Asian Games IV/2962 di Jakarta.

Baca Juga: 'Namaku Sarengat', Autobiografi Manusia Tercepat Asia yang Cuma Tersimpan dalam Almari

Begini kisahnya.

Sebuah keputusan mengejutkan diumumkan Presiden Soekarno. Pemerintah Republik Indonesia mengajukan diri menjadi tuan rumah Asian Games IV/1962. Keinginan itu diungkapkan di hadapan anggota OCA (Olympic Council of Asia).

Bukan cuma bikin kaget para anggota OCA, para atlet Indoensia juga tak percaya.

"Lha, saya sebagai warga negara Indonesia saja tidak percaya, apalagi orang lain," kenang Sarengat.

Menurut pria kelahiran Banyumas, 28 Oktober 1940 itu, kesanggupan Soekarno menjamu negara-negara Asia merupakan mission imposible. Bukan cuma soal fasilita solahraga yang dimiliki Indonesia, tapi para atlet yang berstatus atlet elite Indonesia, termasuk Sarengat, tak pernah mengikuti turnamen internasional.

"Apalagi menggelar even internasional," imbuh bapak tiga anak itu.

Rupanya, tak hanya bermodal tekad dan semangat untuk menggelar Asian Games. Soekarno membuka kepercayaan publik dengan menjaring dana dri rekanan negara lain. Proses berikutnya pemerintah membangun stadion, termasuk kompleks Gelora Bung Karno. Persiapan para atlet juga digenjot.

Media-media nasional merekam tahap demi tahap pembangunan GBK. Juga persiapan para atlet menjelang Asian Games itu.

"Kok ya bisa berhasil dan Stadion Gelora Bung Karno di Senayan itu akhirnya bisa dibangun," beber pria yang tepat 28 Oktober nanti berusia 68 tahun itu.


Kerja keras Soekarno membangun kompleks olahraga modern di Senayan itu memacu para atlet untuk menyadari bahwa mereka mempunyai tugas mengukir prestasi dari bangunan megah itu.

Mereka seperti ditodong pertanyaan: bisakah ada prestasi indah tercipta dari keringat-keringat anak-anak bangsa?

Dari sana tumbuhlah iklim kompetisi di antara para atlet. Sarengat bersama atlet-atlet tanah air bersaing memperebutkan tempat di tim nasional. Mereka berteka duntuk bisa mewakili Indoensia di markas sendiri.

Sarengat berhasil membuktikan diri sebagai atlet terbaik di nomor dasa lomba. Dari sepuluh nomor dasa lomba, Sarengat selalu menunjukkan diri kalau dia lah yang nomor satu pada lari 100 meter, 200 meter, 110 gawang, lempar lembing, hingga lempar cakram.

Baca Juga: Tentang Muhammad Sarengat yang Pernah Berpredikat Manusia Tercepat Asia

Sudah bisa menjadi yang paling jagoan pada nomor dasa lomba, tantangan datang lewat bisikan Bung Karno. Ya, tantangan, bukan janji bonus semata.

"Sarengat, rakyat minta bukti karena selama ini kamu diberi makan. Hanya kamu yang berpeluang menyumbangkan emas dari stadion utama ini," ucap Sarengat menirukan kalimat Bung Karno.

Bisikan itu direspons positif oleh Sarengat. Sprinter Sarengat menyumbangkan dua medali emas dalam nomor lari 100 meter dan lari gawang 110 meter. Satu medali lagi, perunggu, didapatkan dari nomor 200 meter.

Emas dari nomor 100 meter yang dibuat dari catatan waktu 10,4 detik itu membuat Sarengat menjadi peraih medali emas Asian Games pertama buat Indonesia. Catatan waktu dari emas 100 meter itu juga sekaligus menjadi rekor Asia.

Sarengat mematahkan rekor sprinter Pakistan, Abdul Khalik, dengan 10,6 detik pada Asian Games II di Manila, Filipina. Rekor itu baru pecah 22 tahun kemudian oleh sprinter Purnomo M. Yudhi pada Olimpiade 1984 di Los Angeles.

Sejauh ini hanya ada tiga atlet atletik Indoensia yang pernah menyumbangkan emas dari Asian Games. Setelah Sarengat, emas lain didonasikan Supriyati Sutono and Maria Natalia Londa.

Rabu, 12 Oktober 2016

Maulwi Saelan dan Impian yang Dibawa Mati

Maulwi Saelan tutup usia. Impian kiper legendaris itu untuk kembali melihat tim nasional bermain di Olimpiade terbawa sampai mati.


Kabar duka tersiar duka tersiar Senin (10/10/2016) petang. Maulwi, seorang mantan kiper nasional yang juga mantan Ketua PSSI, wafat.

Usia Maulwi memang tidak lagi muda. Beliau menutup usia pada umur 90 tahun. Pria kelahiran Makassar itu sempat sakit dan dirawat di RS Pertamina karena menderita komplikasi gangguan jantung, ginjal, dan paru-paru.

Siang tadi, Selasa (11/10/2016), beliau dimakamkan di pemakaman Kalibata Jakarta. Eks pemain nasional melepas kepergiannya.

Maulwi memang legenda di sepakbola nasional. Dia kiper nasional. Menjadi kapten kala tim nasional bermain di Olimpiade 1956. Kisah heroik Maulwi dan timnas terekam Harian Merdeka yang terbit 30 November 60 tahun lalu. Koran itu masih menggunakan ejaan lama. Kini kertasnya sudah mulai berwarna kuning.

Rekaman-rekaman perjalanan timnas itu mungkin cuma bisa didapatkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jl. Salemba Raya, Senen, Jakarta Pusat.

Tiga tahun lalu, pegawai perpustakaan nasional bilang kalau mereka tengah dalam upaya memindahkan file itu ke dalam bentuk digital.

Maulwi bahkan tak menyimpan lembaran koran itu. Tapi bukan berarti Maulwi zonder dokumen. Dia menyimpan baik-baik buku kecil bersampul batik dan berlogo garuda berisi nama pelatih dan skuat timnas waktu itu.

Dia juga menyimpan beberapa lembar foto hitam putih saat timnas melakukan perjalanan ke negara-negara masih masih dalam satu garis politik. Ceritanya mengalir menyebut nama-nama pimpinan negara yang ikut berfoto kala timnas menjalani ujicoba di sana sembair menunjukkan foto ini dan itu. Ada China, Uni Soviet juga beberapa Eropa.


"Mengenakan kaos timnas itu memang spesial, sangat istimewa. Kami bersyukur terpilih masuk timnas. Waktu itu kami tak dibayar. Tidur pun di bawah tribun penonton Stadion Ikada, yang sekarang berubah jadi Monas," kenang Maulwi.

Baca Juga: Maulwi Saelan: Penjaga Soekarno, Kenangan Olimpiade 1956, dan Impian yang Belum Terpenuhi

Makanya saat didaulat menjadi ketua umum PSSI oleh Soekarno --tetap lewat kongres-- pada tahun 1964, Maulwi bercita-cita timnas Indonesia bisa kembali mendapatkan panggung di Piala Dunia.

Sebuah cara diambil. Maulwi mencetuskan kompetisi usia muda lewat Piala Soeratin. Tapi, turnamen itu malah sempat hilang. Belum lagi masalah-masalah lain yang membuat timnas tak bisa benar-benar kembali menjadi garang.

Dia ingin pemuda Indonesia yang terpilih mempunyai kebanggaaan bisa tampil di olimpiade seperti kala dia mendapatkan inspirasi saat menyaksikan pelari Amerika Serikat, Jesse Owens, meraih empat medali emas dari Olimpiade 1936 Berlin.

Namun hingga Maulwi menutup mata, impian itu belum juga terwujud. Menjadi pekerjaan rumah bagi siapapun yang terpilih dari delapan calon ketua umum yang baru saja menjalani debat di muka publik lewat streaming. Di sana ada Bernhard Limbong, Erwin Aksa, Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi, Eddy Rumpoko, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, Tonny Apriliani, Sarman El Hakim, Djohar Arifin Husein, dan Kurniawan Dwi Yulianto.

Adakah di antara mereka yang menyebut ingin mewujudkan impian Maulwi? Atau apakah mereka memberikan penghormatan terakhir kepada seorang kiper legendaris, kapten timnas, juga mantan ketua umum PSSI siang tadi?

***

Pernah dimuat di detikSport, Selasa (11/10/2016) dengan judul yang sama.
Foto: dokumentasi detiksport. 

Jumat, 07 Oktober 2016

Menagih Prestasi Internasional dari PON yang Wah (dan Banyak Masalah)

Jumlah cabang olahraga dan gemuknya total kontingen peserta menjadi pro dan kontra yang mewarnai setiap pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON). Minimnya kontribusi terhadap atlet ke ajang internasional menambah kadar permasalahan prestasi olahraga nasional.


PON XIX/2016 dibuka dengan pesta wah. Berpentas 3 ribu penari, tujuh legenda olahraga nasional, 32 gubernur, dan dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Katanya ada anggaran senilai Rp 2 triliun untuk menggelar PON tahun ini. Khusus untuk upacara pembukaan dan penutupan PON XIX/2016 Jawa Barat menghabiskan dana Rp 90 miliar. Wajar kalau pesta pembukaan dan penutupan nanti adalah pesta nan mewah. Dari nominal itu bolehlah dibilang kalau Jabar serius membangun prestasi dan gengsi olahraga mereka.

Jabar memang antusias dalam menggelar PON. Wajar sebab sudah 55 tahun lampau terakhir kalinya Jabar menjadi tuan rumah. Dalam PON edisi itu pula Jabar berhasil jadi juara umum.

Sejak itu, Jabar tak pernah lagi jadi tuan rumah. Juara umum juga sulit dicapai meski mereka selalu jadi pesaing berat bagi DKI Jakarta dan Jawa Timur.

Agar gaungnya dirasakan oleh seluruh Jabar, dengan anggaran Rp 2 triliun itu PON XIX pun digelar menyebar pada 60 venue yang tersebar pada 16 kabupaten dan kota. Kedengarannya memang keren.

Boleh dibilang, Jabar bikin terobosan pda PON kali ini. Sebab, baru mereka yang menggelar PON sampai 16 kabupaten dan kota. Biasanya kurang dari sepuluh kabupaten dan kota yang terlibat menjadi tuan rumah PON.

Seperti muncul pesan kalau PON XIX jadi ajang untuk memasyarakatkan olahraga, bukan?

Dibantu media sosial yang dengan cepat merespons apapun yang tengah terjadi, PON Jabar semestinya jadi pionir PON paling wah dan paling kekinian. Kalau sekadar live score apa susahnya ya kan?

Dengan mudahnya komunikasi--smart phone yang ada di genggaman dan jaringan internet yang sudah 4G-- seharusnya jarak antar venue sudah bukan lagi masalah buat informasi pada PON Jabar ini, bukan?

Tapi fakta di lapangan berbeda. Jabar gaal menghadirkan PON yang kekinian. Jadul. Seolah-olah PON dilaksanakan di sebuha daerah yang masih memakai kentongan untuk alat komunikasi. Hasil-hasil pertandingan tidak ditampilkan dengan cepat dan bisa diakses dari mana-mana.

Apes buat Jabar. Kalau panitia masih hidup di zaman tanpa internet, publik sudah menggengga, telepon pintar.


Celah itu yang bikin Panitia Besar (PB PON) kecolongan. Ketidakkekinian PB PON lah yang meluas di dunia maya, dari satu tweet ke ratusan dan ribuan retweet.

PON makin 'populer' dengan justru karena PON tak melulu mementaskan kemampuan atlet. Malah setiap hari ada saja pertikaian di dalam arena.

Tudingan tuan rumah yang diuntungkan (basket), tapi tuan rumah juga sesekali merasa dirugikan hingga ada drama ketua umum Pengprov Wushu Jabar menantang wasit yang bertugas. Dalam PON Jabar juga muncul tawuran antarsuporter dan antaratlet, juga intimidasi terhadap wartawan.

Soal ini, dengan enteng, Ketua Panitia Besar (PB) PON yang juga Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, menilainya sebagai riak-riak kecil.

Memang kita tak bisa mengabaikan catatan-catatan sip yang dibuat para atlet-atlet muda yang bersinar di sana. Di antaranya Emilia Nova dari cabang olahraga atletik yang mencetak beberapa rekor dan Nurul Fajar dari cabang olahraga renang.

Ricuh PON memang sudah bisa diprediksi sebelum benar-benar dimulai. Selain masalah bajak-membajak atlet dari daerah lain, Jabar tak bisa menutupi kesulitan-kesulitan yang terjadi di lapangan dengan niat baiknya sendiri.

Oke, pesan itu memang bakal terdengar indah kalau luas daerah Jabar setara DKI Jakarta. Ya! Malah, sudah semestinya kalau DKI yang menggelar PON maka enam kota administrasi yang ada sebaiknya terlibat sebagai tuan rumah.


DKI malah akan repot kalau PON yang sekarang menawarkan 44 cabang olahraga dengan 756 nomor pertandingan dan diikuti 9.533 atlet, 4.071 ofisial, 10.271 panitia pelaksana, dan 18.468 relawan itu dilaksanakan di satu kota administrasi. Di Jakarta Pusat saja misalnya yang mempunyai kompleks Gelora Bung Karno di Senayan. Bisa dibayangkan betapa betapa panjang antrian tiap-tiap cabang olahraga untuk menggelar 756 nomor pertandingan dan perlombaan itu.

Oh ya luas DKI cuma 661,52 km persegi. Nah, provinsi Jabar seluas 35.222,18 kilometer persegi alias 53,24 kali DKI Jakarta, membentang dari barat ke timur. Bisa dibayangkan untuk urusan penyebaran logistik peralatan dan perlengkapan perlombaan dan pertandingan Jabar kesusahan sendiri, bukan?

Jabar terbukti telah terlambat mendatangkan alat hitung otomatis untuk sepatu roda yang dihelat di Bandung. Juga dibuat ketar-ketir dalam mendatangkan peralatan untuk cabang olahraga atletik yang digelar di Bogor. Dua kota yang semestinya lebih gampang dijangkau ketimbang kabupaten-kabupaten lain.

Belum lagi jika ternyata kabupaten atau kota itu tak punya tradisi membesarkan cabang olahraga yang dipertandingkan. Panitia lokal kemungkinan besar tak familiar untuk menggelar perlombaan dan pertandingannya.

Juga soal covering media. Bahkan, situs resmi PON sendiri tampak kesusahan mendapatkan hasil dan komentar dari atlet-atlet yang naik podium, manajer cabang olahraga yang menjadi juara umum, juga foto-foto pertandingan yang mestinya jadi kenang-kenangan buat para atlet dan catatan prestasi buat Indonesia.

Padahal soal quote manajer, pelatih, atau atlet pad asebuah multievent internasional sudah amat gampagn diadpatkna. Panitia pelaksana memanfaatkan relawan yang direkrut untuk turut dalam konferensi pers atau berjaga-jaga di mixedzone. Bahkan cara seperti itu sudah diterapkan kala Surabya menggelar PON 2000. Karena jaringan internet belum sekencang saat ini, PB PON 2000 menugaskan mahasiswa-mahasiswa jurusan komunikasi, khususnya jurnalistik, untuk ngendon di tiap-tiap venue, khusus untuk menjadi Joni--seperti dalam film Janji Joni--mengutip quote dan mengantarnya di pengepulan berita di media center.

Rentetan catatan kurang sip terhadap pelaksanaan PON 2016 itu memantik reaksi jajaran kemenpora dan Satlak Prima.

Staf ahli menpora yang baru yang juga mantan atlet nasional, Taufik Hidayat, sudah mengingatkan agar PON pada edisi selanjutnya fokus mempertandingkan cabang olahraga Olimpiade. Dia juga sepakat dengan usulan pembatasan usia bagi peserta.

Selain mempermudah kerja tuan rumah, Menpora dan Taufik tengah menagih prestasi dari perhelatan PON yangs udah rutin digelar setiap empat tahun.

Sejatinya, bukan cuma di Jabar ini PON sudah menyusahkan tuan rumah. Permasalahan-permasalahan yang muncul pada PON Jabar ini seolah letusan gunung api dengan proses vulkanik yang sudah terjadi dari PON-PON sebelumnya.

Coba tengok stadion-stadion di Samarinda dan Balikpapan serta Riau sebagai tuan rumah PON 2008 dan 2012. Masih baguskah? Tidak, sebab dua daerah itu justru kesulitan membiayai perawatan stadion-stadion yang dibangun menjelang jadi tuan rumah.


Ada efek ekonomi kah kepada provinsi-provinsi yang pernah jadi tuan rumah PON? Tidak ada riset khusus tentang hal itu. Apakah IT daerah itu makin berkembang setelah menjadi tuan rumah PON? Tidak ada jawaban jelas.

Bahkan sudah sejak tahun 1970-an, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, menyadari PON akan menyusahkan DKI sebagai tuan rumah jika peserta terlalu banyak. Selain itu, Ali juga memprediksi kalau PON berpotensi menjadi sebuah pesta wah yang tak akan berimbas kepada prestasi olahraga jika PON mengakomodasi cabang-cabang olahraga di luar Asian Games dan Olimpiade.

Maka, Ali pun meminta agar PON bukan cuma pesta yang asal ramai secara kuantitas tapi haruslah menjadi gelaran yang berkualitas.

"Saya mau atlet-atlet kita (DKI Jakarta) mengejar prestasi atlet-atlet yang di luar negeri. Langkah pertama mengejar juara-juara Asian Games. Menghadapi PON IX saya menjabat sebagai Ketua Umum PB PON IX saya mengusulkan agar hanya nomor-nomor yang dipertandingkan dalam Asian Games dan Olimpiade."

Begitulah usulan Ali Sadikin yang tercatat dalam biografinya. Namun, dalam pelaksanaannya usulan itu dimentahkan oleh pengurus induk cabang organisasi. mereka merajuk agar cabang-cabang olahraga di luar Asian Games dan Olimpiade tetap dipertadningkan di PON dengan alasan yang berbeda-beda, Seperti de javu, situasi yang sama juga terjadi saat ini, bukan?

Ali berkompromi. Namun dia minta agar total kontingen peserta tak lebih dari 3 ribu orang. Ya, cuma 3.000 peserta.

Tapi kini dalam perkembangannya, seperti disebut di awal tulisan, multievent ini diikuti 9 ribuan peserta alias tiga kali lipatnya.

Lantas apakah ada prestasi internasional yang sudah didapatkan Indonesia dari penyelenggaraan rutin PON yang rata-rata melombakan lebih dari 700-an nomor olahraga itu?

Jawabannya: alih-alih bisa masuk 10 besar Asian Games, jadi juara umum SEA Games saja Indonesia harus jadi tuan rumah lebih dulu sebab emas bisa didulang dengan menghadirkan banyak cabang olahraga ajaib, cabang olahraga yang tiba-tiba ada kalau kita jadi tuan rumah.


Kalau tak ada perubahan juga, jangan heran kalau masalah-masalah itu akan dipentaskan lagi pada PON XX/2020 di Papua. Di sisi lain prestasi internasional masih akan sulit diciptakan. Soal pelaksaan menjadi tuan rumah, kita juga tak bisa abai karena dua tahun lagi Jakarta dan Palembang akan jadi tuan rumah Asian Games. Jangan sampai malah menuai malu. (prestasi dan pelaksanaan).