Dewi Yuliawati berhasil menembus Olimpiade 2016 Rio de Janeiro lewat babak kualifikasi. Dewi tak pernah menyesal pernah ngotot menolak tawaran jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Dewi tumbuh dan besar di Muara Angke, kawasan pelabuhan treadisional di Jakarta Utara. Dia tinggal berimpitan dengan orang tua dan delapan saudara dalam gubuk berukuran 3x3 meter.
Rumah itu bisa sedikit longgar saat satu per satu penghuninya berkurang. Tiga saudaranya meninggal dunia, kemudian ada yang menikah. Dewi sendiri sudah lebih sering tinggal di asrama pelatnas dayung, di Pengalengan, Jawa Barat sejak awal tahun 2016.
Kini, orang tua Dewi--Carsa dan Carkem--juga tak setiap hari tinggal di rumah itu. Mereka pulang kampung ke Indramayu, Jawa Barat.
"Emak dan bapak sudah lebih sering di kampung karena ada rencana relokasi Muara Angke. Kalau ada rencana kumpul bareng kami ke sana," kata Dewi.
Seorang alumni SMP N 261 Jakarta Utara, tempatnya bersekolah, yang juga atlet dayung membuka jalan yang mengubah jalan hidup Dewi. Saat itu, Dewi masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Dia diajak berlatih dayung bersama pelajar lain di Pusat Pembinaan Latihan Pelajar Daerah (PPLPD) DKI Jakarta.
Prosesnya tak mulus. Orang tuanya melarang Dewi berlatih. Bukan apa-apa, mereka khawatir Dewi tenggelam karena Dewi tak bisa berenang. bahkan, sampai saat ini setelah dia menjadi olimpian.
Tapi sudah terlanjur jatuh cinta dengan dayung, Dewi cuek saja. Dia tetap berlatih di Ancol, tiap sore. Ongkos angkutan umum Muara Angke-Ancol pulang pergi dibayar dengan tarif pelajar. Selain itu, kalau semestinya harus ganti tiga kali angkot, Dewi memilih untuk jalan kaki pada salah satu trayeknya. Atau sebisa mungkin dia cari tebengan saat pulang. Yang penting dia bisa bayar ongkos angkutan drai rumah ke tepat latihan.
Soal biaya angkutan ini memang cukup rumit buat Dewi. Dia harus mencari sendiri. Sudah tak mungkin lagi mint aongkos kepada orang tuanya. Untuk memenuhinya, Dewi bekerja sebagai buruh kupas kerang hijau yang banyak di kawasan tempat tinggalnya. Lumayan setengah drum besar minyak tanah dia diberi upah Rp 5 ribu.
"Kalau kerjaan enggak keburu, saya minta teman yang sama-sama latihan buat nalangin ongkosnya dulu. Kalau enggak ya nebeng," ucap dia.
Kondisi ekonomi membuat orang tuanya sesekali mengingatkan lagi agar Dewi berhenti latihan dan berlama-lama kerja. Sulitnya keuangan keluarga sampia membuat Dewi diminta untuk berhenti sekolah. Ibunya merayu agar Dewi mau jadi TKW. Dewi masih bisa menolaknya. Dia bertekad tak akan putus sekolah. Setidaknya sampai lulus SMP.
Dewi punya keyakinan, putus sekolah dan bekerja tanpa ijazah SMP tak akan menolongnya keluar dari persoalan. Dia berkaca kepada tujuh kakaknya yang paling tinggi lulusan Sekolah Dasar.
Tapi suatu ketika kondisi memaksanya untuk hampir menyerah. Ayah yang jadi tulang punggung keluarga sakit. Ibunya juga jatuh sakit beberapa hari kemudian.
Dengan ayah dan ibu yang sakit, praktis beban Dewi untuk mencari uang bertambah. Dia makin sulit untuk membayar uang sekolah dan membayar ongkos transport ke tempat latihan.
Kondisi itu membuat Dewi sering kali menangis tiba-tiba. Kekuatan ingin bersekolah membuat Dewi memberanikan diri untuk curhat kepada gurunya. Dua gurunya, Ibu Sri yang guru Bahasa Indonesia dan Ibu Endang guru PPKN, merespons positif. Mereka yang membiayai dewi sekolah. Cuma satu syarat diberikan kepada Dewi. Dia diminta tetap menekuni dayung dan berlatih keras.
Dewi Yuliawati: Dari Gubuk Muara Angke & Hampir Jadi TKW, Kini Jagoan Indonesia Foto: Matthias Hangst/Getty Images
Malah sang guru itu tak henti memotivasi Dewi dengan contoh-contoh atlet dayung yang sudah sukses lebih dulu. Beruntung buat Dewi, dia ditangani pelatih yang punya disiplin tinggi: Qurrotul Ayun di Pemusatan Latihan Daerah (Pelatda) DKI.
Dewi berhasil menjawab janji kepada sang guru SMP itu. Dewi menjadi wakil Indonesia ke Olimpiade Rio lewat jalur kualifikasi pada nomor Single Sculls (W1X). Dia lolos ke Brasil sebagai tiga besar Kejuaraan Dayung Asia-Oceania 2015 yang juga babak kualifikasi Olimpiade di Chung-Ju, Korea Selatan.
Sekolahnya juga berlanjut melebihi harapannya. Dewi mahasiswi semester 5 jurusan PGSD di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
"Emak dan Bapak juga bisa lebih santai pulang kampungnya karena saya bisa kirim uang bulanan buat mereka," ucap Dewi.
Dewi sendiri tak mau disebut pahlawan olahraga. Dia merasa belum layak karena belum bisa mengibarkan bendera Merah Putih di Olimpiade.
"Saya baru merasa bisa mewakili jajaran pahlawan olahraga kalau saya sudah bisa mengibarkan bendera Merah Putih di Olimpiade," kata Dewi.
"Gambarannya seperti pak Soekarno yang jadi idola saya. Beliau orang yang sangat gigih memperjuangkan bangsa Indonesia pada waktu itu," ucap dia.
Dewi tumbuh dan besar di Muara Angke, kawasan pelabuhan treadisional di Jakarta Utara. Dia tinggal berimpitan dengan orang tua dan delapan saudara dalam gubuk berukuran 3x3 meter.
Rumah itu bisa sedikit longgar saat satu per satu penghuninya berkurang. Tiga saudaranya meninggal dunia, kemudian ada yang menikah. Dewi sendiri sudah lebih sering tinggal di asrama pelatnas dayung, di Pengalengan, Jawa Barat sejak awal tahun 2016.
Kini, orang tua Dewi--Carsa dan Carkem--juga tak setiap hari tinggal di rumah itu. Mereka pulang kampung ke Indramayu, Jawa Barat.
"Emak dan bapak sudah lebih sering di kampung karena ada rencana relokasi Muara Angke. Kalau ada rencana kumpul bareng kami ke sana," kata Dewi.
Seorang alumni SMP N 261 Jakarta Utara, tempatnya bersekolah, yang juga atlet dayung membuka jalan yang mengubah jalan hidup Dewi. Saat itu, Dewi masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Dia diajak berlatih dayung bersama pelajar lain di Pusat Pembinaan Latihan Pelajar Daerah (PPLPD) DKI Jakarta.
Prosesnya tak mulus. Orang tuanya melarang Dewi berlatih. Bukan apa-apa, mereka khawatir Dewi tenggelam karena Dewi tak bisa berenang. bahkan, sampai saat ini setelah dia menjadi olimpian.
Tapi sudah terlanjur jatuh cinta dengan dayung, Dewi cuek saja. Dia tetap berlatih di Ancol, tiap sore. Ongkos angkutan umum Muara Angke-Ancol pulang pergi dibayar dengan tarif pelajar. Selain itu, kalau semestinya harus ganti tiga kali angkot, Dewi memilih untuk jalan kaki pada salah satu trayeknya. Atau sebisa mungkin dia cari tebengan saat pulang. Yang penting dia bisa bayar ongkos angkutan drai rumah ke tepat latihan.
Soal biaya angkutan ini memang cukup rumit buat Dewi. Dia harus mencari sendiri. Sudah tak mungkin lagi mint aongkos kepada orang tuanya. Untuk memenuhinya, Dewi bekerja sebagai buruh kupas kerang hijau yang banyak di kawasan tempat tinggalnya. Lumayan setengah drum besar minyak tanah dia diberi upah Rp 5 ribu.
"Kalau kerjaan enggak keburu, saya minta teman yang sama-sama latihan buat nalangin ongkosnya dulu. Kalau enggak ya nebeng," ucap dia.
Kondisi ekonomi membuat orang tuanya sesekali mengingatkan lagi agar Dewi berhenti latihan dan berlama-lama kerja. Sulitnya keuangan keluarga sampia membuat Dewi diminta untuk berhenti sekolah. Ibunya merayu agar Dewi mau jadi TKW. Dewi masih bisa menolaknya. Dia bertekad tak akan putus sekolah. Setidaknya sampai lulus SMP.
Dewi punya keyakinan, putus sekolah dan bekerja tanpa ijazah SMP tak akan menolongnya keluar dari persoalan. Dia berkaca kepada tujuh kakaknya yang paling tinggi lulusan Sekolah Dasar.
Tapi suatu ketika kondisi memaksanya untuk hampir menyerah. Ayah yang jadi tulang punggung keluarga sakit. Ibunya juga jatuh sakit beberapa hari kemudian.
Dengan ayah dan ibu yang sakit, praktis beban Dewi untuk mencari uang bertambah. Dia makin sulit untuk membayar uang sekolah dan membayar ongkos transport ke tempat latihan.
Kondisi itu membuat Dewi sering kali menangis tiba-tiba. Kekuatan ingin bersekolah membuat Dewi memberanikan diri untuk curhat kepada gurunya. Dua gurunya, Ibu Sri yang guru Bahasa Indonesia dan Ibu Endang guru PPKN, merespons positif. Mereka yang membiayai dewi sekolah. Cuma satu syarat diberikan kepada Dewi. Dia diminta tetap menekuni dayung dan berlatih keras.
Dewi Yuliawati: Dari Gubuk Muara Angke & Hampir Jadi TKW, Kini Jagoan Indonesia Foto: Matthias Hangst/Getty Images
Malah sang guru itu tak henti memotivasi Dewi dengan contoh-contoh atlet dayung yang sudah sukses lebih dulu. Beruntung buat Dewi, dia ditangani pelatih yang punya disiplin tinggi: Qurrotul Ayun di Pemusatan Latihan Daerah (Pelatda) DKI.
Dewi berhasil menjawab janji kepada sang guru SMP itu. Dewi menjadi wakil Indonesia ke Olimpiade Rio lewat jalur kualifikasi pada nomor Single Sculls (W1X). Dia lolos ke Brasil sebagai tiga besar Kejuaraan Dayung Asia-Oceania 2015 yang juga babak kualifikasi Olimpiade di Chung-Ju, Korea Selatan.
Sekolahnya juga berlanjut melebihi harapannya. Dewi mahasiswi semester 5 jurusan PGSD di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
"Emak dan Bapak juga bisa lebih santai pulang kampungnya karena saya bisa kirim uang bulanan buat mereka," ucap Dewi.
Dewi sendiri tak mau disebut pahlawan olahraga. Dia merasa belum layak karena belum bisa mengibarkan bendera Merah Putih di Olimpiade.
"Saya baru merasa bisa mewakili jajaran pahlawan olahraga kalau saya sudah bisa mengibarkan bendera Merah Putih di Olimpiade," kata Dewi.
"Gambarannya seperti pak Soekarno yang jadi idola saya. Beliau orang yang sangat gigih memperjuangkan bangsa Indonesia pada waktu itu," ucap dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar