Tak perlu menanyakan arti nasionalisme kepada Eko Yuli Irawan. Tiga medali dari tiga Olimpiade beruntun menjadi bukti, meski selalu bersama deraan cedera.
Cedera menjadi hal yang paing menakutkan bagi seorang atlet. Tapi Eko Yuli menganggap cedera sebagai sahabat. Tak ada gunanya dijadikan musuh.
Lifter kelahiran 24 Juli 1989, itu sadar sejak awal jika cedera adalah risiko sebagai atlet. Apalagi profesinya menuntut dia harus menelan beban angkatan ratusan kilogram selama berjam-jam setiap hari.
Maka tak ada pilihan, ketimbang dijadikan musuh lebih baik Eko Yuli berteman dengan cedera. 'Pertemanan' itu menghasilkan sukses yang luar biasa. Eko Yuli mencatat sejarah sebagai satu-satunya atlet Indonesia yang sukses menyumbangkan medali dari tiga olimpiade yang diikutinya. Ya, dari Olimpiade, multi event olahraga paling bergengsi sedunia yang digelar cuma setiap empat tahun sekali itu.
Eko Yuli melakukannya ketika meraih medali perak di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Perak. Medali yang menyimbolkan seorang atlet sebagai yang terbaik kedua di seluruh jagat raya.
Torehan itu sekaligus memperbaiki penampilannya pada dua Olimpiade sebelumnya. Eko Yuli menyumbangkan medali perunggu pada Olimpiade 2012 London dan 2008 Beijing.
Padahal penampilannya di Olimpiade disertai cedera. Selalu saja ada keraguan setiap kali Eko Yuli bakal tampil dalam ajang olahraga paling akbar sejagat itu.
Begini rentetan cedera yang sudah jadi 'kawan' Eko Yuli itu.
Sebelum tampil di Beijing 2008, Eko Yuli mengalami cedera hamstring kiri.
Menyerah? Tidak. Eko Yuli bertekad untuk menyumbangkan medali yang lebih sip lagi pada Olimpiade empat tahun kemudian.
Padahal penanganan cedera atlet di Indonesia, dari pengakuan beberapa atlet Indonesia yang hijrah ke negara lain, kurang sip. Ada yang terkait teknologi, kdang kala juga dipengaruhi pembiaraan si atlet dan pelatih.
Cedera yang sudah jadi 'teman' Eko itu kembali membekap Eko Yuli menjelang Olimpiade 2012. Pria dengan tinggi 154 centimeter itu mengalami retak tulang kering kaki kanan.
Eko Yuli kembali mendapatkan deraan cedera sebelum menuju Rio de Janeiro. Dia dibekap cedera lutut. Cedera tersebut sampai membuat dia absen dari Kejuaraan Asia Angkat Besi di Tashkent, Uzbekistan, 22-30 Mei.
Namun, bersama cedera itu perak dipersembahkan Eko Yuli dari kelas 62 kg. Dia mencatatkan total angkatan 312 kg. Emas diraih Oscar Figueroa, asal Kolombia, dengan angkatan 318 kg.
Kalau saja Eko Yuli takut dengan cedera atau menganggap musuh cedera, bisa jadi Eko Yuli akan tetap tinggal di sebuah kampung di tanah kelahirannya, Metro, Lampung.
Bisa jadi dia masih berkutat dengan kegiatan hariannya sebagai penggembala kambing. Bisa jadi Eko Yuli akan tetap menyaksikan ayahnya, Saman, dan ibunya, Wastiah, menekuni pekerjaan sebagai tukang becak dan penjual sayur.
Dari sebuah sasana angkat besi di Metro itu pula Eko Yuli mengubah kegiatannya sehari-hari. Gara-gara menyaksikan sekelompok orang berlatih angkat besi di Sasana Gajah Lampung, Pringsewu, Eko Yuli ingin coba-coba. Dia masih nyambi menggembala kambing dan berlatih.
Eko Yuli Irawan: Berteman Cedera Demi Medali-Medali untuk IndonesiaFoto: detikcom/habibi
Dari coba-coba dan restu orang tua, Eko Yuli membetot perhatian publik. Dia menjadi juara dunia junior angkat besi tahun 2007. Setelah naik kelas ke level senior, Eko Yuli terus menjadi andalan Indonesia. Bersama cederanya yang mungkin akan sulit untuk pulih total.
Untuk Indonesia Eko Yuli bersedia bersahabat dengan cederanya itu. Bahkan untuk empat tahun ke depan.
"Tidak ada atlet Indonesia lainnya yang bisa meraih tiga medali Olimpiade secara beruntun. Namun, cita-cita utama saya adalah meraih emas untuk Indonesia," kata Eko Yuli usai mendapatkan medali perak Olimpaide di Rio de Janeiro.
Foto: Getty Images/Lars Baron via detikSport
Cedera menjadi hal yang paing menakutkan bagi seorang atlet. Tapi Eko Yuli menganggap cedera sebagai sahabat. Tak ada gunanya dijadikan musuh.
Lifter kelahiran 24 Juli 1989, itu sadar sejak awal jika cedera adalah risiko sebagai atlet. Apalagi profesinya menuntut dia harus menelan beban angkatan ratusan kilogram selama berjam-jam setiap hari.
Maka tak ada pilihan, ketimbang dijadikan musuh lebih baik Eko Yuli berteman dengan cedera. 'Pertemanan' itu menghasilkan sukses yang luar biasa. Eko Yuli mencatat sejarah sebagai satu-satunya atlet Indonesia yang sukses menyumbangkan medali dari tiga olimpiade yang diikutinya. Ya, dari Olimpiade, multi event olahraga paling bergengsi sedunia yang digelar cuma setiap empat tahun sekali itu.
Eko Yuli melakukannya ketika meraih medali perak di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Perak. Medali yang menyimbolkan seorang atlet sebagai yang terbaik kedua di seluruh jagat raya.
Torehan itu sekaligus memperbaiki penampilannya pada dua Olimpiade sebelumnya. Eko Yuli menyumbangkan medali perunggu pada Olimpiade 2012 London dan 2008 Beijing.
Padahal penampilannya di Olimpiade disertai cedera. Selalu saja ada keraguan setiap kali Eko Yuli bakal tampil dalam ajang olahraga paling akbar sejagat itu.
Begini rentetan cedera yang sudah jadi 'kawan' Eko Yuli itu.
Sebelum tampil di Beijing 2008, Eko Yuli mengalami cedera hamstring kiri.
Menyerah? Tidak. Eko Yuli bertekad untuk menyumbangkan medali yang lebih sip lagi pada Olimpiade empat tahun kemudian.
Padahal penanganan cedera atlet di Indonesia, dari pengakuan beberapa atlet Indonesia yang hijrah ke negara lain, kurang sip. Ada yang terkait teknologi, kdang kala juga dipengaruhi pembiaraan si atlet dan pelatih.
Cedera yang sudah jadi 'teman' Eko itu kembali membekap Eko Yuli menjelang Olimpiade 2012. Pria dengan tinggi 154 centimeter itu mengalami retak tulang kering kaki kanan.
Eko Yuli kembali mendapatkan deraan cedera sebelum menuju Rio de Janeiro. Dia dibekap cedera lutut. Cedera tersebut sampai membuat dia absen dari Kejuaraan Asia Angkat Besi di Tashkent, Uzbekistan, 22-30 Mei.
Namun, bersama cedera itu perak dipersembahkan Eko Yuli dari kelas 62 kg. Dia mencatatkan total angkatan 312 kg. Emas diraih Oscar Figueroa, asal Kolombia, dengan angkatan 318 kg.
Kalau saja Eko Yuli takut dengan cedera atau menganggap musuh cedera, bisa jadi Eko Yuli akan tetap tinggal di sebuah kampung di tanah kelahirannya, Metro, Lampung.
Bisa jadi dia masih berkutat dengan kegiatan hariannya sebagai penggembala kambing. Bisa jadi Eko Yuli akan tetap menyaksikan ayahnya, Saman, dan ibunya, Wastiah, menekuni pekerjaan sebagai tukang becak dan penjual sayur.
Dari sebuah sasana angkat besi di Metro itu pula Eko Yuli mengubah kegiatannya sehari-hari. Gara-gara menyaksikan sekelompok orang berlatih angkat besi di Sasana Gajah Lampung, Pringsewu, Eko Yuli ingin coba-coba. Dia masih nyambi menggembala kambing dan berlatih.
Eko Yuli Irawan: Berteman Cedera Demi Medali-Medali untuk IndonesiaFoto: detikcom/habibi
Dari coba-coba dan restu orang tua, Eko Yuli membetot perhatian publik. Dia menjadi juara dunia junior angkat besi tahun 2007. Setelah naik kelas ke level senior, Eko Yuli terus menjadi andalan Indonesia. Bersama cederanya yang mungkin akan sulit untuk pulih total.
Untuk Indonesia Eko Yuli bersedia bersahabat dengan cederanya itu. Bahkan untuk empat tahun ke depan.
"Tidak ada atlet Indonesia lainnya yang bisa meraih tiga medali Olimpiade secara beruntun. Namun, cita-cita utama saya adalah meraih emas untuk Indonesia," kata Eko Yuli usai mendapatkan medali perak Olimpaide di Rio de Janeiro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar