Tim nasional menyudahi AFF Suzuki Cup 2016 sebagai runner-up. Tak cuma menghidupkan harapan, 'Pasukan Garuda' juga membuktikan kepada publik kalau mereka memiliki kolektivitas dan toleransi tanpa batas.
Foto-foto pemain timnas yang tengah bertarung di tengah lapangan hijau menjadi santapan sebulan terakhir. Jika mulanya tak ada harapan dan akan maklum saja kalau tersingkir di babak grup, harapan publik terbangun setelah timnas yang dipoles Alfred Riedl ini lolos ke babak semifinal.
Ya, timnas di Piala AFF kali ini memang tak dijagokan untuk bisa melaju jauh. Boleh dibilang timnas cukup meramaikan Piala AFF.
Bukan publik yang membangun situasi itu sendiri, tapi justru induk organisasi sepakbola tanah air yang menyulutnya. Mereka bersama operator liga dan manajemen klub bersepakat membatasi jumlah pemain masing-masing klub untuk dikirimkan ke timnas, maksimal cuma dua. Sebab, liga tetap harus berjalan. Liga tengah kejar tayang harus segera usai.
Riedl juga cuma punya waktu pendek untuk menyusun tim seadanya itu. Kepastian timnas bisa ambil bagian dalam Piala AFF itu cuma didapatkan lima bulan sebelum perhelatan. Tepatnya setelah sanksi FIFA terhadap PSSi dicabut pada pertengahan Mei.
Tapi, ternyata timnas yang seadanya itu menolak menyerah. Mereka melawan dengan kemampuan dan ketidakmampuan mereka di ajang itu.
Timnas berhasil menyemai harapan dalam lubuk hati 250 juta jiwa penduduk Indonesia dengan cara memberikan perlawanan habis-habisan di tengah lapangan. Mereka berbekal semangat untuk membanggakan Merah Putih. Sempat tertinggal, mereka comeback dan memenangi beberapa pertandingan. Termasuk dalam leg pertama final engan Thailand di Stadion Pakansari, Bogor.
Baju kedaerahan dan klub mereka tinggalkan. Perbedaan agama tak dijadikan soal.
Segala perbedaan dan keterbatasan itu dinilai dengan kalmat sederhana khas orang kita: ada hikmah di baliknya. Ya, aturan maksimal dua pemain itu justru menjadi sebuah jalan timnas ini dibentuk dari lebih banyak klub. Dalam timnas ini tak muncul istilah sebuah timnas rasa Persib Bandung, Persipura Jayapura, atau tim lain karena dominannya pemain salah satu klub. Riedl bisa bertepuk dada kalau dia lah pelatih timnas Indonesia yang sebenarnya.
Dari contoh kecilnya dari sektor kiper. Dari mana tiga kiper yang ada di timnas kali ini: Kurnia Meiga, Andritany Ardhiyasa, dan Teja Paku Alam? Kurnia Meiga dan Andritany memang lahir di Jakarta tapi mereka identik dengan klub yang berbeda Persija Jakarta dan Arema Malang. Teja kelahiran Painan, Sumatera Barat yang bermain untuk Sriwijaya FC.
Siapa kapten timnas ini? Boaz Solossa seorang kelahiran Sorong dan telah menjadi ikon Persipura. Posisi dan keberadaan Boaz di dalam timnas seolah menunjukkan siapa bilang orang timur tak dapat tempat utama di negeri ini?
Zulham Zamrun dan Rizky Rizaldi Pora berdarah Ternate, Maluku Utara. Lerby Eliandry dari Toraja, Sulawesi Selatan. Evan Dimas, Bayu Gatra, Andik Vermansah, Hansamu Yama sama-sama dari Jawa Timur.
Stefano Lilipaly malah lahir di Utrecht, Belanda. Dia seorang blasteran dari ayah asli Belanda dan ibu dari Ambon.
Andik dan Stefano juga 'pulang' dari klub di tanah orang untuk membela timnas. Andik terdaftar sebagai pemain Slenagor FC, sedangkan Stefano ber-jersey Telstar.
Soliditas dan kolektivitas itu tak cuma tersuguh di tengah lapangan. Mereka juga kompak di ruang ganti dan luar lapangan.
Foto-foto para pemain yang tengah solat berjamaah menjadi hal lain yang diperbincangkan dari timnas ini. Kebetulan pertandingan digulirkan pukul 19.00 WIB, di mana mereka sudah harus berkumpul di stadion sejak saat waktu maghrib.
Yang menarik bukan urusan sholat itu sendiri karena toh memang sudah kewajiban umat muslim untuk menjalankannya. Tapi, dalam beberapa foto terlihat para pemain nonmuslim duduk di belakang mereka yang tengah sholat berjamaah.
Itu saja? Tidak. Beberapa video keasyikan timnas ini juga muncul di media sosial. Mereka berjoget di selasar hotel. Joget-joget itu tidak cuma dilakukan para pemain muda jebolan timnas U-19 yang menjadi juara Piala AFF 2013 bisa jadi memang sudah kompak sejak digenjot oleh Indra Sjafri. Acara joget bareng itu dipimpin oleh Boaz sebagai pemain paling senior di dalam timnas.
Dalam aktivitas beragama itu, para pemain nonmuslim juga bebas ke gereja. Bahkan ketika harus bermain tandang.
Mereka bersatu dalam aksi bela timnas. Itu saja.
Dengan segala hal itu, timnas yang dibangun dengan segala keterbatasan ini tetap menuai acungan jempol meskipun terhenti sebagai runner-up.
Harapan tetap dikibarkan publik kepada mereka menghadapi turnamen-turnamen ke depan. Mereka diharapkan bisa memperbaiki perolehan di SEA Games 2017 Kuaala Lumpur. Memang tak akan semua pemain ini bisa tampil karena ada batasan usia di SEA Games nanti.
Namun tentunya para pemain tak akan sanggup menyandang beban itu sendirian. Pengurus PSSI dituntut lebih serius memelihara dan mengontrol potensi, keberagaman, dan harapan publik. PSSI semestinya tidak bisa cuma membangun timnas yang membanggakan karena daya juangnya. Sudah saatnya PSSI membangun timnas yang membanggakan karena daya juang dan prestasi.
Jangan biarkan Pasukan Garuda tersungkur berulang kali, PSSI!
Foto: Rachman/detikcom
Foto-foto pemain timnas yang tengah bertarung di tengah lapangan hijau menjadi santapan sebulan terakhir. Jika mulanya tak ada harapan dan akan maklum saja kalau tersingkir di babak grup, harapan publik terbangun setelah timnas yang dipoles Alfred Riedl ini lolos ke babak semifinal.
Ya, timnas di Piala AFF kali ini memang tak dijagokan untuk bisa melaju jauh. Boleh dibilang timnas cukup meramaikan Piala AFF.
Bukan publik yang membangun situasi itu sendiri, tapi justru induk organisasi sepakbola tanah air yang menyulutnya. Mereka bersama operator liga dan manajemen klub bersepakat membatasi jumlah pemain masing-masing klub untuk dikirimkan ke timnas, maksimal cuma dua. Sebab, liga tetap harus berjalan. Liga tengah kejar tayang harus segera usai.
Riedl juga cuma punya waktu pendek untuk menyusun tim seadanya itu. Kepastian timnas bisa ambil bagian dalam Piala AFF itu cuma didapatkan lima bulan sebelum perhelatan. Tepatnya setelah sanksi FIFA terhadap PSSi dicabut pada pertengahan Mei.
Tapi, ternyata timnas yang seadanya itu menolak menyerah. Mereka melawan dengan kemampuan dan ketidakmampuan mereka di ajang itu.
Timnas berhasil menyemai harapan dalam lubuk hati 250 juta jiwa penduduk Indonesia dengan cara memberikan perlawanan habis-habisan di tengah lapangan. Mereka berbekal semangat untuk membanggakan Merah Putih. Sempat tertinggal, mereka comeback dan memenangi beberapa pertandingan. Termasuk dalam leg pertama final engan Thailand di Stadion Pakansari, Bogor.
Baju kedaerahan dan klub mereka tinggalkan. Perbedaan agama tak dijadikan soal.
Segala perbedaan dan keterbatasan itu dinilai dengan kalmat sederhana khas orang kita: ada hikmah di baliknya. Ya, aturan maksimal dua pemain itu justru menjadi sebuah jalan timnas ini dibentuk dari lebih banyak klub. Dalam timnas ini tak muncul istilah sebuah timnas rasa Persib Bandung, Persipura Jayapura, atau tim lain karena dominannya pemain salah satu klub. Riedl bisa bertepuk dada kalau dia lah pelatih timnas Indonesia yang sebenarnya.
Foto: Rachman/detikcom
Dari contoh kecilnya dari sektor kiper. Dari mana tiga kiper yang ada di timnas kali ini: Kurnia Meiga, Andritany Ardhiyasa, dan Teja Paku Alam? Kurnia Meiga dan Andritany memang lahir di Jakarta tapi mereka identik dengan klub yang berbeda Persija Jakarta dan Arema Malang. Teja kelahiran Painan, Sumatera Barat yang bermain untuk Sriwijaya FC.
Siapa kapten timnas ini? Boaz Solossa seorang kelahiran Sorong dan telah menjadi ikon Persipura. Posisi dan keberadaan Boaz di dalam timnas seolah menunjukkan siapa bilang orang timur tak dapat tempat utama di negeri ini?
Zulham Zamrun dan Rizky Rizaldi Pora berdarah Ternate, Maluku Utara. Lerby Eliandry dari Toraja, Sulawesi Selatan. Evan Dimas, Bayu Gatra, Andik Vermansah, Hansamu Yama sama-sama dari Jawa Timur.
Stefano Lilipaly malah lahir di Utrecht, Belanda. Dia seorang blasteran dari ayah asli Belanda dan ibu dari Ambon.
Andik dan Stefano juga 'pulang' dari klub di tanah orang untuk membela timnas. Andik terdaftar sebagai pemain Slenagor FC, sedangkan Stefano ber-jersey Telstar.
Soliditas dan kolektivitas itu tak cuma tersuguh di tengah lapangan. Mereka juga kompak di ruang ganti dan luar lapangan.
Foto-foto para pemain yang tengah solat berjamaah menjadi hal lain yang diperbincangkan dari timnas ini. Kebetulan pertandingan digulirkan pukul 19.00 WIB, di mana mereka sudah harus berkumpul di stadion sejak saat waktu maghrib.
Yang menarik bukan urusan sholat itu sendiri karena toh memang sudah kewajiban umat muslim untuk menjalankannya. Tapi, dalam beberapa foto terlihat para pemain nonmuslim duduk di belakang mereka yang tengah sholat berjamaah.
Itu saja? Tidak. Beberapa video keasyikan timnas ini juga muncul di media sosial. Mereka berjoget di selasar hotel. Joget-joget itu tidak cuma dilakukan para pemain muda jebolan timnas U-19 yang menjadi juara Piala AFF 2013 bisa jadi memang sudah kompak sejak digenjot oleh Indra Sjafri. Acara joget bareng itu dipimpin oleh Boaz sebagai pemain paling senior di dalam timnas.
Dalam aktivitas beragama itu, para pemain nonmuslim juga bebas ke gereja. Bahkan ketika harus bermain tandang.
Mereka bersatu dalam aksi bela timnas. Itu saja.
Dengan segala hal itu, timnas yang dibangun dengan segala keterbatasan ini tetap menuai acungan jempol meskipun terhenti sebagai runner-up.
Harapan tetap dikibarkan publik kepada mereka menghadapi turnamen-turnamen ke depan. Mereka diharapkan bisa memperbaiki perolehan di SEA Games 2017 Kuaala Lumpur. Memang tak akan semua pemain ini bisa tampil karena ada batasan usia di SEA Games nanti.
Namun tentunya para pemain tak akan sanggup menyandang beban itu sendirian. Pengurus PSSI dituntut lebih serius memelihara dan mengontrol potensi, keberagaman, dan harapan publik. PSSI semestinya tidak bisa cuma membangun timnas yang membanggakan karena daya juangnya. Sudah saatnya PSSI membangun timnas yang membanggakan karena daya juang dan prestasi.
Jangan biarkan Pasukan Garuda tersungkur berulang kali, PSSI!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar