Selasa, 30 Juni 2015

Masa Kecil Taufik Hidayat (2)

Bintang bisa datang dari mana saja. Seperti perkenalan Taufik Hidayat di masa kecil dengan bulutangkis di lapangan halaman pabrik tahu.

Pulang ke Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat membangunkan masa kecil Taufik. Juga ketika dia pulang kampung pada pertengahan November kemarin.

Kala itu, dia sekaligus membagi-bagikan kacamata untuk anak sekolah di sana. Kenangan tentang ibu guru, teman skeolah, dan bagaimana dia mengenal bulutangkis pun mengemuka lagi.

Di kota-kota lain di tanah air pada masa jaya-jayanya prestasi para pemain nasional, bulutangkis memang menjadi salah satu olahraga yang popular dimainkan di jalan-jalan, di depan balai desa, dan di manapun. Begitu pula di lingkungan kediaman Taufik.

Kendati ada di dalam gang kecil berkelok-kelok, tak jauh dari rumah Taufik ada lapangan bulutangkis. Sekali dua kali Taufik turut bermain-main di lapangan itu.

Kegemaran itu muncul setelah ayahnya, Aries Haris, melarang Taufik melarang dia bermain sepakbola. Tapi, ada satu lapangan yang justru lebih melekat di dalam benak Taufik.

“Lapangan di sebelah pabrik tahu. Lokasinya lebih jauh tapi lebih ramai,” kata Taufik.

“Main di lapangan itu enggak bisa curang. Sebab garisnya pakai bambu, kalau shuttlecock-nya menyentuh garis akan bunyi 'kan,” ucap juara dunia 2005 itu kemudian tertawa.

Tapi, rupanya Taufik tak lagi menjumpai lapangan di halaman pabrik tahu itu. Lapangan yang lokasinya ada di tepi jalan raya tapi berada di kontur yang lebih rendah itu sudah ditumbuhi rumput lebat.

Tak ada tanda-tanda lokasi itu sering diinjak. Garis-garis yang jadi pembatas lapangan itu juga sudah tak ada.

“Ini menjadi ide untuk mengembangkan bulutangkis di Pangalengan. Bagaimanapun ini rumah saya. Papa juga tak mau meninggalkan Pangalengan. Bagaimanapun saya anak kampung sini,” ucap mantan pebulutangkis yang meraih dua kali juara Piala Thomas itu.(Bersambung)

Pernah dimuat di detikSport

Minggu, 28 Juni 2015

Masa Kecil Taufik Hidayat (1)

Taufik Hidayat mendambakan untuk jadi pemain sepakbola. Larangan dari ayah justru membuka jalan jadi bintang  bulutangkis.

Di masa kecilnya, Taufik Hidayat begitu terpesona dengan  pemain-pemain sepakbola Eropa sampai membangkitkan inspirasi untuk meniru. Tapi, larangan sang ayah membelokkan niatan pemilik emas Olimpiade 2004 Athena itu hingga malah menekuni bulutangkis.

Taufik yang masih bocah terkejut di suatu petang. Papanya, Aris Haris, merebut bola sepak miliknya saat dia memasuki halaman rumah.

Di depan mata Taufik, bola itu diiris menjadi dua. Tak ada harapan untuk bisa memainkan si kulit bundar itu lagi di kemudian hari.

“Saya tidak senang melihat Taufik menjelang magrib dengan kondisi badan kotor. Hujan tak pulang, panas-panas juga tetap di tengah lapangan. Siapa yang tega melihat anaknya begitu,” kata Aris.

Taufik tidak melakukan protes dengan frontal. Dia diam saja dan tetap bermain bola dengan diam-diam. Urusan bola, Taufik nebeng milik teman. Bermodal nekat, dia tetap rajin datang ke lapangan.

“Saya tidak tahu kenapa Papa melarang main bola waktu itu. Sepertinya tidak suka sekali saya main bola, sampai-sampai Papa menjanjikan untuk membelikan sepeda asal saya meninggalkan sepakbola,” kenang Taufik.

Bagaimanapun larangan itu sedikit banyak mempengaruhi kontinyuitas Taufik ke lapangan bola. Eh, kesenangan lain didapatkan. Taufik mulai mengenal bulutangkis.

Khawatir mendapat larangan lagi, Taufik pun melakukan hobi barunya itu diam-diam. Sang ayah, yang sangat menyukai permainan bola voli, akhirnya mendengar juga kabar kepiawaian anak keduanya itu lewat teman-temannya.

Teman-teman Aris bilang, anak laki-laki satu-satunya, si Taufik, jago bermain bulutangkis. Penasaran, dia pun berusaha menyaksikan dengan kepala sendiri penampilan Taufik.

Dengan referensi dari hobi nonton pebulutangkis nasional tampil di ajang internasional yang ditayangkan TVRI kala itu, Aris berpendapat: Taufik punya pukulan-pukulan sip.

Dari temannya pula dia baru tahu kalau Taufik yang lahir pada 10 agustus 1981 itu sering kali memperbaiki senar raketnya sendiri. Taufik juga ngamuk kalau tak mendapatkan giliran bermain bulu tangkis.

“Wah ternyata anak saya bisa bulutangkis. Dia juga mampu mengalahkan para pemain yang lebih dewasa. Saya tak menyangkanya,” ucap Aris.

Lapangan bulutangkis yang digunakan latihan Taufik dan penduduk kampung itu sudah jadi kenangan. (Bersambung)

Pernah dimuat di detikSport 28 November 2014

Sabtu, 27 Juni 2015

Kata Mereka

"Saya bisa karena biasa"
-- Susi Susanti, peraih emas bulutangkis tunggal putri Olimpiade 1992 Barcelona

Ihsan Maulana Mustofa Mencintai Bulutangkis Berkat Uang Receh

Ihsan Maulana Mustofa menjadi salah satu pemain di tim Thomas 2014. Peran ayahnya begitu besar dalam mengenalkan dan membuat pemain PB Djarum Kudus itu mencintai bulutangkis.

Ingatan Ihsan berlari ke masa anak-anak saat ditanya awal mula mengenal bulutangkis. Sebagaimana bocah seusia dia lainnya, Ihsan lebih senang bermain ketimbang harus latihan bulutangkis pagi sore.

Ayahnya, Apes Zainal Mustofa, adalah seorang pelatih bulutangkis. Ihsan pun tahu benar jadwal pebulutangkis meski masih level junior.

Tapi, sang ayah tak kalah cerdik untuk menitiskan kemampuan bulutangkis. Ketika itu Ihsan baru menginjak kelas 3 Sekolah Dasar Negri Pagerageung, Tasikmalaya.

Ihsan hanya bisa mendapatkan uang jajan jika bersedia datang ke GOR tempat Mustofa melatih.

"Sudah sampai di GOR ya tetap nggak langsung dapat uangnya. Disuruh-suruh dulu buat main bulutangkis baru dikasih uang. Atau diminta buat mengumpulkan shuttlecock bekas latihan orang lain," kenang Ihsan.

"Pokoknya semua ini gara-gara bapak," seloroh dia.

Tapi strategi kedua orang tuanya ternyata ampuh membuat Ihsan tertarik dengan bulutangkis. Ihsan kian hari malah menganggap latihan bulutangkis sebagai ajang bersenang-senang.

Strategi Mustofa berjalan lancar. Dasarnya jalan sudah terbuka dengan dia sebagai pelatih, Ihsan pun mulai diikutkan dalam kejuaraan-kejuaraan.

Lama-lama Ihsan menunjukkan sebagai pemain yang sip. Traveling antarkota untuk mengikuti kejuaraan makin rutin diikuti Ihsan.

Hari-harinya pun makin lekat dengan bulutangkis. Saking sehari-hari ada di lapangan bulutangkis, Ihsan sampai tak punya hobi lain.

"Hobi lain nonton. Olahraga ya bulutangkis, tidak ada lagi," jelas putra pasangan Mustofa dan Agustina ini.

Tak cuma mendapatkan sentuhan Mustofa, Ihsan kemudian mendapatkan pelatih baru setelah dia bergabung dengan Dian Jaya Jakarta. Dalam perjalanannya, Ihsan memimpikan bisa bergabung dalam satu klub bulutangkis raksasa tanah air: PB Djarum Kudus.

Empat tahun lalu, saat usianya 14 tahun dan remaja seusia lebih senang kumpul-kumpul dengan teman-teman di sekolah atau nongkrong di cafe, Ihsan memilih meninggalkan Jakarta dan menuju kota kecil di daerah pantura. Yang dituju adalah Kudus, di Jawa Tengah. Tempat di mana PB Djarum Kudus berada.

Ihsan datang bukan untuk ikut Audisi, sebagaimana PB Djarum membangun tradisi untuk menyaring siswa baru. Ihsan datang melamar.

Meski tak menceritakan detail bagaimana dia datang ke PB Djarum, cerita Ihsan sudah jadi kisah tersendiri. Dia sudah mampu membuat dirinya cukup mengesankan para pelatih dan pengurus klub.

Konon, Ihsan datang ke markas PB Djarum di Kudus dan menantang pemain terbaik di Djarum. Oleh pelatih Djarum, Ihsan ditarungkan oleh para pemain yang ada di levelnya. Ihsan makin membuat barisan pelatih terpukau. Ihsan berhasil meraih kemenangan.

Barulah para jagoan Djarum dikeluarkan. Ihsan kalah menang. Apapun, kepercayaan diri dan sedikit kecongkakan yang dibutuhkan sebagai seorang atlet untuk meremukkan mental lawan sudah ditunjukkan Ihsan. Lamarannya diterima.  

Kesempatan emas lain untuknya datang di tahun 2012. Ihsan tampil gemilang di Kejuaraan Nasional 2012 di Solo, JawaTengah. Dia jadi juara di kelompok taruna. Tiket ke pelatnas 2013 pun dituai cuma-cuma. Ihsan tak perlu lagi merangkak lewat seleksi di awal tahun.

Kini, kesempatan lebih besar sampai dalam genggaman Ihsan. Sebagai tunggal keempat, peluang Ihsan diturunkan terbilang tipis. Namun tentu saja dia punya kans untuk dimainkan, terutama di babak penyisihan.

"Ihsan sudah kami ajak bicara dan dia siap berkomitmen untuk memberikan yang terbaik," kata Rexy.

Ayo Ihsan, saatnya memberi bukti!

Pernah dimuat di detikSport 5 Mei 2014






Ihsan Maulana Mustofa: The Next Big Thing di Bulutangkis Indonesia

Di antara pebulutangkis pengisi skuat Piala Thomas Indonesia ada satu nama baru yang menyeruak. Baru berusia 18 tahun, Ihsan Maulana Mustofa disebut sebagai the next big thing di bulutangkis tanah air.




Perasaan pemuda berambut jabrik dan bermata sipit itu pada Rabu (30/4/2014) petang benar-benar campur aduk. Tak percaya, kaget, dan bahagia jadi satu setelah Ihsan Maulana Mustofa, si pemuda jabrik, bermata sipit itu, mendengar pengumuman dari Chef De Mission tim Thomas Uber Indonesia, Anton Subowo.

Buru-buru Ihsan mengambil ponsel, mencari nomor bapaknya, dan mengabarkan berita gembira. Dia bilang namanya tercantum dalam jajaran pemain 'Merah Putih' ke Piala Thomas 2014. Nama dia ada di antara pebulutangkis papan atas putra negeri ini seperti Tommy Sugiarto, Dionysius Hayom Rumbaka dan Simon Santoso.

"Papa ikut senang. Dia minta saya tak menyia-nyiakan kepercayaan pelatih dan manajer tim," kata Ihsan menirukan balasan sang ayah, Mustofa.

Ihsan mengisi tim Thomas bukan cuma modal dengkul. Trek rekor yang dibuatnya dinilai memuaskan. Pemuda kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat 18 tahun silam tersebut memang kurang berhasil di Kejuaraan Dunia Junior 2013. Dia cuma membawa pulang medali perunggu.

Tapi tahun ini, Ihsan sudah menunjukkan perkembangan signifikan. Dia mulai menjadi kuda hitam di kelompok dewasa tingkat nasional.

Faktanya, Ihsan adalah runner-up Pertamina Terbuka 2013 dan semifinalis Kejuaraan Nasional di tahun yang sama. Pada dua turnamen itu Ihsan naik kelas ke kelompok dewasa.

Ketua Bidang Pembinaan Prestasi PP PBSI Rexy Mainaky menyebut Ihsan sebagai 'the next big thing'. Ketekunan, kerja keras, dan dipadu polesan ciamik dari barisan pelatih yang mumpuni diyakini bisa mengorbitkan prestasi pebulutangkis dari PB Djarum Kudus ini.

Ihsan sendiri tak sesumbar. Sejatinya, dia malah tak muluk-muluk berharap besar bisa mengisi tim inti Thomas tahun ini. Bahkan setelah membuat kejutan dalam Simulasi Piala Thomas di GOR Sritex, Solo, Jawa Tengah 26 April dengan mengalahkan pemain senior Sony Dwi Kuncoro, Ihsan tak yakin bisa berangkat ke New Delhi.

"Tahun ini mungkin belum. Tapi dua tahun lagi, saya sudah harus menjadi salah satu pemain yang ada di tim Thomas. Saya mengincar itu," kata Ihsan di Solo, pekan lalu.

Karena itulah dia mengaku sangat terkejut ketika namanya ternyata masuk dalam skuat Piala Thomas Indonesia.

"Ada faktor rejeki saya bisa masuk tim inti sekarang. Saya sempat cedera engkel dan habis operasi tulang kelingking kaki kanan. Lagipula ada pemain-pemain di atas saya. Ada Mas Sony, Wisnu Yuli, dan Riyanto (Subagja)."

"Saya tidak tahu alasan terpilih, tapi saya akan jawab tantangan ini. Buat saya ini bukan beban, tapi sebuah tantangan," ujar lulusan SMA Kanisius Kudus itu.

Pernah dimuat di detikSport 5 Mei 2015

Indra Wijaya Kini Tangani Timnas Bulutangkis Korsel, Haryanto Arbi Ikut Berperan

Sudah tak lagi bermain, mantan pebulutangkis Indonesia Indra Wijaya berkiprah di BCA Indonesia Open 2015 lalu. Kakak kandung Candra Wijaya itu membawa bawah panji tim nasional bulutangkis Korea Selatan sebagai pelatih nomor tunggal putra.

Indra tak pernah menyangka akan mengikuti jejak beberapa pensiunan pemain bulutangkis nasional yang menangani klub atau tim nasional negara lain. Toh sudah 1,5 tahun belakangan ini dia menjadi salah satu dari gelombang pelatih-pelatih Indonesia di negara lain.

Indra menambah jumlah pelatih Indonesia di negeri orang bersama Hendrawan yang menangani Malaysia, Namrih Suroto di Thailand, Halim Heryanto di Amerika Serikat, Flandy Limpele, Reony Mainaky, Karel Mainaky, yang kini menangani klub-klub di Jepang, serta Paulus Firman di Filipina. Juga Nunung Wibiyanto di Singpura.

"Belum pernah ada ya mantan pemain Indonesia yang menangani timnas Korea sebelumnya. Saya sendiri juga tidak menyangka mereka memberikan kepercayaan kepada saya. Padahal ini juga nomor bergengsi, tunggal putra," kata Indra di sela-sela perhelatan Indonesia Open di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

"Ini semua berkat Haryanto Arbi di akhir 2013. Dia yang memberi info dan sedikit memaksa saya agar apply ke sana he..he..he...," canda kakak kandung Candra Wijaya itu merujuk pada salah satu teman seangkatannya di dunia bulutangkis Tanah Air.

Padahal pria asal Cirebon, Jawa Barat itu tak punya bekal lisensi kepelatihan. Pengalaman menjadi pemain dan menangani Candra Wijaya International Badminton Center-lah yang jadi modal.

Tidak menunggu lama, pihak Korsel merespons positif lamaran Indra. Setelah menyepakati nilai kontrak Indra pun boyongan ke Seoul, tempat pelatnas bulutangkis negara tersebut. Kontrak dengan Korsel dijalani per tahun.

Ini menjadi tahun kedua Indra di Korea. Bersama-sama dengan pelatih dan pemain lain, Indra tinggal di asrama di negera tersebut sementara istri (Vivi Wiral) dan kedua anaknya (Michael Davinson Wijaya dan Mikayla Davina Wijaya) tetap tinggal di Jakarta.

"Komunikasi gampang banget. Jaringan internet di asrama sangat lancar. Cuma enggak touch saja, ngobrol sih bisa tiap hari lewat skype atau cara-cara sejenis lainnya," beber pria 41 tahun itu.

Indra juga tak kesulitan beradaptasi dengan barisan pelatih lain. Para pemain tunggal Korea juga menerima kehadirannya dengan baik.

"Kepala pelatih timnas memberikan kebebasan penuh kepada saya untuk meramu program latihan di nomor tunggal putra. Itu yang membuat saya nyaman," ujar Indra.

"Soal makanan juga enak-enak kok di sana. Komunikasi saja yang awalnya sedikit sulit dan kulturnya yang berbeda banget. Tapi, tak sampai menjadi kendala. Kalau ngobrol kan bisa campur-campur dengan bahasa Tarzan," ucap dia.

Selama 1,5 tahun ini Indra mengatakan komunikasi makin oke. Boleh dibilang kendala makin berkurang.

"Soal prestasi belum seperti apa yang saya inginkan, tapi progress sudah ada. Di sana saya memanfaatkan karakter para pemain Korea yang kuat fisiknya. Saya lebih gampang untuk menerapkan program latihan," jelas Indra.

Indonesia Open tahun ini juga menjadi kesempatan mudik buat Indra. Mumpung di Jakarta, dia pun tak buru-buru pulang ke Seoul. "Mumpung di sini saya tak langsung balik ke Seoul. Liburan sebentar sama keluarga," kata pria 41 tahun tersebut.

Pernah dimuat di detikSport 8 Juni 2015

Rabu, 17 Juni 2015

4 Arjuna Masa Depan Bulutangkis Indonesia

Sudah terlalu lama Indonesia tak mempunyai tunggal putra mumpuni di ajang internasional. Empat pemain di bawah usia 20 tahun ini digadang-gadang bisa menjadi ujung tombak tunggal putra di masa datang.


   Ditargetkan meraih medali perak, tim putra bulutangkis yang diisi pemain muda sukses menyumbangkan emas. Jonatan Christie dkk. disebut-sebut amat potensial sebagai kekuatan masa depan bulutangkis Indonesia.

  Para pebulutangkis muda 'Merah Putih' sudah mencuri perhatian sejak Piala Sudirman bulan Mei tahun ini. Kala itu, PP PBSI memutuskan untuk menurunkan tiga pemain yang berusia di bawah 20 tahun di sektor tunggal: Jonatan Christie, Firman Abdul Kholik, dan Ihsan Maulana Mustofa.

  Padahal, Indonesia mempunyai dua pemain senior yang berperingkat lebih baik, Tommy Sugiarto dan Dionysius Hayom Rumbaka. PBSI bersikukuh hanya menurunkan pemain tunggal dari pelatnas. Misi itu demi memutus tak adanya tunggal putra di level top dunia setelah Taufik Hidayat gantung raket. PBSI bertekad memunculkan generasi emas sektor tunggal seperti zaman Haryanto Arbi, Alan Budikusuma, dkk.

  Misi itu dimulai saat Ihsan ditunjuk menjadi tunggal keempat Piala Thomas tahun lalu dan berlanjut di Piala Sudirman tahun ini. Jonatan mendapatkan panggung sejak pertandingan pertama. Pebulutangkis pelatnas itu memang kalah dari tunggal Inggris Rajiv Ouseph yang memiliki peringkat jauh lebih bagus, ke-20 dunia. Tapi, Jonatan tampil cukup tenang sepanjang pertandingan. Dia kemudian berhasil melanjutkan hasil positif saat menghadapi pemain Taiwan Hsu Jen Hao.

  Firman yang babak belur saat menghadapi Jan O Jorgensen dimaklumi. Daya juang yang ditunjukkan Firman menjadi poin plus.

  Firman yang babak belur saat menghadapi Jan O Jorgensen dimaklumi. Daya juang yang ditunjukkan Firman menjadi poin plus.

  Panggung untuk Jonatan dkk. berlanjut di BCA Indonesia Open Superseries Premier di Jakarta. Bersama Anthony Ginting, Jonatan sukses menjejak perempatfinal. Saat itu mereka tampil dari babak kualifikasi dan hanya dipatok target lolos babak utama.

  Ada yang menarik dari rivalitas Jonatan dan Anthony di turnamen itu kendati mereka tak berduel dalam satu partai. "Saya terpacu untuk bisa terus perempatfinal meski melawan pemain-pemain senior dan lebih diungulkan. Kalau Anthony bisa, seharusnya saya juga bisa," kata Jonatan.

  Legenda hidup bulutangkis Susi Susanti memberikan nilai bagus kepada Anthony. "Secara teknik, Anthony mempunyai bola-bola yang berbahaya. Permainan dia mirip dengan Taufik Hidayat," kata Susi.

  SEA Games di bulan Juni ini yang benar-benar menjadi arena pembuktian para pemain muda itu. Jonatan, Firman, Ihsan, dan Antony mengisi slot pada nomor beregu. Jonathan, Firman, dan Anthony masih berusia 17 tahun. Hanya Ihsan yang sudah berumur 19 tahun.

  Kali ini, Ihsan yang menjadi lakon protagonis. Ihsan yang dipasang sebagai tunggal ketiga mampu menjalankan tugas dengan amat baik. Saat Indonesia harus menjalani duel penentuan di partai kelima, Ihsan membuktikan diri layak dipercaya.

  Bermain di partai penentuan pada babak semifinal, Kamis (11/6/2015), di Singapura Indoor Stadium, Ihsan menang atas tunggal ketiga Malaysia Mohammad Arif Abdul Latif dengan skor 21-12, 22-20.

  Ihsan menang mudah di gim pertama dengan sudah unggul 11-8 pada interval. Tapi, memasuki gim kedua Ihsan malah kendor. Dia tertinggal 0-9 dari lawan. Ihsan belum mau menyerah. Pemain asal PB Djarum Kudus itu bisa mengejar.

  Ihsan kembali tampil inkonsisten. Dia kembali jauh tertinggal 14-20. Lagi, lagi Ihsan menunjukkan diri kalau belum habis. Dia bangkit dan memaksa deuce dan menyelesaikan pertandingan dengan kemenangan.

  Drama Ihsan berulang di babak final sehari kemudian (12/6/2015). Kembali dipaksa imbang 2-2, Ihsan dipasang sebagai penentu. Menghadapi tunggal ketiga Thailand Suppanyu Avihingsanon, Ihsan menutup pertandingan dengan kemenangan 20-22, 21-16, dan 21-9. Indonesia akhirnya menang 3-2. Emas pun menjadi milik Indonesia.

  “Khusus buat nomor tunggal, pemain-pemain yang turun di sini adalah andalan masa depan. Prestasi ini adalah awal yang bagus buat pemain-pemain muda," kata Taufik seperti dikutip Badminton Indonesia.

  Taufik tetap mengingatkan jika itu baru langkah awal. Ada proses panjang yang harus dilewati para pemain muda itu untuk menjadi yang terbaik di level dunia.

  "Ingat, ini baru awal euforianya jangan berlebihan, masih banyak team event yang lainnya. Pemain juga harus dapat memanfaatkan kesempatan yang diberikan,” ujar peraih medali emas bulutangkis tunggal putra di Olimpiade Athena 2004.

Pernah dimuat di detikSport 15 Juni 2015

Selasa, 16 Juni 2015

Kartini Olahraga: Dari Atas Arena Sampai Melahirkan dan Membesarkan Atlet Muda


  “Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan rasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri.”

  Perempuan-perempuan ini tangguh di atas gelanggang pada masa jaya mereka. Kini, Elsa Manora Nasution dkk. tetap bergulat di cabang olahraga yang pernah digeluti: sebagai pemilik akademi, sekolah atau klub dan memoles bibit-bibit muda itu secara langsung.

  Mereka pernah menyandang tanggung jawab yang tak kecil: nama bangsa. Jadwal ketat latihan pagi dan sore serta berkompetisi sudah jadi hal lumrah sejak usia belia.

  Faktanya, mereka pernah menjadi paling tangguh di cabang olahraga masing-masing. Tak ingin pengalaman dan kemampuan menguap begitu saja plus kecintaan kepada anak-anak, mereka mempunyai ide serupa. Membangun sekolah atau klub untuk atlet muda.

  Ide yang muncul itu mereka kawal sendiri, ya manajerial, ya soal latihan. Bahkan akhir pekan kerap kali dihabiskan (kembali) di arena untuk mendampingi anak didik mereka. Mantan atlet perempuan itu mengikuti jejak Kartini yang memilih membangun tempat belajar di dalam 'rumah' nya. Dengan segala keterbatasan dan modal keilmuan serta pengalaman yang dimiliki mereka menjadi Kartini masa kini.

  Mereka perempuan-perempuan yang setia terhadap olahraga yang sudah membesarkan nama mereka bak seorang Kartini modern.

  Mereka bertutur tentang kesibukan saat ini. Suka dan duka. Siapa saja?

1. Elsa Manora Nasution di sini
2. Angelique Widjaja di sini
3. Sarwendah Kusumawardhani di sini
4. Julisa M. Rastafari di sini
5. Darwati di sini
6. Jeany Momo di sini

Seri Kartini Olahraga pernah dimuat di detikSport 21 April 2015

Selasa, 09 Juni 2015

Upaya Jeany 'Momo' Mencari Wanita Pemberani untuk Balapan Jalan Raya

Jeany 'Momo' Harmono memutuskan pensiun setelah tak punya lagi pesaing di balap motor road race. Kini, lewat sekolah balap, dia mencari pebalap-pebalap perempuan penerusnya.

 
  Sudah tak punya pesaing menjadi alasan utama Jeany 'Momo' Harmono pensiun dari balap motor road race. Perempuan 36 tahun itu masih terus mencari 'lawan' sepadan lewat sekolah yang dibangunnya.

  Jeany akhirnya meninggalkan sirkuit aspal di tahun 2008. Di tahun berikutnya, perempuan kelahiran Surabaya 3 Juni 1978 tersebut sesekali masih tampil. "Kalau kangen, ya ikut saja," kata Jeany.

  Tapi, setelah itu Jeany benar-benar tak balapan lagi. Balapan di kelas seeded bebek dua mulai berat untuk dimenangkan. Tapi, dia masih terlalu tangguh jika turun di kelas khusus wanita sehingga tak diperbolehkan ikut serta.

  Kesulitan mendapatkan lawan itulah yang menjadi salah satu alasan Jeany mendirikan sekolah balap Jeany Harmono Racing School di Surabaya pada tahun 2010. Dia berharap besar bisa memoles pebalap putri.

  "Lagipula daripada ilmunya nganggur, lebih baik dibagi-bagi. Usia murid enggak ada batasan. Sekarang paling kecil 8 tahun. Paling tua bisa bapak-bapak, biasanya orang-orang moge. Katanya kalau turing biar enggak kaku," kata Jeany dengan logat Surabaya yang kental itu.

  Ya, sekolah balap motor road race itu dibuka untuk umum. Tua, muda, anak-anak, laki-laki ataupun perempuan. Jeany hanya mensyaratkan para peminat datang mendaftar, bayar biaya sekolah, dan mendapatkan restu dari orang tua masing-masing.

  Jeany menawarkan paket belajar, bisa harian atau dua mingguan. Setelah jadwal ditetapkan, si anak didik bisa datang ke Sirkuit Kenjeran, Surabaya. Motor dan mekanik sudah disiapkan. Tinggal gas dan ngeng....siswa bisa langsung diawasi oleh Jeany. Eh, syarat lainnya fisik sudah harus siap untuk menggeber motor sekencang-kencangnya.

  Untuk kelas pemula, motor yang disediakan adalah motor standar yang dikendarai ibu-ibu ke pasar alias yang tak banyak modifikasi yang dipakai. Tapi untuk kelas lanjutan barulah Jeany menyiapkan motor yang siap digas lebih kencang.

  "Saat latihan kan terlihat siapa yang benar-benar niat atau sekadar ikut-ikutan. Kalau mereka tak takut jatuh dan niat sungguhan untuk jadi pebalap, saya juga siap pol-polan bagi ilmunya," ucap perempuan yang setia dengan rambut pendek tersebut.

  "Kalau ada murid yang datang bersemangat ya aku ikut semangat. Kalau murid males ya aku ikut males. Tapi itu kan tantangan, sebisa mungkin aku harus pompa semangat mereka. Pertama terkait fisik, barulah teknik. Jangan sampai baru beberapa putaran langsung drop fisiknya. Makanya aku siapkan latihan fisik dulu," jelas lulusan guru Universitas Adi Buana itu.

  Nah, agar penanganan bisa intensif Jeany membatasi empat pebalap dalam satu hari latihan. Jumlah itu tak bisa ditawar.

  "Kalau pebalapnya lebih dari empat nanti saya sendiri yang akan kesulitan di sirkuit. Selain harus ngantri, saya enggak bisa ngontrol di sirkuit. Saat mereka belok seperti apa. Makanya, saya harus benar-benar ada di tengah sirkuit," ucap dia.

  Kendati semua berjalan lancar, Jeany yang kini juga tengah jadi asisten pemusatan latihan daerah Jawa Timur itu masih menyimpan satu keinginan yang belum juga terkabul. Alasan itu sekaligus misi dia mendirikan sekolah balap.

  "Bukan, bukan soal uang. Toh, aku enggak pernah nombok. Aku ingin punya murid cewek yang bisa berkembang paling enggak sejajar dengan prestasiku, lebih bagus lagi kalau bsia lebih bagus dari aku," harap dia.

  "Biasanya sih problem pebalap cewek ada pada orangnya masing-masing. Nyari pebalap perempuan susah, enggak banyak yang mau balapan road race susah. Pada takut lecet parah, kan langsung ke aspal.

  "Persoalan akhir ada pada mental juara. Ini yang kadang harus didampingi. Cuma butuh sering latihan dan ikut kejuaraan nasional dan internasional," jelas mantan pebalap yang belajar sampai ke Inggris itu.

Jeany 'Momo' Harmono

Nama lengkap: Nanda Indira Jeany
36 tahun
Prestasi:
Juara Kejuaraan Nasional road race khusus kelas wanita 1995-1998
Runner-up kelas pemula Kejuaraan Nasional 1999
Peringkat III Kejuaraan Nasional kelas bebek 2 tak underbone 125 cc
Peringkat V Kejuaraan Nasional kelas bebek 2 tak underbone 110 cc
Aktivitas:
- Pemilik dan pelatih di Jeany Harmono School
- Pemilik Jeany Harmono Outlet Otomotif
- Asisten pelatih puslatda balap motor IMI Jawa Timur