Minggu, 28 Juni 2015

Masa Kecil Taufik Hidayat (1)

Taufik Hidayat mendambakan untuk jadi pemain sepakbola. Larangan dari ayah justru membuka jalan jadi bintang  bulutangkis.

Di masa kecilnya, Taufik Hidayat begitu terpesona dengan  pemain-pemain sepakbola Eropa sampai membangkitkan inspirasi untuk meniru. Tapi, larangan sang ayah membelokkan niatan pemilik emas Olimpiade 2004 Athena itu hingga malah menekuni bulutangkis.

Taufik yang masih bocah terkejut di suatu petang. Papanya, Aris Haris, merebut bola sepak miliknya saat dia memasuki halaman rumah.

Di depan mata Taufik, bola itu diiris menjadi dua. Tak ada harapan untuk bisa memainkan si kulit bundar itu lagi di kemudian hari.

“Saya tidak senang melihat Taufik menjelang magrib dengan kondisi badan kotor. Hujan tak pulang, panas-panas juga tetap di tengah lapangan. Siapa yang tega melihat anaknya begitu,” kata Aris.

Taufik tidak melakukan protes dengan frontal. Dia diam saja dan tetap bermain bola dengan diam-diam. Urusan bola, Taufik nebeng milik teman. Bermodal nekat, dia tetap rajin datang ke lapangan.

“Saya tidak tahu kenapa Papa melarang main bola waktu itu. Sepertinya tidak suka sekali saya main bola, sampai-sampai Papa menjanjikan untuk membelikan sepeda asal saya meninggalkan sepakbola,” kenang Taufik.

Bagaimanapun larangan itu sedikit banyak mempengaruhi kontinyuitas Taufik ke lapangan bola. Eh, kesenangan lain didapatkan. Taufik mulai mengenal bulutangkis.

Khawatir mendapat larangan lagi, Taufik pun melakukan hobi barunya itu diam-diam. Sang ayah, yang sangat menyukai permainan bola voli, akhirnya mendengar juga kabar kepiawaian anak keduanya itu lewat teman-temannya.

Teman-teman Aris bilang, anak laki-laki satu-satunya, si Taufik, jago bermain bulutangkis. Penasaran, dia pun berusaha menyaksikan dengan kepala sendiri penampilan Taufik.

Dengan referensi dari hobi nonton pebulutangkis nasional tampil di ajang internasional yang ditayangkan TVRI kala itu, Aris berpendapat: Taufik punya pukulan-pukulan sip.

Dari temannya pula dia baru tahu kalau Taufik yang lahir pada 10 agustus 1981 itu sering kali memperbaiki senar raketnya sendiri. Taufik juga ngamuk kalau tak mendapatkan giliran bermain bulu tangkis.

“Wah ternyata anak saya bisa bulutangkis. Dia juga mampu mengalahkan para pemain yang lebih dewasa. Saya tak menyangkanya,” ucap Aris.

Lapangan bulutangkis yang digunakan latihan Taufik dan penduduk kampung itu sudah jadi kenangan. (Bersambung)

Pernah dimuat di detikSport 28 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar