Jumat, 13 November 2015

'Susy ya, Bukan Susi (Susanti)'

Banyak yang kurang tepat menuliskan nama Susy Susanti. Kali ini Susy meminta publik tak mengulang kekeliruan itu.

 

Ada yang menggelitik dari sebuah cuitan twitter resmi Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) siang ini. Dengan tagar #PahlawanOlahraga, muncul pertanyaan nama peraih emas Olimpiade: Susi Susanti atau Susy Susanti?

Apalah arti sebuah nama? Kita menyebutnya bunga mawar. Dengan nama apapun ia akan tetap harum semerbak. Begitulah pujangga Inggris, William Shakespeare, mengungkapkan pertanyaan karyanya lewat Romeo dan Juliet.

Tapi, Susy Susanti menyebut bahwa nama tidak bisa diubah sembarangan. Itu identitas yang sudah terlanjur melekat kepadanya selama 44 tahun ini, sejak nama itu disiapkan oleh orangtua sebelum dirinya lahir pada 11 Februari 1971.

"Pakai Y dong. Nanti mamiku marah, kok namaku diubah-ubah, hehehe. Enggak pada bikin bubur merah lagi," ujar legenda hidup bulutangkis Indonesia itu saat ditanya perihal penulisan namanya itu, Senin (9/11/2015).

"Pokoknya waktu itu mami saya nulisnya pakai Y. Mungkin tidak umum ya, nama Susy pakai 'Y'. Tapi justru itu yang ternyata bawa hoki," terang Susy sambil tertawa.




Diakui salah satu pebulutangkis tunggal putri terbaik yang pernah ada di muka bumi ini, penulisan yang keliru tentang nama dia sudah berlangsung sangat lama. Namun dia tidak terlalu mempersoalkan, walaupun berharap kesalahan itu kelak tidak terjadi lagi.

"Tak sedikit wartawan yang salah menuliskan nama saya. Ada yang (menulis) Susi, ada yang Susy. Di beberapa penghargaan juga salah. Saya harap tidak keliru lagi ya, terutama di media. Tapi tidak apa-apa, yang penting tidak salah orang," ucap istri Alan Budikusuma tersebut.

Kesalahan penulisan itu memang seolah sudah jamak. Dalam laman Wikipedia, baik berbahasa Inggris atau Indonesia, juga tercantum nama Susi Susanti, bukan Susy Susanti.

Ya, Susy yang ini memang berbeda. Susy yang dikenal dengan kelenturan seperti seorang pebalet, pergelangan tangan yang begitu kuat, juga stamina yang luar biasa. Susy yang ini adalah pebulutangkis yang tampil dengan rambut berkuncir dan poni menutup dahi. Sejarah negara ini telah mencatat, Susy adalah olahragawan pertama yang mempersembahkan medali emas untuk Indonesia di pentas Olimpiade (1992).

Senin, 14 September 2015

Hanya Peringkat Keempat Asia Tenggara, Olahraga Indonesia Mau Dibawa Kemana?

Dengan anggaran Rp 250 miliar, besar harapan Indonesia kembali menjadi juara umum SEA Games XXVII Myanmar. Namun, jauh panggang dari api, “Merah Putih” terlempar dari urutan tiga besar.

Bisa apa dengan uang Rp 250 miliar? Manajemen Persib Bandung mencatat nominal sebesar itu bisa digunakan untuk belanja pemain hingga 18 musim dengan acuan musim 2013. Namun, uang sebesar itu bahkan tak cukup membayar gaji setahun Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.

Namun, buat pemegang kebijakan nominal sebesar itu bisa jadi bahan buat “ngeles”. Ya, nominal itulah yang dikucurkan pemerintah untuk menyiapkan 665 atlet menuju SEA Games XXVII/2013.

Pemerintah memang masih menjadi sumber utama pembinaan prestasi olahraga. Tapi , tentu saja kontingen Indonesia tak hanya mengandalkan dana sebesar itu. Ada dana dari sumber lain yang mengalir. Artinya ad nominal lebih besar dari Rp 250 miliar untuk bahan ngeles.

Beberapa cabang olahraga sukses menggaet sponsor lain. PP Perbasi misalnya, didukung barisan bank syariah untuk terbang ke Myanmar. Jelang keberangkatan, mereka sampai dilepas Kementrian Agama. Begitu pula bulutangkis yang mendapatkan suntikan dana dari Pertamina.

Tapi apa yang dibawa pulang dari Myanmar? Alih-alih mempertahankan predikat juara umum, “Merah Putih” gagal menduduki urutan tiga besar multievent dua tahunan bangsa-bangsa Asia Tenggara itu. Indonesia hanya menghuni peringkat keempat dengan torehan 65 emas. Jumlah emas yang jauh dari patokan target, 120 emas.

Memang, dengan dana itu, memang pengurus-pengurus besar/pusat cabang olahraga dibuat tak berkutik. Jumlahnya sudah minim, pencairannya pun tersendat. Gaji telat, peralatan terlambat, dan pengurangan kuota menjadi drama yang mengikuti.

Muncullah istilah para tukang talang alias pihak-pihak yang rela memberikan dana talangan lebih dahulu. Mereka benar-benar relawan sebab kalau tak memegang prinsip “uang kembali syukur, tidak kembali ya anggap saja beramal” dijamin bakal menyesal. Semacam muncul konvensi, semua harus bermodal ikhlas. Tidak boleh merogoh kocek dengan niatan investasi.

Tapi tak semua pihak siap jadi tukang talang. Perusahaan media yang cermat menghitung profit mulai enggan ambil bagian dalam mencatat sejarah yang dibuat di SEA Games. Memberangkatkan pewarta, tulis dan fotografer, ke SEA Games dinilai tak lagi mendongkrak oplah dan jumlah klik atau rating. Toh, kemungkinan untuk menjadi juara umum atau minimal mendapatkan medali emas dari sepakbola—sebagai jualan terbesar—bukanlah angka pasti.

Saya yakin, perusahaan media lama-lama tak sendirian jika pemerintah dan mereka yang terlibat di olahraga itu terus-menerus tak bisa mengelola dana, atlet dan potensi yang ada untuk meraup prestasi yang “hanya” di kawasan Asia Tenggara.

Kenyataannya bukannya segera mengevaluasi dengan detil, pemilik kebijakan dan mereka yang bertanggung jawab malah sibuk mencari kalimat ala berhastag #pasangtameng. Yang paling gampang sih dengan mudah memilih kalimat: serba tuan rumah.

“Myanmar banyak melakukan kecurangan. Terutama di nomor-nomor yang tak terukur.“

“Cabang olahraganya diada-adakan, sesuai permintaan Myanmar.”

Itu sedikit kalimat yang dilontarkan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo Senin (23/12/2013) siang meski sebelumnya dia merasa sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kegagalan “Merah Putih”.

Faktanya, Indonesia gagal total di cabang olahraga terukur. Renang, atletik, panahan dan cabang olahraga terukur lainnya tak satupun mencapai target yang diharapkan. Hanya catur dan kempo—yang bukan olahraga terukur—yang melampaui target. Bulutangkis, wushu, berkuda adalah cabang olahraga yang pas target. Sisanya gagal total!

Apalagi kalau menyimak SEA Games XXVI/2011 di Palembang dan Jakarta, bukankah kita juga memperlakukan dua hal serupa kepada para tamu? Kita membuat cabang olahraga yang membuat pundi emas kian gemuk. Wasit-wasit kita juga berat sebelah kok.

Nyatanya kita mengirimkan atlet paling banyak, 1059 saat itu. Cabang olahraganya juga tak sedikit yang “aneh” dan menawarkan banyak emas. Seperti sepatu roda, panjat dinding dan paragliding.

Kalau Myanmar atau tuan rumah lainnya melakukan hal serupa, kita mau bilang apa? Protes pun sepertinya tak akan berani dilakukan. Malah mempermalukan diri sendiri bukan?

Tapi pemerintah, KONI dan KOI juga tak lantas boleh diam saja. SEA Games sudah jadi tradisi yang sayang ditinggalkan tapi buang-buang duit saja untuk terus diikuti.

Sejatinya publik akan maklum jika sejak awal menpora, KONI dan KOI plus Satlak Prima mengumumkan target 60 emas sebelum berangkat. Kontingen berangkat dengan kondisi kurang ini kurang itu. Tapi ketidakpiawaian menghitung kekuatan sendiri dan memetakan kekuatan lawan menjadi blunder.

Berpikir sajalah, SEA Games dijadikan ajang uji coba untuk anak-anak muda yang diproyeksikan ke level lebih tinggi Asian Games. Sayangnya, siang tadi saat evaluasi, menpora justru berpikir terbalik: Asian Games Incheon akan jadi batu loncatan ke SEA Games 2015 di Singapura dan 2017 di Malaysia.

Dengan logika itu, jangan harap olahraga Indonesia akan kemana-mana. Paling, paling dua tahun lagi kita akan mendengar kalimat serupa.

"Singapura banyak melakukan kecurangan. Terutama di nomor-nomor yang tak terukur.”

“Cabang olahraganya diada-adakan, sesuai permintaan Singapura.”

Mau dibawa ke mana olahraga Indonesia ini dengan hanya berdalih seperti itu?

 
Catatan SEA Games XXVII/2013 Myanmar

Minggu, 13 September 2015

Ketika Para Legenda Bulutangkis Berkumpul di Markas PB Djarum

Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis 2015 sekaligus menjadi ajang reuni para mantan pemain era 1970-an. Ngobrol soal kesehatan dan batu akik jadi tema pembicaraan yang menghangatkan pertemuan mereka.


Audisi Kudus tak hanya jadi tempat penyaringan atlet untuk mengisi PB Djarum, sebagai audisi terakhir dan grand final. Tapi, juga menjadi tempat reuni para legenda bulutangkis Indonesia.

Djarum mendatangkan 14 pemain legenda ke markas mereka di GOR Djarum, Jati, Kudus selama empat hari penuh. Mereka -- Christian Hadinata, Lius Pongoh, Eddy Hartono, Hariyanto Arbi, Kartono Hari Atmanto, Heryanto Saputra, Liem Swie King, Denny Kantono, Bobby Entarto, Simbarsono Sutanto, Johan Wahyudi, Maria Kristin Yulianti, Hastomo Arbi, dan Fung Permadi -- tiba di Kudus sejak Senin (31/8/2015) sampai hari ini (3/9/2015).

Meski memiliki nama besar di dunia bulutangkis, beberapa dari mereka sudah lama menghilang dari dunia olahraga. Johan Wahjudi, misalnya, sejak gantung raket di tahun 1982 dia seolah bertapa dan menjauh dari dunia bulutangkis, juga rekan-rekannya sesama pemain. Pekan ini, di Kudus, setelah 33 tahun, dia berjumpa lagi dengan Liem Swie King dan Hadiyanto.

"Enggak menyangka ya kalau kami bisa berjumpa saat ini, bahkan sampai banyak begini," kata Johan, pemilik enam gelar juara All England di nomor ganda putra bersama Tjun Tjun itu.

"Justru saya yang menghubungi Pak Yoppy (Rosimin, program director Djarum Bakti Indonesia) lebih dulu. Kata salah satu rekan saya, Pak Yoppy berulang kali menghubungi saya tapi sulit. Kemudian saya minta nomornya Pak Yoppy dan sayatelpon dia. Karena gregetan dengan prestasi bulutangkis nasional saat ini," tutur mantan pemain asal Malang, Jawa Timur itu.

Baca juga: Liem Swie King dan Hastomo Arbi, Awal Cikal Bakal PB Djarum Kudus

Rupanya, Johan sudah menyimpan kerinduan kepada dunia olahraga nasional sejak mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan olahraga nasional dari Kemenpora di tahun 2013. Sejak itu dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk peduli lagi dengan olahraga nasional. Apalagi dari berbagai sumber dia mendapati kalau prestasi bulutangkis Indonesia sedang naik turun

Komunikasi dengan Yoppy membuat Johan makin happy. Dia tak sendirian diajak untuk berkumpul dalam rangkaian audisi.

"Ternyata Pak Yoppy juga mengajak mantan-mantan pemain lain. Saya langsung kontak-kontakan dengan Liem Swie King. eh rupanya dia bersedia juga, saya makin semangat," ucap pria yang kini berusia 62 tahun itu.
Tak dinyana, pertemuan dengan Sie King terjadi lebih cepat dari bulan September. Mereka tergabung menjadi tim pemandu bakat di Jember, kota pertama audisi Djarum, empat bulan lalu.

Pertemuan di Jember itu menjadi pertemuan pertama sejak 1982. Itu ketika Johan memutuskan untuk pensiun.

"Saya lihat dia, tidak banyak berubah. Wajahnya kan memang baby face gitu dari dulu. Pertama-tama saya tanyakan kesehatan dia. Saya lihat jalannya sedikit pincang, ada apa? Saya beri obat," kata dia.

Berjalannya audisi hingga sembilan kota membuat mereka menjadi lebih sering berjumpa. Obrolan pun berkembang sampai ke hal-hal lain. Pertemuan paling baru terjadi di Kudus dalam audisi kesembilan ini. Hobi yang sama--selain bulutangkis--dilakoni bersama-sama.

"Kami nyari batu akik bersama-sama di Werdu. Bersama-sama Lius, Hardiyanto, dan Haryanto Arbi dan salah satu teman kami. Kami gunakan waktu istirahat, sekalian buat jalan-jalan he he he," kata Swie King.

"Saya ikut-ikut saja soal batu akik. Di rumah ada beberapa tapi belum sampai 100 biji kok. Saya juga mencari batu akik khas daerah kalau kebetulan sedang pergi ke daerah-daerah," jelas pria yang dikenal sebagai King Smash itu.

Baca juga: PB Djarum Buka-bukaan soal Dapur dan Nutrisi

Yoppy mengakui ada upaya khusus untuk mengumpulkan para legenda itu. Utamanya untuk merangkul kembali Johan dan Swie King.

"Paling sulit dua orang itu. Mereka kan sempat lama 'bertapa di gunung'. Saya rayu, Liem Swie King untuk kembali ke Kudus. Dia kan orang Kudus asli. Dia juga punya nama besar dari bulutangkis. Akhirnya bersedia," kata Yoppy.

"Saya juga coba untuk ajak Tjun Tjun. Dia tidak menolak tapi samai hari H tidak hadir, Mungkin ada sesuatu hal. Tidak apa-apa. Kami mengumpulkan legenda-legenda ini bukan melulu karena Djarum tapi karena mereka mantan pemain yang mempunyai kemampuan kelas dunia," jelas Yoppy.

Malam ini tampaknya bakal jadi malam terakhir kebersamaan mereka di Kudus. Itu bersamaan dengan berakhirnya audisi umum PB Djarum.

"Tidak, sama sekali tidak ada penyesalan untuk kumpul-kumpul seperti ini. Sebaliknya saya senang karena tidak cuma reuni tapi juga rencananya akan sering ke Kudus untuk memantau perkembangan mereka," jelas Swie King.

Jumat, 11 September 2015

Mengintip Dapur PB Djarum: Ada Menu Khusus untuk ‘Anak Kurus’

PB Djarum membangun pusat pelatihan bulutangkis di Kudus, Jawa Tengah seideal mungkin. Termasuk penyediaan kebutuhan makanan untuk para atlet dan barisan pelatih, sampai-sampai ada menu khusus untuk ‘anak kurus’.


Pekan lalu bersama rombongan dari Jakarta, saya berkesmepatan bertandang ke markas PB Djarum di Jalan Jati, Kudus, Jawa Tengah. Disambut GOR dengan 16 lapangan latihan plus asrama dengan desain modern, saya juga berbincang dengan koki PB Djarum, Susilo.

Pukul 04.00 WIB, dapur di PB Djarum mulai sibuk. Dua petugas sudah meracik jus sebagai salah satu menu di sela-sela latihan pagi. Berselang 30 menit kemudian dua koki lain mulai menyiapkan menu sarapan.

Susilo, 41, tinggal menyesuaikan. Dia mengisi bagian yang bolong. Toh, menu sudah disiapkan di awal bulan. Mereka juga bukan tim yang baru.

“Saya sudah 10 tahun menangani dapur Djarum. Sudah biasa memulai kerja dari pagi dan bersama-sama tim,” kata Susilo yang ditemui detikSport di Kudus, Jawa Tengah belum lama ini.

Tim dapur bukan hanya mereka berempat. Ada satu lagi, dokter gizi, yang selalu memantau kecukupan nutrisi para pemain PB Djarum.

Mereka tidak hanya bertugas menyediakan asupan makanan yang cukup nutrisi, tapi juga sesuai selera para pemain dan pelatih. Soal yang kedua, Susilo tak kesulitan. Sebagai lulusan sekolah boga, dia punya banyak daftar menu makanan yang bervariasi.

“Sebulan sekali ada pertemuan dengan dokter gizi untuk evaluasi. Apakah menu yang sudah diberikan satu bulan lalu disukai atau tidak. Kami juga bertanggung jawab terhadap pemantauan berat badan atlet,” kata Susilo.

Agar memudahkan pemantauan, Susilo menyusun atlet dalam beberapa kategori sesuai kelompok umur dan penanganannya. Di antara kelompok-kelompok itu, ada satu grup yang menarik, yakni kelompok “anak kurus”.

Dari daftar yang dimiliki Susiolo saat ini, ada sembilan anak yang masuk kategori tersebut. Mereka mendapatkan penanganan khusus dengan tambahan makanan di luar jadwal normal.

“Kategori ini kebanyakan diisi dari atlet-atlet kelompok umur di bawah 15 tahun dan baru masuk. Mereka sulit sekali makan. Makanya kami tambah dengan makanan ringan empat sampai lima kali sehari,” tutur Susilo.

“Untuk kategori anak kurus ini kami tak bisa menangani sendirian. Kami bekerja sama dengan pelatih. Utamanya untuk membujuk si anak agar mau menaati jadwal makan,” imbuh dia.

Menurut Maria Kristin Yulianti, pelatih tunggal putri U-13 PB Djarum, persoalan itu memang seolah jadi tradisi. Setiap tahun ada saja anak-anak yang masuk kategori ‘anak kurus’.

“Ada lo anak-anak yang sampai menyembunyikan makanan di bawah piring. Bisa jadi mereka tidak doyan, utamanya sayur. Tapi kami kan memantau terus dan kami bujuk dengan segala cara agar anak-anak menghabiskan makanan yang sudah disediakan,” ucap Maria.

Saat ini, PB Djarum dihuni 77 atlet dan 13 pelatih. Untuk memenuhi makan seluruh personal itu, Susilo biasanya menyiapkan sekitar 30-40 kilogram beras per hari. Kebutuhan beras di pagi hari paling sedikit, paling hanya 10 sampai 15 kilogram karena atlet dan pelatih diberi pilihan roti tawar dan sereal.

Beras untuk makan siang dan malam biasanya masing-masing waktunya butuh 15-20 kilogram. “Untuk sayur dan lauknya bervariasi. Biasanya satu kali makan kami sediakan dua macam sayur dan satu macam lauknya. Buah selalu ada,” ucap dia.

Sebagai gambaran, lanjut Susilo, untuk memenuhi makan siang timnya harus menyiapkan ikan hingga 14 kilogram atau udang dengan jumlah yang sama. Untuk ayam kampung biasanya mencapai 25 ekor.

Sayur juga bervariasi. Hari ini sayur lodeh, besok sayur asam. Dan bisa berganti dengan sop. Suplemen dan vitamin disediakan di ruang makan yang ada di seberang dapur dan tepat di belakang GOR.

Bagaimana kalau atlet bosan dengan menu makanan dna ingin jajan di luar?

“Kalau ingin jajan di luar tidak masalah, asalkan mereka menghabiskan jatah makanan yang sudah disediakan. Para atlet juga dibekali pengetahuan soal risiko makan di luar,” jelas Susilo.

Pernah dimuat di detikSport atau bisa dibaca di dapur PB Djarum

Perjalanan PB Djarum: Dari Barak Rokok menjadi Hall 16 Lapangan

Perjalanan PB Djarum dimulai dengan munculnya bocah berbakat dari Kudus, Liem Swie King dan Hastomo Arbi. Dalam perjalanannya, klub itu mempunyai markas sendiri dan menjadi klub bulutangkis raksasa di tanah air.


Munculnya Liem Swie King dalam Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis 2015 membuka cerita lama soal cikal bakal PB Djarum. Program Director Bakti Olahraga Djarum Fundation, Yoppy Rosimin, menyebut Liem Swie King adalah sosok sentral berdirinya PB Djarum Kudus.

Konon, dia ditemukan langsung oleh owner Djarum, Budi Hartono, ketika tengah bermain di lapangan outdoor. Sekali dua kali Budi menyaksikan kehebatan Siwe King bocah. Dia pun direrut untuk berlatih bersama para karyawan Djarum yang berlatih tiap malam di barak rokok milik Djarum di Kudus, Jawa Tengah.

aya berkesempatan mengorek cerita itu dalam salah satu perjalanan ke Kudus, Jawa Tengah di pekan pertama September 2015 ini. Cerita makin mengasyikkan dengan hadirnya para legenda bulutangkis yang sekaligus jadi cikal bakal PB Djarum, Liem Swie King dan Hastomo Arbi.

****

Ketika para pelinting rokok pulang, salah satu barak di Jalan Bitingan Lama, Kudus ‘disulap’ menjadi lapangan bulutangkis. Karyawan pabrik rokok itu memanfaatkan gedung tersebut sebagai tempat untuk menyalurkan hobi bermain bulutangkis.

Suatu ketika di tahun 1960-an, gedung itu tak hanya menampung karyawan. Ada tiga bocah yang ikut berlatih di sana. Dua di antaranya Liem Swie King dan Hastomo Arbi.

“Dulu kami latihan di gedung lama, di Jalan Bitingan Lama. Setiap sore kami harus menyingkirkan alat-alat untuk bikin rokok itu. Bau ruangan juga sangat menyengat, bau cengkeh, bau tembakau. Biasanya mulai pukul 18.30 sampai jam 21.00. Setelah latihan selesai kami kembalikan lagi alat-alat itu ke tempatnya,” kata Hastomo.

“Kami dulu dilatih langsung oleh Pak Budi Hartono. Waktu itu latihannya sederhana saja, eh ternyata latihan itu benar lho. Jam 16.00 latihan fisik dulu, yang paling umum lari,” ucap kakak Haryanto Arbi itu.

Latihan fisik itu biasanya digeber di Desa Colo, Kecamatan Dawe yang mempunyai jalur tanjakan ke arah Gunung Muria.

Adanya dua pemain yang berlatih bersama-sama karyawan itulah yang menjadi tonggak berdirinya PB Djarum. Sejak adanya tiga bocah tersebut Djarum mulai merekrut pemain-pemain muda usia untuk bergabung. Tentunya bukan hanya karena kehadiran Liem Swie King dkk. tapi juga karena mereka mampu menunjukkan prestasi yang menawan di level nasional.

Ya, Liem Swie King yang menunjukkan prestasi bagus di kancah nasional membuat Budi Hartono, pemilik PT Djarum mulai berniat serius membina atlet muda. Hastomo yang sempat bergabung kemudian lepas dari Djarum, direkrut lagi.

Baca juga: Ketika Para Legenda Reuni di Markas PB Djarum

Pemain-pemain muda mulai ditarik untuk bergabung. Pelatih didatangkan. Kala itu Djarum belum menyediakan asrama. Para pemain kos di sekitar barak di jalan Bitingan Lama itu.

Latihan di barak Jalan Bitingan Lama itu berlangsung hingga 1982. Pusat latihan POR Djarum dipindah ke GOR Kaliputu yang juga ada di Kudus. Saat itu Djarum bukan hanya membina bulutangkis, tapi juga jadi pusat pelatihan bridge, tenis, tenis meja, sepakbola, dan voli.

GOR Kaliputu dibangun khusus untuk pusat pelatihan bulutangkis. Ada 10 lapangan dan asrama pemain. Dari Kaliputu itu lahir pemain-pemain bintang seperti Hariyanto Arbi, Denny Kantono, dan Sigit Budiarto.

Dalam perjalanannya, prestasi bulutangkis mulai tak konsisten di tahun 2000. Petinggi Djarum, Victor Hartono, menggagas untuk membuat GOR baru yang lebih luas dengan fasilitas yang lebih komplet.



GOR itu kemudian dibangun di atas tanah 4 hektar di Jalan Jati, Kudus. Selain hall dengan 16 lapangan, asrama berkapasitas 80 atlet serta rumah untuk pelatih, GOR itu juga memiliki kantor dan perpustakaan, ruang latihan beban, ruang pijat, dan fisioterapi. Asrama juga dilengkapi ruang makan dan dapur. Untuk mengatur menu bagi para atlet itu disediakan dokter gizi dan tim koki.

Menurut Edy Prayitno, ketua bagian administrasi GOR Djarum, menyebut saat ini ada 77 atlet menghuni asrama tersebut, masing-masing 43 putra dan 34 putri.

Sekali waktu, GOR itu juga digunakan untuk kegiatan di luar para pemain Djarum. Tahun 2014, PBSI memanfaatkan PB Djarum sebagai lokasi karantina menjelang Piala Thomas Uber.

Rencananya 7-11 Oktober tahun ini, GOR Djarum juga bakal jadi perhelatan Kejuaraan Asia U-15 dan U-17.

GOR itu kini menanti kelahiran bintang-bintang dunia. Semoga ada kado terindah di tahun depan, saat GOR tepat berusia 10 tahun.

“Dulu fasilitas seadanya saja juara melulu, sekarang dengan fasilitas yang lebih bagus semestinya juara lebih banyak dicetak,” kata Liem Swie King.

Saat Tangis Itu Benar-benar Luka

Ini bukan tawaran solusi, hanya curahan hati 


  Kekalahan Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir di semifinal Olimpiade 2012 London benar-benar menyesakkan. Ngoceh di twitter dengan sumpah serapah untuk para pejabat dan ofisial yang menyiapkan amunisi ala kadarnya untuk atlet ke multieven empat tahunan menjadi pelipur lara.

 Namun air mata Butet, begitu saya menyebut Liliyana, yang memaksa tumpah saat dicegat media usai pertandingan dan Towi yang memilih mojok dengan menutup wajah memakai handuk, yang ini lewat pandangan mata Widya Amelia, penulis di PBSI, membelokkan kesedihan menjadi luka patah hati tanpa ucapan perpisahan. Amat sangat menyakitkan.

 Kemudian pekerjaan menuntut saya merangkum foto-foto lama Susi Susanti, Alan Budi Kusuma, Ricky Subagja dan Rexy Mainaky. Juga memori Tony Gunawan dan Candra Wijaya serta Taufik Hidayat dan Markis Kido/Hendra Setiawan yang naik podium tertinggi membuat semakin melankolis. Saat itu pasti Indonesia Raya berkumandang di seantero ruangan. Gemanya mengalir sampai jauh…jauh sekali dan semakin riuh di negri kita sendiri.

 Mereka juga menitikkan air mata. Haru. Sakral. Foto itu merekam bagaimana tak saya temukan kebengalan di wajah Taufik dan keisengan yang terlanjur distempel untuk menggambarkan Rexy. Suka cita begitu jelas di wajah Kido. sama sekali tak ada amarah meski di atas podium kepalanya dielus ganda Cina Fu Haifeng dan menjadi abadi sampai bertahun-tahun kemudian.

 Ah, seandainya air mata Butet dan Owi setara dengan tears of joy milik pendahulunya. Juga suka cita itu.

 Namun, jika boleh jujur saya justru menyimpan rasa syukur kali ini Indonesia tak pulang membawa emas. Saya belum dapat melupakan duka lara di New Word  Hotel, Wuhan Mei lalu. Di hotel itu Taufik Hidayat yang masih menjadi jendral para pemain Indonesia meski tak lagi menjadi pebulu tangkis pelatnas menumpahkan keluh kesahnya.

  Acara wawancara itu sudah tak beda dengan sesi curhat si peraih medali emas Olimpiade Athena 2004 tersebut. Betapa sangat amburadulnya persiapan Piala Thomas Uber. Betapa keberangkatan ke negri berpenduduk semiliar orang itu bak formalitas belaka. Bahkan tim Uber yang harus terseok untuk mendapatkan tiket putaran final pun tak menjadi alasan kuat untuk berbenah. “Tak ada evaluasi setelah babak penyisihan di Makau itu.”

 Nah, saya menduga PB PBSI juga tak melakukan evaluasi dan gebrakan menjelang Olimpiade 2012 kali ini. Lip service “mengamankan” pemberitaan di ratusan media tampaknya lebih penting daripada acara perbaikan internal. Tak ayal julukan Mr evaluasi pun muncul.

“Ah, jawaban pasti sama tinggal template.” Itu guyonan yang jamak dilakukan pekerja media yang mengawal bulu tangkis karena memang sama sekali tak ada beda evaluasi satu turnamen dengan yang lain.

 Hasil tak meyakinkan mayoritas pebulu tangkis di turnamen perorangan hanya membuat pusing sebentar, tak sampai pusing tujuh keliling. Di sektor tunggal putra pemain bahkan kehilangan pelatih dengan kepulangan Li Mao ke Cina menjelang terbang ke London. Sebelumnya pelatih tunggal putri Wong Tat Men juga kabur dari pelatnas. Tak ada keterangan resmi. Malah dia dikabarkan mundur dari Cipayung lantaran ada teror yang dilayangkan kepadanya.

 Tunggal putra dan putri memang berangkat tanpa target. Harapan diberikan Simon Santoso setelah menjadi juara Indonesia Open 2012 Mei lalu, tapi saat dadu undian dilempar dia dan Taufik mati kutu. Mereka dihadang dua pemain terbaik dunia saat ini, Lee Chong Wei (Malaysia) dan Lin Dan (Cina). Firda sudah kalah sebelum bertanding. Jejak rekamnya hanya cukup untuk menjadi pupuk bawang di Olimpiade. Penampilannya di ajang super series tak pernah lebih jauh dari babak kedua.

 Bagaimana ganda putra dan ganda putri? Dua nomor itu memang sejak awal sama sekali tak diunggulkan. Mantra bim salabim pun tampaknya tak cukup manjur mengangkat pamor mereka untuk melaju sampai podium paling tinggi. Bahkan jika diucapkan serentak 250 juta jiwa penduduk Indonesia. Penampilan stabil tak sampai semifinal pada super series menjadi alasan. Aroma perpecahan antara Bona Septano dan Muhammad Ahsan bukan rahasia lagi sepanjang persiapan Olimpiade.

Ganda putri Greysia Polii dan Meiliana Jauhari juga tak menjanjikan apapun kecuali cari pengalaman di London. Mereka jarang sekali menang saat menghadapi ganda Korea Selatan. Malah sudah kalah mental dulu sebelum bersua pemain dengan kostum Cina.

 Harapan bertumpu di pundak Liliyana dan Towi. Liliyana yang menjadi kapten lapangan memang sudah mampu memimpin Towi. Penampilan Towi juga mulai menjanjikan usai menjadi juara All England 2012. Kemudian merajai gold grand prix dan super series sesudahnya. Peringatan kecil muncul saat mereka gagal juara di Indonesia Open 2012 Mei lalu. Di laga itu terlihat bagaimana Towi cenderung berubah menjadi pria takut “istri” saat Butet ngamuk. Towi belum dapat mereduksi unforced error yang dibukukan Butet yang  sudah kadung emosional.

 Saya memang tak hendak menyuguhkan solusi. Saya hanya ingin menyampaikan jika kekuatan bulu tangkis kita lelah dengan beban yang diberikan setiap empat tahun sekali itu. Lelah setiap kali mereka harus berjuang sendirian. Tapi bukan berarti saya membenarkan pengurus yang meributkan tak ada dana dan sudah melakukan evaluasi. Selalu mempertanyakan dukungan pemerintah tapi selalu bisa membawa ofisial gemuk pada tiap turnamen.

 Saya justru mempertanyakan ke mana miliaran uang pembinaan cabang olahraga lain? Tak adakah keinginan untuk sejajar dengan bulu tangkis yang mampu naik podium tertinggi pada lima kali Olimpiade terakhir? Apakah pengurus cabang olahraga lain juga sibuk mempertanyakan dukungan pemerintah dan minimnya dana?  Tapi mereka juga bisa memberangkatkan ofisial yang jumlahnya lebih besar daripada tim inti?

Penjaga tradisi emas Olimpiade sejak 1992


1992 Barcelona         2 emas Susi Susanti dan Alan Budikusuma

1996 Atlanta             1 emas Ricky Subagja/Rexy Mainaky

2000 Sydney              1 emas Tony Gunawan/Candra Wijaya

2004 Athena              1 emas Taufik Hidayat

2008 Beijing              1 emas Markis Kido/Hendra Setiawan


Juni 2012

Selasa, 01 September 2015

Panggilan Bulutangkis, 'Sang Raja' Akhirnya Turun Gunung

Lama tak terdengar kabar beritanya, legenda bulutangkis Indonesia Liem Swie King "turun gunung". Ia merasa harus comeback karena merasa "gregetan" dengan prestasi di nomor tunggal putra.


Liem Swie King menjadi salah satu mantan pemain top yang masuk dalam tim pemandu bakat Audisi Djarum Beasiswa Bulutangkis 2015, yang sedang berlangsung di Kudus, Jawa Tengah.

Kehadirannya pun tak pelak menjadi pusat perhatian. Maklum, sangat langka dia "muncul" ke publik, terutama sejak kariernya sebagai pemain selesai di tahun 1988, setelah dia memutuskan gantung raket.

Di masa jayanya, semua orang tahu siapa dia: salah satu pebulutangkis (tunggal) putra terbaik yang pernah ada di planet bumi. Dia pun memiliki julukan yang lekat dengan namanya sendiri -- dan hanya satu di dunia: King Smash.

King sempat muncul lagi ketika meluncurkan biografi berjudul 'Panggil Aku King' di tahun 2009. Serangkaian acara jumpa fans dan penandatanganan buku membuat King kembali mendekat dengan bulutangkis. Tapi, setelah itu dia menghilang lagi -- dan kembali ke bisnis yang dia lakoni.

Nah, mulai tahun ini pemilik tiga kali juara All England tersebut benar-benar comeback ke bulutangkis. Dia menjadi pemandu bakat Audisi Djarum Beasiswa Bulutangkis 2015 bersama 13 pemain legenda lainnya.

"Dengan melihat prestasi tunggal putra yang belum muncul juga sampai saat ini, saya sangat terpanggil untuk bisa menggairahkan kembali prestasi bulutangkis di Indonesia," kata Swie King di Kudus, Senin (31/8/2015).

Kendati sudah absen cukup lama dari bulutangkis, bukan berarti Liem Swie King abai dengan perkembangan badminton Indonesia. Pria berusia 59 tahun itu mempunyai sejumlah catatan soal seretnya prestasi sektor tunggal putra.

Faktanya, Indoensia seolah tak bergigi di tunggal putra setelah Taufik Hidayat pensiun. Sony Dwi Kuncoro, Simon Santoso, dan Tommy Sugiarto yang diharapkan bisa menggantikan Taufik tak melaju sesuai harapan.

"Saya tergerak melihat tingginya potensi pemain-pemain berbakat di banyak daerah. Tapi, setelah memasuki pemain senior mereka malah tidak bisa menembus ke atas," ucap putra asli Kudus itu.

"Kendala banyak, kompleks, tapi dari pengamatan saya yang paling besar pengaruhnya adalah soal motivasi. Sebagai pemain memang harus mempunyai kegigihan. Di level junior bagus, tapi setelah masuk ke senior motivasi turun, cepat puas hanya jadi juara level nasional, ya susah.

"Masukan saya, mereka, para pemain itu, harus berlatih lebih intensif, lebih dari yang sebelumnya. Juga soal motivasi. Saya berharap muncul bibit-bibit muda, terutama di sektor tunggal," jelas King.

Yoppy Rosimin, program director Bakti Olahraga Djarum Foundation, mengatakan kehadiran Liem Swie King diharapkan bisa menjadi garansi kesuksesan pembibitan di PB Djarum.

"Kembalinya King ke PB Djarum ini seperti menjadi sugesti bagi kami kalau akan muncul juara dari tunggal putra," jelas Yoppy.

Satu cerita lain di luar bulutangkis dari seorang King adalah dia pernah menjajal akting bersama aktris Eva Arnas dan Ida Leman dalam film berjudul "Sakura dalam Pelukan".

Nah, saat ditanya kemungkinan main film lagi, King menjawab sambil tertawa. "Waktu itu kan pas ada kesempatan saja, he he he," ucap dia.

Welcome back, King!

Sabtu, 22 Agustus 2015

Curhat Sony Dwi Kuncoro Soal Keinginan Comeback ke Jalur Profesional

Sony Dwi Kuncoro sudah melewati masa-masa emas sebagai pebulutangkis dunia. Kariernya meredup hingga harus meninggalkan pelatnas. Kini arek Surabaya itu bertekad untuk kembali ke jalur profesional.


Kedatangan Sony ke ruang konferensi pers usai laga di babak kedua kualifikasi BCA Indonesia Open Super Series Premier, Selasa (2/6/2015) menjadi spekulasi. "Biasanya sih kalau kalah dia tak mau datang ke konferensi pers," celetuk salah satu pewarta.

Ya, Sony tersingkir di babak kualifikasi. Dia dikalahkan pebulutangkis muda Anthony Ginting 9-21, 16-21 di Istana Olahraga (Istora), Senayan, Jakarta. Di babak pertama Sony sempat menjanjkan dengan mengalahkan Sattawat Pongnairat rubber games 17-21, 21-13, 21-2.

Rupanya, Sony membuktikan kalau dia sudah berubah. Sony mendatangi ruang konferensi pers. Percakapan malah bergulir santai.

"Menurut saya Anthony Ginting bermain pintar hari ini. Dia menunjukkan diri lebih matang ketimbang pretemuan pertama dengan saya di Vietnam Open. Dia sabar mengikuti permainan saya, satu dua pukulan mau mengolah lebih dulu, tak langsung menyerang," kata Sony membuka percakapan.

"Sebaliknya, saya sudah tak terlalu ngotot lagi. Motivasi belum sebesar saat saya masih menjadi pemain pelatnas. Kondisi saya juga lebih bagus waktu di Vietnam.

"Mungkin kalau kondisi saya barusan juga sebagus di Vietnam gampang lah mengalahkan Anthony, he he he..

"Atau mungkin ini efek terlalu sering main lokal, bukan internasional. Level kan berbeda. Tapi, saya menjadi tahu kekurangan yang harus diperbaiki apa saja untuk tampil di kejuaraan inetrnasional ke depan.

"Selama 13 tahun saya di pelatnas, semua hal dalam kondisi enjoy. Semua disediakan. Serba enaklah. Setelah saya keluar, baru terasa, saya sampai seperti patah hati. Tepat setelah saya diputuskan untuk degradasi, saya langsung pulang ke Surabaya. Saya seolah sudah setengah gantung raket. Semua kejuaraan yang ditawarkan saya tolak. Padahal waktu itu tak perlu kualifikasi saya masih masuk. Kejuaraan Dunia, China Super Series, Denmark Open. Tapi, saya tidak mau.

"Eh, ternyata kok keenakan. Latihan, ya, begitu saja karena sparring partner tidak ada. Mau turnamen tak ada yang membiayai. Bahkan, saya sampai pindah klub dari Jaya Raya Surya Naga ke Tjakrindo Masters, Surabaya. Tapi, sampai sekarang belum ada kesepakatan soal kejuaraan apa saja yang harus saya ikuti dan soal biaya, pelatih, dan lainnya.

"Saya mulai tampil di turnamen-turnamen lokal. Ini sudah jadi karier, kalau enggak main dari mana saya dapat penghasilan.

"Kalau dari permainan, saya rasa teknik tak turun cuma soal fokus saja. Bahkan latihan saya lebih berat ketimbang saat di pelatnas. Kalau sudah fokus mau ke mana saja, saya yakin saya akan bisa kembali oke. Diberi target tak masalah.

"Di pikiran saya sih sudah ada gambaran mau ke mana saja. Lawan terberat diri sendiri. Kalau sudah ketemu deal-nya saya sudah siap untuk kerja lebih keras lagi, diberi target lagi. Selama ini kalau diibaratkan makanan, adonannya itu belum pas. Makanya, saya mulai ikut-ikut kejuaraan lagi agar dapat merasakan aura pertandingan.

"Soal cedera itu memang sudah jadi teman saya. Saya kan juga tak mau cedera, tapi sudah terlanjur ada cedera mau apa lagi," jelas pria 30 tahun itu.

Sony memang pernah menjadi andalan Indonesia dalam berbagai turnamen internasional. Prestasi terbaik dibukukan dengan meraih medali perunggu Olimpiade 2004 di Athena. Kala itu, emas diraih Taufik Hidayat. Sony juga pernah menjadi juara Indonesia Open tahun 2008.

Kamis, 20 Agustus 2015

Ini Para Pelatih Indonesia yang 'Mudik' Saat Kejuaraan Dunia di Istora

Indonesia 'mengekspor' pelatih-pelatih bulutangkis ke negara lain. Kejuaraan Dunia di Istora kali ini menjadi kesempatan 'mudik' bagi mereka.


Kendati Ketua Umum PP PBSI periode 2012/2016, Gita Wirjawan, sudah memulangkan banyak pelatih yang menangani negara lain, masih saja tak sedikit pelatih Indonesia menjadi arsitek di luar negeri. Beberapa yang ditarik ke Jakarta adalah Rexy Mainaky dari Filipina, Edwin Iriawan (India), Imam Tohari (Jepang), dan Eng Hian (Singapura).

Para pelatih yang kini menangani tim-tim negara lain itu tak kalah banyak. Di antaranya, Flandy Limpele di Jepang, Nunung Wibiyanto di Singapura, juga Namrih Suroto di Thailand, dan Rudy Gunawan yang sudah sejak 1999 di Amerika Serikat.

Di antara para pelatih itu hadir di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, bertepatan dengan Kejuaraan Dunia 10-16 Agustus tahun ini. Siapa saja?

1. Namrih Suroto



Namrih Suroto pernah menangani nomor ganda di pelatnas PBSI. Kini, dia menjadi kepala pelatih Granular, Thailand.

Namrih didapuk menjadi pelatih Granular menggantikan pebulutangkis Malaysia, Koo Kien Keat, di bulan Maret tahun ini. Salah satu pemain di klub itu adalah tunggal putra ranking pertama Thailand, Tanongsak Saensomboonsuk.

Selama lima bulan ini, Namrih tak mengalami kesulitan beradaptasi dengan suasana baru di Thailand ataupun dengan para pemainnya. Termasuk makanan tak jadi soal.

"Tapi setengah mati kalau soal bahasa. Apalagi tulisannya beda banget, sedikit repot kan jadinya," kata Namrih kemudian tertawa.

Untungnya, masalah itu tak muncul di pelatnas. Sebab, para pemain Thailand paham bahasa Inggris.

2. Hendrawan



Hendrawan mulai menangani tim nasional bulutangkis Malaysia 2009. Di awal karier bersama Malaysia, dia menangani tim junior tapi kini mendampingi pemain tunggal, Lee Chong Wei.

Hendrawan sempat diminta untuk pulang ke Indonesia di awal masa kepengurusan PP PBSI Gita Wirjawan. Tapi, karena keluarga sudah terlanjur ikut pindah ke Malaysia, Hendrawan menolak ajakan itu.

Kini, di Kejuaraan Dunia yang bergulir di Istora Hendrawan sekaligus mudik bersama istri, Slivie, dan dua anaknya. Mereka menyempatkan untuk pulang ke Pemalang, Jawa Tengah.

"Pulang ke rumah mertua," kata Hendrawan yang juga kakak ipar juara dunia 2015, Hendra Setiawan, itu.

3. Riony Mainaky



Kejuaraan Dunia Bulutangkis sekaligus menjadi arena 'berkumpulnya' keluarga Mainaky. Riony yang datang jauh dari Jepang bisa bertatap muka dengan Rexy dan Richard di Istora.

Rexy dan Richard sudah berada di bawah naungan satu bendera yang sama, Indonesia. Riony masih menjadi pelatih tim nasional Jepang.

Ketiganya pernah hadir di Istora dengan bendera yang berbeda-beda. Richard tak pernah meninggalkan Indonesia. Dia loyal menjadi pelatih ganda campuran di pelatnas PBSI.

Rexy pernah melalang buana sampai ke Inggris dan Malaysia, kemudian hengkang ke Filipina. Dia kemudian diminta pulang saat Gita Wirjawan terpilih menjadi ketua umum PP PBSI periode 2012/2016 untuk menjadi kepala bidang prestasi dan pembinaan PP PBSI.

Riony sudah lama berstatus sebagai pelatih Jepang. Dia menjadi salah satu pelatih yang mendampingi para pemain putra Jepang meraih Piala Thomas tahun 2014.

Sejatinya, masih ada Marlev dan Karel yang juga jadi pelatih. Marlev menjadi asisten pelatih tunggal putra pelatnas, Karel menangani menangani klub Jepang, Renesas.

4. Rudy Gunawan



Rudy Gunawan mendapatkan kesempatan 'pulang' saat mendampingi para pemain Amerika Serikat ke Kejuaraan Dunia di Istora pada 10-16 Agustus di Jakarta. Rudy menyempatkan diri untuk menikmati makanan favoritnya di Jakarta.

Rudy tak mempunyai banyak waktu selama di Jakarta. Dia benar-benar mendampingi anak asuhnya, Phillip Chew, Jimie Subandi, dan Sattawat Pongnairat selama kejuaraan.

Sejak awal, Rudy memang tak berniat untuk pulang ke rumah keluarga besar mengingat tugas profesionalnya itu. Setelah para pemain pulang ke AS bertumbangan, di sela-sela kejuaraan Rudy menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat makan paling favorit dia.

"Kalau ke Jakarta saya selalu mampir ke bakmi Gajah Mada he he he. Enggak tahu kenapa ya seolah-olah saya harus mampir ke sana. Rasa bakminya selalu bikin kangen," kata Rudy yang sudah sejak 1999 menangani tim AS itu.

Selain itu, dia menyempatkan diri untuk berkumpul dengan pemain-pemain seangkatan di markas Djarum, Petamburan, Jakarta Pusat.

5. Paulus Firman



Paulus Firman menyempatkan untuk berkumpul dengan keluarga pada hari-hari terakhir pelaksanaan Kejuaraan Dunia Bulutangkis pertengahan Agustus ini. Sebab, tak ada libur panjang setelah kejuaraan itu.

Paulus menangani tim nasional Filipina sejak Januari tahun 2014. Setiap mendampingi pemain ke Indonesia, dia menyempatkan untuk kumpul dengan keluarga.

"Saya selalu mendampingi tim lebih dulu, barulah setelah para pemain kembali ke Manila hari Jumat pagi, saya pulang ke rumah," kata mantan pelatih ganda putri pelatnas PBSI (1999-2012) dan pernah menangani di Malaysia (2013).

"Di hari Sabtu manajer tim nasional Filipina yang masih di Jakarta mengundang saya dan keluarga untuk sarapan di hotel. Setelah itu benar-benar waktu saya maksimalkan bersama keluarga, nonton, ke gereja, dan nongkrong. Waktunya sangat pendek, saya lebih memilih berkumpul dengan keluarga," beber dia.

Bersama Filipina, Paulus dikontrak selama dua tahun dengan peninjauan kontrak setahun sekali.




Selasa, 11 Agustus 2015

Liliyana 'Butet' Natsir, Melejit Sebagai Tumpuan

Liliyana Natsir malah kerap sukses saat tekanan besar ada di puncaknya. Utamanya jika menjadi sosok yang selalu bertugas untuk mengembalikan titel juara untuk Indonesia. Dia masih punya obsesi untuk meraih emas Olimpiade.



Tak mudah mengatur pertemuan dengan Liliyana Natsir setelah menjadi juara All England untuk kedua kalinya. Sederet jadwal wawancara dengan berbagai media sudah dikantongi perempuan berusia 28 tahun itu setiba di Tanah Air, Selasa pekan lalu.

Belum lagi ditambah jadwal latihan yang tak bisa diganggu gugat. Maklum, dua event besar sudah menanti, Piala Sudirman dan Kejuaraan Dunia.

Butet, begitu sapaan karibnya, pun harus pandai-pandai mengatur agenda. “Jangan berat-berat, ya, pertanyaannya, capek habis latihan,” kata Liliyana kepada Detik di Pusat Pelatihan Nasional Bulu Tangkis PBSI, Cipayung, Jakarta Timur, kemarin siang.

Tapi rupanya kalimat itu hanya basa-basi. Butet tetap ramah dan menjawab segala pertanyaan. Wanita kelahiran Manado, Sulawesi Utara, itu dengan antusias membeberkan banyak hal, termasuk ambisinya di masa datang.

“Saya masih ingin menjadi juara Olimpiade,” katanya. Meski, ujarnya, pada Olimpiade 2016 usianya tak lagi muda. Umur Butet nanti mendekati 31 tahun.

Bukan hanya sesumbar, sejak saat ini Butet menyiapkan amunisi. Stamina sebagai modalnya, selain kepiawaian dan kecerdikan mengolah bola, diasah dari sekarang.

“Saya harus disiplin mengatur pola makan dan istirahat serta latihan sesuai dengan kebutuhan saya. Meski ada pelatih, saya sendirilah yang paham kebutuhan badan saya,” kata penyuka musik R&B dan jazz itu.

Ya, Butet bukan atlet kemarin sore. Pengalaman sudah mengantar dia untuk tahu diri. Soal disiplin, para pemain junior dan mereka yang lebih dulu berkarier di pelatnas memberikan acungan jempol kepadanya.

Bahkan, Butet dikenal sebagai pemain yang tak pernah terlena oleh keindahan kota dan negara yang dikunjungi saat kejuaraan. “Saya datang ke lokasi pertandingan untuk menjadi juara, bukan jalan-jalan,” kata wanita berzodiak Virgo itu.

Tak mengherankan jika dua gelar juara dunia dan dua kali podium tertinggi kejuaraan klasik All England menjadi koleksi wanita yang berulang tahun setiap 9 September 1985 itu. Kejuaraan dunia didapatkan saat berpasangan dengan Nova Widianto, sedangkan All England setelah berpasangan dengan Tontowi Ahmad.

Prestasinya juga moncer di ganda putri meski tak pernah punya pasangan tetap. Bersama Vita Marissa, Butet pernah menjadi juara China Masters 2007 dan Indonesia Terbuka 2008.

Istimewanya, Butet mempersembahkan gelar juara itu setiap kali Indonesia paceklik gelar juara. Dia menjadi penyelamat Merah Putih pada Kejuaraan Dunia 2007.


Kemudian pada kejuaraan All England. Gelar juara All England pertamanya menjadi penutup absennya wakil pemain Indonesia sejak 2003 lampau saat Chandra Wijaya/Sigit Budiarto naik panggung tertinggi. Begitu pula saat menjadi juara super series di nomor ganda putri.

Konsistensi Butet juga pantas mendapatkan apresiasi. Bersama Nova, Butet menguasai peringkat tertinggi dunia selama lima tahun.

Kemudian, bersama Tontowi, bungsu dari dua bersaudara itu stabil sebagai pemegang peringkat kedua dunia. Liliyana memang sudah disegani sejak di kelompok umur junior. Dia membukukan gelar juara saat berpasangan dengan Markis Kido pada kejuaraan Asia 2003.

“Saya mendapatkan semua ini bukan hanya karena faktor lucky, tapi saya memang punya kualitas,” kata Butet. “Sejak kecil saya memang tak pernah mau kalah," tegas dia.

***

Artikel ini pernah dimuat di Harian Detik pada 27 Maret 2013. Kala itu, Butet baru saja menjadi juara All England untuk kedua kalinya. Kini Butet masih menjadi tumpuan untuk menyelamatkan muka Indoensia di hadapan publik sendiri, pada Kejuaraan Dunia Bulutangkis yang dihelat di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

Mampukah?

Minggu, 12 Juli 2015

Tantangan Tontowi Ahmad dkk. di Bulan Puasa

Keputusan berbeda-beda dijalani para pebulutangkis pelatnas dalam menjalankan ibadah puasa. Tontowi Ahmad bayar fidiah Rp 15 Juta, Tommy Sugiarto sampai diinfus, M. Ulinnuha paling tahan dahaga
STABIL: Adriyanti Firdasari tak menurunkan porsi latihan selama bulan Ramadan. Dia bersiap menghadapi Kejuaraan Dunia di Guangzhou mulai 5-11 Agustus 2013
Dilema dirasakan para atlet pemusatan latihan nasional (pelatnas) bulu tangkis selama bulan ramadan. Keinginan untuk menjalankan ibadah puasa kencang dirasa, namun latihan berat tak bisa dikompromi.

Bulan ramadan menjadi tantangan tersendiri bagi para pebulutangkis pemusatan latihan nasional (pelatnas). Pilihan berat harus dijalani: tetap berpuasa atau merutang.

Ya, jadwal makan dan minum yang dibatasi sejak magrib sampai imsak tidak bisa tidak bakal mempengaruhi aktivitas Tontowi Ahmad dkk. Sebab, latihan berjalan tak ada beda dengan 11 bulan di luar ramadan. Ada latihan fisik dan game.

Seluruh pemain tetap wajib mengikuti latihan berdurasi tiga jam di pagi hari dari Senin sampai Jumat. Plus dua jam di sore hari mulai pukul 16.00 sampai 18.00 pada Senin, Selasa, Kamis dan Jumat.

“Tak ada perbedaan latihan antara pemain muslim dan bukan. Kami paham soal itu,” kata Mazizah Nadir, pemain tunggal putri pelatnas PBSI.

Pemain tunggal putri pelatnas lainnya, Adriyanti Firdasari, menyiasati untuk berpuasa pada Rabu dan akhir pekan, Sabtu dan Minggu. “Untuk hari-hari yang harus berlatih dua kali saya tak puasa,” kata Firda.

Langkah hampir sama juga diambil peraih dua juara All England, Tontowi Ahmad. Dia berpuasa pada hari tanpa latihan. Artinya, dia hanya berpuasa Sabtu dan Minggu.

“Kalau dihitung, Ramadan kali ini saya puasa empat hari, hanya tiap akhir pekan,” kata Tontowi.

Keputusan itu tak selalu mulus. Puasa memang tuntas, tapi efek tak mengenakkan berlanjut pada Senin.

“Hari Minggu lalu saya mencoba puasa, tapi ternyata malah tidak enak badan. Rasanya mau pingsan saat latihan Senin lalu,” kata pasangan Liliyana Natsir itu.

DEHIDRASI: Tommy Sugiarto mencoba untuk puasa di hari kedua Ramadan, namun dia justru kekurangan cairan dan dilarikan ke RS Puri
Serupa Tommy Sugiarto juga memilih untuk tak berpuasa jika ada latihan.

“Saya pernah mencoba untuk tetap puasa, pada hari kedua, tapi saya malah dilarikan ke rumah sakit karena kurang cairan,” kata juara Singapura Terbuka 2012 itu.

Tommy sampai harus bed rest tiga hari sesudahnya.

Seperti Firda dan Tontowi, Tommy berusaha puasa pada Sabtu dan Minggu.

“Saya sering kali berpikir kapan mengejar akhirat, tak hanya melulu urus dunia,” ujar Tommy berkeluh kesah.

Dia pun menghitung frekuensi bolong puasa sudah terjadi 10 tahun terakhir. Tommy mengingat puasanya tak pernah lengkap selama satu dasawarsa itu.

Lain lagi pengalaman Muhammad Ulinnuha. Pemain ganda putra itu berusaha untuk tetap berpuasa. Tak hanya pada akhir pekan tapi juga Senin sampai Jumat.

“Sudah biasa sejak dari klub dulu. Ibu berpesan agar saya selalu niatkan berpuasa. Tak jadi persoalan kalau nanti terpaksa berhenti di tengah jalan, tak masalah,” kata Ulinnuha.

PESAN IBU: Muhammad Ulinnuha terbiasa tetap berpuasa meski jadwal latihan tak berubah

Pada Ramadan kali ini Ulinnuha hanya absen puasa satu hari.

“Dikuat-kuatkan. Godaan paling besar pada tengah hari, kalau sudah sore malah sudah tak masalah. Termasuk saat harus latihan sore,” kata dia.

Teknik yang digunakan Ulinnuha agar tak dehidrasi adalah minum sebanyak-banyaknya saat berbuka dan saur. Dia juga mengonsumsi suplemen.

Lantas bagaimana mereka membayar “hutang” puasa itu? Tontowi memilih untuk membayar fidiah. Toh, pada bulan-bulan berikutnya jadwal latihan masih menanti.

“Menurut Ibu, bayar fidiah sampai Rp 15 juta, Itu sejak entah kapan saya tak puasa,” kata dia.

Tommy mengombinasikan bayar fidiah dan puasa akhir pekan.

“Cara membayar puasa di akhir pekan bisa dilakukan saat saya di luar pelatnas. Kalau sekarang mungkin lebih mudah membayar fidiah,” kata pemain yang ada di urutan kedelapan dunia tersebut.

Ulinnuha yang hanya berhutang minim, dengan percaya diri memilih untuk membayar utang di lain hari. Toh, akhir pekan di bulan lain masih bisa digunakan untuk membayar puasanya.

Pernah dimuat di detikSport 24 Juli 2013

Sabtu, 11 Juli 2015

Hendra Setiawan, Pemburu Gelar di Jagat Badminton dari Pemalang

Hendra Setiawan yang berpasangan dengan Mohammad Ahsan sukses mengembalikan pamor ganda putra Indonesia di All England 2014. Bagi Hendra torehan positif itu sekaligus membuat komplet titel juara di turnamen individu.

Hendra kalem saat keluar dari ruang ganti di Sportmall Britama Kelapa Gading, Jakarta Utara Maret 2012 saat Axiata Cup. Padahal, dia sedang dirundung situasi yang kurang mengenakkan.

Hendra sih tidak mengumumkan secara langsung kerugian yang dideritanya malam itu. Bukan soal kalah menang di lapangan.  Ada hal lain.

Fakta itu terungkap ketika ada seorang wartawan yang meminta pin blackberry dia.

“Blackberry saya hilang barusan,” kata Hendra sembari nyengir waktu itu.

Ucapan simpati pun tak pelak diungkapkan  awak media yang mencegatnya di sana. Hendra menanggapi dengan ucapan terima kasih dan senyuman!

Tapi Hendra yang dikenal sebagai sosok kalem—menjawab ya atau tidak setiap kali ditanya dan pilihan kata seminimal mungkin–mulai menunjukkan gelagat lain. Dia seakan ingin berlama-lama ngobrol dengan para pewarta.

Bukan, bukan untuk melanjutkan curhat tentang blackberry-nya yang hilang.  Bagi dia mungkin blackberry bisa segera dibeli lagi.  Rupanya, ada hal lebih besar yang ingin diungkapkannya. Hendra seolah menyimpan bisul yang sudah tua, bisul yang sudah harus dipecahkan malam itu.

Setelah beberapa saat, mungkin setelah menimbang-nimbang dengan matang, Hendra akhirnya 'memecahkan bisul' itu di hadapan kami, para pewarta.

Hendra dengan suara lirih mengungkapkan hasratnya kembali menjadi skuat Cipayung!

”Saya belum juara All England. Saya ingin kembali ke pelatnas untuk bisa juara,” kata Hendra.

Kami pun terkejut dibuatnya. Tak ada rumor sebelumnya kalau hendra akan ke pelatnas lagi. Memang sih dia dan pasangannya, Markis Kido, tetap bersedia tampil untuk pelatnas, tapi bukan kembali ke pelatnas.  

Tapi bagaimanapun, pernyataan Hendra cukup masuk akal. Ya, tak ada gelar perorangan lain yang amat sangat diinginkan Hendra kecuali All England. Semua titel sudah didapatkan. Juara dunia, medali emas Olimpiade, juara Asian Games dan juara SEA Games. Nyaris komplit, kecuali All England.

Di level Asia Tenggara SEA Games pebulutangkis yang besar di PB Jaya Raya Jakarta itu mulai mengukir perburuan gelar. Ditotal jendral dia mengoleksi enam medali emas, dengan rincian tiga dari kategori beregu (2007, 2009, 2011) dan tiga nomor perorangan (2005, 2007, 2009). Predikat-predikat juara itu didapatkan bersama Kido.

Asia juga sudah ditaklukkan. Keduanya menjadi pemilik medali emas Asian Games 2010 di Guangzhou. Medali emas Kejuaraan Dunia didapatkan Kido/Hendra pada 2007 di Kuala Lumpur. Puncak prestasi diukir kedua pemain itu di Beijing saat Olimpiade 2008. Mereka menjadi penyelamat tradisi emas Olimpiade Indonesia.



Tapi perjalanan pasangan yang amat sangat serasi itu tak bisa dilanjutkan dalam sangkar pelatnas PBSI. Sebabnya, Kido mulai akrab dengan cedera. Kondisi Kido makin parah karena kemudian dia juga terkena tekanan darah tinggi pada suatu hari.

Kido merasa porsi latihan di pelatnas mulai amat berat. Sinyal untuk meninggalkan pelatnas menguat.

Hendra yang sudah merasakan susah senang sejak di klub, merintis jalan di pelatnas hingga merasakan panen prestasi dan materi pun setia. Seperti biasanya, tak banyak cingcong bungsu dari tiga bersaudara itu setia mengikuti Kido untuk berkarier di luar pelatnas. Toh, sponsor tak sulit didapatkan.

Mereka pun sepakat mundur dari pelatnas. Justru PBSI yang berat melepas duo pemain beda karakter itu. Tapi, apa mau dikata keputusan bulat.

Akhirnya PBSI melepaskan mereka dengan catatan: Kido/Hendra harus siap dipanggil timnas sewaktu-waktu. Kesepakatan dicapai.

Demi menjaga kualitas, pelatih ganda putra Sigit Pamungkas pun ikut meninggalkan pelatnas.

Tapi rupanya situasi di luar pelatnas tidak mudah. Latihan tak bisa serutin saat mereka tinggal di Pusat Bulutangkis Indonesia.

Dari soal lapangan saja. Para pemain pelatnas tak perlu susah payah. Dari jendela kamar di asrama pelatnas, hall yang berisi 21 lapangan pun kelihatan.

Sebaliknya, setela berada di luar pelatnas keduanya harus mengeluarkan uang untuk latihan. Juga butuh moda untuk menuju lokasi.

Tanpa lingkungan yang memang sudah dikondisikan untuk latihan, latihan dan latihan, disiplin latihan Kido/Hendra kendor. No pan no gain, performa Kido/Hendra pun naik-turun. Keduanya bukan lagi ganda putra yang ditakuti.

Kido sudah santai menanggapi masa depannya.

Hendra? Dia masih gatal untuk merasakan menjadi juara sebuah turnamen bulutangkis tertua sejagad raya: All England.

Lirih pernyataan di Sportmall Britama itu tak hanya didengarkan pewarta. Ada teori konspirasi yang terjadi seperti kalimat Paulo Coelho di novel Alchemist. “And, when you want something all the universe conspires in helping you to achieve it”. Ada jagat raya yang turut mendengarkannya.


Pebulutangkis kelahiran Pemalang, Jawa Tengah itu memang tak begitu mengenal novelis kelahiran Brasil tersebut. Dia juga tak pernah tahu sebelumnya jika kalimat itu tertera dalam buku tersebut. 

Tapi, Hendra tahu dan meyakini kalau dirinya hanya butuh keyakinan, kerja keras dan doa untuk mencapai puncak tertinggi karier sebagai pemain bulutangkis.

Hendra juga sudah melaksanakan satu hal yang penting dalam pencapaian cita-cita menurut motivator-motivator manapun. Yaitu, ceritakanlah mimpi itu kepada orang lain. Malam itu dia mengumumkannya di hadapan awak media.

Keinginan Hendra itupun berkembang menjadi sebuah spekulasi besar. Kabar itu menggelinding serupa bola salju.

Apalagi ada faktor-faktor lain yang mendukung. Pertama, dia makin rutin latihan di Cipayung. Kedua, pelatih ganda putra Herry Iman Pierngadi berniat membongkar pasangan yang dimiliki.

Disebut-sebut Mohammad Ahsan yang bakal jadi kandidat utama pengganti Kido. Sebagai pemain belakang Ahsan punya gebukan istimewa. Hanya saja prestasinya tak meledak bersama Bona Septano.

Artinya, PBSI memang sedang membutuhkan pemain depan yang oke. Toh keduanya juga pernah berpasangan di Piala Sudirman 2009. Hasilnya lumayan bikin kejutan buat lawan.

Rumor itu menjadi kenyataan. PBSI memisahkan Bona dan Ahsan. Lewat konferensi pers di PBSI pada akhir Agustus PBSI mengumumkan Hendra dipasangkan dengan Ahsan.

Tak butuh waktu lama, Ahsan/Hendra langsung klop. Sinyal positif ditunjukkan saat keduanya diterjunkan di Denmark Super Series 2012. Di turnamen perdana itu mereka membuat hasil lumayan, jadi semifinalis. Memulai 2013 juga dengan hasil yang tak buruk-buruk amat. Mereka mencapai final dan jadi runner-up.


Kemudian, keduanya naik podium pada Malaysia Terbuka. Indonesia Terbuka juga jadi panggung mereka. Sekali lagi Hendra menjadi juara dunia.

Ahsan/Hendra mengukuhkan sebagai kekuatan paling ditakuti sepanjang 2013 dengan menjadi juara dunia. DI akhir tahun mereka makin memantapkan diri sebagai pasangan terkuat sebagai jawara Super Series Final Masters di penghujung tahun.

Memasuki 2014, perjalanan tak mulus untuk keduanya di tahun ini. Performa Ahsan terganggu cedera punggung sepulang dari Malaysia Open Super Series sebagai juara. Tapi Hendra adalah sosok pendiam yang kokoh berdiri di atas tekad. Dia mengingat lagi alasan utama comeback ke pelatnas. Dia ingin jadi juara All England.

Semangat itu diungkapkan kembali tepat setelah kelahiran bayi kembarnya. “Belum lengkap, kan belum juara All England,” ucap Hendra yang lagi, lagi dengan kalimat pendek.

Hendra melengkapi tekad kuat itu latihan berat. Bahkan, dia membatasi perayaan menjadi ayah baru saat istrinya, Sandiano Arief atau yang akrab disapa Sansan, melahirkan bayi kembar, Richard Heinrich Setiawan dan Richelle Heiley Setiawan. Hendra hanya menengok istri dan anak-anaknya di Surabaya selama tiga hari.

Beruntung, Hendra besar di keluarga bulutangkis. Orang tua, besan dan anggota keluarga lainnya memberikan restu.

“Hendra sering bilang kepengin banget juara All England. Dia latihannya rajin banget. Nengok istri lairan juga cuma sebentar,” kata Silvie Hendrawan, kakak Hendra.

Pengorbanan itu berbuah manis, melebihi manisnya gula-gula Sugarpova. Momen istimewa itu terjadi pada Minggu (9/3/2014).

Smes nyangkut lawan memastikan Hendra yang berpasangan dengan Ahsan sukses menjadi juara All England. Ganda nomor satu dunia itu mengalahkan pasangan Jepang Hiroyuki Endo/Kenichi Hayakawa dengan skor 21-19, 21-19 di National Indoor Arena, Birmingham.

Kemenangan di partai final itu kian istimewa. Mereka sukses mengakhiri paceklik gelar ganda putra setelah 11 tahun lamanya. Candra Wijaya/Sigit Budiarto yang terakhir kali bisa mendapatkannya.

Setelah itu, Alvent Yulianto dan Luluk Hadiyanto hanya bisa sampai semifinal kemudian perempatfinal di tahun berikutnya. Bahkan, Hendra yang berpasangan dengan Kido belum mendapatkan predikat juara All England.


Buat Hendra, titel juara itu juga tak kalah membahagiakan. Ipar ekspemain nasional tunggal putra, Hendrawan, itu berhasil masuk jajaran super elite pebulutangkis nasional. Dia satu dari sedikit pemain yang punya gelar individu secara komplet. Hendra sudah benar-benar seorang juara!

“Target selanjutnya adalah Piala Thomas dan Asian Games, jadi kami bersiap untuk kedua turnamen penting ini. Kami ingin sekali bisa menjadi juara lagi,” ucap Hendra.

Sekali lagi S, jagad raya akan berkonspirasi agar ‘bisul yang sudah pecah’ itu terjadi.


Pernah dimuat di detikSport 10 Maret 2014

Jumat, 10 Juli 2015

Apa Kabarmu #superligabadminton

Menanti gebrakan #superligabadminton tahun depan



Kehorean #superligabadminton 2013 sudah lewat.Para juara sudah merayakan hadiah dan bonus.pemain-pemain pelatnas juga sudah heboh merayakan sponsor pribadinya hari ini

Rencana #superligabadminton bergulir setahun sekali cukup menarik. Sponsor Djarum oke, ketum PBSI Gita Wirjawan sepakat

Tapi bagaimana dengan kesiapan klub #superligabadminton?

#superligabadminton edisi 2013 saja sudah mengejutkan. Dua tim besar Tangkas dan SGS PLN tak menurunkan tim putri. Alesannya nggak cukup pemain

Padahal #superligabadminton membolehkan kontestan ngontrak pemain luar klub, asing & lokal

Lha kalo Tangkas dan SGS PLN yang masuk jajaran klub besar saja nggak punya pemain trus siapa yang mau tanding di #superligabadminton ?


Tak bisa disangkal dan ditampik, justru tim asing yang siap mengisi slot peserta #superligabadminton. Hebatnya mereka ga pake pemain asing. Padahal tim sudah digembosi,dgn ada yg main di klub lokal

Ngaca di #superligabadminton 2013 kemarin saja, Malaysia dan Jepang sudah bikin deg-degan.Bisik-bisik tetangga waswas piala jadi milik mereka

Itu dengan persiapan 2 tahun. Bagaimana #superligabadminton musim depan yg hanya berjarak 1 tahun?

Ngaca lagi dengan kejuaraan dunia yang gengsinya luar biasa saat msh jadi agenda 2 tahunan,kemudian jadi even yah-cuma-even-tahuan-ini


sbg suporter garis keras badminton sih happy2 #superlligabadminton jadi tahunan.tpi ya itu tadi,kualitasnya jgn yah-cuma-even-tahunan-ini

sekian dulu deh soal #superligabadminton semogah tetap jadi even bergengsi begituh *ketjup pak yopi dan pak gita tentu sajah :)))


Catatan Superliga 2013

Rabu, 08 Juli 2015

Ketika Taufik Hidayat Memilih Terbang Sendiri

 Sederet prestasi sudah ditorehkan Taufik Hidayat bagi Indonesia. Sekarang dia memilih untuk terbang sendiri. Regenerasi menjadi alasan utama.


Tak seperti biasa, Taufik Hidayat menggunakan lapangan latihan jauh dari pintu masuk Pusat Bulu Tangkis PB PBSI di Cipayung, Jakarta Timur. Dia juga tak berlatih dengan sesama tunggal pria.

Justru, dia bergabung dengan para pemain ganda di sudut lain. Tak disangka, itu menjadi kali terakhir Taufik mengayunkan raket di pelatnas Cipayung.

Kali terakhir berlatih bersama rekan-rekan sesama pelatnas. Menjadi bagian dalam tim elite bulu tangkis tanah air selama 12 tahun dilakoninya.

Kabid Binpres PB PBSI Lius Pongoh menyatakan, Taufik sudah memberikan keterangan resmi tak masuk pelatnas. Namun, Taufik masih enggan memberikan keterangan.

Barulah sehari kemudian (30/1), dia membenarkan pernyataan itu.

''Ya, kemarin menjadi waktu terakhir saya berlatih di pelatnas. Saya akui itu berat. Tapi, mungkin itu yang terbaik bagi saya dan (PB) PBSI,'' ucap Taufik membuka percakapan.

Bukan tak disengaja, Taufik mengadakan acara siang itu. Dia tak ingin namanya hilang begitu saja seperti para mantan atlet yang tak diingat meski memiliki karir mendunia semasa menjadi atlet.

Pernyataan itu sekaligus menegaskan langkah Taufik setelah sebulan lalu dipinang PB PBSI untuk kembali bergabung di pelatnas. Karir Taufik di pelatnas memang cukup panjang. Selama 12 tahun, dia bergaung di sana.

''Itu proses panjang dan berliku-liku,'' imbuh dia.

Rabu siang itu digunakannya untuk berpamitan kepada pengurus yang ada, Lius, dan Kasubid Pelatnas Christian Hadinata serta seluruh karyawan mulai cleaning service hingga tukang cuci.

''Tapi, belum semuanya bisa saya pamiti. Kemarin tidak sempat mengumpulkan semua,'' ucapnya.

Ami Gumelar, istri Taufik, tak menyangkal malam sebelumnya, sepulang dari pelatnas, suasana di kediaman mereka sangat tegang.

''Taufik menceritakan saat-saat terakhirnya di pelatnas dengan berkaca-kaca. Tapi, semua ini harus kami hadapi bersama. Ini sudah wacana lama, bukan keputusan emosional,'' ucap Ami.

Taufik memang tumbuh dan besar di sana setelah bergabung dengan PB SGS Elektrik Bandung. Berbagai prestasi prestisius, sikap kontroversial hingga kisah cintanya terukir di sana.

Mulai menjadi ketua panitia Idul Adha, ketua panitia 17-an, sampai harus berjuang memperebutkan gelar juara Olimpiade serta kejuaraan dunia pernah menjadi kewajiban yang diemban Taufik. Medali emas Olimpiade itu pula yang membuat Taufik sudah ingin gantung raket.

Di usia emasnya kala itu, pria kelahiran Bandung, 10 Agustus 1981, tersebut sudah berpikir mundur.

''Saya sudah berkonsultasi dengan orang tua, tapi mereka minta saya meneruskan dulu. Seiring berjalannya waktu, saya ternyata masih bisa memberikan prestasi untuk bangsa Indonesia,'' kenangnya.

Setelah Olimpiade itu, Taufik justru menjadi tumpuan Indonesia. Setahun kemudian, dia menjadi juara dunia. Lantas, Asian Games juga masih dikuasainya.

''Sekaranglah waktu yang tepat. PBSI butuh regenerasi, utamanya tunggal pria,'' jelas Taufik.

Dia juga membenarkan tak dipanggilnya Mulyo Handoyo, pelatih Taufik, ke pelatnas menjadi salah satu penyebab kebulatan tekadnya meninggalkan pelatnas.

''Tapi, bukan alasan pertama atau kedua. Karir Pak Mulyo masih lama, sedangkan saya sebagai pemain ada batasnya,'' ungkap Taufik.

Juara enam kali Indonesia Terbuka itu masih bertekad menekuni bulu tangkis. Minimal delapan super series bakal dilakoni.

Nah, di luar sana, Taufik tetap akan menggandeng manajemen yang dibentuk oleh teman-teman dan keluarganya. Untuk itu, ayah Natarina Alika Hidayat tersebut harus siap bekerja lebih keras.

Maklum, semua biaya akomodasi, transportasi, dan pendaftaran menjadi tanggung jawabnya. Begitu pula tempatnya berlatih.

''Justru itulah yang menjadi motivasi agar saya berprestasi lebih baik. Masa emas saya sudah lewat. Kini tinggal bagaimana saya memelihara yang saya miliki,'' tegas Taufik.

Meski tak lagi masuk pelatnas, Taufik tidak akan meninggalkan Indonesia. Dia tetap akan membawa bendera Merah Putih dalam tiap turnamen yang diikuti.

''Keluarga kami sangat Merah Putih. Tidak mungkin Taufik berganti warga negara,'' tegas Ami.

Pernah dimuat di Jawa Pos, 5 Februari 2009

Tamparan dari Pertanyaan “Blog Olahraga”

“Pertanyaan sederhana itu menjadi panas pipi seperti usai dapat tamparan. Tentang blog olahraga.”

Aku mendadak mati kutu. Otak pun kosong. Ingatan bolong. Sama sekali tak ada kunci jawaban atas pertanyaan sederhana dari seorang teman tadi pagi.

“Mbak, tahu enggak blogger yang suka nulis tentang olahraga?”

Plasssss……..pertanyaan itu super ringan tapi jawabannya alamaaak!

Blog olahraga.

Saya mencoba nego.

“Kalau blog sepakbola masuk kriteria?”

“Eeeemm boleh deh.”

Rupanya aku juga tak tahu banyak. Hanya empat blog yang spontan bisa aku sebut: Pertama blognya bepe kemudian andibachtiar dan Pandit Football Satu lagi kepunyaan Mas Fim.


Dua akun pertama tak bisa lepas karena ketokohannya. Bepe, sapaan karib Bambang Pamungkas, justru menjadi anomali dengan blog-nya itu.

Sebagai eks kapten timnas dan pernah menjadi ikon Persija Jakarta serta kesibukan di luar lapangan dia masih sempat menuliskan riak-riak perjalanan karir di klub dan timnas. Bukan sekedar kicauan, Bepe menulis blog yang kemudian bahkan dibukukan.

Bepe juga berbagi pengalaman seramnya naik sepeda motor di jalanan ibukota atau berbagi motivasi di sana. Bepe juga seringkali mengutarakan sindiran kepada pihak-pihak yang dinilainya berjalan pada trek yang melenceng. Dia juga mulai coba-coba berbagi kebisaan menulis novel.

Anomali karena aktivitas itu tak banyak dilakukan pemain lain. Pemain Indonesia lho ya. Pemain bola dan atlet-atlet Eropa sih sudah menjadikan blog jadi alat jualan. Tak banyak pemain bola lokal bikin tulisan panjang. Paling banter berkicau lewat twitter.

Andi Bachtiar juga sohor. Dia seseorang, bukanlah–bukan siapa-siapa–. Dia sutradara film-film sepakbola, Hari Ini Pasti Menang (2013), The Conductor (2008) dan The Jak (2007).


Andi gemar menceritakan pengalaman-pengalaman turing ke stadion-stadion di negara lain. Atau sekedar obrolan dengan sesama pecinta sepakbola.

Blog ketiga pastilah akrab dengan mereka yang menyukai berlama-lama duduk di tribun menonton pertandingan bola. Atau buat mereka yang doyan nonton bareng di cafe-cafe. Bisa juga mereka yang yang memilih menyaksikan pertandingan sepakbola di rumah sendiri.

Blog milik pandit football ini menjadi konsumsi wajib jelang atau pascapertandingan. Kisah-kisah historis juga kerap kali diungkap penulis-penulisnya.

Mereka menggarap blog secara professional. Artinya mematok bayaran untuk tulisan-tulisan yang terbit di media. Makanya, akurasi dan gaya tulisan cukup ciamik.

Nah, blog terakhir sangat saya sukai: http://arekmantup.blogspot.com. Si pemilik tidak pernah mencari popularitas. Tapi saya paham dia sangat mencintai sepakbola. Dia teramat bangga dengan stempel suporter bola Indonesia.





Seperti dia sangat bangga lahir di Mantup, Lamongan, Jawa Timur. Dari desa kelahirannya itu, Mifta–ah, dia lebih senang disapa Fim–mulai menggocek bola. Kemudian seperti jutaan umat bola di dunia, dia juga menganggap stadion sebagai tempat ibadah. 

Mas Fim tak berhenti menulis pengalaman spiritual dari stadion-stadion dan lapangan bola. Meski, dia ditepikan dari sekte olahraga. Kebijakan itu bukanlah alasan yang cukup buat dia berjauh-jauhan daari sepakbola.

Kemudian coba-coba berselancar, ternyata blog tentang sepakbola tidak sedikit. http://www.beritasatu.com/blog/author/pangeran-siahaan atau http://sekadarblog.com bisa juga http://www.kompasiana.com/budikristanto dikunjungi.


Rupanya jumlah blog olahraga tidak minim-minim amat. Namun, jumlahnya memang kalah jauh dibandingkan kuantitas blog traveling. Perbandingannya bisa dianalogikan dengan jumlah lapangan bola dengan destinasi wisata populer plus tersembunyi di Indonesia. Atau rasio tempat ngopi-ngopi di Jakarta dengan tempat olahraga.

Atau bandingkan harga tiket nonton bola Liga Super di stadion-stadion senusantara dengan harga ngetrip ke pulau-pulau di 33 provinsi Indonesia. Hitungan tak  termasuk harga tiket ya. Karena bisa jadi setara.

Jika disimak, trek yang dilalui penulis blog olahraga dan traveling juga bertolak belakang. Para penulis blog olahraga sohor dulu, baru menulis. Sebaliknya para penulis blog perjalanan justru mendapatkan popularitas dan pemasukan materi dari nge-blog.

Soal kuantitas, blog olahraga kian minimalis dan sama sekali tidaak populis, jika  mengkhususkan cabang olahraga di luar sepakbola. Berapa jumlah blog bulutangkis? Atau tinju? Basket? Tenis?

Menunjuk ke pelaku. Siapa petinju yang nulis blog? Pemain basket yang mengungkapkan suka cita dan kerikil karirnya? Atau adakah petenis atau pelari yang curhat lewat blog?

Saya tidak sedang menuding kealpaan mereka, tapi justru pertanyaan itu menjadi bahan introspeksi kepada diri sendiri. Tujuh tahun saya “berkantor” di stadion. Bersorak saat ada gol tercipta ataupun misuh-misuh karena kelakuan wasit yang berat sebelah.

Takut-takut tapi tetap harus harus melacak kebaradaan (waktu itu) Haruna Soemitro yang tiba-tiba raib. Melihat Istora dipenuhi tangis haru perpisahan Taufik Hidayat.

Serangkaian kisah yang sedikit itu seharusnya bisa diracik pada blog olahraga. Eh, tapi faktanya saya lebih senang berbagi cerita menyenangkan tentang perjalanan-perjalanan di luar stadion. Perjalanan yang seringkali tidak menjejak tribun stadion dan gedung-gedung olahraga.

Saya berdalih tidak sempat mencatatkan air mata lara atau suka cita mereka yang kalah ataupun sang juara ke blog olahraga. Tapi saya selalu mempunyai waktu luang untuk mengumbar keceriaan menggapai hidden paradise tanah air dan negara-negara lain.

Kemudian sederet pertanyaan singgah. Apakah saya benar-benar rela merogoh kocek yang setara dengan tiket pesawat pp dan keperluan saat ngetrip ke Raja Ampat, Papua Barat untuk menyaksikan timnas tampil di Stadion Utama Gelora Bung Karno?

Apakah saya akan nonton langsung ke markas Persiwa Wamena di Stadion Pendidikan saat Persebaya Surabaya bermain di sana?

Bagaimana takaran rasio keikhlasan saat menulis analisis pertandingan dengan saat menceritaan berliu-likunya perjalanan dari gunung tinggi atau pulau-pulau yang jauh.

Jika Presiden UEFA yang orang Prancis Michel Platini merasa tertampar dengan kekalahan dari Ukraina 0-2 pada leg pertama playoff Piala Dunia, kalimat penanya “blog olahraga” itu sudah cukup memberikan rasa sakit dengan kadar serupa.

Selasa, 07 Juli 2015

Masa Kecil Taufik Hidayat (5)

Aris Haris tak sulit menceritakan detail masa kecil satu-satunya anak lelaki dia, Taufik Hidayat. Semua kesulitan dan kebahagiaan disimpan rapi dalam buku catatan bersampul hitam.

Entah dorongan dari mana yang membuat Aris menulis kegiatan sehari-hari Taufik Hidayat. Pertama kali latihan di SGS Bandung. Berkenalan dengan pelatih Iie Sumirat. Juga lika-liku ketika harus mencari kendaraan untuk pulang pergi Pangalengan-Bandung.

Di sana, di buku bersampul hitam itu, Aris juga mencatat semua pengeluaran untuk transportasi, juga raihan prestasi Taufik di ajang antarklub, antardaerah hingga di level nasional.

Aris juga menulis momen-momen Taufik malas berlatih hingga dia memberikan hukuman setimpal. Bagaimana dia masih saja terharu ketika membaca bagian saat harus melepas Taufik menjadi anak kos dengan jatah dua kardus mie instan per bulan.

Dia juga menyelipkan nama-nama teman-temannya yang jalan Taufik menjadi pemain bulu tangkis. “Banyak teman yang berjasa dalam karier Taufik,” kata Aris.

“Saya tak tahu motivasi apa yang bikin saya mencatat semuanya. Saya cuma merasa suatu hari anak saya akan mudah menengok kerja kerasnya,” ucap Aris.

Buku bersampul hitam itu kini disimpan di Taufik Hidayat Arena, Ciracas, Jakarta Timur. Buku itu disimpan bersama-sama segala macam piala, trofi, dan medali yang diraih Taufik dari bulutangkis. (Habis)

Pernah dimuat di detikSport 30 November 2014