Liliyana Natsir malah kerap sukses saat tekanan besar ada di puncaknya. Utamanya jika menjadi sosok yang selalu bertugas untuk mengembalikan titel juara untuk Indonesia. Dia masih punya obsesi untuk meraih emas Olimpiade.
Tak mudah mengatur pertemuan dengan Liliyana Natsir setelah menjadi juara All England untuk kedua kalinya. Sederet jadwal wawancara dengan berbagai media sudah dikantongi perempuan berusia 28 tahun itu setiba di Tanah Air, Selasa pekan lalu.
Belum lagi ditambah jadwal latihan yang tak bisa diganggu gugat. Maklum, dua event besar sudah menanti, Piala Sudirman dan Kejuaraan Dunia.
Butet, begitu sapaan karibnya, pun harus pandai-pandai mengatur agenda. “Jangan berat-berat, ya, pertanyaannya, capek habis latihan,” kata Liliyana kepada Detik di Pusat Pelatihan Nasional Bulu Tangkis PBSI, Cipayung, Jakarta Timur, kemarin siang.
Tapi rupanya kalimat itu hanya basa-basi. Butet tetap ramah dan menjawab segala pertanyaan. Wanita kelahiran Manado, Sulawesi Utara, itu dengan antusias membeberkan banyak hal, termasuk ambisinya di masa datang.
“Saya masih ingin menjadi juara Olimpiade,” katanya. Meski, ujarnya, pada Olimpiade 2016 usianya tak lagi muda. Umur Butet nanti mendekati 31 tahun.
Bukan hanya sesumbar, sejak saat ini Butet menyiapkan amunisi. Stamina sebagai modalnya, selain kepiawaian dan kecerdikan mengolah bola, diasah dari sekarang.
“Saya harus disiplin mengatur pola makan dan istirahat serta latihan sesuai dengan kebutuhan saya. Meski ada pelatih, saya sendirilah yang paham kebutuhan badan saya,” kata penyuka musik R&B dan jazz itu.
Ya, Butet bukan atlet kemarin sore. Pengalaman sudah mengantar dia untuk tahu diri. Soal disiplin, para pemain junior dan mereka yang lebih dulu berkarier di pelatnas memberikan acungan jempol kepadanya.
Bahkan, Butet dikenal sebagai pemain yang tak pernah terlena oleh keindahan kota dan negara yang dikunjungi saat kejuaraan. “Saya datang ke lokasi pertandingan untuk menjadi juara, bukan jalan-jalan,” kata wanita berzodiak Virgo itu.
Tak mengherankan jika dua gelar juara dunia dan dua kali podium tertinggi kejuaraan klasik All England menjadi koleksi wanita yang berulang tahun setiap 9 September 1985 itu. Kejuaraan dunia didapatkan saat berpasangan dengan Nova Widianto, sedangkan All England setelah berpasangan dengan Tontowi Ahmad.
Prestasinya juga moncer di ganda putri meski tak pernah punya pasangan tetap. Bersama Vita Marissa, Butet pernah menjadi juara China Masters 2007 dan Indonesia Terbuka 2008.
Istimewanya, Butet mempersembahkan gelar juara itu setiap kali Indonesia paceklik gelar juara. Dia menjadi penyelamat Merah Putih pada Kejuaraan Dunia 2007.
Kemudian pada kejuaraan All England. Gelar juara All England pertamanya menjadi penutup absennya wakil pemain Indonesia sejak 2003 lampau saat Chandra Wijaya/Sigit Budiarto naik panggung tertinggi. Begitu pula saat menjadi juara super series di nomor ganda putri.
Konsistensi Butet juga pantas mendapatkan apresiasi. Bersama Nova, Butet menguasai peringkat tertinggi dunia selama lima tahun.
Kemudian, bersama Tontowi, bungsu dari dua bersaudara itu stabil sebagai pemegang peringkat kedua dunia. Liliyana memang sudah disegani sejak di kelompok umur junior. Dia membukukan gelar juara saat berpasangan dengan Markis Kido pada kejuaraan Asia 2003.
“Saya mendapatkan semua ini bukan hanya karena faktor lucky, tapi saya memang punya kualitas,” kata Butet. “Sejak kecil saya memang tak pernah mau kalah," tegas dia.
***
Artikel ini pernah dimuat di Harian Detik pada 27 Maret 2013. Kala itu, Butet baru saja menjadi juara All England untuk kedua kalinya. Kini Butet masih menjadi tumpuan untuk menyelamatkan muka Indoensia di hadapan publik sendiri, pada Kejuaraan Dunia Bulutangkis yang dihelat di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Mampukah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar