Ini bukan tawaran solusi, hanya curahan hati
Kekalahan Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir di semifinal Olimpiade 2012 London benar-benar menyesakkan. Ngoceh di twitter dengan sumpah serapah untuk para pejabat dan ofisial yang menyiapkan amunisi ala kadarnya untuk atlet ke multieven empat tahunan menjadi pelipur lara.
Namun air mata Butet, begitu saya menyebut Liliyana, yang memaksa tumpah saat dicegat media usai pertandingan dan Towi yang memilih mojok dengan menutup wajah memakai handuk, yang ini lewat pandangan mata Widya Amelia, penulis di PBSI, membelokkan kesedihan menjadi luka patah hati tanpa ucapan perpisahan. Amat sangat menyakitkan.
Kemudian pekerjaan menuntut saya merangkum foto-foto lama Susi Susanti, Alan Budi Kusuma, Ricky Subagja dan Rexy Mainaky. Juga memori Tony Gunawan dan Candra Wijaya serta Taufik Hidayat dan Markis Kido/Hendra Setiawan yang naik podium tertinggi membuat semakin melankolis. Saat itu pasti Indonesia Raya berkumandang di seantero ruangan. Gemanya mengalir sampai jauh…jauh sekali dan semakin riuh di negri kita sendiri.
Mereka juga menitikkan air mata. Haru. Sakral. Foto itu merekam bagaimana tak saya temukan kebengalan di wajah Taufik dan keisengan yang terlanjur distempel untuk menggambarkan Rexy. Suka cita begitu jelas di wajah Kido. sama sekali tak ada amarah meski di atas podium kepalanya dielus ganda Cina Fu Haifeng dan menjadi abadi sampai bertahun-tahun kemudian.
Ah, seandainya air mata Butet dan Owi setara dengan tears of joy milik pendahulunya. Juga suka cita itu.
Namun, jika boleh jujur saya justru menyimpan rasa syukur kali ini Indonesia tak pulang membawa emas. Saya belum dapat melupakan duka lara di New Word Hotel, Wuhan Mei lalu. Di hotel itu Taufik Hidayat yang masih menjadi jendral para pemain Indonesia meski tak lagi menjadi pebulu tangkis pelatnas menumpahkan keluh kesahnya.
Acara wawancara itu sudah tak beda dengan sesi curhat si peraih medali emas Olimpiade Athena 2004 tersebut. Betapa sangat amburadulnya persiapan Piala Thomas Uber. Betapa keberangkatan ke negri berpenduduk semiliar orang itu bak formalitas belaka. Bahkan tim Uber yang harus terseok untuk mendapatkan tiket putaran final pun tak menjadi alasan kuat untuk berbenah. “Tak ada evaluasi setelah babak penyisihan di Makau itu.”
Nah, saya menduga PB PBSI juga tak melakukan evaluasi dan gebrakan menjelang Olimpiade 2012 kali ini. Lip service “mengamankan” pemberitaan di ratusan media tampaknya lebih penting daripada acara perbaikan internal. Tak ayal julukan Mr evaluasi pun muncul.
“Ah, jawaban pasti sama tinggal template.” Itu guyonan yang jamak dilakukan pekerja media yang mengawal bulu tangkis karena memang sama sekali tak ada beda evaluasi satu turnamen dengan yang lain.
Hasil tak meyakinkan mayoritas pebulu tangkis di turnamen perorangan hanya membuat pusing sebentar, tak sampai pusing tujuh keliling. Di sektor tunggal putra pemain bahkan kehilangan pelatih dengan kepulangan Li Mao ke Cina menjelang terbang ke London. Sebelumnya pelatih tunggal putri Wong Tat Men juga kabur dari pelatnas. Tak ada keterangan resmi. Malah dia dikabarkan mundur dari Cipayung lantaran ada teror yang dilayangkan kepadanya.
Tunggal putra dan putri memang berangkat tanpa target. Harapan diberikan Simon Santoso setelah menjadi juara Indonesia Open 2012 Mei lalu, tapi saat dadu undian dilempar dia dan Taufik mati kutu. Mereka dihadang dua pemain terbaik dunia saat ini, Lee Chong Wei (Malaysia) dan Lin Dan (Cina). Firda sudah kalah sebelum bertanding. Jejak rekamnya hanya cukup untuk menjadi pupuk bawang di Olimpiade. Penampilannya di ajang super series tak pernah lebih jauh dari babak kedua.
Bagaimana ganda putra dan ganda putri? Dua nomor itu memang sejak awal sama sekali tak diunggulkan. Mantra bim salabim pun tampaknya tak cukup manjur mengangkat pamor mereka untuk melaju sampai podium paling tinggi. Bahkan jika diucapkan serentak 250 juta jiwa penduduk Indonesia. Penampilan stabil tak sampai semifinal pada super series menjadi alasan. Aroma perpecahan antara Bona Septano dan Muhammad Ahsan bukan rahasia lagi sepanjang persiapan Olimpiade.
Ganda putri Greysia Polii dan Meiliana Jauhari juga tak menjanjikan apapun kecuali cari pengalaman di London. Mereka jarang sekali menang saat menghadapi ganda Korea Selatan. Malah sudah kalah mental dulu sebelum bersua pemain dengan kostum Cina.
Harapan bertumpu di pundak Liliyana dan Towi. Liliyana yang menjadi kapten lapangan memang sudah mampu memimpin Towi. Penampilan Towi juga mulai menjanjikan usai menjadi juara All England 2012. Kemudian merajai gold grand prix dan super series sesudahnya. Peringatan kecil muncul saat mereka gagal juara di Indonesia Open 2012 Mei lalu. Di laga itu terlihat bagaimana Towi cenderung berubah menjadi pria takut “istri” saat Butet ngamuk. Towi belum dapat mereduksi unforced error yang dibukukan Butet yang sudah kadung emosional.
Saya memang tak hendak menyuguhkan solusi. Saya hanya ingin menyampaikan jika kekuatan bulu tangkis kita lelah dengan beban yang diberikan setiap empat tahun sekali itu. Lelah setiap kali mereka harus berjuang sendirian. Tapi bukan berarti saya membenarkan pengurus yang meributkan tak ada dana dan sudah melakukan evaluasi. Selalu mempertanyakan dukungan pemerintah tapi selalu bisa membawa ofisial gemuk pada tiap turnamen.
Saya justru mempertanyakan ke mana miliaran uang pembinaan cabang olahraga lain? Tak adakah keinginan untuk sejajar dengan bulu tangkis yang mampu naik podium tertinggi pada lima kali Olimpiade terakhir? Apakah pengurus cabang olahraga lain juga sibuk mempertanyakan dukungan pemerintah dan minimnya dana? Tapi mereka juga bisa memberangkatkan ofisial yang jumlahnya lebih besar daripada tim inti?
Penjaga tradisi emas Olimpiade sejak 1992
1992 Barcelona 2 emas Susi Susanti dan Alan Budikusuma
1996 Atlanta 1 emas Ricky Subagja/Rexy Mainaky
2000 Sydney 1 emas Tony Gunawan/Candra Wijaya
2004 Athena 1 emas Taufik Hidayat
2008 Beijing 1 emas Markis Kido/Hendra Setiawan
Juni 2012
dan tahun 2016 ini mereka membayarnya dengan satu-satunya emas Indonesia di cabang bulutangkis olimpiade
BalasHapus