Selasa, 12 Juli 2011

Spirit Baru Ratu Downhill Indonesia Risa Suseanty

Risa Suseanty yang tampil di SEA Games 2009 Laos bukan lagi sosok yang sama. Dia merasa mendapatkan kesempatan untuk terlahir kembali.




  Air mata tak bisa berhenti mengalir dari pelupuk mata Risa saat dia mendapatkan kalungan medali emas di Bukit Dane Song, sebelah barat kota Vientiane, Laos tak akan pernah dilupakan Risa Suseanty. Dia begitu terharu, bahagia, tapi tak bisa menafikkan jika ada getir yang bercampur.

  Perempuan kelahiran Bandung 25 Oktober 1980 tersebut tak cuma merasa emas yang dikalungkan Menpora Andi Mallarangeng itu bukan sekadar bukti sukses kerjanya mewakili Indonesia di SEA Games. Medali itu jelas spesial bagi kontingen Merah Putih.

  Emas itu memang istimewa karena menjadi emas pertama bagi kontingen Indonesia. Emas itu juga terkesan makin mengilap karena membayar lunas paceklik emas dari nomor downhill putri dua tahun sebelumnya.

  Emas tersebut juga menjadi istimewa bukan karena Risa bisa makin mengukuhkan diri sebagai ratu downhill Asia Tenggara. Tapi jauh lebih besar dari itu.

  Bagi Risa pribadi emas itu menjadi bukti jika dia seorang pekerja profesional. Ya, tak banyak yang tahu jika air mata itu amat mewakili Risa yang luar biasa bahagia tapi juga ada kesedihan yang dirasakan dia.

  Dua tahun lalu, di ajang serupa yang dihelat di Nakhon Ratchasima Thailand, Risa sama sekali tak punya kesempatan tampil bersama tim nasional (timnas). Dia dijegal sebelum berangkat hanya karena dinilai mengikuti even tanpa sepengetahuan PB ISSI.

  Tak hanya itu, jika dirunut Risa lama tak menyumbangkan medali emas untuk Merah Putih di pesta olahraga dua tahunan bangsa-bangsa se-Asia Tenggara itu. Setelah sukses mencetak hattrick di SEA Games 1997 di Jakarta, Brunei (1999), dan Malaysia (2001), prestasi Risa justru merosot di SEA Games berikutnya.

  Wanita yang menekuni balap sepeda sejak berusia 13 tahun itu hanya membawa pulang perak dari SEA Games 2003 di Vietnam. Dua tahun kemudian, pada SEA Games di Filipina tahun 2005, Risa malah cuma kebagian perunggu.

  "Tak ada yang tahu jika saya menangis karena emas itu sekaligus pertanda akhir dari rumah tangga saya,” tutur putri pasangan Koesnaedy dan Erwin Kurdiana tersebut.

  "Saya seperti baru terlahir kembali setelah menjadi juara di Laos,” ujar pebalap yang besar di Bekasi itu.

  Rupanya tangisan itu juga disebabkan duka mendalam Risa yang harus berpisah dengan Tan Hong Chun. Biduk pernikahan yang dibangun tahun 2006 hancur lebur. Di tengah-tengah kemelut rumah tangga itu, Risa masih dituntut prestasi tinggi. Kombinasi dua hal itu membuat bobot badan Risa terjun bebas.

  Sudah begitu, mau tidak mau dia harus selalu berpapasan dengan mantan suami. Hong Chun juga menjadi kontestan di SEA Games laos itu. Beruntung keluarga sangat mendukung Risa untuk bangkit kembali.

  "SEA Games Laos sangat berkesan bagi saya, karena itu menjadi pertanda kembalinya saya dengan merebut kembali medali emas di saat yang tak mudah buat kehidupan pribadi saya. Lagipula usia saya tak lagi muda,” tutur penyuka musik jazz itu.

  "Emas dan even ini tak akan pernah saya lupakan,” imbuh dia.

  Waktu berlalu, tahun ini Risa genap 31 tahun. Risa sudah punya gandengan baru. Dia jawara BMX Asia, Steven Wong. Seolah mendapatkan suntikan motivasi lain, Risa kian giat berlatih.

  Semuanya menjadi lebih lapang saat ini. Risa menilai keprofesionalan dialah yang sudah membawa banyak hasil positif saat ini. Nyatanya, apresiasi dari banyak pihak didapatkan pembalap yang identik dengan rambut ala salah satu vokalis Duo Ratu, Maiya Estianti itu.

  Risa dipercaya sebagai ambassador banyak produk. Di antaranya power balance, oakley, dan wim cycle. Sebelumnya Risa juga pernah digandeng Hino, merekan mobil. Boleh dibilang Risa cukup awet menjadi brand ambassador produk tersebut. Oakley sejak 2005 menjadikan Risa brand ambassador.

  Dari sana, dia mendapatkan materi yang tak sedikit. Tanah seluas 1.200 meter persegi di kawasan Dago, Bandung dipilih sebagai investasi. Dua mobil juga menjadi teman yang memudahkan aktivitas Risa.

  "Kalau mengandalkan sepeda saja tak akan cukup. Untunglah banya pihak yang menghargai profesionalitas saya,” kata jebolan SMA Ragunan itu.

  Memang untuk mendapatkan itu semua, Risa tak hanya bermodal prestasi. Meski harus berpeluh setiap hari dia rutin merawat tubuh. Berdandan juga bukan aktivitas yang diharamkannya. Risa juga tak canggung diajak berfoto atau harus berbicara di depan publik. Justru dari sana sisi feminim Risa tak pernah tenggelam dengan kesehariannya dengankostum gombrang dan helm super gede.

  "Dengan berdandan itu bisa menjadi ciri kita, makanya saya suka menjadi seseorang yang unik, lain daripada yang lain,” tegas dia.

  Kemampuan bahasa asing juga diasah. Pembawaan supel dan tak meremehkan lawan bicara menjadi modal lain yang dimiliki Risa. Oki Raspati, pelatih Risa di pelatnas, tak segan memuji anak didiknya itu.

  "Risa tak perlu disuruh. Dia sudah sangat tahu kebutuhannya sebagai pembalap nasional,” puji Oki.

  Selain itu, menurut Oki, Risa tak hanya bermodal berlatih keras setiap hari. Tapi Risa juga memiliki kepercayaan diri dan menyiapkan dirinya sebagai aset yang tak hanya berprestasi di lintasan.

  "Ini yang berbeda dari Risa. Dia memiliki nilai jual yang tinggi,” ucap Oki.

Kamis, 07 April 2011

Charis Yulianto Punya Banyak Fans di Bui

Charis Yulianto kerap diuntungkan dengan profesi sebagai bintang lapangan hijau. Kini, dia mendapatkannya di penjara. 

  Status kapten tim nasional (timnas) dan pilar tim papan atas Indonesia Super League (ISL) 2010 Sriwijaya FC cukup menguntungkan bagi Charis Yulianto. Termasuk ketika dia berada di balik jeruji penjara.

  Ya, pengalaman kurang menyenangkan itu mampir kepada Charis tahun lalu. Itu setelah hakim menyatakan Charis dan empat pemain SFC lainnya, Isnan Ali, Ambrizal, dan Christian Warobay, bersalah setelah mengeroyok wasit.


  Charis dkk. tak perlu berlama-lama tinggal di hotel prodeo. Cuma dua hari atmosfer penjara dirasakan empat pemain itu. Mereka diganjar masa tahanan enam bulan penjara dengan 10 bulan percobaan. ’’Jangan sampai terulang lagi masuk penjara, itu ketiban apes benar-benar. Kapok wis,” kata pria kelahiran Blitar 11 Juli 1978 itu.

  Saking tak enaknya dan menjadi pengalaman perdana Charis tak bisa melupakan begitu saja peristiwa yang berlangsung hanya dua hari itu.

’’Untung juga saya sebagai pemain timnas. Meski nggak ada perlakuan khusus dari sipir tapi narapidana lain memperlakukan dengan cukup baik,” kata Charis. Malah tak sedikit yang meminta foto bersama plus tanda tangan.

  Untungnya dukungan keluarga, teman-teman sesama pemain, sampai suporter cukup besar. Tak henti-hentinya pembesuk datang. Uniknya mereka yang datang selalu membawa makanan. Maka, makan bersama empat pemain serta keluarga, rekan pemain dan suporter juga menjadi momentum tak terlupakan. Charis merasakan begitu tulusnya dukungan berbagai pihak meski dia tengah terpuruk.

  Bagi dia pribadi, pengalaman itu menjadi momentum untuk lebih sabar dalam mengambil tindakan. ’’Saya harus lebih bisa mengontrol diri lagi. Jangan sampai terulang lagi,” tegas Charis.

Petenis Wanita Nomor Satu Asia Li Na Sukses Bikin Tenis Populer di Tiongkok

Musim 2011 menjadi tahun bersejarah bagi dunia tenis Tiongkok dan Asia. Januari lalu, Li Na, petenis Tiongkok, sukses menjadi finalis Grand Slam Australia Terbuka.



  Sukses menduduki peringkat enam dunia menjadikan Li Na sebagai petenis putri pertama Tiongkok dengan peringkat tertinggi. Dia juga petenis putri Asia kedua yang mampu masuk enam besar WTA. Sebelumnya, petenis Jepang Kimiko Date-Krumm pernah nangkring di peringkat empat WTA. Kini, dari daftar terbaru WTA per 4 April 2011, Li Na menduduki posisi ketujuh dunia digeser Victoria Azarenka dari Belarusia.

  Peringkat enam itu didapat saat tampil di Australia Terbuka. Dia menjadi finalis. Pada partai final tunggal putri di grand slam yang dihelat di Melbourne langkah Li Na dijegal petenis Belgia Kim Clijsters.

  Sejatinya tanda-tanda kecemerlangan Li Na sudah dimulai saat dia tampil pada Olimpiade 2008. Dengan mengejutkan petenis kelahiran Wuhan itu sukses melaju ke semifinal dengan menumbangkan Svetlana Kuznetsova (Rusia) dan Venus Williams (Amerika Serikat). Tapi, dia gagal menuai kemenangan di laga selanjutnya hingga tak berhasil menuai medali dari multieven yang dihelat di Beijing tersebut.

  Namun torehan itu cukup menunjukkan jika come back-nya setelah delapan tahun istirahat haruslah diwaspadai. Nyatanya, karir Li Na meroket.

  Memang tak banyak yang menyangka karir Li Na justru moncer 2,5 tahun kemudian. Salah satu yang menjadi faktor peragu itu adalah usia peraih medali emas Asian Games 2010 Guangzhou yang tak lagi muda. Pada 26 Februari lalu, dia merayakan ulang tahun ke-28. Selain itu, cedera lutut juga menjadi langganannya.

  Tapi rupanya, keterlambatan sinar terang prestasi Li Na tak hanya itu. Secara nyata dia menyalahkan tanah airnya, Tiongkok. Tak jarang dia marah dengan yel-yel yang diteriakkan suporter Tiongkok kepada dia. Malah saat menjadi jawara grand slam Australia Terbuka, Li Na sama sekali tak mengucapkan terima kasih kepada Tiongkok. Dia hanya menyebut nama pacar, pelatih, dan sponsor.
 
  Rupanya dia tak sepakat dengan sistem olahraga yang diterapkan di negaranya. Di mana Tiongkok hanya fokus mengutamakan even-even yang mengatasnamakan negara macam Piala Davis, Piala Fed. Juga Olimpiade, Asian Games, dan kejuaraan nasional.

  Sedangkan untuk even-even perorangan, hanyalah dianggap sebagai laga latihan. Nyatanya prestasi tenis Tiongkok memang tak berkembang secara signifikan, berbeda dengan cabang olahraga lainnya.

  "Untuk bermain perorangan memang berat. Karena saya harus menyiapkan segala sesuatunya sendiri. Dari memilih pelatih, mengatur latihan, juga jadwal latihan, sampai jadwal latihan. Saya benar-benar membayar jalan saya sendiri,” ujar penyuka the tarik itu seperti dilansir Asia Mag. 

  Tak hanya Li Na yang kecewa. Banyak pihak yang mengandaikan, jika saja 10 tahun lalu Li Na tak terjebak oleh sistem olahraga di negaranya. Bukan tak mungkin dia sudah menjadi petenis paling ditakuti saat ini. Talenta yang dimiliki Li Na dinilai sangat luar biasa dan sudah diketahui sejak kecil.

   Tercatat saat 2002 yang berarti dia masih berusia 20 tahun, Li Na sempat memutuskan untuk pensiun. Dia memilih masuk kuliah. Kemudian jelang Olimpiade di Beijing, asosiasi tenis Tiongkok membujuk agar Li Na kembali turun ke lapangan.

  Barulah untuk menghadapi Olimpiade itu dia mendapatkan kebebasan dalam berlatih, termasuk memilih pelatih. Nyatanya Li Na masih bisa bersaing. Pada 2006 dia menjadi petenis Tiongkok pertama yang sanggup masuk 30 besar dunia, setahun kemudian masuk 20 besar.

  Li Na juga menjadi petenis yang sanggup mempopulerkan tenis di negaranya. Dia ingat benar saat kecil tenis bukan olahraga yang dipilihkan keluarga dia. Mengikuti tren, Li Na kecil belajar bulu tangkis. Nah, saat usia 8 tahun pelatihnya menawari kedua orang tuanya agar Li Na berlatih tenis.

  ’’Orang tua saya balik bertanya, apa itu tenis,” kenang Li Na seperti dikatakannya kepada New York Times.

   Pertanyaan itu sekaligus menolak ajakan sang pelatih. Belajar tenis baru dimulai enam tahun kemudian, setelah sang ayah meninggal dunia. ’’Dua olahraga ini sangat berbeda. Meski sama-sama menggunakan raket, tapi tekniknya berbeda. Bulu tangkis mengandalkan pergelangan tangan, sedangkan tenis, bertumpu pada bahu,” terang dia.

  ’’Yang penting orang tak kesulitan lagi mencari nama saya di lembar drawing. Nama saya pendek, terserah mau menyebut Na Li atau Li Na. Saya tahu kalian, terutama bukan orang Tionghoa akan kesulitan,” seloroh dia.

Minggu, 13 Februari 2011

Djayusman-Novriali Yami Tak Bertemu Malah 'Berseteru'

Tim sepak bola Indonesia babak belur di pentas SEA Games XXV/2009 Laos Desember lalu. Namun, sebagian di antara skuad Garuda –julukan timnas Indonesia–masih bisa pulang dengan 'kepala tegak'.

  Meski gagal membawa pulang medali, mereka sukses mendapatkan gadis pujaan. Sebut saja Djayusman Triasdi dan Lucky Wahyu Dwi Permana. Dua penggawa timnas yang sama-sama berasal dari Persebaya Surabaya itu sukses menggaet dua pemain voli indoor. Djayusman mendapatkan cinta Novriali Yami, sedangkan Lucky kian lengket dengan Maya Puspita Widyastuti.

  Inilah kali pertama mereka melewati Hari Valentine dengan status sebagai pasangan kekasih. Sayang, karena tuntutan profesi, dua pasangan tersebut tak bisa menghabiskan waktu bersama di Hari Kasih Sayang. Bahkan, untuk sekadar bertatap muka pun, mereka tak bisa.

  Kebetulan, tepat pada Hari Valentine kemarin (14/2), Green Force –julukan Persebaya– harus turun ke lapangan melawan Persib Bandung. Artinya, Djayusman dan Lucky harus menjalankan kewajibannya sebagai pemain Persebaya.

  Di sisi lain, Novriali dan Maya berkutat dengan jadwal latihan di klub masing-masing yang ketat. Intan –sapaan akrab Novriali– adalah pemain pilar Jakarta BNI Taplus, sedangkan Maya menjadi penggawa Jakarta PLN Elektrik.

  Ketika Persebaya harus melawan Persib, perseteruan pun mewarnai hubungan Djayusman dengan Intan. Sebagai pemain belakang andalan Persebaya, Djayusman tentu berjuang agar timnya menang. Sementara itu, Intan adalah pendukung setia Persib.

  ”Yang repot justru saya, bingung mau membela yang mana,” ujar Intan.

  Mantan pemain Bandung Tectona tersebut tentu akan memberikan dukungan kepada Djayusman. Namun, alasan itu juga tak cukup kuat untuk membuatnya berpaling dari Maung Bandung, julukan Persib.

  ”Asal Persebaya tidak kalah saja. Kalau kalah, Djayus (panggilan Djayusman, Red) bisa bete seharian,” ucap anak kedua di antara empat bersaudara tersebut. ”Bisa-bisa makin kelabu saja malam Valentine-nya,” imbuh wanita kelahiran Purwakarta itu.

  Menyambut Valentine’s Day, Djayus punya rencana khusus. ”Seandainya ada pertemuan, mungkin diisi dengan dinner saja,” ungkap pemuda yang berulang tahun pada 22 Agustus tersebut.

  Soal makan bisa menjadi masalah bagi mereka. Sebab, selera makan Djayus dan Intan bertolak belakang. Intan tak menyukai ikan dan semacamnya. Sebaliknya, ikan merupakan menu favorit Djayusman.

  Lain lagi pasangan Lucky dan Maya. Terpisah antara Jakarta dan Surabaya tak membuat mereka kesepian. ”Tenang saja. Meski jauh-jauhan, kami bisa memanfaatkan teknologi. Ada video call,” jelas Lucky. Maya pun tenang-tenang saja. Komunikasi via telepon cukup menjadi pengobat rindu bagi keduanya. Bahkan, frekuensinya bisa melebihi minum obat yang biasanya dijadwalkan tiga kali sehari. ”Makanya, kami memilih operator yang sama, biar hemat,” terang Maya.

  Ketika pulsa menipis, Maya dan Lucky memiliki alternatif komunikasi. ”Chatting saja juga cukup. Pokoknya, ada kabar dari dia,” kata Maya.

Sabtu, 12 Februari 2011

Christian Ronaldo Sitepu Kejar Wisuda Bulan Depan

Atlet basket Christian Ronaldo Sitepu tak cuma ingin jadi atlet. Status sebagai lulusan perguruan tinggi dikejarnya juga.


  Wisuda menjadi salah satu momen yang ditunggu-tunggu mereka yang berstatus sebagai mahasiswa. Rasanya tuntas sudah segala kewajiban selama bertahun-tahun saat memakai tiga. Momentum itu pula yang tengah ditunggu atlet basket Christiano Ronaldo Sitepu.

  Forward Satria Muda Britama tersebut tak sabar menanti bulan depan. Pekan depan, dia dijadwalkan untuk sidang skripsi lebih dahulu. Dengan materi skripsi yang tak jauh-jauh dari bidang yang ditekuninya, olahraga, pemuda bertinggi nyaris 2 meter itu optimistis bisa lulus dengan mudah.

  ’’Saya harus wisuda Maret nanti, nggak boleh meleset dan molor lagi,” ujar Dodo, sapaan karib Christian Ronaldo Sitepu. Keinginan pemuda kelahiran Bogor, 27 Oktober 1986 itu memang sudah di pucuk kepala. Sebab jika tak ikut wisuda Maret ini bisa jadi dia bakal dicap mahasiswa abadi. Saat ini saja, mahasiswa jurusan manajemen, fakultas ekonomi, Perbanas Jakarta tersebut sudah masuk semester sebelas.

  Apalagi ke depan jadwal bertanding diprediksi bakal lebih berat. Musim ini saja, National Basketball League (NBL) Indonesia tak seramah musim sebelumnya saat masih ber-title Indonesian Basketball League (IBL). Jadwal semakin padat dengan tur ke luar kota makin panjang karena imbas dari kian banyaknya jumlah pertandingan masing-masing klub. Belum lagi jika nanti dia dipilih untuk memperkuat tim nasional basket SEA Games XXVI/2011 di tanah air. Serangkaian try out sudah menanti, belum lagi jadwal latihan di pelatnas.

   ’’Untungnya saat jadwal padat, skripsi juga sudah tahap akhir,” ujar Dodo. Lagi pula, dia diuntungkan mendapatkan pembimbing yang lumayan bisa diajak kompromi soal jadwal.

  Sudah dapat pendamping wisuda? ’’Wah harus ya,” ujar dia malu-malu. Dodo menolak saat disebut-sebut bakal didampingi seorang pebulu tangkis nasional yang kini juga anggota pelatnas Cipayung.

Sabtu, 05 Februari 2011

Raja Binaraga ABG Syafrizaldy Tolak Tawaran Film dan Sinetron

Binaraga bukan olahraga favorit di tanah air. Namun, kenyataan itu tidak membuat Syafrizaldy mundur. Keyakinan menuai hasil emas pascausia 37 tahunlah yang membuat dia setia sebagai binaragawan.



  Rumah petak 5 x 7 meter di kawasan Jakarta Timur itu terlalu sempit untuk keluarga kecil dan memajang sejumlah penghargaan dari even internasional dan nasional. Maka, tak ada pilihan selain memajang medali dan sertifikat di dinding rumah itu.

  ”Semua saya tumpuk saja. Mana cukup dinding untuk memajang semua penghargaan itu,” ujar Rizal –sapaan Syafrizaldy.

  Di usianya yang genap 45 tahun, dia telah mengantongi sederet penghargaan. Sebab, dia telah menekuni binaraga sejak 26 tahun lalu. Meski, awalnya pria penyuka warna hitam dan putih itu memulai binaraga karena ”kecelakaan”.

  Tekadnya untuk datang ke ibu kota tak pernah ter pikir menjadi atlet. Meski, dia pernah berlatih tinju di Medan, tempat kelahirannya. Niat untuk menjadi petinju tenar pupus setelah penampilannya di atas ring ditentang ibundanya, Jus’ar. ”Ibu saya tak tega melihat darah yang mengucur waktu saya bertanding,” ujar Rizal.

  Tak disangka, kondisi ekonomi keluarganya memaksa dia untuk hengkang ke Jakarta pada waktu yang bersamaan. Usaha rumah makan Padang keluarganya bangkrut. Setelah berdiskusi dengan keluarga, dia dan ayahnya, Darnis St. Ba tuah, hijrah ke Jakarta. Lagi pula, Rizal tersandung masalah dengan salah seorang temannya di kampung halaman.

  Sesampai di Jakarta, Rizal tak mau berpangku tangan. Dia membantu ayahnya mencari uang. ”Saya berjualan teh botol di Rasuna Said (kawasan Kuningan, Red). Rumah saya juga berada di sana,” ujar Rizal.

  Namun, hasratnya sebelum menuju ibu kota tak bisa disembunyikan. ”Saya ingin jadi artis,” kenang dia. Saat pertama tiba di Jakarta, Rizal mencari tempat latihan teater. ”Di sana justru idealisme saya dipertaruhkan," ucap dia.

  Rupanya, menjadi artis panggung harus bermodal tampang kece sekali atau sebaliknya. "Kalau tampangnya pas-pasan seperti saya, nggak laku,” kelakar dia.

  Setelah tak melihat ada peluang untuk menjadi bintang di teater, Rizal melirik gelanggang olahraga. Kebetulan, salah satu cabang olah raga yang berlatih di sana adalah binaraga.

  Namun, modal tampang dan kenekatan saja tidak cukup. Usaha untuk berlatih di luar jam atlet pelatnas pun ditolak mentah-mentah.

  ”Saya hanya berpikir, olahraga ini sangat menarik. Ibu pasti merestui karena lahraga ini jauh dari kekerasan dan tak ada darah,” ujar bapak tiga anak tersebut.

  Maka, meski sudah ditolak, Rizal tak patah arang. Dia mencari tempat latihan. Setelah delapan tahun berjalan, dia kian menyukai olahraga yang memper tontonkan otot-otot tersebut.

  ”Saya yakin, ketekunan ini akan berbuah meski butuh wkatu lama. Masa emas binaragawan bukan saat ini, tetapi nanti setelah saya melewati usia 37 tahun,” terang dia.

  Keyakinan itu tidak salah. Setahap demi setahap ketekunannya membuahkan hasil. DKI Jakarta yang mengandalkan dia di PON 1996 tidak pulang malu. Sebab, dia menyumbangkan medali emas.

  Karir dia melesat saat dipercaya memperkuat Indonesia pada SEA Games 1997 di Jakarta. Perak didonasikannya untuk kontingen Indonesia. Perolehan itu membuat harganya melambung menjelang PON 2000. Janji bonus yang besar membuatnya memutuskan untuk bergabung dengan Bengkulu.

Rizal pun setia kepada Bengkulu hingga tiga kali PON. Dia berturut-turut menyumbangkan medali emas. Dia menjadi satu-satunya penyumbang emas bagi Bengkulu. Namun, menjelang PON ke-18 pada 2012 di Riau nanti, dia hengkang ke Jawa Timur (Jatim).

  ”Saya kecewa karena harus berseteru lebih dahulu untuk mendapatkan dana persiapan PON. Setali tiga uang, Jatim berani menawar saya lebih tinggi menghadapi PON 2012,” ujar dia.

  Dia optimistis bisa menyumbangkan emas pada PON 2012. Meski, saat itu usianya sudah 46 tahun. ”Saya mempertaruhkan nama saya untuk Jatim.
Saya juga ingin membuktikan bahwa karir di binaraga pada usia seperti ini bukan mandek, tetapi justru stabil,” ujar penyuka musik itu.

  Soal materi, Rizal mendapatkan jauh lebih dari cukup. Kebutuhan suplemen, biaya sekolah anak, dan kehidupan sehari-hari yang totalnya sekitar Rp 16 juta bisa dicukupi. Dia malah bisa membangun rumah dan membeli kebun di Bogor.

  Rumahnya tidak hanya berada di Jakarta. ”Namun, sertifikat dan medali belum sempat saya pasang. Masih menumpuk di rumah lama,” imbuh dia.

  Tidak hanya itu. Hanya berbekal ijazah madrasah tsanawiyah (MTs) alias setingkat SMP, Rizal sukses menaklukkan Asia. Pada dua kali Asian Beach Games (ABG), pria kelahiran Medan itu sukses membawa pulang medali emas lewat binaraga.

  Olahraga itu menjadi pembuka jalan tercapainya semua cita-citanya. Rumah yang bisa di bilang mewah menjadi miliknya saat ini di kawasan Bogor dan tanah seluas 3.000 meter. Selain itu, jalan ke dunia hiburan bisa dicapai Rizal.

  Dia menjadi bintang iklan banyak produk. Di antaranya, Liga Dunhill, salah satu produsen baterai, dan lain-lain. Dia ingat, kalan itu seolah tertutup rapat justru saat Rizal belajar teater. Pada beberapa tahun terakhir, ajakan untuk bermain film dan sinetron cukup terbuka bagi dia.

  ”Binaraga masih menjadi pilihan utama. Untuk iklan, saya masih mau, sedangkan sinetron dan film saya tolak,” ujar dia. Maklum,pengambilan gambar film dan sinetron bakal membu tuhkan waktu yang tidak singkat.

  Padahal, dia sudah mengikat kontrak dengan negara dan daerah untuk tampil di single dan multieven. ”Tanggung jawab tersebut lebih besar,” tegas dia.

Sabtu, 29 Januari 2011

Suryo Agung Ketimbang Film, Pilih Dinovelkan

Sprinter Suryo Agung Wibowo tak latah bikin biografi. Dia memberi acc saat kisah hidupnya jadi ide novel.



  Biografi atlet mulai jamak diterbitkan di Indonesia. Sebut saja kisah hidup pebulu tangkis yang kondang dengan smesnya, Liem Swie King, atau smes 100 watt Hariyanto Arbi. Namun, Suryo Agung Wibowo tak lantas latah mengikuti jejak dua pebulu tangkis kondang itu.

  ’’Kok sepertinya terlalu sombong menyajikan kisah hidup saya dalam sebuah biografi,” ujar pria berjuluk manusia tercepat Asia Tenggara itu. Pelari spesialis 100 meter itu tak menolak kisah hidupnya dija dikan ide utama sebuah novel. Judulnya Lari Gung! Lari! Tak hanya ide, novel itu nyaris 100 persen berdasar liku-liku perjalanannya.

  Bahkan, beberapa nama menggunakan nama sesungguhnya. Dari nama Agung, istrinya, sampai saudara-saudara yang dilibatkan pada novel tersebut. Tak heran jika jatuh bangunnya Suryo melakoni karir sebagai sprinter benar-benar terekam pada novel tersebut.

  Di antara halaman pembuka hingga akhir, ada satu bagian yang sangat digemarinya.

  ’’Saya kok ya pede (percaya diri) mem beberkan kenangan saat berjualan kue di Stadion Manahan pada 2006 lalu,” terang Suryo Agung.

  Waktu itu kebetulan Suryo tak dipanggil pelatnas Asian Games Doha. Maklum, di SEA Games 2005 dia hanya meraih perunggu. Karena tak ada tiket pelatnas, dia pun tak bisa berlama-lama di Jakarta karena statusnya juga masih atlet Jawa Tengah. Untuk mengisi kekosong an waktu dan menambah penghasilan, Suryo berjualan kue.

  Proses penyusunan novel itu memang berdasar wawancara dengan Suryo selama tiga hari pada awal 2010 lalu. Idenya malah dimulai sejak 2009, tepatnya sebelum SEA Games ke-25 di Laos.

  Waktu itu Setia Dharma Madjid, salah seorang pengurus Program Atlet Andalan (PAL) menjanjikan penyusunan biografi kepada Suryo Agung jika dia sanggup memecahkan rekor dan menuai medali emas di nomor andalannya, 100 meter. Target pun dipenuhi, proyek lantas jalan tanpa hambatan.

  Namun, sampai sekarang jangan harap bisa menemukan novel tersebut di toko buku atau agen koran. Ya, Menpora mengambil alih proses penyebaran novel setebal 200 halaman itu ke seluruh sekolah di Indonesia.

  ’’Saya saja cuma punya terbatas. Dengan terpaksa, saya tak bisa memberikan kalau ada teman yang minta,” ujar Suryo.

Minggu, 16 Januari 2011

Seharusnya Indonesia Tak Cuma Bisa Mencetak Satu Susi Susanti

Banyak pelajaran yang saya dapat saat meliput Asian Games (AG) XVI/2010 Guangzhou. Seharusnya Indonesia mulai berpikir bagaimana mencetak ribuan Susi Susanti seperti yang dilakukan Tiongkok.


  Guangzhou benar-benar menakjubkan. Kenangan itu akan saya bawa sampai ke tanah air nanti. Tak perlu berbicara tentang infrastruktur yang dimiliki ibu kota Provinsi Guangdong, Tiongkok itu.

  Cukup melihat dari perhelatan Asian Games XVI/2010 yang saya ikuti sejak pembukaan 12 November lalu hingga penutupan 27 November. Seharusnya pengurus besar dan KONI tak perlu takut mengembangkan olahraga tak popular, asalkan dilombakan di Olimpiade.

  Pertama menjejakkan kaki di Bandar Udara (Bandara) Baiyun, saya langsung kagum. Tak perlu bersusah payah menanti taxi seperti saat keluar bandara Soekarno-Hatta, tapi cukup menuju terminal subway yang masih berada dalam satu gedung untuk menuju tengah kota.

Tak hanya menghemat pengeluaraan, tapi juga mempercepat waktu tempuh. Pengalaman ber-subway memang tak bisa dipisahkan dari perhelatan AG. Sebab, Guangzhou membangun sarana ini juga untuk mendukung sukses menjadi tuan rumah AG. Termasuk pembanguan subway dari tengah kota ke bandara.

  Itu di luar arena. Keheranan saya tak berhenti saat meliput angkat besi dan atletik, dua cabang olahraga yang kebetulan diikuti oleh Indonesia. Sudah biasa jika bulu tangkis atau olahraga permainan seperti basket dan sepak bola penuh penonton. Apalagi prestasi bulu tangkis dan basket negeri Tembok Raksasa itu sangat memuaskan. Tapi angkat besi dan atletik di AG kali ini pun disesaki penonton.

  Angkat besi yang dihelat di Dongguan Gymansium tak pernah sepi penonton. Stadion Utama Aoti juga tak pernah sepi. Mereka rela membayar tiket nonton, bukan karena adanya pengerahan masa yang bukan hal aneh di Tiongkok. Alasan yang dikemukakan senada. Mereka ingin menonton
langsung penampilan sang idola.

  Ya, Tiongkok memiliki segudang atlet di angkat besi. Kali ini mereka menahbiskan diri menjadi juara umum dengan total perolehan delapan medali emas, dua perak, dan 11 perunggu. Dongguan pernah melahirkan juara dunia Chen Jing Kai. Di atletik juga sama, Tiongkok menjadi juara umum dengan mengoleksi 13 medali emas, 15 perak, dan delapan perunggu.

  Sorak sorai di stadion utama Aoti Sport Center bahkan jauh lebih semarak. Stadion berkapasitas 80 ribu penonton itu selalu penuh dari hari pertama perlombaan sampai hari terakhir. ’’Liu Xiang idola kami,” ujar beberapa penonton yang datang ke stadion.

  Saya dibuat geleng-geleng kepala dengan para penonton yang rela mengantri tiket dan melewati proses keamanan yang ketat demi melihat langsung aksi pelari gawang 110 meter Liu Xiang.

  Bahkan, tak sedikit yang harus merogoh kocek cukup dalam karena tiket sudah ada di tangan calo. Harga tiket nonton Liu mencapai 1.600 yuan alias Rp 2,1 juta.Tentu saja harga itu sudah jauh dari banderol yang dicetak 80 yuan atau hanya sekitar Rp 100 ribu.

  Nama Liu Xiang meroket setelah sukses menuai medali emas Olimpaide 2004. Emas itu sangat istimewa, karena mencatatkan namanya sebagai sebagai atlet Tiongkok pertama yang mencetak medali emas di atletik di nomor track.

  Tak hanya itu pemuda berusia 27 tahun tersebut juga sukses menahbiskan diri menjadi pemegang tiga mahkota, yakni pemegang rekor dunia, juara
dunia, plus juara Olimpiade.

  Saya lantas mengingat-ingat. Dahulu di masa kecil saya juga memiliki  pengalaman serupa. Tapi rasanya bisa lebih lama, tak hanya sekian detik seperti penampilan Liu di lintasan.

  Waktu itu, saat saya masih di sekolah dasar, rasanya gembira sekali melihat penampilan pebulu tangkis legendaris Susi Susanti. Ada detik-detik menegangkan setiap kali angka yang dicetaknya tertinggal. Momentum itu bahkan hanya bisa saya nikmati lewat televise pemerintah.

  Tak sendirian, selalu saja ada acara nonton bareng meski hanya melalui televisi 21 inchi yang sudah sangat top waktu itu. Gambaran itu diterjemahkan dengan apik pada film Liem Swie King.

  Sukses Susi di Olimpiade menjadi momentum yang kian mengukir namanya sebagai atlet terbaik yang dimiliki tanah air. Dasarnya bulu tangkis sudah popular, keberhasilan Susi yang kala itu semakin kinclong dengan mengawinkan gelar juara bersama calon suaminya Alan Budikusuma, kian membuat masyarakat latah menggilai bulu tangkis.

  Dari sana pembinaan pun lancar. Bagi para atlet, prestasi itu sekaligus mendongkrak dompet mereka. Makanya untuk induk organisasi cabang olahraga tirulah Tiongkok dan bulu tangkis (jaman jaya dahulu).

  Penonton bisa datang ke stadion karena memiliki jagoan yang memang layak ditonton. Bulu tangkis masih bisa bertahan karena memiliki Taufik Hidayat yang
cukup cemerlang. Menjadi juara dunia dan juga peraih emas Olimpiade. Muncul juga pemain ganda yang moncer di perhelatan internasional. Markis Kido/Hendra Setiawan, Nova Widianto/Liliyana Natsir dan masih banyak lagi.

  Sayang prestasi yang mulai naik turun mulai mengurangi popularitas bulu tangkis akhir-akhir ini. Saya menjadi teringat keluh kesah seorang bapak di Tianhe Gymnasium yang ikut nonton final ganda pria Indonesia Markis Kido/Hendra Setiawan kontra dua Malaysia Koo Kien Keat/Tan Boon
Heong.

  ’’Dulu penonton di Istora juga ramai begini. Saat Susi (Susanti) atau Ardi (B. Wiranata) latihan saja, Istora sudah penuh. Sekarang kenapa tidak lagi ya?” tutur dia.

  Untuk KONI saya rasa fokus saja ke cabang olahraga Olimpiade. Atlet yang sukses menuai medali emas, jelas akan bersinar dan turut mendongkrak gengsi cabang olahraga. Juga kepada pengurus besar tak selayaknya mengalah kepada nasib. Kini gejala itu mulai ditunjukkan oleh angkat besi. Siapa tahu dayung juga bsia sepopuler bulu tangkis.

  Jayalah olahraga tanah air. Caiyo!

Selasa, 04 Januari 2011

Sepeda sebagai Transportasi Alternatif Jarak Pendek di Guangzhou University Town

  Slogan bike to work di tanah air mulai menjadi trend baru-baru ini saja. Sebelumnya transportasi sepeda masih dianggap jadul alias jaman dulu yang artinya ketinggalan jaman. Tapi, pada perkembangannya kini justru sepeda menjadi transportasi yang jor-joran.

  Di Guangzhou sebaliknya. Para mahasiswa di lingkungan Guangzhou University Town justru sepeda menjadi pilihan utama untuk jarak dekat. Tapi jangan dikira, sepeda yang dipakai keluaran terbaru.

  Pemandangan berbeda begitu terasa antara kampus-kampus di Indonesia dengan salah salah satu kompleks universitas di Guangzhou, Guangzhou University Town. Kawasan yang dibangun di atas pulau di kawasan selatan Guangzhou itu begitu bersih dengan jalan-jalan yang luas.

  Guangzhou University Town memang cukup unik. Kawasan satu pulau itu sengaja dikonsentrasikan untuk bangunan kampus. Pembangunannya belum lama, baru 2004 lalu. Ada 10 universitas di sana. Yakni yang paling kondang dan berada di urutan pertama adalah Universitas Sun Yat Sen, kemudian diikuti South China University of Technology. Masih ada

  Sembilan universitas lain yang dari namanya saja sudah cukup membuat tercengang. Simak saja, ada universitas yang khusus mempelajari obat-obat tradisional Tiongkok, bukan jurusan atau sekedar fakultas. Yakni Guangzhou University of Traditional Chinese Medicine. Di tanah air, Universitas Indonesia sudah memiliki, tapi baru menjadi jurusan di salah satu fakultas.

  Delapan universitas lainnya adalah Guangdong Pharmaceutical University, Guangzhou University, South China Normal University, Guangdong University of Foreign Studies, Guangzhou Art College, Guangdong University of Technology, dan Xinhai Conservertory of Music.

  Lokasi yang terpusat itu memang memudahkan bagi mahasiswa yang ingin
belajar dua ilmu sekaligus dan berbeda universitas. Tapi ada masalah yang harus dihadapi. Lokasi tersebut menjadi kawasan tertutup, tak ada pemukiman penduduk. Namun pihak pengelola sudah menyiapkan asrama sebagai tempat tinggal. Harganya beragam, sesuai kapasitas kamar yang dibatasi satu hingga empat orang. Untuk kamar yang ditinggali satu orang dihargai 10.000 yuan atau sekitar Rp 13 juta setahun.

  Urusan transportasi juga sudah tak perlu bingung-bingung lagi. Bus dan subway tersedia sejak pukul 05.00 sampai 24.00 waktu setempat. Bus itu memiliki jurusan yang menjangkau seluruh kampus yang ada. Tapi untuk melipir dalam kampus, para mahasiswa punya cara tersendiri. Pilihannya jalan kaki yang tentu bakal menguras tenaga atau mengendarai sepeda dan naik ojek. Dua alternatif pertama menjadi pilihan utama, sedangkan anik ojek bisa dilakukan saat tak ada larangan dan punya duit lebih. Larangan itu berlaku sesuai keinginan pemerintah setempat, misalnya saat ada AG seperti ini.

  Kebijakan itu membuat banyak mahasiswa mau merogoh kocek untuk membeli sepeda. Tapi jangan dikira jika sepeda yang mereka pilih adalah keluaran terbaru dengan model up to date seperti di tanah air.

Sepeda yang dipilih adalah sepeda mini yang dilengkapi keranjang. Sepeda lengkap dengan boncengan besi bersegi empat seperti pada sepeda jengki. Tongkrongannya amat sangat jadul kalau orang Indonesia bilang. Mana ada mahasiswa Indonesia yang mau memakai sepeda model seperti itu di kampus-kampus di tanah air. Paling hanya komunitas sepeda yang mau mengendarai sepeda model tersebut di jalan-jalan perkotaan dan pada momen tertentu saja.

  Shao Guan, salah satu mahasiswa jurusan ekonomi, South China University of Tecony (SCUT), sengaja membeli sepeda sesegera setelah dia dinyatakan lolos menjadi mahasiswa.

  ’’Jarak satu kampus dengan yang lainnya cukup jauh. Dengan sepeda ini bisa membantu pergerakan saya. Lebih seru karena beberapa teman juga bersepeda,” ujar Guan.

  Sepeda itu, jelas Guan, tak pernah dibawa pulang. Maklum rumahnya cukup jauh dari kampus. Rumah Guan ada di kawasan lain yang berjarak 3,5 jam naik kereta. JIka lagi bosan naik kereta, dia memilih naik bus.

  ’’Nggak perlu khawatir hilang. Di kampus ada garasi untuk menyimpan sepeda semua mahasiswa,” ujar dia. Kalau memang harus bepergian lebih jauh, kereta bawah tanah atau bus yang lewat kampus.

  Untuk mahasiswa yang tak punya sepeda tak perlu pusing. Mereka bisamenyewa sepeda yang tersedia di kawasan tersebut. Harganya tak mahal-mahal amat untuk kocek mahasiswa, hanya 1,5 yuan perjam atau sekitar Rp 2000.

  ’’Motor memang dilarang di sini. Lagipula itu tak aman bukan. Kami juga harus beli bensin untuk mengendarainya, harga motor juga tak murah,” ujar Onyang Haowen, mahasiswa teknik informatika, SUCT.

  Seperti Shao Guan, Onyang juga memilih membeli sepeda. Sepeda miliknya bermodel sepeda mini plus dengan keranjang. Menurutnya model itu lebih pas dengan dia sebagai mahasiswa yang harus membawa perlengkapan dan peralatan belajar setiap hari.

  ’’Sepeda ini membantu banget. Lumayanlah nggak perlu capek-apek jalan,” ujar dia beralasan.

Shao Guan juga bisa berhemat tak perlu membayar ongkos bus atau membeli bensin.

  ’’Lagipula sangat berbahaya naik sepeda motor atau kendaraan yang lebih cepat. Di sini banyak sekali mahasiswa pada jam-jam terntentu, utamanya pagi dan sore hari,” terang pemuda yang punya nama Omen juga itu.

  Stefani Aztralia, mahasiswi tingkat tiga SCUT, mengakui sempat syok dengan kondisi di kompleks kampus tersebut. Maklum saat masih tinggal di Jakarta semuanya terbilang mudah. Dia tak perlu jalan kaki jauh-jauh untuk ke sekolah.

  ’’Tapi setelah tiga bulan berjalan semua malah terasa enak. Saya merasa di sini lebih aman, transportasi bus dan subway juga mudah,” ujar cewek yang akrab disapa Fani itu.

  Dia memimpikan Jakarta bisa menyediakan kemudahan transportasi layaknya di Guangzhou. ’’Di sini juga lebih aman saya rasa,” imbuh dia.

  Guangzhou disebut-sebut sebagai kota dengan transportasi terbaik di Tiongkok. Subway memiliki delapan jalur yang menjangkau hampir seluruh kawasan dalam kota. Bus juga tersedia 24 jam meski frekuensinya berkurang pada dini hari. Jalanannya pun mendukung. Di dalam kompleks Guangzhou University Town jalan-jalan dibangun dengan tiga jalur pada masing-masing arah.

  Kondisi itu tentu tak banyak ditemui di kawasan universitas di tanah air. Di Institut Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) akan lebih banyak berseliweran sepeda motor daripada sepeda pancal, demikian arek Suroboyo menyebutnya. Suasanya pun menjadi berbeda. Di sini, mahasiswa bisa duduk-duduk di sepanjang jalan sambil buka buku tanpa khawatir bising kendaraan bermotor.

  Tapi kondisi itu memang tak lepas dari peran pemerintah. Ada atau tidaknya AG, pemerintah Tiongkok melarang sepeda amotor masuk kota sejak Januari 2007 lalu. Malah selama AG berlangsung mereka juga menggilir plat mobil genap dan ganjil untukmengurangi kemacetan. Tapi moda transportasi umum juga ditingkatkan. Wah kapan Jakarta dan Surabaya mengikuti langkah tersebut ya?

Minggu, 02 Januari 2011

Podium Pertama Bagi Nana dan Sinta

Ivana Adelia Irmanto dan Ni Luh Sinta Darmariani menjadi bintang pada pekan pertama Asian Games XV/2010. Mereka menyumbangkan medali untuk Indonesia.

  Keharuan mewarnai gedung angkat besi Guangdong Stadyum Rabu malam
(17/11) lalu. Tak disangka-sangka Ni Luh Sinta Darmariani berhasil
menuai emdali perak di kelas 69kg pada Asian Games (AG) XVI/2010.

  Di atas kertas, Sinta sama sekali tak dijagokan. Total angkatan yang
dimiliki Sinta hanya berada di urutan keempat. Pesaingnya adalah
lifter tuan rumah Tiongkok dan Taiwan.

  Tapi Sinta berhasil membukukan angakatan jauh dari miliknya sendiri dengan total angkatan 137 kg. Hasilnya, Sinta mampu berada di urutan kedua dengan terpaut 4kg dengan peraih medali emas Liu Chunhong dari Tiongkok.

  ’’Saya tak menyangka bisa mendapatkan media perak. Apalagi dengan
total angkatan jauh dari angkatan terbaik saya,” ujar Sinta.

  Firasat untuk mendapatkan medali sama sekali tak dirasakannya. Malam sebelum berlaga, gadis asal Bali itu malah jalan-jalan di mall. Tak ada beban
dan tak ada target pribadi. Tapi justru tak adanya beban menyumbangkan
medali itu membuat SInta tampil rileks. Dia malah menyempatkan diri
untuk jalan-jalan di pertokoan dalam lingkungan perkampungan atlet.

  Tapi rupanya kebiasaan unik Sintalah yang menjadi pembuka berkah.
Peraih medali emas SEA Games XXIV/2007 di Nakhon Ratchasima itu selalu
mengajak salaman Ivana Ardelia Irmanto, atlet yang menyumbangkan medali
perak pertama bagi Indonesia.

  ’’Biasanya ketemu di ruang makan dan sebelum even saya bertemu Ivana dua kali,” kenang Sinta. Pertama saat Ivana usai mednapatkan medali perak. Kemudian yang kedua malam tepat sebelum Sinta berlaga.

  ‘’Saya nggak mau tuh salaman dengan teman-teman yang pada dapat perunggu,” canda Sinta. ’’Syukur bisa ketularan,” imbuh wanita kelahiran 22 Desember 1986 itu dengan gembira.

  Yang lebih membahagiakan Sinta, medali itu membuat dia bisa naik podium AG untuk kali pertama. Empat tahun lalu di Doha, cewek yang sudah berstatus
PNS itu memang meraih perunggu, tapi Sinta tak naik podium.

  Perunggu yang diperolehnya terkait vonis doping kepada lifter
peringkat ketiga dari Myanmar. Pemberitahuan sebagai atlet peraih
perunggu didapat setelah dia berada di Bali, kampong halamannya. Tapi
medali nggak smapai di tangannya, hanya bonus dari pemerintah yang
dinikmati SInta.

  Sama seperti Sinta, Nana, sapaan karib Ivana Adelia Irmanto, juga tak
menyangka jika bisa mendpatkan perak. Yang paling istimewa dia menjadi
penyumbang medali pertama bagi Indonesia. Tak cuma itu, Ivana sama
sekali tak dijagokan menyumbangkan medali. Lolosnya siswa SMA kelas 2
SMA Bopkri itu ke pelatnas saja sudah sangat mepet dengan
keberangkatan ke Guangzhou.

  Nana malah hanya berlatih di Beijing selama satu pekan. Seangkan atlet
wushu Merah Putih lainnya sampai satu hingga tiga bulan. Selama
berlatih di tanah air, boleh dibilang Nana tak mendapatkan polesan
optimal.

  Gurunya di sasana Sinduadi, Jogjakarta Zhao Chang An memiliki
psesifikasi jurus yang berbeda dengan dia. Nana berkonsentrasi pad
ajurus Nanquan alias tangan kosong dan nandao, golok kecil.

  ’’Saya sama sekali tak menyangka menjadi penyumbang medali perak apalagi bisa lebih baik dari para senior,” ujar gadis berlesung pipit itu.

  Malam hari sebelum turun ke lapangan, Nana sempat merasakan tak bisa
tidur. Maklum AG merupakan even multieven Asia pertamanya. Dia juga
belum lama bergabung dengan kelas senior. Belum genap setahun lalu,
sejak Nana tampil di Kanada Terbuka 2009.

  Selain itu dia teringat awal keberangkatannya ke Beijing, saat akan mengikuti pelatnas di Beijing.  Waktu keberangkatan Nana dari Jakarta bertepatan dengan Gunung Merapi  memuntahkan awan panas. Rumahnya di Kaliurang dan Godean termasuk  daerah yang kebagian luncuran awan tersebut.

  ’’Saya sempat ragu untuk berangkat ke Beijing. Tapi pelatih saya
meyakinkan kalau saya lebih baik membulatkan tekad ke Tiongkok dan
berlatih lebih intens. Syukurlah keluarga semuanya baik,” ujar dia.

Pengorbanannya mendapatkan imbalan setimpal. Nana berhasil membawa
pulang medali perak. Hebatnya lagi, dia menuai medali perak AG pada usia yang cukup muda, 17 tahun.(*)

Ini hanya terbit di blogku saja

Sabtu, 01 Januari 2011

Di Warung Kopi

Hari ini seperti juga kemarin
Berakhir pada secangkir kopi pahit
Dan ingin merebahkan diri
Bukan di kediaman
Cukup di pojok remang kedai minuman
Sejenak melepas beban tugas
Untuk mengganti pokok pikiran di otak kanan
Tak perlu motor berpolusi
Cukup jalan kaki
Sementara perut tak bisa dibohongi
Dia juga meminta jatah dini hari
Terpaksa kucari sedikit nasi
Sejenak kutinggalkan kopi
Kutelusuri gang sempit
Mencari warung dini hari
Seolah menjadi pekerja sensus
Tapi tak kutemui
Aku memilih kembali
Dan kunikmati saja dingin kopi
Sembari menanti pagi

tahun baru

Tahun baru kali ini begitu istimewa. Masih beraroma semangat pasukan Garuda pada Piala Suzuki AFF 2010.
 Hanya runner-up tapi paling tidak bisa menggugah rasa kebangsaan dan nasionalisme rakyat Indonesia.
Aku menjadi ingat benar saat Piala Thomas dan Uber 2008 di Istana Olahraga (Istora) Senayan, Jakarta.
Waktu itu Merah Putih juga diagung-agungkan. Penyebabnya tim Uber juga sanggup melaju ke partai final. Sayang gelar juara tak dituai. Namun lagi, lagi semangat kebangsaan dan nasionalisme begitu meluap. Tak dimungkiri peran pemain legendaris Susi Susanti yang sampai turun gunung.
''Biar saja semua orang bilang ini mission imposible. Tapi saya yakin tim Uber bisa mendapatkan hasil maksimal," ujar dia sebelum Piala Uber dimulai.
Namun hati saya miris saat melihat status salah satu pemain nasional di jejaring sosial miliknya. Dia mempertanyakan kenapa rakyat bisa marah saat prestasinya jeblok. Tak sadarkah posisimu sebagai hiburan mahadasyat untuk kemiskinan negeri ini.

Ah sudahlah...selamat tahun baru..........................................
Jayalah Merah Putih!