Banyak pelajaran yang saya dapat saat meliput Asian Games (AG) XVI/2010 Guangzhou. Seharusnya Indonesia mulai berpikir bagaimana mencetak ribuan Susi Susanti seperti yang dilakukan Tiongkok.
Guangzhou benar-benar menakjubkan. Kenangan itu akan saya bawa sampai ke tanah air nanti. Tak perlu berbicara tentang infrastruktur yang dimiliki ibu kota Provinsi Guangdong, Tiongkok itu.
Cukup melihat dari perhelatan Asian Games XVI/2010 yang saya ikuti sejak pembukaan 12 November lalu hingga penutupan 27 November. Seharusnya pengurus besar dan KONI tak perlu takut mengembangkan olahraga tak popular, asalkan dilombakan di Olimpiade.
Pertama menjejakkan kaki di Bandar Udara (Bandara) Baiyun, saya langsung kagum. Tak perlu bersusah payah menanti taxi seperti saat keluar bandara Soekarno-Hatta, tapi cukup menuju terminal subway yang masih berada dalam satu gedung untuk menuju tengah kota.
Tak hanya menghemat pengeluaraan, tapi juga mempercepat waktu tempuh. Pengalaman ber-subway memang tak bisa dipisahkan dari perhelatan AG. Sebab, Guangzhou membangun sarana ini juga untuk mendukung sukses menjadi tuan rumah AG. Termasuk pembanguan subway dari tengah kota ke bandara.
Itu di luar arena. Keheranan saya tak berhenti saat meliput angkat besi dan atletik, dua cabang olahraga yang kebetulan diikuti oleh Indonesia. Sudah biasa jika bulu tangkis atau olahraga permainan seperti basket dan sepak bola penuh penonton. Apalagi prestasi bulu tangkis dan basket negeri Tembok Raksasa itu sangat memuaskan. Tapi angkat besi dan atletik di AG kali ini pun disesaki penonton.
Angkat besi yang dihelat di Dongguan Gymansium tak pernah sepi penonton. Stadion Utama Aoti juga tak pernah sepi. Mereka rela membayar tiket nonton, bukan karena adanya pengerahan masa yang bukan hal aneh di Tiongkok. Alasan yang dikemukakan senada. Mereka ingin menonton
langsung penampilan sang idola.
Ya, Tiongkok memiliki segudang atlet di angkat besi. Kali ini mereka menahbiskan diri menjadi juara umum dengan total perolehan delapan medali emas, dua perak, dan 11 perunggu. Dongguan pernah melahirkan juara dunia Chen Jing Kai. Di atletik juga sama, Tiongkok menjadi juara umum dengan mengoleksi 13 medali emas, 15 perak, dan delapan perunggu.
Sorak sorai di stadion utama Aoti Sport Center bahkan jauh lebih semarak. Stadion berkapasitas 80 ribu penonton itu selalu penuh dari hari pertama perlombaan sampai hari terakhir. ’’Liu Xiang idola kami,” ujar beberapa penonton yang datang ke stadion.
Saya dibuat geleng-geleng kepala dengan para penonton yang rela mengantri tiket dan melewati proses keamanan yang ketat demi melihat langsung aksi pelari gawang 110 meter Liu Xiang.
Bahkan, tak sedikit yang harus merogoh kocek cukup dalam karena tiket sudah ada di tangan calo. Harga tiket nonton Liu mencapai 1.600 yuan alias Rp 2,1 juta.Tentu saja harga itu sudah jauh dari banderol yang dicetak 80 yuan atau hanya sekitar Rp 100 ribu.
Nama Liu Xiang meroket setelah sukses menuai medali emas Olimpaide 2004. Emas itu sangat istimewa, karena mencatatkan namanya sebagai sebagai atlet Tiongkok pertama yang mencetak medali emas di atletik di nomor track.
Tak hanya itu pemuda berusia 27 tahun tersebut juga sukses menahbiskan diri menjadi pemegang tiga mahkota, yakni pemegang rekor dunia, juara
dunia, plus juara Olimpiade.
Saya lantas mengingat-ingat. Dahulu di masa kecil saya juga memiliki pengalaman serupa. Tapi rasanya bisa lebih lama, tak hanya sekian detik seperti penampilan Liu di lintasan.
Waktu itu, saat saya masih di sekolah dasar, rasanya gembira sekali melihat penampilan pebulu tangkis legendaris Susi Susanti. Ada detik-detik menegangkan setiap kali angka yang dicetaknya tertinggal. Momentum itu bahkan hanya bisa saya nikmati lewat televise pemerintah.
Tak sendirian, selalu saja ada acara nonton bareng meski hanya melalui televisi 21 inchi yang sudah sangat top waktu itu. Gambaran itu diterjemahkan dengan apik pada film Liem Swie King.
Sukses Susi di Olimpiade menjadi momentum yang kian mengukir namanya sebagai atlet terbaik yang dimiliki tanah air. Dasarnya bulu tangkis sudah popular, keberhasilan Susi yang kala itu semakin kinclong dengan mengawinkan gelar juara bersama calon suaminya Alan Budikusuma, kian membuat masyarakat latah menggilai bulu tangkis.
Dari sana pembinaan pun lancar. Bagi para atlet, prestasi itu sekaligus mendongkrak dompet mereka. Makanya untuk induk organisasi cabang olahraga tirulah Tiongkok dan bulu tangkis (jaman jaya dahulu).
Penonton bisa datang ke stadion karena memiliki jagoan yang memang layak ditonton. Bulu tangkis masih bisa bertahan karena memiliki Taufik Hidayat yang
cukup cemerlang. Menjadi juara dunia dan juga peraih emas Olimpiade. Muncul juga pemain ganda yang moncer di perhelatan internasional. Markis Kido/Hendra Setiawan, Nova Widianto/Liliyana Natsir dan masih banyak lagi.
Sayang prestasi yang mulai naik turun mulai mengurangi popularitas bulu tangkis akhir-akhir ini. Saya menjadi teringat keluh kesah seorang bapak di Tianhe Gymnasium yang ikut nonton final ganda pria Indonesia Markis Kido/Hendra Setiawan kontra dua Malaysia Koo Kien Keat/Tan Boon
Heong.
’’Dulu penonton di Istora juga ramai begini. Saat Susi (Susanti) atau Ardi (B. Wiranata) latihan saja, Istora sudah penuh. Sekarang kenapa tidak lagi ya?” tutur dia.
Untuk KONI saya rasa fokus saja ke cabang olahraga Olimpiade. Atlet yang sukses menuai medali emas, jelas akan bersinar dan turut mendongkrak gengsi cabang olahraga. Juga kepada pengurus besar tak selayaknya mengalah kepada nasib. Kini gejala itu mulai ditunjukkan oleh angkat besi. Siapa tahu dayung juga bsia sepopuler bulu tangkis.
Jayalah olahraga tanah air. Caiyo!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar