Selasa, 04 Januari 2011

Sepeda sebagai Transportasi Alternatif Jarak Pendek di Guangzhou University Town

  Slogan bike to work di tanah air mulai menjadi trend baru-baru ini saja. Sebelumnya transportasi sepeda masih dianggap jadul alias jaman dulu yang artinya ketinggalan jaman. Tapi, pada perkembangannya kini justru sepeda menjadi transportasi yang jor-joran.

  Di Guangzhou sebaliknya. Para mahasiswa di lingkungan Guangzhou University Town justru sepeda menjadi pilihan utama untuk jarak dekat. Tapi jangan dikira, sepeda yang dipakai keluaran terbaru.

  Pemandangan berbeda begitu terasa antara kampus-kampus di Indonesia dengan salah salah satu kompleks universitas di Guangzhou, Guangzhou University Town. Kawasan yang dibangun di atas pulau di kawasan selatan Guangzhou itu begitu bersih dengan jalan-jalan yang luas.

  Guangzhou University Town memang cukup unik. Kawasan satu pulau itu sengaja dikonsentrasikan untuk bangunan kampus. Pembangunannya belum lama, baru 2004 lalu. Ada 10 universitas di sana. Yakni yang paling kondang dan berada di urutan pertama adalah Universitas Sun Yat Sen, kemudian diikuti South China University of Technology. Masih ada

  Sembilan universitas lain yang dari namanya saja sudah cukup membuat tercengang. Simak saja, ada universitas yang khusus mempelajari obat-obat tradisional Tiongkok, bukan jurusan atau sekedar fakultas. Yakni Guangzhou University of Traditional Chinese Medicine. Di tanah air, Universitas Indonesia sudah memiliki, tapi baru menjadi jurusan di salah satu fakultas.

  Delapan universitas lainnya adalah Guangdong Pharmaceutical University, Guangzhou University, South China Normal University, Guangdong University of Foreign Studies, Guangzhou Art College, Guangdong University of Technology, dan Xinhai Conservertory of Music.

  Lokasi yang terpusat itu memang memudahkan bagi mahasiswa yang ingin
belajar dua ilmu sekaligus dan berbeda universitas. Tapi ada masalah yang harus dihadapi. Lokasi tersebut menjadi kawasan tertutup, tak ada pemukiman penduduk. Namun pihak pengelola sudah menyiapkan asrama sebagai tempat tinggal. Harganya beragam, sesuai kapasitas kamar yang dibatasi satu hingga empat orang. Untuk kamar yang ditinggali satu orang dihargai 10.000 yuan atau sekitar Rp 13 juta setahun.

  Urusan transportasi juga sudah tak perlu bingung-bingung lagi. Bus dan subway tersedia sejak pukul 05.00 sampai 24.00 waktu setempat. Bus itu memiliki jurusan yang menjangkau seluruh kampus yang ada. Tapi untuk melipir dalam kampus, para mahasiswa punya cara tersendiri. Pilihannya jalan kaki yang tentu bakal menguras tenaga atau mengendarai sepeda dan naik ojek. Dua alternatif pertama menjadi pilihan utama, sedangkan anik ojek bisa dilakukan saat tak ada larangan dan punya duit lebih. Larangan itu berlaku sesuai keinginan pemerintah setempat, misalnya saat ada AG seperti ini.

  Kebijakan itu membuat banyak mahasiswa mau merogoh kocek untuk membeli sepeda. Tapi jangan dikira jika sepeda yang mereka pilih adalah keluaran terbaru dengan model up to date seperti di tanah air.

Sepeda yang dipilih adalah sepeda mini yang dilengkapi keranjang. Sepeda lengkap dengan boncengan besi bersegi empat seperti pada sepeda jengki. Tongkrongannya amat sangat jadul kalau orang Indonesia bilang. Mana ada mahasiswa Indonesia yang mau memakai sepeda model seperti itu di kampus-kampus di tanah air. Paling hanya komunitas sepeda yang mau mengendarai sepeda model tersebut di jalan-jalan perkotaan dan pada momen tertentu saja.

  Shao Guan, salah satu mahasiswa jurusan ekonomi, South China University of Tecony (SCUT), sengaja membeli sepeda sesegera setelah dia dinyatakan lolos menjadi mahasiswa.

  ’’Jarak satu kampus dengan yang lainnya cukup jauh. Dengan sepeda ini bisa membantu pergerakan saya. Lebih seru karena beberapa teman juga bersepeda,” ujar Guan.

  Sepeda itu, jelas Guan, tak pernah dibawa pulang. Maklum rumahnya cukup jauh dari kampus. Rumah Guan ada di kawasan lain yang berjarak 3,5 jam naik kereta. JIka lagi bosan naik kereta, dia memilih naik bus.

  ’’Nggak perlu khawatir hilang. Di kampus ada garasi untuk menyimpan sepeda semua mahasiswa,” ujar dia. Kalau memang harus bepergian lebih jauh, kereta bawah tanah atau bus yang lewat kampus.

  Untuk mahasiswa yang tak punya sepeda tak perlu pusing. Mereka bisamenyewa sepeda yang tersedia di kawasan tersebut. Harganya tak mahal-mahal amat untuk kocek mahasiswa, hanya 1,5 yuan perjam atau sekitar Rp 2000.

  ’’Motor memang dilarang di sini. Lagipula itu tak aman bukan. Kami juga harus beli bensin untuk mengendarainya, harga motor juga tak murah,” ujar Onyang Haowen, mahasiswa teknik informatika, SUCT.

  Seperti Shao Guan, Onyang juga memilih membeli sepeda. Sepeda miliknya bermodel sepeda mini plus dengan keranjang. Menurutnya model itu lebih pas dengan dia sebagai mahasiswa yang harus membawa perlengkapan dan peralatan belajar setiap hari.

  ’’Sepeda ini membantu banget. Lumayanlah nggak perlu capek-apek jalan,” ujar dia beralasan.

Shao Guan juga bisa berhemat tak perlu membayar ongkos bus atau membeli bensin.

  ’’Lagipula sangat berbahaya naik sepeda motor atau kendaraan yang lebih cepat. Di sini banyak sekali mahasiswa pada jam-jam terntentu, utamanya pagi dan sore hari,” terang pemuda yang punya nama Omen juga itu.

  Stefani Aztralia, mahasiswi tingkat tiga SCUT, mengakui sempat syok dengan kondisi di kompleks kampus tersebut. Maklum saat masih tinggal di Jakarta semuanya terbilang mudah. Dia tak perlu jalan kaki jauh-jauh untuk ke sekolah.

  ’’Tapi setelah tiga bulan berjalan semua malah terasa enak. Saya merasa di sini lebih aman, transportasi bus dan subway juga mudah,” ujar cewek yang akrab disapa Fani itu.

  Dia memimpikan Jakarta bisa menyediakan kemudahan transportasi layaknya di Guangzhou. ’’Di sini juga lebih aman saya rasa,” imbuh dia.

  Guangzhou disebut-sebut sebagai kota dengan transportasi terbaik di Tiongkok. Subway memiliki delapan jalur yang menjangkau hampir seluruh kawasan dalam kota. Bus juga tersedia 24 jam meski frekuensinya berkurang pada dini hari. Jalanannya pun mendukung. Di dalam kompleks Guangzhou University Town jalan-jalan dibangun dengan tiga jalur pada masing-masing arah.

  Kondisi itu tentu tak banyak ditemui di kawasan universitas di tanah air. Di Institut Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) akan lebih banyak berseliweran sepeda motor daripada sepeda pancal, demikian arek Suroboyo menyebutnya. Suasanya pun menjadi berbeda. Di sini, mahasiswa bisa duduk-duduk di sepanjang jalan sambil buka buku tanpa khawatir bising kendaraan bermotor.

  Tapi kondisi itu memang tak lepas dari peran pemerintah. Ada atau tidaknya AG, pemerintah Tiongkok melarang sepeda amotor masuk kota sejak Januari 2007 lalu. Malah selama AG berlangsung mereka juga menggilir plat mobil genap dan ganjil untukmengurangi kemacetan. Tapi moda transportasi umum juga ditingkatkan. Wah kapan Jakarta dan Surabaya mengikuti langkah tersebut ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar