Sabtu, 05 Februari 2011

Raja Binaraga ABG Syafrizaldy Tolak Tawaran Film dan Sinetron

Binaraga bukan olahraga favorit di tanah air. Namun, kenyataan itu tidak membuat Syafrizaldy mundur. Keyakinan menuai hasil emas pascausia 37 tahunlah yang membuat dia setia sebagai binaragawan.



  Rumah petak 5 x 7 meter di kawasan Jakarta Timur itu terlalu sempit untuk keluarga kecil dan memajang sejumlah penghargaan dari even internasional dan nasional. Maka, tak ada pilihan selain memajang medali dan sertifikat di dinding rumah itu.

  ”Semua saya tumpuk saja. Mana cukup dinding untuk memajang semua penghargaan itu,” ujar Rizal –sapaan Syafrizaldy.

  Di usianya yang genap 45 tahun, dia telah mengantongi sederet penghargaan. Sebab, dia telah menekuni binaraga sejak 26 tahun lalu. Meski, awalnya pria penyuka warna hitam dan putih itu memulai binaraga karena ”kecelakaan”.

  Tekadnya untuk datang ke ibu kota tak pernah ter pikir menjadi atlet. Meski, dia pernah berlatih tinju di Medan, tempat kelahirannya. Niat untuk menjadi petinju tenar pupus setelah penampilannya di atas ring ditentang ibundanya, Jus’ar. ”Ibu saya tak tega melihat darah yang mengucur waktu saya bertanding,” ujar Rizal.

  Tak disangka, kondisi ekonomi keluarganya memaksa dia untuk hengkang ke Jakarta pada waktu yang bersamaan. Usaha rumah makan Padang keluarganya bangkrut. Setelah berdiskusi dengan keluarga, dia dan ayahnya, Darnis St. Ba tuah, hijrah ke Jakarta. Lagi pula, Rizal tersandung masalah dengan salah seorang temannya di kampung halaman.

  Sesampai di Jakarta, Rizal tak mau berpangku tangan. Dia membantu ayahnya mencari uang. ”Saya berjualan teh botol di Rasuna Said (kawasan Kuningan, Red). Rumah saya juga berada di sana,” ujar Rizal.

  Namun, hasratnya sebelum menuju ibu kota tak bisa disembunyikan. ”Saya ingin jadi artis,” kenang dia. Saat pertama tiba di Jakarta, Rizal mencari tempat latihan teater. ”Di sana justru idealisme saya dipertaruhkan," ucap dia.

  Rupanya, menjadi artis panggung harus bermodal tampang kece sekali atau sebaliknya. "Kalau tampangnya pas-pasan seperti saya, nggak laku,” kelakar dia.

  Setelah tak melihat ada peluang untuk menjadi bintang di teater, Rizal melirik gelanggang olahraga. Kebetulan, salah satu cabang olah raga yang berlatih di sana adalah binaraga.

  Namun, modal tampang dan kenekatan saja tidak cukup. Usaha untuk berlatih di luar jam atlet pelatnas pun ditolak mentah-mentah.

  ”Saya hanya berpikir, olahraga ini sangat menarik. Ibu pasti merestui karena lahraga ini jauh dari kekerasan dan tak ada darah,” ujar bapak tiga anak tersebut.

  Maka, meski sudah ditolak, Rizal tak patah arang. Dia mencari tempat latihan. Setelah delapan tahun berjalan, dia kian menyukai olahraga yang memper tontonkan otot-otot tersebut.

  ”Saya yakin, ketekunan ini akan berbuah meski butuh wkatu lama. Masa emas binaragawan bukan saat ini, tetapi nanti setelah saya melewati usia 37 tahun,” terang dia.

  Keyakinan itu tidak salah. Setahap demi setahap ketekunannya membuahkan hasil. DKI Jakarta yang mengandalkan dia di PON 1996 tidak pulang malu. Sebab, dia menyumbangkan medali emas.

  Karir dia melesat saat dipercaya memperkuat Indonesia pada SEA Games 1997 di Jakarta. Perak didonasikannya untuk kontingen Indonesia. Perolehan itu membuat harganya melambung menjelang PON 2000. Janji bonus yang besar membuatnya memutuskan untuk bergabung dengan Bengkulu.

Rizal pun setia kepada Bengkulu hingga tiga kali PON. Dia berturut-turut menyumbangkan medali emas. Dia menjadi satu-satunya penyumbang emas bagi Bengkulu. Namun, menjelang PON ke-18 pada 2012 di Riau nanti, dia hengkang ke Jawa Timur (Jatim).

  ”Saya kecewa karena harus berseteru lebih dahulu untuk mendapatkan dana persiapan PON. Setali tiga uang, Jatim berani menawar saya lebih tinggi menghadapi PON 2012,” ujar dia.

  Dia optimistis bisa menyumbangkan emas pada PON 2012. Meski, saat itu usianya sudah 46 tahun. ”Saya mempertaruhkan nama saya untuk Jatim.
Saya juga ingin membuktikan bahwa karir di binaraga pada usia seperti ini bukan mandek, tetapi justru stabil,” ujar penyuka musik itu.

  Soal materi, Rizal mendapatkan jauh lebih dari cukup. Kebutuhan suplemen, biaya sekolah anak, dan kehidupan sehari-hari yang totalnya sekitar Rp 16 juta bisa dicukupi. Dia malah bisa membangun rumah dan membeli kebun di Bogor.

  Rumahnya tidak hanya berada di Jakarta. ”Namun, sertifikat dan medali belum sempat saya pasang. Masih menumpuk di rumah lama,” imbuh dia.

  Tidak hanya itu. Hanya berbekal ijazah madrasah tsanawiyah (MTs) alias setingkat SMP, Rizal sukses menaklukkan Asia. Pada dua kali Asian Beach Games (ABG), pria kelahiran Medan itu sukses membawa pulang medali emas lewat binaraga.

  Olahraga itu menjadi pembuka jalan tercapainya semua cita-citanya. Rumah yang bisa di bilang mewah menjadi miliknya saat ini di kawasan Bogor dan tanah seluas 3.000 meter. Selain itu, jalan ke dunia hiburan bisa dicapai Rizal.

  Dia menjadi bintang iklan banyak produk. Di antaranya, Liga Dunhill, salah satu produsen baterai, dan lain-lain. Dia ingat, kalan itu seolah tertutup rapat justru saat Rizal belajar teater. Pada beberapa tahun terakhir, ajakan untuk bermain film dan sinetron cukup terbuka bagi dia.

  ”Binaraga masih menjadi pilihan utama. Untuk iklan, saya masih mau, sedangkan sinetron dan film saya tolak,” ujar dia. Maklum,pengambilan gambar film dan sinetron bakal membu tuhkan waktu yang tidak singkat.

  Padahal, dia sudah mengikat kontrak dengan negara dan daerah untuk tampil di single dan multieven. ”Tanggung jawab tersebut lebih besar,” tegas dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar