Taufik Hidayat sangat bersyukur mempunyai ayah yang keras hati. Saat bergabung dengan SGS Bandung, Taufik di masa kecil harus lari sejauh 10 kilometer setiap hari.
Obrolan soal potensi Taufik di lapangan bulutangkis membekas di benak sang ayah, Aris Haris. Apalagi ada seorang teman yang memang pelatih bulutangkis yakin benar akan bakat besar yang dimiliki bocah kelahiran Pangalengan pada 10 Agustus 1981 itu.
Bukti lain didapatkan ketika Taufik menjadi juara bulutangkis di Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Sekolah Dasar se-Pangalengan. Akhirnya Aris meneruskan ide temannya itu untuk mendaftarkan Taufik berlatih di SGS Bandung. Konon, klub itu ditangani seorang seniman bulutangkis yang mantan pemain nasional.
Kala itu, Taufik kelas 5 Sekolah Dasar negeri 1 Pangalengan. Jauhnya jarak Pangalengan-Bandung, sekitar 40 kilometer, menjadi pertimbangan. Untuk tinggal di asrama belum memungkinan. Aris punya pertimbangan kalau Taufik harus tetap bersekolah di SD Pangalengan.
Aris sempat dibuat pusing untuk memutuskan cara agar Taufik tetap bersekolah tapi les bulutangkis juga tetap jalan. Akhirnya latihan tetap dijalani dengan cara pulang pergi Pangalengan-Bandung setiap hari. Konsekuensinya Aris harus mendampingi.
“Taufik pulang pergi dari Pangalengan ke Bandung tiap hari. Saya dampingi. Paling Sabtu dia menginap karena Minggu ada latihan pagi,” kata Aris
Pulang pergi Pangalengan-Bandung itu rupanya bukan perkara mudah. Apalagi Taufik selalu punya permintaan khusus. Dia tak mau kalau tidak duduk paling depan sebelah sopir. Kala itu, keluarga Taufik belum mempunyai kendaraan pribadi.
Konsekuensi lain, Aris harus menyiapkan ongkos setiap hari. Sebagai petani sayur uang itu tak melulu tersedia. “Waktu itu, sekali jalan ongkosnya Rp 2.000, jadi pulang pergi Rp 4.000. Namanya petani tidak setiap hari ada duit sebanyak itu,” ucap Aris.
Tapi, demi si anak, Aris selalu mendapatkan cara. Sering kali dia memanfaatkan tetangga dia yang doyan kumpul-kumpul sambil main kartu. “Daripada diganggu mereka kadang sering lempar uang ke saya hehehe... Buat saya pokoknya uang transport aman dulu,” kenang dia.
Sulitnya mencari uang itu pun diterjemahkan kepada Taufik dengan cara yang tak biasa. Entah dapat ide dari mana, Aris ‘memaksa’ Taufik untuk turun di tengah jalan, sekitar 10 kilometer menjelang tempat latihan.
Dia sendiri tetap naik elf langganan sampai tujuan. Tak melulu dapat tempat duduk, kadang kala dia harus bergelantungan.
“Yang penting Taufik dapat tempat duduk, kadang saya gelantungan di pintu ya tak masalah. Suatu kali ada ide untuk mengasah fisik Taufik, setiap menyisakan jarak 10 kilometer sebelum sampai GOR, Taufik saya minta turun. Saya geledah saku baju dan tas, jangan sampai ada uang tersisa. Saya tunggu di tikungan sebelum masuk GOR,” kata Aris.
“Dia juga menjadi terbiasa menghabiskan waktu di atas mobil. Setelah latihan, sampai rumah sekitar pukul 22.00,” ucap sang ayah.
Padahal Taufik sendiri pernah jengkel dengan latihan itu. Apalagi jika ayahnya mulai keterlaluan ikut campur memberikan instruksi ketika dia latihan di dalam GOR.
“Pernah suatu ketika saya lempar saja raketnya. Papa di belakang saya kasih komentar ini itu. Kalau mau main, main saja sendiri. Siapa yang enggak jengkel dikomentari terus-terusan,” kenang Taufik.
Tapi, lama-lama Taufik menyadari kengototan ayahnya dan didikan seniman bulutangkis yang melatih SGS Bandung, Iie Sumirat, berbuah manis. Jalan menjadi bagian dari klub didapatkan hingga kemudian dia bisa lolos ke Pusdiklat dan masuk pelatnas di usia yang relatif masih muda, 17 tahun.
Taufik pun mencuri perhatian saat menjadi juara Brunei Darussalam Terbuka pada 1998. Saat itu usianya baru 18 tahun. Backhand smash dan pukulan kedut yang dimilikinya menjadi pembicaraan.
Hanya berselang setahun, Taufik sudah menjadi bagian dari tim Sudirman. Tak perlu waktu lama, Taufik pun menguasai singgasana pemain nomor satu dunia. Dunia menjulukinya sebagai wonder boy. Taufik tak hanya piawai memainkan raket tapi juga media. Prestasi dan ulahnya menjadi konsumsi publik tiada henti. Serangkaian pujian dan hujatan mengikuti. Namun, tak ada yang menyangkal jika dia memang fenomenal.
“Saya tak menyangka dia menjadi juara dunia. Saya hanya berharap dia bisa cari kerja lewat bulutangkis,” kata Aris.
Pernah dimuat di detikSport 29 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar