Minggu, 12 Juli 2015

Tantangan Tontowi Ahmad dkk. di Bulan Puasa

Keputusan berbeda-beda dijalani para pebulutangkis pelatnas dalam menjalankan ibadah puasa. Tontowi Ahmad bayar fidiah Rp 15 Juta, Tommy Sugiarto sampai diinfus, M. Ulinnuha paling tahan dahaga
STABIL: Adriyanti Firdasari tak menurunkan porsi latihan selama bulan Ramadan. Dia bersiap menghadapi Kejuaraan Dunia di Guangzhou mulai 5-11 Agustus 2013
Dilema dirasakan para atlet pemusatan latihan nasional (pelatnas) bulu tangkis selama bulan ramadan. Keinginan untuk menjalankan ibadah puasa kencang dirasa, namun latihan berat tak bisa dikompromi.

Bulan ramadan menjadi tantangan tersendiri bagi para pebulutangkis pemusatan latihan nasional (pelatnas). Pilihan berat harus dijalani: tetap berpuasa atau merutang.

Ya, jadwal makan dan minum yang dibatasi sejak magrib sampai imsak tidak bisa tidak bakal mempengaruhi aktivitas Tontowi Ahmad dkk. Sebab, latihan berjalan tak ada beda dengan 11 bulan di luar ramadan. Ada latihan fisik dan game.

Seluruh pemain tetap wajib mengikuti latihan berdurasi tiga jam di pagi hari dari Senin sampai Jumat. Plus dua jam di sore hari mulai pukul 16.00 sampai 18.00 pada Senin, Selasa, Kamis dan Jumat.

“Tak ada perbedaan latihan antara pemain muslim dan bukan. Kami paham soal itu,” kata Mazizah Nadir, pemain tunggal putri pelatnas PBSI.

Pemain tunggal putri pelatnas lainnya, Adriyanti Firdasari, menyiasati untuk berpuasa pada Rabu dan akhir pekan, Sabtu dan Minggu. “Untuk hari-hari yang harus berlatih dua kali saya tak puasa,” kata Firda.

Langkah hampir sama juga diambil peraih dua juara All England, Tontowi Ahmad. Dia berpuasa pada hari tanpa latihan. Artinya, dia hanya berpuasa Sabtu dan Minggu.

“Kalau dihitung, Ramadan kali ini saya puasa empat hari, hanya tiap akhir pekan,” kata Tontowi.

Keputusan itu tak selalu mulus. Puasa memang tuntas, tapi efek tak mengenakkan berlanjut pada Senin.

“Hari Minggu lalu saya mencoba puasa, tapi ternyata malah tidak enak badan. Rasanya mau pingsan saat latihan Senin lalu,” kata pasangan Liliyana Natsir itu.

DEHIDRASI: Tommy Sugiarto mencoba untuk puasa di hari kedua Ramadan, namun dia justru kekurangan cairan dan dilarikan ke RS Puri
Serupa Tommy Sugiarto juga memilih untuk tak berpuasa jika ada latihan.

“Saya pernah mencoba untuk tetap puasa, pada hari kedua, tapi saya malah dilarikan ke rumah sakit karena kurang cairan,” kata juara Singapura Terbuka 2012 itu.

Tommy sampai harus bed rest tiga hari sesudahnya.

Seperti Firda dan Tontowi, Tommy berusaha puasa pada Sabtu dan Minggu.

“Saya sering kali berpikir kapan mengejar akhirat, tak hanya melulu urus dunia,” ujar Tommy berkeluh kesah.

Dia pun menghitung frekuensi bolong puasa sudah terjadi 10 tahun terakhir. Tommy mengingat puasanya tak pernah lengkap selama satu dasawarsa itu.

Lain lagi pengalaman Muhammad Ulinnuha. Pemain ganda putra itu berusaha untuk tetap berpuasa. Tak hanya pada akhir pekan tapi juga Senin sampai Jumat.

“Sudah biasa sejak dari klub dulu. Ibu berpesan agar saya selalu niatkan berpuasa. Tak jadi persoalan kalau nanti terpaksa berhenti di tengah jalan, tak masalah,” kata Ulinnuha.

PESAN IBU: Muhammad Ulinnuha terbiasa tetap berpuasa meski jadwal latihan tak berubah

Pada Ramadan kali ini Ulinnuha hanya absen puasa satu hari.

“Dikuat-kuatkan. Godaan paling besar pada tengah hari, kalau sudah sore malah sudah tak masalah. Termasuk saat harus latihan sore,” kata dia.

Teknik yang digunakan Ulinnuha agar tak dehidrasi adalah minum sebanyak-banyaknya saat berbuka dan saur. Dia juga mengonsumsi suplemen.

Lantas bagaimana mereka membayar “hutang” puasa itu? Tontowi memilih untuk membayar fidiah. Toh, pada bulan-bulan berikutnya jadwal latihan masih menanti.

“Menurut Ibu, bayar fidiah sampai Rp 15 juta, Itu sejak entah kapan saya tak puasa,” kata dia.

Tommy mengombinasikan bayar fidiah dan puasa akhir pekan.

“Cara membayar puasa di akhir pekan bisa dilakukan saat saya di luar pelatnas. Kalau sekarang mungkin lebih mudah membayar fidiah,” kata pemain yang ada di urutan kedelapan dunia tersebut.

Ulinnuha yang hanya berhutang minim, dengan percaya diri memilih untuk membayar utang di lain hari. Toh, akhir pekan di bulan lain masih bisa digunakan untuk membayar puasanya.

Pernah dimuat di detikSport 24 Juli 2013

Sabtu, 11 Juli 2015

Hendra Setiawan, Pemburu Gelar di Jagat Badminton dari Pemalang

Hendra Setiawan yang berpasangan dengan Mohammad Ahsan sukses mengembalikan pamor ganda putra Indonesia di All England 2014. Bagi Hendra torehan positif itu sekaligus membuat komplet titel juara di turnamen individu.

Hendra kalem saat keluar dari ruang ganti di Sportmall Britama Kelapa Gading, Jakarta Utara Maret 2012 saat Axiata Cup. Padahal, dia sedang dirundung situasi yang kurang mengenakkan.

Hendra sih tidak mengumumkan secara langsung kerugian yang dideritanya malam itu. Bukan soal kalah menang di lapangan.  Ada hal lain.

Fakta itu terungkap ketika ada seorang wartawan yang meminta pin blackberry dia.

“Blackberry saya hilang barusan,” kata Hendra sembari nyengir waktu itu.

Ucapan simpati pun tak pelak diungkapkan  awak media yang mencegatnya di sana. Hendra menanggapi dengan ucapan terima kasih dan senyuman!

Tapi Hendra yang dikenal sebagai sosok kalem—menjawab ya atau tidak setiap kali ditanya dan pilihan kata seminimal mungkin–mulai menunjukkan gelagat lain. Dia seakan ingin berlama-lama ngobrol dengan para pewarta.

Bukan, bukan untuk melanjutkan curhat tentang blackberry-nya yang hilang.  Bagi dia mungkin blackberry bisa segera dibeli lagi.  Rupanya, ada hal lebih besar yang ingin diungkapkannya. Hendra seolah menyimpan bisul yang sudah tua, bisul yang sudah harus dipecahkan malam itu.

Setelah beberapa saat, mungkin setelah menimbang-nimbang dengan matang, Hendra akhirnya 'memecahkan bisul' itu di hadapan kami, para pewarta.

Hendra dengan suara lirih mengungkapkan hasratnya kembali menjadi skuat Cipayung!

”Saya belum juara All England. Saya ingin kembali ke pelatnas untuk bisa juara,” kata Hendra.

Kami pun terkejut dibuatnya. Tak ada rumor sebelumnya kalau hendra akan ke pelatnas lagi. Memang sih dia dan pasangannya, Markis Kido, tetap bersedia tampil untuk pelatnas, tapi bukan kembali ke pelatnas.  

Tapi bagaimanapun, pernyataan Hendra cukup masuk akal. Ya, tak ada gelar perorangan lain yang amat sangat diinginkan Hendra kecuali All England. Semua titel sudah didapatkan. Juara dunia, medali emas Olimpiade, juara Asian Games dan juara SEA Games. Nyaris komplit, kecuali All England.

Di level Asia Tenggara SEA Games pebulutangkis yang besar di PB Jaya Raya Jakarta itu mulai mengukir perburuan gelar. Ditotal jendral dia mengoleksi enam medali emas, dengan rincian tiga dari kategori beregu (2007, 2009, 2011) dan tiga nomor perorangan (2005, 2007, 2009). Predikat-predikat juara itu didapatkan bersama Kido.

Asia juga sudah ditaklukkan. Keduanya menjadi pemilik medali emas Asian Games 2010 di Guangzhou. Medali emas Kejuaraan Dunia didapatkan Kido/Hendra pada 2007 di Kuala Lumpur. Puncak prestasi diukir kedua pemain itu di Beijing saat Olimpiade 2008. Mereka menjadi penyelamat tradisi emas Olimpiade Indonesia.



Tapi perjalanan pasangan yang amat sangat serasi itu tak bisa dilanjutkan dalam sangkar pelatnas PBSI. Sebabnya, Kido mulai akrab dengan cedera. Kondisi Kido makin parah karena kemudian dia juga terkena tekanan darah tinggi pada suatu hari.

Kido merasa porsi latihan di pelatnas mulai amat berat. Sinyal untuk meninggalkan pelatnas menguat.

Hendra yang sudah merasakan susah senang sejak di klub, merintis jalan di pelatnas hingga merasakan panen prestasi dan materi pun setia. Seperti biasanya, tak banyak cingcong bungsu dari tiga bersaudara itu setia mengikuti Kido untuk berkarier di luar pelatnas. Toh, sponsor tak sulit didapatkan.

Mereka pun sepakat mundur dari pelatnas. Justru PBSI yang berat melepas duo pemain beda karakter itu. Tapi, apa mau dikata keputusan bulat.

Akhirnya PBSI melepaskan mereka dengan catatan: Kido/Hendra harus siap dipanggil timnas sewaktu-waktu. Kesepakatan dicapai.

Demi menjaga kualitas, pelatih ganda putra Sigit Pamungkas pun ikut meninggalkan pelatnas.

Tapi rupanya situasi di luar pelatnas tidak mudah. Latihan tak bisa serutin saat mereka tinggal di Pusat Bulutangkis Indonesia.

Dari soal lapangan saja. Para pemain pelatnas tak perlu susah payah. Dari jendela kamar di asrama pelatnas, hall yang berisi 21 lapangan pun kelihatan.

Sebaliknya, setela berada di luar pelatnas keduanya harus mengeluarkan uang untuk latihan. Juga butuh moda untuk menuju lokasi.

Tanpa lingkungan yang memang sudah dikondisikan untuk latihan, latihan dan latihan, disiplin latihan Kido/Hendra kendor. No pan no gain, performa Kido/Hendra pun naik-turun. Keduanya bukan lagi ganda putra yang ditakuti.

Kido sudah santai menanggapi masa depannya.

Hendra? Dia masih gatal untuk merasakan menjadi juara sebuah turnamen bulutangkis tertua sejagad raya: All England.

Lirih pernyataan di Sportmall Britama itu tak hanya didengarkan pewarta. Ada teori konspirasi yang terjadi seperti kalimat Paulo Coelho di novel Alchemist. “And, when you want something all the universe conspires in helping you to achieve it”. Ada jagat raya yang turut mendengarkannya.


Pebulutangkis kelahiran Pemalang, Jawa Tengah itu memang tak begitu mengenal novelis kelahiran Brasil tersebut. Dia juga tak pernah tahu sebelumnya jika kalimat itu tertera dalam buku tersebut. 

Tapi, Hendra tahu dan meyakini kalau dirinya hanya butuh keyakinan, kerja keras dan doa untuk mencapai puncak tertinggi karier sebagai pemain bulutangkis.

Hendra juga sudah melaksanakan satu hal yang penting dalam pencapaian cita-cita menurut motivator-motivator manapun. Yaitu, ceritakanlah mimpi itu kepada orang lain. Malam itu dia mengumumkannya di hadapan awak media.

Keinginan Hendra itupun berkembang menjadi sebuah spekulasi besar. Kabar itu menggelinding serupa bola salju.

Apalagi ada faktor-faktor lain yang mendukung. Pertama, dia makin rutin latihan di Cipayung. Kedua, pelatih ganda putra Herry Iman Pierngadi berniat membongkar pasangan yang dimiliki.

Disebut-sebut Mohammad Ahsan yang bakal jadi kandidat utama pengganti Kido. Sebagai pemain belakang Ahsan punya gebukan istimewa. Hanya saja prestasinya tak meledak bersama Bona Septano.

Artinya, PBSI memang sedang membutuhkan pemain depan yang oke. Toh keduanya juga pernah berpasangan di Piala Sudirman 2009. Hasilnya lumayan bikin kejutan buat lawan.

Rumor itu menjadi kenyataan. PBSI memisahkan Bona dan Ahsan. Lewat konferensi pers di PBSI pada akhir Agustus PBSI mengumumkan Hendra dipasangkan dengan Ahsan.

Tak butuh waktu lama, Ahsan/Hendra langsung klop. Sinyal positif ditunjukkan saat keduanya diterjunkan di Denmark Super Series 2012. Di turnamen perdana itu mereka membuat hasil lumayan, jadi semifinalis. Memulai 2013 juga dengan hasil yang tak buruk-buruk amat. Mereka mencapai final dan jadi runner-up.


Kemudian, keduanya naik podium pada Malaysia Terbuka. Indonesia Terbuka juga jadi panggung mereka. Sekali lagi Hendra menjadi juara dunia.

Ahsan/Hendra mengukuhkan sebagai kekuatan paling ditakuti sepanjang 2013 dengan menjadi juara dunia. DI akhir tahun mereka makin memantapkan diri sebagai pasangan terkuat sebagai jawara Super Series Final Masters di penghujung tahun.

Memasuki 2014, perjalanan tak mulus untuk keduanya di tahun ini. Performa Ahsan terganggu cedera punggung sepulang dari Malaysia Open Super Series sebagai juara. Tapi Hendra adalah sosok pendiam yang kokoh berdiri di atas tekad. Dia mengingat lagi alasan utama comeback ke pelatnas. Dia ingin jadi juara All England.

Semangat itu diungkapkan kembali tepat setelah kelahiran bayi kembarnya. “Belum lengkap, kan belum juara All England,” ucap Hendra yang lagi, lagi dengan kalimat pendek.

Hendra melengkapi tekad kuat itu latihan berat. Bahkan, dia membatasi perayaan menjadi ayah baru saat istrinya, Sandiano Arief atau yang akrab disapa Sansan, melahirkan bayi kembar, Richard Heinrich Setiawan dan Richelle Heiley Setiawan. Hendra hanya menengok istri dan anak-anaknya di Surabaya selama tiga hari.

Beruntung, Hendra besar di keluarga bulutangkis. Orang tua, besan dan anggota keluarga lainnya memberikan restu.

“Hendra sering bilang kepengin banget juara All England. Dia latihannya rajin banget. Nengok istri lairan juga cuma sebentar,” kata Silvie Hendrawan, kakak Hendra.

Pengorbanan itu berbuah manis, melebihi manisnya gula-gula Sugarpova. Momen istimewa itu terjadi pada Minggu (9/3/2014).

Smes nyangkut lawan memastikan Hendra yang berpasangan dengan Ahsan sukses menjadi juara All England. Ganda nomor satu dunia itu mengalahkan pasangan Jepang Hiroyuki Endo/Kenichi Hayakawa dengan skor 21-19, 21-19 di National Indoor Arena, Birmingham.

Kemenangan di partai final itu kian istimewa. Mereka sukses mengakhiri paceklik gelar ganda putra setelah 11 tahun lamanya. Candra Wijaya/Sigit Budiarto yang terakhir kali bisa mendapatkannya.

Setelah itu, Alvent Yulianto dan Luluk Hadiyanto hanya bisa sampai semifinal kemudian perempatfinal di tahun berikutnya. Bahkan, Hendra yang berpasangan dengan Kido belum mendapatkan predikat juara All England.


Buat Hendra, titel juara itu juga tak kalah membahagiakan. Ipar ekspemain nasional tunggal putra, Hendrawan, itu berhasil masuk jajaran super elite pebulutangkis nasional. Dia satu dari sedikit pemain yang punya gelar individu secara komplet. Hendra sudah benar-benar seorang juara!

“Target selanjutnya adalah Piala Thomas dan Asian Games, jadi kami bersiap untuk kedua turnamen penting ini. Kami ingin sekali bisa menjadi juara lagi,” ucap Hendra.

Sekali lagi S, jagad raya akan berkonspirasi agar ‘bisul yang sudah pecah’ itu terjadi.


Pernah dimuat di detikSport 10 Maret 2014

Jumat, 10 Juli 2015

Apa Kabarmu #superligabadminton

Menanti gebrakan #superligabadminton tahun depan



Kehorean #superligabadminton 2013 sudah lewat.Para juara sudah merayakan hadiah dan bonus.pemain-pemain pelatnas juga sudah heboh merayakan sponsor pribadinya hari ini

Rencana #superligabadminton bergulir setahun sekali cukup menarik. Sponsor Djarum oke, ketum PBSI Gita Wirjawan sepakat

Tapi bagaimana dengan kesiapan klub #superligabadminton?

#superligabadminton edisi 2013 saja sudah mengejutkan. Dua tim besar Tangkas dan SGS PLN tak menurunkan tim putri. Alesannya nggak cukup pemain

Padahal #superligabadminton membolehkan kontestan ngontrak pemain luar klub, asing & lokal

Lha kalo Tangkas dan SGS PLN yang masuk jajaran klub besar saja nggak punya pemain trus siapa yang mau tanding di #superligabadminton ?


Tak bisa disangkal dan ditampik, justru tim asing yang siap mengisi slot peserta #superligabadminton. Hebatnya mereka ga pake pemain asing. Padahal tim sudah digembosi,dgn ada yg main di klub lokal

Ngaca di #superligabadminton 2013 kemarin saja, Malaysia dan Jepang sudah bikin deg-degan.Bisik-bisik tetangga waswas piala jadi milik mereka

Itu dengan persiapan 2 tahun. Bagaimana #superligabadminton musim depan yg hanya berjarak 1 tahun?

Ngaca lagi dengan kejuaraan dunia yang gengsinya luar biasa saat msh jadi agenda 2 tahunan,kemudian jadi even yah-cuma-even-tahuan-ini


sbg suporter garis keras badminton sih happy2 #superlligabadminton jadi tahunan.tpi ya itu tadi,kualitasnya jgn yah-cuma-even-tahunan-ini

sekian dulu deh soal #superligabadminton semogah tetap jadi even bergengsi begituh *ketjup pak yopi dan pak gita tentu sajah :)))


Catatan Superliga 2013

Rabu, 08 Juli 2015

Ketika Taufik Hidayat Memilih Terbang Sendiri

 Sederet prestasi sudah ditorehkan Taufik Hidayat bagi Indonesia. Sekarang dia memilih untuk terbang sendiri. Regenerasi menjadi alasan utama.


Tak seperti biasa, Taufik Hidayat menggunakan lapangan latihan jauh dari pintu masuk Pusat Bulu Tangkis PB PBSI di Cipayung, Jakarta Timur. Dia juga tak berlatih dengan sesama tunggal pria.

Justru, dia bergabung dengan para pemain ganda di sudut lain. Tak disangka, itu menjadi kali terakhir Taufik mengayunkan raket di pelatnas Cipayung.

Kali terakhir berlatih bersama rekan-rekan sesama pelatnas. Menjadi bagian dalam tim elite bulu tangkis tanah air selama 12 tahun dilakoninya.

Kabid Binpres PB PBSI Lius Pongoh menyatakan, Taufik sudah memberikan keterangan resmi tak masuk pelatnas. Namun, Taufik masih enggan memberikan keterangan.

Barulah sehari kemudian (30/1), dia membenarkan pernyataan itu.

''Ya, kemarin menjadi waktu terakhir saya berlatih di pelatnas. Saya akui itu berat. Tapi, mungkin itu yang terbaik bagi saya dan (PB) PBSI,'' ucap Taufik membuka percakapan.

Bukan tak disengaja, Taufik mengadakan acara siang itu. Dia tak ingin namanya hilang begitu saja seperti para mantan atlet yang tak diingat meski memiliki karir mendunia semasa menjadi atlet.

Pernyataan itu sekaligus menegaskan langkah Taufik setelah sebulan lalu dipinang PB PBSI untuk kembali bergabung di pelatnas. Karir Taufik di pelatnas memang cukup panjang. Selama 12 tahun, dia bergaung di sana.

''Itu proses panjang dan berliku-liku,'' imbuh dia.

Rabu siang itu digunakannya untuk berpamitan kepada pengurus yang ada, Lius, dan Kasubid Pelatnas Christian Hadinata serta seluruh karyawan mulai cleaning service hingga tukang cuci.

''Tapi, belum semuanya bisa saya pamiti. Kemarin tidak sempat mengumpulkan semua,'' ucapnya.

Ami Gumelar, istri Taufik, tak menyangkal malam sebelumnya, sepulang dari pelatnas, suasana di kediaman mereka sangat tegang.

''Taufik menceritakan saat-saat terakhirnya di pelatnas dengan berkaca-kaca. Tapi, semua ini harus kami hadapi bersama. Ini sudah wacana lama, bukan keputusan emosional,'' ucap Ami.

Taufik memang tumbuh dan besar di sana setelah bergabung dengan PB SGS Elektrik Bandung. Berbagai prestasi prestisius, sikap kontroversial hingga kisah cintanya terukir di sana.

Mulai menjadi ketua panitia Idul Adha, ketua panitia 17-an, sampai harus berjuang memperebutkan gelar juara Olimpiade serta kejuaraan dunia pernah menjadi kewajiban yang diemban Taufik. Medali emas Olimpiade itu pula yang membuat Taufik sudah ingin gantung raket.

Di usia emasnya kala itu, pria kelahiran Bandung, 10 Agustus 1981, tersebut sudah berpikir mundur.

''Saya sudah berkonsultasi dengan orang tua, tapi mereka minta saya meneruskan dulu. Seiring berjalannya waktu, saya ternyata masih bisa memberikan prestasi untuk bangsa Indonesia,'' kenangnya.

Setelah Olimpiade itu, Taufik justru menjadi tumpuan Indonesia. Setahun kemudian, dia menjadi juara dunia. Lantas, Asian Games juga masih dikuasainya.

''Sekaranglah waktu yang tepat. PBSI butuh regenerasi, utamanya tunggal pria,'' jelas Taufik.

Dia juga membenarkan tak dipanggilnya Mulyo Handoyo, pelatih Taufik, ke pelatnas menjadi salah satu penyebab kebulatan tekadnya meninggalkan pelatnas.

''Tapi, bukan alasan pertama atau kedua. Karir Pak Mulyo masih lama, sedangkan saya sebagai pemain ada batasnya,'' ungkap Taufik.

Juara enam kali Indonesia Terbuka itu masih bertekad menekuni bulu tangkis. Minimal delapan super series bakal dilakoni.

Nah, di luar sana, Taufik tetap akan menggandeng manajemen yang dibentuk oleh teman-teman dan keluarganya. Untuk itu, ayah Natarina Alika Hidayat tersebut harus siap bekerja lebih keras.

Maklum, semua biaya akomodasi, transportasi, dan pendaftaran menjadi tanggung jawabnya. Begitu pula tempatnya berlatih.

''Justru itulah yang menjadi motivasi agar saya berprestasi lebih baik. Masa emas saya sudah lewat. Kini tinggal bagaimana saya memelihara yang saya miliki,'' tegas Taufik.

Meski tak lagi masuk pelatnas, Taufik tidak akan meninggalkan Indonesia. Dia tetap akan membawa bendera Merah Putih dalam tiap turnamen yang diikuti.

''Keluarga kami sangat Merah Putih. Tidak mungkin Taufik berganti warga negara,'' tegas Ami.

Pernah dimuat di Jawa Pos, 5 Februari 2009

Tamparan dari Pertanyaan “Blog Olahraga”

“Pertanyaan sederhana itu menjadi panas pipi seperti usai dapat tamparan. Tentang blog olahraga.”

Aku mendadak mati kutu. Otak pun kosong. Ingatan bolong. Sama sekali tak ada kunci jawaban atas pertanyaan sederhana dari seorang teman tadi pagi.

“Mbak, tahu enggak blogger yang suka nulis tentang olahraga?”

Plasssss……..pertanyaan itu super ringan tapi jawabannya alamaaak!

Blog olahraga.

Saya mencoba nego.

“Kalau blog sepakbola masuk kriteria?”

“Eeeemm boleh deh.”

Rupanya aku juga tak tahu banyak. Hanya empat blog yang spontan bisa aku sebut: Pertama blognya bepe kemudian andibachtiar dan Pandit Football Satu lagi kepunyaan Mas Fim.


Dua akun pertama tak bisa lepas karena ketokohannya. Bepe, sapaan karib Bambang Pamungkas, justru menjadi anomali dengan blog-nya itu.

Sebagai eks kapten timnas dan pernah menjadi ikon Persija Jakarta serta kesibukan di luar lapangan dia masih sempat menuliskan riak-riak perjalanan karir di klub dan timnas. Bukan sekedar kicauan, Bepe menulis blog yang kemudian bahkan dibukukan.

Bepe juga berbagi pengalaman seramnya naik sepeda motor di jalanan ibukota atau berbagi motivasi di sana. Bepe juga seringkali mengutarakan sindiran kepada pihak-pihak yang dinilainya berjalan pada trek yang melenceng. Dia juga mulai coba-coba berbagi kebisaan menulis novel.

Anomali karena aktivitas itu tak banyak dilakukan pemain lain. Pemain Indonesia lho ya. Pemain bola dan atlet-atlet Eropa sih sudah menjadikan blog jadi alat jualan. Tak banyak pemain bola lokal bikin tulisan panjang. Paling banter berkicau lewat twitter.

Andi Bachtiar juga sohor. Dia seseorang, bukanlah–bukan siapa-siapa–. Dia sutradara film-film sepakbola, Hari Ini Pasti Menang (2013), The Conductor (2008) dan The Jak (2007).


Andi gemar menceritakan pengalaman-pengalaman turing ke stadion-stadion di negara lain. Atau sekedar obrolan dengan sesama pecinta sepakbola.

Blog ketiga pastilah akrab dengan mereka yang menyukai berlama-lama duduk di tribun menonton pertandingan bola. Atau buat mereka yang doyan nonton bareng di cafe-cafe. Bisa juga mereka yang yang memilih menyaksikan pertandingan sepakbola di rumah sendiri.

Blog milik pandit football ini menjadi konsumsi wajib jelang atau pascapertandingan. Kisah-kisah historis juga kerap kali diungkap penulis-penulisnya.

Mereka menggarap blog secara professional. Artinya mematok bayaran untuk tulisan-tulisan yang terbit di media. Makanya, akurasi dan gaya tulisan cukup ciamik.

Nah, blog terakhir sangat saya sukai: http://arekmantup.blogspot.com. Si pemilik tidak pernah mencari popularitas. Tapi saya paham dia sangat mencintai sepakbola. Dia teramat bangga dengan stempel suporter bola Indonesia.





Seperti dia sangat bangga lahir di Mantup, Lamongan, Jawa Timur. Dari desa kelahirannya itu, Mifta–ah, dia lebih senang disapa Fim–mulai menggocek bola. Kemudian seperti jutaan umat bola di dunia, dia juga menganggap stadion sebagai tempat ibadah. 

Mas Fim tak berhenti menulis pengalaman spiritual dari stadion-stadion dan lapangan bola. Meski, dia ditepikan dari sekte olahraga. Kebijakan itu bukanlah alasan yang cukup buat dia berjauh-jauhan daari sepakbola.

Kemudian coba-coba berselancar, ternyata blog tentang sepakbola tidak sedikit. http://www.beritasatu.com/blog/author/pangeran-siahaan atau http://sekadarblog.com bisa juga http://www.kompasiana.com/budikristanto dikunjungi.


Rupanya jumlah blog olahraga tidak minim-minim amat. Namun, jumlahnya memang kalah jauh dibandingkan kuantitas blog traveling. Perbandingannya bisa dianalogikan dengan jumlah lapangan bola dengan destinasi wisata populer plus tersembunyi di Indonesia. Atau rasio tempat ngopi-ngopi di Jakarta dengan tempat olahraga.

Atau bandingkan harga tiket nonton bola Liga Super di stadion-stadion senusantara dengan harga ngetrip ke pulau-pulau di 33 provinsi Indonesia. Hitungan tak  termasuk harga tiket ya. Karena bisa jadi setara.

Jika disimak, trek yang dilalui penulis blog olahraga dan traveling juga bertolak belakang. Para penulis blog olahraga sohor dulu, baru menulis. Sebaliknya para penulis blog perjalanan justru mendapatkan popularitas dan pemasukan materi dari nge-blog.

Soal kuantitas, blog olahraga kian minimalis dan sama sekali tidaak populis, jika  mengkhususkan cabang olahraga di luar sepakbola. Berapa jumlah blog bulutangkis? Atau tinju? Basket? Tenis?

Menunjuk ke pelaku. Siapa petinju yang nulis blog? Pemain basket yang mengungkapkan suka cita dan kerikil karirnya? Atau adakah petenis atau pelari yang curhat lewat blog?

Saya tidak sedang menuding kealpaan mereka, tapi justru pertanyaan itu menjadi bahan introspeksi kepada diri sendiri. Tujuh tahun saya “berkantor” di stadion. Bersorak saat ada gol tercipta ataupun misuh-misuh karena kelakuan wasit yang berat sebelah.

Takut-takut tapi tetap harus harus melacak kebaradaan (waktu itu) Haruna Soemitro yang tiba-tiba raib. Melihat Istora dipenuhi tangis haru perpisahan Taufik Hidayat.

Serangkaian kisah yang sedikit itu seharusnya bisa diracik pada blog olahraga. Eh, tapi faktanya saya lebih senang berbagi cerita menyenangkan tentang perjalanan-perjalanan di luar stadion. Perjalanan yang seringkali tidak menjejak tribun stadion dan gedung-gedung olahraga.

Saya berdalih tidak sempat mencatatkan air mata lara atau suka cita mereka yang kalah ataupun sang juara ke blog olahraga. Tapi saya selalu mempunyai waktu luang untuk mengumbar keceriaan menggapai hidden paradise tanah air dan negara-negara lain.

Kemudian sederet pertanyaan singgah. Apakah saya benar-benar rela merogoh kocek yang setara dengan tiket pesawat pp dan keperluan saat ngetrip ke Raja Ampat, Papua Barat untuk menyaksikan timnas tampil di Stadion Utama Gelora Bung Karno?

Apakah saya akan nonton langsung ke markas Persiwa Wamena di Stadion Pendidikan saat Persebaya Surabaya bermain di sana?

Bagaimana takaran rasio keikhlasan saat menulis analisis pertandingan dengan saat menceritaan berliu-likunya perjalanan dari gunung tinggi atau pulau-pulau yang jauh.

Jika Presiden UEFA yang orang Prancis Michel Platini merasa tertampar dengan kekalahan dari Ukraina 0-2 pada leg pertama playoff Piala Dunia, kalimat penanya “blog olahraga” itu sudah cukup memberikan rasa sakit dengan kadar serupa.

Selasa, 07 Juli 2015

Masa Kecil Taufik Hidayat (5)

Aris Haris tak sulit menceritakan detail masa kecil satu-satunya anak lelaki dia, Taufik Hidayat. Semua kesulitan dan kebahagiaan disimpan rapi dalam buku catatan bersampul hitam.

Entah dorongan dari mana yang membuat Aris menulis kegiatan sehari-hari Taufik Hidayat. Pertama kali latihan di SGS Bandung. Berkenalan dengan pelatih Iie Sumirat. Juga lika-liku ketika harus mencari kendaraan untuk pulang pergi Pangalengan-Bandung.

Di sana, di buku bersampul hitam itu, Aris juga mencatat semua pengeluaran untuk transportasi, juga raihan prestasi Taufik di ajang antarklub, antardaerah hingga di level nasional.

Aris juga menulis momen-momen Taufik malas berlatih hingga dia memberikan hukuman setimpal. Bagaimana dia masih saja terharu ketika membaca bagian saat harus melepas Taufik menjadi anak kos dengan jatah dua kardus mie instan per bulan.

Dia juga menyelipkan nama-nama teman-temannya yang jalan Taufik menjadi pemain bulu tangkis. “Banyak teman yang berjasa dalam karier Taufik,” kata Aris.

“Saya tak tahu motivasi apa yang bikin saya mencatat semuanya. Saya cuma merasa suatu hari anak saya akan mudah menengok kerja kerasnya,” ucap Aris.

Buku bersampul hitam itu kini disimpan di Taufik Hidayat Arena, Ciracas, Jakarta Timur. Buku itu disimpan bersama-sama segala macam piala, trofi, dan medali yang diraih Taufik dari bulutangkis. (Habis)

Pernah dimuat di detikSport 30 November 2014

Senin, 06 Juli 2015

Masa Kecil Taufik Hidayat (4)

Pertanyaan sang ayah, Aris Haris, ketika ulang tahun ke-14 menjadi titik pancang kariernya di bulutangkis. Juga cara Aris menghadiahi lawan anaknya dengan uang Rp 10.000.


Taufik Hidayat seolah mendapatkan momentum kala menjadi juara Porseni. Dari ajang itu bakat Taufik terpantau dan mulai mendapatkan pengakuan.

Lawan-lawan di lingkungan kampung juga sudah tak berdaya. Dia tak mempunyai lagi lawan sepadan di usia kala itu.

Tak ingin anaknya diam-diam di rumah meluruhkan bakatnya begitu saja, sang ayah Aris Haris memutar otak mencari cara. Akhirnya dia mengadu Taufik dengan para pemain dewasa.

“Saya sampai harus sediakan uang Rp 10.000 untuk mencari lawan buat Taufik. Sudah nggak ada lagi anak-anak sepantaran yang bisa menandingi dia,” kata Aris.

Cara itu masih terus dipakai meskipun Taufik sudah mengasah ilmu di SGS Bandung.

“Sering kali saya memang main lawan orang-orang tua teman papa," kenang Taufik.

Tambahan ilmu di SGS Bandung makin membuat Taufik tak terbendung. Hingga akhirnya di usia 14 tahun sang ayah menanyakan keseriusan Taufik di bulutangkis.

Taufik tak sulit membuat pilihan. Apalagi lingkungan memang mendukung dia untuk lebih serius menekuni bulutangkis. Cita-cita di masa kecil untuk jadi pemain sepakbola sudah terlupakan.

“Contoh sukses ada di depan mata. Kalau mau mendunia lewat olahraga, bulutangkis memang adalah pilihannya. Apalagi waktu itu contoh nyata ada di depan mata,” kata Taufik.

“Papa juga menanyakan mau pilih sekolah atau bulutangkis di saat usia saya 14 tahun. Kalau mau sekolah belum telat, kalau tetap main bulutangkis ini saatnya. Saya bilang saya pilih bulutangkis,” jelas bapak dua anak itu.

Aris juga masih ingat benar dengan pilihan yang disodorkan dia kepada Taufik.

“Saya selalu bertanya kepada Taufik. Kamu mau jadi apa di sana? Dari kampung ke klub, saya ajukan pertanyaan itu. Begitu pula ketika dia masuk pusdiklat. Nah, di pusdiklat ini saya tekankan lagi, saya tanya lagi lebih serius. Dia mau ke mana?” ucap Aris.

“Dia ini anak laki-laki, mau jadi apa kalau tidak bersungguh-sungguh. Saya bersyukur dia menemukan jalan di bulutangkis."

Saat melakukan sebuah kegiatan sosial di kampung halamannya baru-baru ini Taufik pun menularkan pengalaman panjang itu kepada siswa sekolah kompleks di SDN 1 dan SDN 3 Pangalengan. Satu kalimat singkat dipilih sebagai penutup.

“Jangan berhenti bermimpi ya,” pesan pemilik medali emas Olimpiade 2004 Athena itu. (Bersambung)

Pernah dimuat di detikSport


Jumat, 03 Juli 2015

Masa Kecil Taufik Hidayat (3)

Taufik Hidayat sangat bersyukur mempunyai ayah yang keras hati. Saat bergabung dengan SGS Bandung, Taufik di masa kecil harus lari sejauh 10 kilometer setiap hari.

Obrolan soal potensi Taufik di lapangan bulutangkis membekas di benak sang ayah, Aris Haris. Apalagi ada seorang teman yang memang pelatih bulutangkis yakin benar akan bakat besar yang dimiliki bocah kelahiran Pangalengan pada 10 Agustus 1981 itu.

Bukti lain didapatkan ketika Taufik menjadi juara bulutangkis di Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Sekolah Dasar se-Pangalengan. Akhirnya Aris meneruskan ide temannya itu untuk mendaftarkan Taufik berlatih di SGS Bandung. Konon, klub itu ditangani seorang seniman bulutangkis yang mantan pemain nasional.

Kala itu, Taufik kelas 5 Sekolah Dasar negeri 1 Pangalengan. Jauhnya jarak Pangalengan-Bandung, sekitar 40 kilometer, menjadi pertimbangan. Untuk tinggal di asrama belum memungkinan. Aris punya pertimbangan kalau Taufik harus tetap bersekolah di SD Pangalengan.

Aris sempat dibuat pusing untuk memutuskan cara agar Taufik tetap bersekolah tapi les bulutangkis juga tetap jalan. Akhirnya latihan tetap dijalani dengan cara pulang pergi Pangalengan-Bandung setiap hari. Konsekuensinya Aris harus mendampingi.

“Taufik pulang pergi dari Pangalengan ke Bandung tiap hari. Saya dampingi. Paling Sabtu dia menginap karena Minggu ada latihan pagi,” kata Aris

Pulang pergi Pangalengan-Bandung itu rupanya bukan perkara mudah. Apalagi Taufik selalu punya permintaan khusus. Dia tak mau kalau tidak duduk paling depan sebelah sopir. Kala itu, keluarga Taufik belum mempunyai kendaraan pribadi.

Konsekuensi lain, Aris harus menyiapkan ongkos setiap hari. Sebagai petani sayur uang itu tak melulu tersedia. “Waktu itu, sekali jalan ongkosnya Rp 2.000, jadi pulang pergi Rp 4.000. Namanya petani tidak setiap hari ada duit sebanyak itu,” ucap Aris.

Tapi, demi si anak, Aris selalu mendapatkan cara. Sering kali dia memanfaatkan tetangga dia yang doyan kumpul-kumpul sambil main kartu. “Daripada diganggu mereka kadang sering lempar uang ke saya hehehe... Buat saya pokoknya uang transport aman dulu,” kenang dia.

Sulitnya mencari uang itu pun diterjemahkan kepada Taufik dengan cara yang tak biasa. Entah dapat ide dari mana, Aris ‘memaksa’ Taufik untuk turun di tengah jalan, sekitar 10 kilometer menjelang tempat latihan.

Dia sendiri tetap naik elf langganan sampai tujuan. Tak melulu dapat tempat duduk, kadang kala dia harus bergelantungan.

“Yang penting Taufik dapat tempat duduk, kadang saya gelantungan di pintu ya tak masalah. Suatu kali ada ide untuk mengasah fisik Taufik, setiap menyisakan jarak 10 kilometer sebelum sampai GOR, Taufik saya minta turun. Saya geledah saku baju dan tas, jangan sampai ada uang tersisa. Saya tunggu di tikungan sebelum masuk GOR,” kata Aris.

“Dia juga menjadi terbiasa menghabiskan waktu di atas mobil. Setelah latihan, sampai rumah sekitar pukul 22.00,” ucap sang ayah.

Padahal Taufik sendiri pernah jengkel dengan latihan itu. Apalagi jika ayahnya mulai keterlaluan ikut campur memberikan instruksi ketika dia latihan di dalam GOR.

“Pernah suatu ketika saya lempar saja raketnya. Papa di belakang saya kasih komentar ini itu. Kalau mau main, main saja sendiri. Siapa yang enggak jengkel dikomentari terus-terusan,” kenang Taufik.

Tapi, lama-lama Taufik menyadari kengototan ayahnya dan didikan seniman bulutangkis yang melatih SGS Bandung, Iie Sumirat, berbuah manis. Jalan menjadi bagian dari klub didapatkan hingga kemudian dia bisa lolos ke Pusdiklat dan masuk pelatnas di usia yang relatif masih muda, 17 tahun.

Taufik pun mencuri perhatian saat menjadi juara Brunei Darussalam Terbuka pada 1998. Saat itu usianya baru 18 tahun. Backhand smash dan pukulan kedut yang dimilikinya menjadi pembicaraan.

Hanya berselang setahun, Taufik sudah menjadi bagian dari tim Sudirman. Tak perlu waktu lama, Taufik pun menguasai singgasana pemain nomor satu dunia. Dunia menjulukinya sebagai wonder boy. Taufik tak hanya piawai memainkan raket tapi juga media. Prestasi dan ulahnya menjadi konsumsi publik tiada henti. Serangkaian pujian dan hujatan mengikuti. Namun, tak ada yang menyangkal jika dia memang fenomenal.

“Saya tak menyangka dia menjadi juara dunia. Saya hanya berharap dia bisa cari kerja lewat bulutangkis,” kata Aris.

Pernah dimuat di detikSport 29 November 2014