Sabtu, 26 November 2016

Dewi Yuliawati: Dari Gubuk Muara Angke & Hampir Jadi TKW, Kini Jagoan Indonesia

Dewi Yuliawati berhasil menembus Olimpiade 2016 Rio de Janeiro lewat babak kualifikasi. Dewi tak pernah menyesal pernah ngotot menolak tawaran jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW).


Dewi tumbuh dan besar di Muara Angke, kawasan pelabuhan treadisional di Jakarta Utara. Dia tinggal berimpitan dengan orang tua dan delapan saudara dalam gubuk berukuran 3x3 meter.

Rumah itu bisa sedikit longgar saat satu per satu penghuninya berkurang. Tiga saudaranya meninggal dunia, kemudian ada yang menikah. Dewi sendiri sudah lebih sering tinggal di asrama pelatnas dayung, di Pengalengan, Jawa Barat sejak awal tahun 2016.

Kini, orang tua Dewi--Carsa dan Carkem--juga tak setiap hari tinggal di rumah itu. Mereka pulang kampung ke Indramayu, Jawa Barat.

"Emak dan bapak sudah lebih sering di kampung karena ada rencana relokasi Muara Angke. Kalau ada rencana kumpul bareng kami ke sana," kata Dewi.

Seorang alumni SMP N 261 Jakarta Utara, tempatnya bersekolah, yang juga atlet dayung membuka jalan yang mengubah jalan hidup Dewi. Saat itu, Dewi masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Dia diajak berlatih dayung bersama pelajar lain di Pusat Pembinaan Latihan Pelajar Daerah (PPLPD) DKI Jakarta.

Prosesnya tak mulus. Orang tuanya melarang Dewi berlatih. Bukan apa-apa, mereka khawatir Dewi tenggelam karena Dewi tak bisa berenang. bahkan, sampai saat ini setelah dia menjadi olimpian.

Tapi sudah terlanjur jatuh cinta dengan dayung, Dewi cuek saja. Dia tetap berlatih di Ancol, tiap sore. Ongkos angkutan umum Muara Angke-Ancol pulang pergi dibayar dengan tarif pelajar. Selain itu, kalau semestinya harus ganti tiga kali angkot, Dewi memilih untuk jalan kaki pada salah satu trayeknya. Atau sebisa mungkin dia cari tebengan saat pulang. Yang penting dia bisa bayar ongkos angkutan drai rumah ke tepat latihan.

Soal biaya angkutan ini memang cukup rumit buat Dewi. Dia harus mencari sendiri. Sudah tak mungkin lagi mint aongkos kepada orang tuanya. Untuk memenuhinya, Dewi bekerja sebagai buruh kupas kerang hijau yang banyak di kawasan tempat tinggalnya. Lumayan setengah drum besar minyak tanah dia diberi upah Rp 5 ribu.

"Kalau kerjaan enggak keburu, saya minta teman yang sama-sama latihan buat nalangin ongkosnya dulu. Kalau enggak ya nebeng," ucap dia.

Kondisi ekonomi membuat orang tuanya sesekali mengingatkan lagi agar Dewi berhenti latihan dan berlama-lama kerja. Sulitnya keuangan keluarga sampia membuat Dewi diminta untuk berhenti sekolah. Ibunya merayu agar Dewi mau jadi TKW. Dewi masih bisa menolaknya. Dia bertekad tak akan putus sekolah. Setidaknya sampai lulus SMP.

Dewi punya keyakinan, putus sekolah dan bekerja tanpa ijazah SMP tak akan menolongnya keluar dari persoalan. Dia berkaca kepada tujuh kakaknya yang paling tinggi lulusan Sekolah Dasar.

Tapi suatu ketika kondisi memaksanya untuk hampir menyerah. Ayah yang jadi tulang punggung keluarga sakit. Ibunya juga jatuh sakit beberapa hari kemudian.

Dengan ayah dan ibu yang sakit, praktis beban Dewi untuk mencari uang bertambah. Dia makin sulit untuk membayar uang sekolah dan membayar ongkos transport ke tempat latihan.

Kondisi itu membuat Dewi sering kali menangis tiba-tiba. Kekuatan ingin bersekolah membuat Dewi memberanikan diri untuk curhat kepada gurunya. Dua gurunya, Ibu Sri yang guru Bahasa Indonesia dan Ibu Endang guru PPKN, merespons positif. Mereka yang membiayai dewi sekolah. Cuma satu syarat diberikan kepada Dewi. Dia diminta tetap menekuni dayung dan berlatih keras.
Dewi Yuliawati: Dari Gubuk Muara Angke & Hampir Jadi TKW, Kini Jagoan Indonesia Foto: Matthias Hangst/Getty Images

Malah sang guru itu tak henti memotivasi Dewi dengan contoh-contoh atlet dayung yang sudah sukses lebih dulu. Beruntung buat Dewi, dia ditangani pelatih yang punya disiplin tinggi: Qurrotul Ayun di Pemusatan Latihan Daerah (Pelatda) DKI.

Dewi berhasil menjawab janji kepada sang guru SMP itu. Dewi menjadi wakil Indonesia ke Olimpiade Rio lewat jalur kualifikasi pada nomor Single Sculls (W1X). Dia lolos ke Brasil sebagai tiga besar Kejuaraan Dayung Asia-Oceania 2015 yang juga babak kualifikasi Olimpiade di Chung-Ju, Korea Selatan.

Sekolahnya juga berlanjut melebihi harapannya. Dewi mahasiswi semester 5 jurusan PGSD di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

"Emak dan Bapak juga bisa lebih santai pulang kampungnya karena saya bisa kirim uang bulanan buat mereka," ucap Dewi.

Dewi sendiri tak mau disebut pahlawan olahraga. Dia merasa belum layak karena belum bisa mengibarkan bendera Merah Putih di Olimpiade.

"Saya baru merasa bisa mewakili jajaran pahlawan olahraga kalau saya sudah bisa mengibarkan bendera Merah Putih di Olimpiade," kata Dewi.

"Gambarannya seperti pak Soekarno yang jadi idola saya. Beliau orang yang sangat gigih memperjuangkan bangsa Indonesia pada waktu itu," ucap dia.



Eko Yuli Irawan: Berteman Cedera Demi Medali-Medali untuk Indonesia

Tak perlu menanyakan arti nasionalisme kepada Eko Yuli Irawan. Tiga medali dari tiga Olimpiade beruntun menjadi bukti, meski selalu bersama deraan cedera. 

Foto: Getty Images/Lars Baron via detikSport

Cedera menjadi hal yang paing menakutkan bagi seorang atlet. Tapi Eko Yuli menganggap cedera sebagai sahabat. Tak ada gunanya dijadikan musuh.

Lifter kelahiran 24 Juli 1989, itu sadar sejak awal jika cedera adalah risiko sebagai atlet. Apalagi profesinya menuntut dia harus menelan beban angkatan ratusan kilogram selama berjam-jam setiap hari.

Maka tak ada pilihan, ketimbang dijadikan musuh lebih baik Eko Yuli berteman dengan cedera. 'Pertemanan' itu menghasilkan sukses yang luar biasa. Eko Yuli mencatat sejarah sebagai satu-satunya atlet Indonesia yang sukses menyumbangkan medali dari tiga olimpiade yang diikutinya. Ya, dari Olimpiade, multi event olahraga paling bergengsi sedunia yang digelar cuma setiap empat tahun sekali itu.

Eko Yuli melakukannya ketika meraih medali perak di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Perak. Medali yang menyimbolkan seorang atlet sebagai yang terbaik kedua di seluruh jagat raya.

Torehan itu sekaligus memperbaiki penampilannya pada dua Olimpiade sebelumnya. Eko Yuli menyumbangkan medali perunggu pada Olimpiade 2012 London dan 2008 Beijing.

Padahal penampilannya di Olimpiade disertai cedera. Selalu saja ada keraguan setiap kali Eko Yuli bakal tampil dalam ajang olahraga paling akbar sejagat itu.

Begini rentetan cedera yang sudah jadi 'kawan' Eko Yuli itu.

Sebelum tampil di Beijing 2008, Eko Yuli mengalami cedera hamstring kiri.

Menyerah? Tidak. Eko Yuli bertekad untuk menyumbangkan medali yang lebih sip lagi pada Olimpiade empat tahun kemudian.

Padahal penanganan cedera atlet di Indonesia, dari pengakuan beberapa atlet Indonesia yang hijrah ke negara lain, kurang sip. Ada yang terkait teknologi, kdang kala juga dipengaruhi pembiaraan si atlet dan pelatih.

Cedera yang sudah jadi 'teman' Eko itu kembali membekap Eko Yuli menjelang Olimpiade 2012. Pria dengan tinggi 154 centimeter itu mengalami retak tulang kering kaki kanan.

Eko Yuli kembali mendapatkan deraan cedera sebelum menuju Rio de Janeiro. Dia dibekap cedera lutut. Cedera tersebut sampai membuat dia absen dari Kejuaraan Asia Angkat Besi di Tashkent, Uzbekistan, 22-30 Mei.

Namun, bersama cedera itu perak dipersembahkan Eko Yuli dari kelas 62 kg. Dia mencatatkan total angkatan 312 kg. Emas diraih Oscar Figueroa, asal Kolombia, dengan angkatan 318 kg.

Kalau saja Eko Yuli takut dengan cedera atau menganggap musuh cedera, bisa jadi Eko Yuli akan tetap tinggal di sebuah kampung di tanah kelahirannya, Metro, Lampung.

Bisa jadi dia masih berkutat dengan kegiatan hariannya sebagai penggembala kambing. Bisa jadi Eko Yuli akan tetap menyaksikan ayahnya, Saman, dan ibunya, Wastiah, menekuni pekerjaan sebagai tukang becak dan penjual sayur.

Dari sebuah sasana angkat besi di Metro itu pula Eko Yuli mengubah kegiatannya sehari-hari. Gara-gara menyaksikan sekelompok orang berlatih angkat besi di Sasana Gajah Lampung, Pringsewu, Eko Yuli ingin coba-coba. Dia masih nyambi menggembala kambing dan berlatih.

Eko Yuli Irawan: Berteman Cedera Demi Medali-Medali untuk IndonesiaFoto: detikcom/habibi

Dari coba-coba dan restu orang tua, Eko Yuli membetot perhatian publik. Dia menjadi juara dunia junior angkat besi tahun 2007. Setelah naik kelas ke level senior, Eko Yuli terus menjadi andalan Indonesia. Bersama cederanya yang mungkin akan sulit untuk pulih total.

Untuk Indonesia Eko Yuli bersedia bersahabat dengan cederanya itu. Bahkan untuk empat tahun ke depan.

"Tidak ada atlet Indonesia lainnya yang bisa meraih tiga medali Olimpiade secara beruntun. Namun, cita-cita utama saya adalah meraih emas untuk Indonesia," kata Eko Yuli usai mendapatkan medali perak Olimpaide di Rio de Janeiro.


Jumat, 11 November 2016

Maria Natalia Londa, Lewat Lompat Jauh Jadi Ratu Asia

Maria Natalia Londa bukan berasal dari keluarga atlet. Lewat lompat jauh, gadis yang lahir dan besar di Bali itu menjadi ratu Asia dengan donasi emas Asian Games 2014.


Penampilan Londa membetot perhatian kala tampil di Asian Games 2014 Incheon, Korea Selatan. Lompatan sejauh 6,55 meter menjadikan dia sebagai atlet putri terbaik di nomor tersebut.

Londa sekaligus berhasil mengakhiri paceklik medali emas atletik di ajang tersebut sejak 1998. Saat itu, Indonesia merebut medali dari Supriyati Sutono di nomor lari 5.000 meter. Dahaga 18 tahun terbayarkan.

Lagu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih dikibarkan paling tinggi di antara negara-negara lain. Londa berucap terimakasih kepada Indonesia atas sukses tersebut.

Padahal jika disimak Londa mengasah kemampuannya dengan upaya sendiri. Bersama-sama pelatih yang menemukan kemudian memolesnya, Londa berlatih tanpa tempat khusus. Bali tak memiliki stadion dengan trek lari sintetis.

Beruntung buat Londa, kotak pasir di tanah kelahirannya, di Bali, tak terbatas. Pantai-pantai dengan pasir putih terhampar begitu saja menjadi 'tempat bermain' Londa.

Kadang kala Londa juga bermain di parkiran sebuah hotel. Seperti sebuah berkah tapi juga cukup ironis, bukan?

Emas Asian Games itu belum mampu membuka mata stake holder olahraga untuk menyediakan sarana kelas dunia di Bali. Trek sintetis baru dibangun setelah Londa memastikan tiket ke Olimpiade.

Londa pun benar-benar menjadi kontestan di sana, pada sebuah ajang olahraga terakbar yang cuma dihelat empat tahun sekali. Bukan lewat wildcard atau kuota pengganti, Londa lolos lewat kualifikasi.

Tak punya tempat latihan juga bukan dari keluarga atlet, Londa mampu membuktikan pengibar bendera Merah Putih bisa dari kalangan mana saja. Kini, kiprah Londa di lompat jauh sudah menginspirasi sepupu dan anak-anak untuk mengikuti jejaknya: menjadi ratu Asia lompat jauh.

Ya, bukan cuma soal tempat latihan yang minim. Londa juga bukan berasal dari keluarga atlet.

Ayahnya, Pamilus (almarhum), seorang desain interior. Ibundanya, Anastasia Ari Ningsih, penjahit kampung yang kadang lebih senang menyebut dirinya ibu rumah tangga.

Dalam trah keluarga besarnya yang asli Flores pun, tak ada yang berkarier sebagai atlet. "Ini semua gara-gara ayah," kata Londa mengenang masa kecilnya.

Kata Londa, ayahnya rutin mengajak dia jalan-jalan pagi. Sekitar pukul 04.00-05.00 WITA.

"Awalnya di alun-alun, terus tahu kalau ada stadion, kami jalan-jalan ke stadion," tutur perempuan kelahiran Denpasar 26 tahun lalu tersebut.

Saat pagi-pagi itu, Stadion Ngurah Rai, Denpasar itu jadi tempat latihan atlet Denpasar. Karena tak menyukai lari, Londa terdorong untuk melihat nomor-nomor lain. Lompat jauh dan lompat jangkit langsung membetot perhatian dia.


Beruntung buat Londa, dia ditangani pelatih yang mampu memoles potensi dan bakatnya dengan sip. Mereka Ali Anak Agung Alit Ardana dan I Ketut Pageh. Duet asisten pelatih dan pelatih itu kini masih menangani Londa. Londa juga tak melupakan guru olahraga yang akrab disapanya Pak Cok.

Roda telah berputar. Jalan-jalan kecil di pagi hari melewati Stadion Ngurah Rai itu menjadi awal Londa menjelajah dunia dan mengukuhkan diri sebagai ratu lompat jauh Asia. Setujukah kalau menyebut Londa sebagai pahlawan masa kini?

"Saya tak pernah menyangka disebut-sebut sebagai pahlawan olahraga. Yang saya tahu, ponakan-ponakan saya jadi mau menekuni atletik," tutur Londa merendah.

Saat ditanya soal sosok pahlawan idolanya, apa jawaban Londa? "I Gusti Ngurah Rai karena dia kan pahlawan dari Bali. walaupuan saya dari Flores tapi banyak hal di Bali yang bikin saya jadi seperti ini sekarang," ucap dia.

Kamis, 10 November 2016

Emilia Nova, Penjaga Estafet Lari Gawang Putri Indonesia

Dedeh Erawati mulai turun di ajang Masters. Sang penerus sudah menyodok dan siap mengemban tugas. Dia Emilia Nova.


Perawakannya langsing. Kakinya jenjang. Rambutnya dicat pirang. Sedikit kenes. Penampilannya kekinian.

Kalau sudah membuka T-shirt dan tinggal mengenakan brasport, lengannya terlihat kencang. Perutnya juga sixpect.

Dia bukan model. Cewek itu, Emilia, atlet atletik DKI Jakarta. Nomor spesialisasinya sapta lomba dengan keistimewaan pada 100 meter lari gawang.

Sebuah bukti dipertontonkan Emilia saat tampil pada Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 di Stadion Cibinong, Bogor. Penampilannya membetot perhatian publik kala meraih emas sapta lomba. Bukan cuma berhasil mendonasikan emas, tapi dia sekaligus mencetak rekor baru yang dikuasai Rumini selama 23 tahun.

Cuma itu? Tidak. Emilia juga memecahkan rekor PON milik Dedeh Erawati dari lari 100 meter gawang di nomor sapta lomba itu. Dalam perlombaan tersebut Emilia membuat catatan waktu 13,52 detik.

Belum selesai. Emilia kembali membuat catatan apik saat babak penyisihan di nomor lari 100 meter lari gawang sehari kemudian. Dia sudah membuat rekor PON dengan catatan waktu 13,50 detik untuk menyelesaikan lintasan. Saat tampil di babak final, Emilia bisa makin cepat. Catatan waktunya 13,35 detik di babak final. Dedeh, ratu nasional, di nomor itu ada di peringkat kedua.

"Mungkin orang berpikir saat itu saya pasti capek karena turun di sapta lomba dan nomor gawang. Tapi saya itu tipe orang yang semakin capek malah bagus," kata gadis kelahiran Jakarta, 20 Agustus 1995 itu.

Sukses Emilia menjadi sebuah harapan baru bagi lari gawang putri nasional. Sebab, Dedeh yang selama ini jadi tumpuan, mulai berumur. Bagus jika keduanya bisa bersama-sama jadi andalan Indonesia ke ajang internasional.

Kalau toh waktu Dedeh untuk gantung sepatu tiba, Emilia sudah makin matang dan siap meneruskan tongkat estafet sang ratu. Dedeh memang belum berpikir pensiun, namun faktanya dia mulai terjun di ajang Masters yang jadi tempat berlomba para atlet atletik veteran.

***

Emilia yang memang menyukai tekanan dan tantangan tak keberatan dengan tugas tersebut. Sejak awal keluarga memang sudah membiasakan dia untuk berkompetisi di olahraga, meskipun tak ada saudara yang berprofesi sebagai atlet.

Ayahnya, Zainur, akrab dengan olahraga karena hobi. Makanya Emilia juga sudah familiar dengan bermacam-macam kegiatan olahraga.

"Ayah itu hanya hobi olahraga saja. Jadi waktu saya kecil sering diajak lari, joging. Juga dikenalkan kepada taekwondo," kata Emilia.

Prestasinya di cabang olahraga taekwondo cukup menjanjikan. Emilia pernah juara se-Jabodetabek.

"Tapi kata ayah tidak perlu dilanjutkan karena cabang olahraga ini tidak fair. Penilaiannya cenderung subjektif," tutur Emilia menirukan sang ayah.

Dengan pertimbangan itu, Emilia dijuruskan ke nomor lari. Sejak 2010, Emilia memutuskan pindah cabang olahraga.

Latihan sih bukan masalah buat Emilia. Tapi soal senioritas sempat bikin Emilia keki. Lolos seleksi mewakili sebuah klub untuk ajang se-DKI Jakarta, dia dianggap tak layak oleh seniornya. Namanya tak masuk tim dan diganti atlet dengan hasil seleksi di bawah dia.

Untungnya persoalan itu tak bikin Emilia dan ayahnya kapok. Bersama ayahnya, Emilia mencari klub yang bisa menampungnya untuk latihan dan bisa mengantarnya untuk ikut kejuaraan. Mereka memutuskan untuk bergabung dengan klub Meteor.

Dua bulan latihan, Emilia membuktikan diri mampu menjadi yang terbaik se-DKI saat usianya menginjak 15 tahun.

Sebuah latihan di Stadion Madya, Senayan, Jakarta membuka jalan Emilia ke pelatnas. Ketua Umum PB PASI, Bob Hasan, langsung kepincut kepadanya. Melihat potensi Emilia, lewat ayahnya, Bob Hasan minta agar Emilia bisa dididik di Senayan. Tawaran itu diiyakan. Emilia dipoles di nomor jarak pendek.

Tapi rupanya karier di nomor 100 meter tak bagus. Selama dua tahun berlatih dan turun dalam turnamen, Emilia tak mampu bicara banyak. Dia kemudian pindah nomor. Emilia memilih 100 meter lari gawang.

Dua minggu latihan, Emilia diturunkan pada kejuaraan di Nusa Tenggara Timur bersama Dedeh. Dia lolos posisi empat dengan catatan waktu yang lumayan.

Dari situ, Emilia merasa menemukan jalan yang tepat. Pembuktian dibuat pada Jatim Open dan kejuaraan remaja dengan pecah rekor remaja. Sayang, saat itu pencatat waktu elektronik mati sehingga rekornya tidak diakui. Di siis lain ada berkah. Dengan penampilan di Jatim Open itu, Emilia lolos PON 2012. Meski pada saat perlombaan hanya mampu finis di posisi empat.

Karier di atletik diikuti bertambahnya usia. SMA lulus dia pun kuliah di Universitas Negeri Jakarta. Di UNJ itulah emilia berjumpa dengan seniornya, yang saat ini menjadi pelatihnya, Fitri Haryadi. Bersama dia, Emilia digembleng soal teknik berlari yang benar.

"Dia melihat teknik lari saya. Katanya jelek. Akhirnya saya dibantu dia, teknik lari segala macam. Lalu di Kejurnas senior dapat perak," tutur Emilia.

Tahun berikutnya, Emilia mencoba nomor baru yaitu sapta lomba. Meski belum dibilang spesialis, namun dia nekad ikut lomba dan juara 1 pada Agustus 2014.

"Bulan Desember saya ikut pekan olahraga mahasiswa se-asia tenggara di Palembang, di nomor gawang saya dapat emas, sedangkan nomor sapta lomba dapat perak. Nah di gawang itu, sebelum saya lari di sapta lomba 14,26 detik. setelah itu saya lari di sapta lomba 13, 69 detik. Pecah rekor junior dari catatan waktu Agustine Bawele 14, 10 detik," kenang dia.

Menjelang SEA Games 2015 Singapura namanya masuk daftar atlet timnas. Emilia menyudahi ajang itu dengan finis di posisi empat dengan catatan waktu 13, 78 detik.

"Jadi sebulan jelang SEA Games itu antara Februari sampai Mei saya harus berkutat dengen cedera. Makanya efektif latihan baru sebulan. Sempat putus asa juga tetapi saya mencoba bangkit sampai akhirnya sembuh," kenangnya.

Dorongan motivasi dari pelatih dan keluarga, akhirnya membuat kepercayaan diri Emilia terus bangkit. Dua bulan, Emilia turun di Kejurnas untuk sapta lomba, dan poinnya naik lagi.

"Akhir tahun saya ikut perlombaan di Aceh, saya turun tiga nomor dan dalam sehari saya bisa empat kali lari. lari gawang dua kali dan lari 200 meter dua kali. Mungkin lelah ya, jadi saya kena cedera hamstring lagi selama lima bulan dari Desember 2015 sampai April 2016 itu. Karena merasa sudah sembuh, bulan berikutnya, saya ikut bertanding ini untuk meningkatkan kepercayaan diri saya."

Ini penting. Sebab, Emilia sendiri sudah dinanti PON 2016. Tekadnya besar meski hanya punya waktu tiga bulan berlatih. Tetapi dia berhasil membuktikannya.

"Saya cuma berpikir jika kita bersungguh-sunguh latihan disiplin pasti ada hasilnya. Bakat itu akan kalah dengan yang rajin karena kalau bakat tidak diasah atau digunakan maksimal. Ya tidak bisa juara."

Emilia memang tidak mau berpuas diri hanya dengan menjadi yang terbaik di level nasional. SEA Games 2017 menjadi target jangka pendeknya. Dia akan turun di nomor sapta lomba dan 100 meter lari gawang.

"Di nomor gawang itu yang ditingkatkan start gawangnya. Kalau ingat PON kemarin, saya itu masih kalah dari mba Dedeh dari gawang pertama sampai kelima. Dawang ke enam mulai sama, lalu gawang ketujuh saya bisa salip. Jadi antar gawangnya harus dipercepat," kata dia.

Kemudian catatan waktu dari setiap lompatan ke gawangnya. Disebutkan Emilia, catatan waktunya masih 1,07 detik di setiap gawangnya. Sementara jika ingin dapat catatan waktu lari 13,00 detik. Emilia harus melompati di setiap gawangnya minimal 1,02 detik.

"Begitu dengan teknik lari juga masih harus diperbaiki karena gawang perempuan kan pendek, jadi harus mendukung lari sprintnya. Beda sama yang cowo gawangnya tinggi, jadi lompatan dan sprint harus bagus."

"Ya, Insyallah pecah rekor nasional di gawang di SEA Games nanti dan pecah rekor lagi di sapta lombanya. Setelah itu fokus Asian Games 2018 dan Olimpiade 2020," pungkasnya.

***
Biodata
Nama: Emilia Nova
Jakarta, 20 Agustus 1995
Anak pertama dari 2 bersaudara
Ayah : Zainur
Ibu : Delvia
Klub :
Meteor 2010
FMM 2016

Prestasi :
Juara 100 meter gawang di Asian University Games 2014 di Palembang dan Singapura 2016
Juara nomor 100 meter lari gawang U-21 Vietnam 2013
Runner-up Sapta lomba Asean University Games 2014
Juara 1 4x100 meter Hong Kong Open 2016
Runner-up 4x100 meter Vietnam Open 2016
Runner-up 100 meter lari gawang Singapura Open 2015
Juara 1 100 meter gawang ANQ track n field championship townsville, Australia

Tontowi/Liliyana: Pahlawan dari Arena, Wakili Toleransi

Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir menjadi pahlawan ketika Indonesia tampil di Olimpiade 2016 Rio de Janeiro. Mereka sekaligus mewakili toleransi. 


Ketika perbedaan suku, agama, dan ras dijadikan cara untuk memecah belah negara ini, duo pebulutangkis kita mempunyai cara sendiri untuk mengajak bersatu. Mereka menunjukkan kalau Indonesia punya kekuatan raksasa di kancah dunia.

Dua pemain itu, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Rentetan prestasi bagus di level dunia sudah dibuktikan oleh mereka. Puncaknya ketika Owi/Butet--sapaan karib Tontowi/Liliyana--mempersembahkan kado medali emas Olimpide 2016 Rio de Janeiro pada HUT RI ke-71. Ganda campuran terbaik tanah air itu menyatakan dengan tegas kalau Indonesia tak bisa dikalahkan.

Bermain di babak final, mereka menundukkan pasangan Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying dengan skor 21-14, 21-12. Apa yang mereka lakukan untuk merayakan kemenangan? Kompak mereka berlari ke arah pelatih, memeluk kemudian mengambil bendera Merah Putih dan membawa berkeliling bendera itu.

Kemudian lagu Indonesia Raya berkumandang. Bendera Merah Putih dikerek paling atas dalam upacara penerimaan medali di Riocentro Pavilion 4, Rio de Janeiro. Owi/Butet mengangkat tangan memberi hormat. Keharuan tak bis aditutupi. Apalagi itulah satu-satunya emas yang didapatkan Indonesia di Olimpiade Rio.

"Saya bersyukur kepada Allah SWT. Inilah kado terindah bagi kami dan untuk seluruh masyarakat Indonesia di Hari Kemerdekaan ini, terima kasih atas segala dukungannya," kata Tontowi.

Medali emas Tontowi dan Liliyana itu bukan cuma membuat mereka dianggap sebagai pahlawan olahraga. Mereka dinilai mewakili arti toleransi.

Tontowi dan Liliyana memang berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Tontowi Jawa totok, sedangkan Liliyana lahir di Manado dan keturunan Tionghoa.


Cara mereka mengucapkan syukur pada tiap poin yang didapatkan pun berbeda. Owi yang beragama Islam akan mengangkat tangan dan mengusapkannya ke wajah. Sementara Liliyana bersyukur dengan cara Katolik. Semua terjadi di atas lapangan hijau.

Semua itu bergabung dalam kerja keras, wadah yang tepat, dan tangan dingin barisan pelatih di pelatnas PBSI sejak 2010. Mereka juga mewakili keberagaman Indonesia. Adalah Richard Mainaky--pelatih ganda campuran pelatnas PBSI--yang memasangkan keduanya. Iya, Richard juga beda suku. Dia orang Ternate.

Siapa asisten Richard? Selama membesut Owi/Butet, Richard didampingi Nova Widianto, seorang Jawa tulen.

Kalau menurut Butet apa arti pahlawan?

"Pahlawan adalah anak bangsa yang bisa mengharumkan nama bangsa dengan prestasi luar biasa di bidang apapun."

Sepakat, kan kalau Tontowi dan Liliyana mewakili pahlawan masa kini dengan sukses mereka mengibarkan bednera Merah Putih pada podium tertinggi di turnamen-turnamen internasional? Juga mewakili arti toleransi?

Kamis, 03 November 2016

Sarengat Punya Pengalaman Pahit dengan Narkoba

Muhammad Sarengat sukses menorehkan tinta emas sebagai manusia tercepat Asia. Tapi dia juga punya sisi kelam pernah gagal sebagai orang tua karena narkoba. 

 Foto: Jawa Pos

Selasa, 28 Oktober nanti tak hanya istimewa bagi Sarengat. Di tanggal yang berbarengan dengan Sumpah Pemuda itu, dia tepat berusia 68 tahun. Selain itu, Sarengat diingatkan pada sebuah kegagalan seorang ayah mendidik anaknya.

Kehidupan bukanlah ilmu matematika dengan 1 + 1 = 2.  Dengan gelar dokter, yang tentu dibekali pengetahuan kesehatan termasuk bahaya narkoba, Sarengat tak bisa mencegah anak bungsunya, Muhammad Landung Setyoutomo Suryoputro, terjerat di dalamnya.

“Kalau hanya berpatokan malu, saya tidak mau bercerita.  Tapi, ini kenyataan dan harus menjadi pelajaran bagi yang lain. Saya gagal menjadi orang tua sekaligus dokter waktu itu,” ujar Sarengat.

Sarengat tak menampik masa-mas aitu begitu berat dijalani. Bukan cuma rasa malu, tapi bagaimana cara untuk merehabilitasi sang putra.

Baca Juga: 'Namaku Sarengat', Autobiografi Manusia Tercepat Asia yang Cuma Tersimpan dalam Almari

Ya, harga dirinya sebagai dokter seperti dipertaruhkan.  Beruntung setelah melewati rehabilitasi, Landung sembuh dan kembali masuk dalam kehidupan normal.

Dari pengalaman pahit itu, Sarengat mendapatkan inspirasi lain. Dia tak ingin ada anak-anak muda lain yang jadi korban narkoba.

Pria yang pernah tercatat sebagai manusia tercepat Asia tersebut mendirikan Sport Campus Wijaya Kusuma, pusat rehabilitasi pecandu narkotika, pada tahun 1999. Hingga kini, dia menjabat sebagai ketua yayasan Wijaya Kusuma.

Dengan yayasan itu Sarengat ingin agar keluarga adalah faktor terpenting untuk si korban agar bisa terbebas dari jeratan narkoba.

Baca Juga: Bisikan Presiden Soekarno yang Memacu Mohammad Sarengat Jadi Manusia Tercepat Asia

Tapi tak banyak yang menyadarinya. Biasanya, keluarga--yang seharusnya bisa menyelamatkan korban narkoba--malah turut melarikan diri. kalau tidak  mempercayai kenyataan, ya malah menyembunyikan si korban karena gengsi.

“Tragisnya kalau sudah over dosis dan berakibat kematian, baru nyadar,” keluh Sarengat.

bersama Landung, Sarengat gencar mencari terobosan-terobosan baru untuk mendukung penyembuhan. Therapeutic Community menjadi metode penyembuhan yang diterapkan di SCWK. Metode itu mengambil prinsip dasar membantu diri sendiri dengan membantu orang lain.

Baca Juga: Tentang Muhammad Sarengat yang Pernah Berpredikat Manusia Tercepat Asia

Selasa, 01 November 2016

Pilih Gita yang Sudah Beri Bukti atau Jendral Baru untuk PBSI?

Dua nama muncul sebagai calon ketua umum PBSI periode 2012-2016, Gita Wirjawan dan Wiranto. Pilih siapa?


Sosok militer dalam tampuk kepemimpinan PBSI bukanlah pengalaman baru bagi induk organisasi tepok bulu Indonesia. Sebelum Gita Wirjawan, PBSI dipimpin oleh Panglima Djoko Santoso.

Semasa kepemimpinan Djoko, boleh dibilang PBSI menjalani masa kegelapan prestasi. Tradisi emas Olimpiade terhenti, juga untuk pertama kalinya Piala Thomas gagal ke semifinal.

Atmosfer di pelatnas juga kurang sip. Ketua umum cuma sekadar 'pajangan'. Kesibukan dalam tugas kenegaraan seorang panglima membuat peran sekretaris jenderal PBSI lebih menonjol. Kala itu sekjend dijabat oleh Ketua mum Pengprov PBSI Jawa Timur, Jacob Rusdiyanto.

Kini, PBSI membuat langkah serupa. Memunculkan calon ketua umum seorang jenderal yang juga menjabat sebagai menteri koordinator. Dengan tradisi pemilihan ketua umum PBSI yang pada akhirnya dipilih secara aklamasi dan mendukung calon baru yang muncul, maka bisa terbaca ketua umum nanti adalah Wiranto yang seorang jenderal dan menko polhukam.

Maka menjadi sebuah hal yang wajar, kan kalau banyak yang mereka-reka potensi ketua umum sebagai pajangan akan berulang lagi?

Padahal zaman sudah berubah. Kerja ketua umum PBSI di masa kini sudah tak bisa disambi. Apalagi dengan jabatan menko polhukam yang tengah diberi tugas untuk memberantas pungutan liar, juga agenda demo besar pada 4 Oktober nanti.

Ya, PBSI mau tak mau harus berubah. Tak bisa lagi kerja setengah-setengah. Turnamen yang berderet-deret, di level elite dan lapisan di bawahnya. Belum lagi ajang beregu setiap tahun berselang-seling Piala Thomas Uber dan Piala Sudirman. Juga multievent SEA Games, Asian Games dan Olimpiade.

Dengan sejarah juara, tentunya Indonesia tak cuma bisa mengirim atlet dan pulang dengan tangan kosong, sekadar jadi penggembira istilahnya. Kondisi itu dipahami benar oleh pengurus provinsi.

"Tuntutan seorang ketum PBSI sangat tinggi saat ini. Sebagai gambaran kita jadi runner-up saja sudah dianggap gagal," ucap Wijanarko Adi Mulya, ketua umum Pengprov PBSI Jawa Timur.

Belum lagi tuntutan pengurus provinsi yang selalu ingin diperhatikan. Kok bisa?

Ya, fakta di lapangan sebelum Munas dan pada Munas di Surabaya perhatian ketua umum ini terus didengungkan, selain soal desentralisasi, oleh pengprov peserta Munas.

Pengprov-pengprov PBSI menyatakan ketidakpuasan atas kinerja kabinet Gita soal minimnya kehadiran ketua umum atau sekretaris jenderal pada acara di daerah. Di antaranya, kehadiran Gita atau Anton Subowo dalam pembukaan sirkuit nasional yang diputar di daerah dan pelatikan pengurus provinsi.

Dua poin itu memang kurang dipraktikkan Gita dalam masa kepengurusan. Dua poin itu pula yang dibuat pendukung Wiranto untuk melemahkan Gita.

Dalam laporan pertanggungjawabannya kepada pengurus PBSI yang dibacakan Minggu (31/10/2016) pagi, Gita mengunggulkan tiga aspek kepengurusannya. Pertama soal sistem kontrak pemain, dari kolektif menjadi individu. Kemudian akuntabilitas keuangan organisasi dan regenerasi.

Pengprov PBSI menerima laporan itu dan memujinya.

Nah, menilik dua calon yang muncul, boleh dibilang Gita memiliki waktu lebih senggang. Dia tak lagi terlibat dalam partai politik. Gita juga tak memegang jabatan apapun dalam pemerintahan. Soal manajerial dan lobi-lobi sponsor Gita sudah membuktikan dengan menghidupi PBSI lewat dana swasta, bukan menyusu kepada pemerintah.

Selain tiga aspek yang disebutnya dalam laporan pertanggungjawaban itu, Gita bikin gebrakan: membuat PBSI lebih modern dan kekinian. Informasi perkembangan prestasi PBSI bisa dengan mudah didapatkan lewat website Badminton Indonesia, twitter, dan instagram mereka, kan?

Memang kebijkan PBSI tak melulu bikin pro, satu kebijakan pelatnas PBSI yang hanya membolehkan media melongok pelatnas pada hari Rabu dan Jumat sempat dikritik. Juga ketika Gita sempat menghilang usai mengikuti konvensi Demokrat.

Tapi ya itu tadi, faktanya 33 pengprov--1 pengprov sebagai peninjau--menerima dengan pujian kinerja Gita selama empat tahun ini.

Coba tanya kepada atlet lebih senang mana, kontrak individu atau kolektif? Perubahan sistem kontrak pemain itu bisa dikembangkan semasa kabinet Gita setelah mereka membuka diri kepada beberapa produsen apparel untuk menjadi sponsor pribadi skuat pelatnas, juga sponsor PBSI. Sebelumnya PBSi hanya membolehkan satu apparel sebagai sponsor PBSI. PBSI lah yang mengolah dana untuk operasional dan kontrak atlet.

"Diibaratkan membangun rumah, Pak Gita sudah berhasil membuat bangunan setengah jadi, tinggal atap yang belum," tutur salah satu peserta pengprov.

Soal regenerasi dan kaderisasi, Gita juga berhasil membawa pulang pelatih-pelatih top Indonesia yang menangani negara lain. Seperti Rexy Mainaky yang kini menjabat ketua bidang pembinaan dan prestasi, juga Eng Hian dari Singapura yang berhasil mengangkat prestasi ganda putri. Selain itu. kabinet Gita telah berhasil mengajak mantan-mantan pemain, seperti Susy Susanti untuk masuk dalam kepengurusan.

Boleh dibilang Gita berhasil membuat PBSI tak menyusu kepada pemerintah.

perkembangannya kini dalam Munas, pengurus provinsi malah berharap mereka mendapatkan back up yang kuat dari orang pemerintahan. Apalagi kalau bukan soal dana biar lebih lancar?

Sebuah pemikiran yang mundur dengan ingin menyusu lagi kepada APBN atau APBD.


Selain itu, kesibukan Wiranto sebagai Menko Polhukam tak djadikan soal. Mereka tetap optimistis bisa didampingi oleh Wiranto setiap kali ada pelantikan atau pembukaan sirnas.

Tampak ada standar ganda kepada Gita dan Wiranto, bukan?

"Dengan kedudukan beliau yang sekarang tentu mencari sponsor akan lebih mudah karena pembinaan tanpa anggaran yang besar, olahraga tidak akan berkembang. Makanya kami meminta Pak Wiranto untuk menjadi ketum PBSI. Itu alasannya," kata TB Herman, ketua pengprov Aceh, yang menjadi salah satu provinsi yang turut dalam tim sukses Wiranto.

Padahal posisi Wiranto sudah disoal oleh Menteri Pemuda dan Olahraga imam Nahrawi. Dia mengingatkan agar cabang olahraga prioritas, termasuk bulutangkis, dipimpin oleh seorang ketua umum yang siaga 24 jam.

Sementara itu, Wiranto tengah menjabat sebagai menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan. Yang kini kinerjanya tengah diuji untuk membersihkan pungutan liar lewat paket kebijakan hukum. gkis tak jadi pekerjaan sambilan.

"Ini peringatan karena target ke depannya sangat berat maka dibutuhkan orang yang benar-benar bisa siaga 24 jam untuk mengurus atlet. Jangan sampai fokusnya terganggu maka itu butuh orang yang kerjanya tidak disambi," ucap Imam.

***

Ditulis sebelum pemilihan ketua umum PBSI 2016-2020
Surabaya, 31 Oktober 2016