Pekan Olahraga Nasional XIX/2016 Jawa Barat memang menawarkan gengsi bagi tiap provinsi. Namun, perlu diingat PON hanyalah sasaran antara demi prestasi Indonesia di mata dunia.
Seolah sudah jadi tradisi, tiap-tiap provinsi mempunyai antusiasme tinggi menyambut PON. Ajang olahraga empat tahunan, kesempatan adu gengsi.
Indikasinya cukup mencolok: gelontoran APBD yang tak terkira nilainya. Bahkan dengan nominal yang tidak masuk akal. Ada banyak alasan di balik gelontoran dana itu. Gengsi daerah yang ditonjolkan meski kerap kali tak bisa dihindari ada misi terselubung seperti mengerek popularitas pejabat pemerintah dan pengurus olahraganya.
Lewat dana hibah, APBD dialirkan ke KONI secara besar-besaran di tiap tahun pelaksanaan PON. Anggaran terbesar biasanya dialokasikan untuk bonus peraih medali, biaya kontingen, dan ironisnya ada bagian anggaran untuk transfer atlet dari daerah lain--membajak atlet istilahnya.
Sebagai gambaran DKI Jakarta yang jadi juara bertahan mendapatkan suntikan APBD senilai Rp 200 miliar tahun ini. Di antara nominal itu, Rp 23 miliar di antaranya untuk biaya kontingen yang diperkuat 902 atlet. Papua menganggarkan Rp 270 miliar kepada KONI Papua selama setahun ini. Rp 100 miliar di antaranya untuk alokasi kontingen ke PON Jawa Barat yang akan dimulai 17 sampai 29 September.
Tak mengherankan jika seorang atlet (biasanya yang top) akan membela daerah yang berbeda tiap empat tahunnya. Iming-iming bonus yang nilainya wow, uang saku bulanan yang lebih konsisten, dan fasilitas yang diberikan KONI provinsilah yang bikin atlet tergiur untuk pindah daerah. Biasanya sih tuan rumah yang paling jor-joran menggelontorkan dana untuk memberi kemewahan atlet menjelang PON.
Frasa pengganti PON yang menyebut sebagai pesta olahraga nasional empat tahunan menjadi pas benar. Faktanya PON seolah menjadi sebuah pesta untuk menyenangkan tuan rumah. Sampai-sampai mereka mempunyai hak yang begitu besar dalam menentukan cabang olahraga dan nomor yang dipertandingkan demi dua misi yang diemban: sukses prestasi dan sukses sebagai jadi penyelenggara.
Bahkan, menjadi hal yang biasa melihat atlet olimpiade turun pada PON. Boleh dibilang dari tujuh cabang olahraga yang ke Olimpiade 2016 Rio de Janeiro, cuma bulutangkis yang 'menabukan' olimpiannya untuk turun di PON.
Peraih perak dari cabang olahraga angkat besi, Eko Yuli Irawan, mengakui adanya ketidaktepatan jalur pembinaan prestasi itu. Hanya saja kondisi di lapangan memaksa dia untuk pasang kaca mata kuda.
"Sekarang kami ikut PON itu bisa mendapat Rp 150-250 juta darimana lagi kalau bukan dari daerah," ungkap peraih tiga medali Olimpiade (2008, 2012, dan 2016) itu.
Padahal tak jarang sukses itu hanyalah sukses semu belaka. Setelah perhelatan PON usai, kepala daerah jadi tersangka KPK. Dari sisi prestasi malah lebih gawat lagi. Para peraih emas sulit bersaing di ajang internasional seperti SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Atau kuantitas emas yang didapatkan sebuah daerah lebih banyak emas dari cabang olahraga ajaib yang tak dipertandingkan di olimpiade.
Pada PON Jawa Barat ini bahkan ada pembengkakan nomor yang dipertandingan ketimbang PON empat tahun lalu di Riau. Kini, Jabar menawarkan 755 medali emas, sedangkan PON 2012 Riau cuma 601. Dirunut lebih ke belakang lagi, pada PON 2008 di Kalimantan Timur ada 749 medali emas yang diperebutkan.
Angka-angka itu menjadi terlihat sangat besar dan diada-adakan jika berkaca kepada jumlah emas yang didapatkan Indonesia dari multievent internasional. Jangankan medali, jumlah atlet yang lolos ke Olimpiade Rio hanya 24 atlet elite--yakni mereka yang tersaring tanpa wild card.
Dari jumlah atlet elite itupun hanya satu yang bisa lolos pada tiga cabang olahraga yang menawarkan medali emas terbanyak: atletik, senam, dan renang. Cuma ada Maria Natalia Londa yang lolos lewat kualifikasi di nomor lompat jauh.
Tak perlulah melihat olimpiade, bahkan Indonesia sudah terseok-seok di SEA Games. Pada tiga perhelatan SEA Games terakhir, kontingen 'Merah Putih' cuma sekali menjadi juara umum, yakni pada 2011 ketika berstatus sebagai tuan rumah. Dua kali pelaksanaan lainnya, pda 2013 di Myanmar dan 2015 Singapura, posisi tiga besar tak didapatkan.
Dengan situasi itu, menjadi sebuah kewajaran kalau Indonesia makin sulit berkompetisi di level Asia dan dunia. Padahal Indonesia akan menjadi tuan rumah Asian Games 2018.
Nah, agar PON kembali menjadi ajang nasional yang bergengsi dan kompetitif serta bermuara kepada ajang internasional, Menpora Imam telah memberikan rambu-rambu agar pemerintah memprioritaskan cabang olahraga berprestasi. Malah, permintaan itu datang langsung dari Presiden Joko Widodo saat menerima peraih medali Olimpiade di Istana Negara.
Buat pemerintah bukankah lebih mengasyikkan kalau jor-joran dana untuk pembinaan prestasi dan pemberian bonus itu bisa menghasilkan atlet yang tampil bahkan meraih medali di olimpiade?
Kalau memang pejabat daerah dalam menggelontorkan dana itu mengejar popularitas bukankah lebih menyenangkan bisa mendapatkan pemberitaan media nasional dan internasional?
Berkaca aliran doku dan gegap gempitanya publik yang didapatkan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir setelah meraih emas olimpiade Rio, apakah para atlet tidak terpacu untuk bertarung di level dunia?
Beranikah PON berubah demi prestasi Indonesia di level dunia?
===
Pernah dimuat di detikSport, 14 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar