Suka cita dirasakan Ketua umum PP PBSI, Gita Wirjawan, setelah Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir meraih emas olimpiade. Suka cita yang tak terkira membuat Gita mengajak ketua umum cabang olahraga lain mengikuti jejaknya untuk mengantarkan atlet-atletnya berlaga di olimpiade.
Ketua Umum PP PBSI Gita Wirjawan (Foto: Badminton Indonesia)
Gita yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan ditunggu tugas berat: mengembalikan tradisi medali emas olimpiade. Sejauh ini memang baru bulutangkis yang bisa menyumbangkan emas di olimpiade.
Perubahan besar-besaran dibuat olehnya. Dari sebuah organisasi tradisional, PBSI berubah wajah menjadi lebih terkontrol. Yang paling signifikan adalah perubahan kontrak pemain, dengan membuka kran sponsor pribadi dari perusahaan apparel kepada masing-masing pemain.
Para pelatih yang cemerlang di negara lain dipulangkan yang tentunya membawa konsekuensi kontrak besar bagi para pelatih itu. Fasilitas latihan di pelatnas Cipayung, Jakarta Timur yang sudah tua diperbarui.
Gita tak menutupi kalau dirinya kerap merogoh kocek sendiri untuk menambah biaya operasional PBSI. Dia juga memanfaatkan relasinya untuk menggaet sponsor.
Bagaimana naik turun suka gembira dan lukanya Gita sebagai ketua umum PP PBSI?
Berikut obrolan dengan dengan Gita wirjawan di Cipayung pada Kamis (25/8/2016) setelah Tntowi/Liliyana memastikan emas olimpiade.
Tanya (T): Selamat! PBSI berhasil mengembalikan tradisi emas Indonesia di olimpiade. Apakah kerja 3,5 tahun kabinet PBSI--dengan PBSI periode sebelumnya yang kurang sip--terbayar dengan emas ini?
Gita Wirjawan (GW): Bukan tidak ada prestasinya, (PBSI yang dulu) ada prestasi. Kita harus mengapresiasi siapapun yang mendahului kita. Sejak awal kami harus menatap ke depan dan dengan situasi yang ada kami memang dituntut untuk mengambil langkah beda dan baru. Alhamdullilah kami mendapatkan hasil yang membanggakan.
T: Apakah langkah-langkah baru itu memang semata-mata demi emas Olimpiade Rio ini?
GW: Saya tidak berpikir emas di Olimpiade. Kami berpikir supaya lembaga PBSI ini bisa secara berkesinambungan membuahkan hasil terbaik buat semuanya jadi harus ada semangat membangun secara kelembagaan. Saya tidak melihat satu titel (dari kejuaraan) ke titel yang lain. Makanya, kami ambil sikap yang struktural dan sedikit fundamental.
T: Bisa dijelaskan?
GW: Yang pertama, soal kesejahteraan dalam lembaga ini, yakni perubahan sistem sponsor yang sebelumnya bersifat kolektif menjadi individu. Kedua, soal akuntabilitas, sistem pengukuran kinerja pengurus dan pelatih, asisten pelatih, atlet. Yang ketiga adalah kaderisasi. Obsesinya memang demi memperdalam kaderisasi yang sudah kelihatan lah sekarang.
GW: Ke depan kami terobsesi untuk melakukan pendataan komunikasi dan kesejahteraan di daerah. Ya mudah-mudahan bisa diukur dengan baik dan berkolerasi dengan prestasi. Jangan sampai ada sentilan atau ucapan bahwa atlet ini dari provinsi ini pindah ke provinsi lain karena tidak terdukung karena kurangnya prasarana atau apa. Nah ini harus disikapi secara institusional. Secara spesifiknya, bagaimana supaya tunggal putri bisa lebih kelihatan prestasinya. Itu akan jadi obsesi kami. Dengan dedikasi dan kerja keras serta sedikit kesabaran, saya rasa bisa tercapai.
T: Apakah itu sistem itu bisa dibilang desain terbaik untuk sebuah organisasi cabang olahraga?
GW: Masih ada sih yang harus diperbaiki. Saat kami mengambil sikap seperti itu memang mengundang perhatian dan sedikit kontroversi. Apapun itu waktu yang bisa mengubah semua penilain tersebut.
T: Berarti bisa dibilang PBSI bisa dijadikan percontohan bagi cabor lain?
GW: Wah kalau sampai bisa seperti itu, bisa dipertimbangkan dan diperhatikan, akan sangat mengharukan. Saya ingin menegaskan kalau kami tidak sempurna, masih banyak hal yang tidak sempurna. Jangan sampai yang dicontoh yang tidak sempurnanya lho oleh cabor lain.
T: Banyak yang kapok menjadi ketua umum cabang olahraga karena beberapa orang menilai kalau menerima jabatan itu artinya harus siap menjadi ATM berjalan cabang olahraganya. Bagaimana dengan pengalaman Anda?
GW: Ya alhamdullilah kami mendapat dukungan dari teman-teman dan dukungan itu mencukupi untuk membuahkan kesejahteraan yang diinginkan atlet, pelatih, dan pembina, serta anggota kepengurusan. Saya sih yakin bahwa ke depan dengan prestasi Olimpiade ini penggalangan dukungan secara sistematis bisa lebih mudah.
Baca Juga: 'Kali Ciliwung' Sudah Bersih, Rexy Mainaky Pede Tradisi Emas Berlanjut
T: Kantong pribadi bagaimana? Apakah juga kebobolan?
GW: Ada. Jujur, bonus untuk Owi/Butet, Rexy Mainaky (ketua bidang pembinaan dan prestasi PP PBSI), Richard Mainaky (pelatih Owi/Butet), dan Nova Widianto (asisten pelatih), sampai tukang pijat dari kantung pribadi saya. Saya memberikan dukungan semampunya dalam batas keterbatasan saya, tanpa pamrih dan penuh keikhlasan. Dukungan yang lebih besar malah datang dari pihak lain, seperti Djarum dan beberapa lembaga lain.
T: Tapi terbayar kan dengan emas olimpiade ini? Apaka Anda menyangka sebegitu besarnya euforia meraih emas olimpiade?
GW: Enggak...enggak mengira. Kadang-kadang saya masih harus mencubit diri saya sendiri (sambil mempraktikkan mencubit pipinya) apakah ini benar-benar sudah terjadi. Apalagi Owi/Butet ya. Bahkan saat harus menempuh jalur darat selama tujuh jam dari RIo de Janeiro dengan harus ke Sao Paulo lebih dulu untuk mendapatkan penerbangan ke Jakarta, senang-senang saja. Kalau saya disuruh naik mobil 25 jam juga saya jalankan. Saat pesawat take off juga tidak bisa tidur saking gembiranya dan masih tidak percaya. Alhamdullilah ketika di Jakarta ditambah lagi suka citanya setelah melihat euforia yang luar biasa yang diberikan masyarakat. Padahal saat melihat pertandingan-pertandingannya jantung saya seperti mau copot, apalagi mereka masuk lapangan. Itu luar biasa.
T: Apakah sambutan publik itu menjadi sebuah indikator tertentu?
GW: Ya, menurut saya itu menjadi indikator bahwa masyarakat bisa mengapresiasi. Bukan hanya terhadap apa yang dilakukan Owi/Butet tapi seluruh tim pendukung di sekitar Owi dan Butet. Ya saya dan teman-teman di PBSI itu hanya sebagai syarat saja yang memfasilitasi apapun yang diperlukan oleh siapapun atlet di lapangan agar atlet bisa berprestasi.
T: Saat mendampingi para pebulutangkis yang ke Rio, apakah kepikiran soal hasil akhir sampai terbawa mimpi?
GW: Saya mimpi Owi dan Butet dua hari berturut turut. Emm, ini yang penting: dua hari sebelum pertandingan final, kami--Pak Budi dengan Rexy, Richard, Owi, dan Butet--duduk bersama. Kami mencoba memberi ketenangan yang maksimal untuk mereka terakhir kalinya. Sebab, kami telah sepakat untuk tidak ngomong dengan Owi/Butet satu hari sebelum pertandingan, bahkan di hari pertandingan. Itu penting sekali untuk mereka bisa mendapat ketenangan yang diperlukan dan fokus.
T: Ada firasat kalau Owi/Butet bakal juara di Rio?
GW: Saya sempat bisik-bisik kepada Pak Budi di hari pertama, 'ini mata Owi/Butet beda nih'. Kelihatan dari cara mereka melihat beda dari biasa. Alahamdullilah, Owi baca Yasin setiap hari, Butet pegang alkitab, terus berdoa, berdua bersama Rexy dan Richard.
T: Pada titik mana Anda berkeyakinan kalau Owi/Butet bisa dapat emas?
GW: Saat semifinal. Begitu game pertama selesai melawan Zhang Nan/Zhao Yunlei, juara nih. Tapi saya mengingatkan diri saya sendiri dan semuanya jangan terlalu percaya diri. Jangan sampai over pede itu sampai ke telinga pemain. Itu bahaya ya. Tapi begitu selesai, Owi/Butet langsung putar badan mencari kita, saya, kami berpelukan kita nangis. Sampai naik pesawat hingga 11 jam mungkin saya masih nangis. Istri saya nangis, pak Budi, Rexy, semuanya nangis tidak percaya. Sekarang saja saya sudah mau nangis lagi nih.
Baca Juga: Yuk, Ngobrol Sama Richard Mainaky setelah Owi/Butet Raih Emas Olimpiade
T: Bisa dibilang saat menghadapi Zhang Nan/Zhao Yunlei ikut merasakan ketegangannya?
GW: Yang paling tegang waktu drawingnya malah. Greysia/Nitya dapat undian lawan China, lalu Butet/Owi lawan Praveen/Debby, ya Allah. Mungkin memang nasib kita ini. Ini ujian.
T: Apakah Anda puas melihat hasil keseluruhan para atlet bulutangkis di Olimpiade Rio?
GW: Sangat..sangat puas. Dari awal saya hanya menargetkan satu medali dan seperti yang saya bilang warna apa saja boleh. Tapi di berita targetnya tiga emas? Oke, mungkin nanti kita mesti sering komunikasi dengan Satlak Prima. Tetapi alhamdullilah dikasih emas. Ya, dapat perunggu kami terima, perak lebih kami terima, apalagi emas. Subhanallah.
Foto-foto: ves Lacroix/Badminton Photo via PP PBSI
Dimuat di detikSport, Kamis (25/8/2016) dengan judul: Suka Cita Tak Terkira, Gita Wirjawan Ajak Cabor Lain Raih Medali Olimpiade
Tidak ada komentar:
Posting Komentar