Maulwi Saelan, legenda kiper tim nasional sepakbola, menyimpan mimpi yang belum juga terpenuhi. Dia juga pernah dipenjara sebagai wakil ketua Tjakrabirawa, tim penjaga Presiden Soekarno.
Pria sepuh berpeci dan berkaca mata itu tak berhenti tersenyum saat menatap salinan surat kabar berukuran A3. Maulwi Saelan tak menyangka bisa melihat lagi lembaran dengan namanya ditulis besar-besar di halaman satu harian Merdeka.
"Dengan semangat banteng jang menjala2 putera-putera Indonesia pertahankan bentengja. Saelan dan kawan2nja menarik sympati 100.000 penonton.”
Begitulah kalimat pembuka artikel berjudul "Sensasi terbesar selama Olimpiade: Indonesia Paksa Rusia Main Seri 0-0".
Ejaan lama--dengan y yang masih ditulis dengan j--, kertas buram yang mulai menguning, serta halaman minim foto itu menunjukkan koran tersebut tak terbit 30 November di era sekarang. Ya, halaman itu, pada sebuah pertandingan semifinal olimpiade foto yang ada hanya pas foto wajah Ramang, Chairudin, Rasjid, dan Witarsa. Saelan masih terekam dengan aksi atraktifnya. Dia sedang dalam upaya menangkap bola.
Dilihat tanggal terbit, usia koran itu setara orang-orang menyambut pensiun, yakni 57 tahun lampau. Tapi ingatan Saelan, 85, masih menyimpannya. Tidak cuma membuatnya tersenyum tapi juga ada sebuah harapan tinggi yang tersimpan sampai saat ini dan ingin sekali dikabulkan oleh para pesekabola-pesepakbola muda masa kini.
***
Saelan memang tak lagi turun ke lapangan. Alih-alih untuk kembali ke PSSI yang jadi rebutan orang-orang sampai saat ini, Saelan tak lagi menyaksikan sepakbola live di stadion.
Tapi, kondisi itu tak membuatnya lupa manis pahit menjadi pemain, dari klub sampai bagian timnas. Juga menjadi ketua umum PSSI periode 1964.
Bahkan masa-masa pahit dibui selama lima tahun dengan tuduhan terlibat G30 S PKI sebagai wakil komandan Tjakrabirawa pun tak cukup kuat menghapus kenangan manis bersama pasukan Garuda waktu itu.
Serpihan kenangan-kenangan itu dinikmati dia lewat berbagai dokumentasi saat membela timnas dan menjadi pengurus PSSI. Kenangan paling membahagiakan terjadi di tahun 1956.
Tanda yang amat jelas ditunjukkan Saelan.
Senyumnya saat melihat lembaran koran tua tadi berubah menjadi tawa kecil ketika cerita bergulir tentang sukses timnas mencapai semifinal Olimpiade 1956 Melbourne.
Sembari bercerita, Saelan membuka koleksi foto hitam putih saat dia masih menjadi salah satu pemain timnas. Dia juga memperlihatkan koleksi buku bersampul kain batik dan berlogo garuda yang berisi skuat timnas plus rencana uji coba setahun yang bakal dilakoni tim bentukan PSSI yang dipimpin Maladi itu.
Saelan kemudian memamerkan koleksi catatan tangan pelatih timnas waktu itu, Toni Pogacnik, dari Yugoslavia. isinya soal taktik dan rencana detail timnas.
"Saya sekaligus menjadi kapten tim saat itu. Kami bertekad tidak menyerah meski melawan timnas Rusia yang jauh lebih maju daripada sepakbola kita," kata Saelan yang ditemui di Al Azhar, Kemang Raya, Jakarta, beberapa waktu lalu.
"Karena saya kapten timnas, maka saya harus bisa memimpin teman-teman di dalam dan luar lapangan. Saat pertandingan, peran pemainlah yang paling besar, makanya saya simpan baik-baik catatan pelatih itu," kata Saelan.
Harian Merdeka mencatat dengan apik laga timnas Indonesia yang bertarung melawan Rusia pada semifinal Olimpiade itu. Mereka menyebut timnas tak diisi pemain bola, tapi pahlawan. Harian merdeka juga mengutip AFP, yang mengambil judul'Indonesia gagah berani, Rusia main kasar'.
"Penonton di stadion turut mendukung timnas. Saat saya jatuh terlentang mereka meminta saya bangun lagi," kata Saelan.
Saelan dkk. sukses menahan imbang 'Beruang Merah' 0-0 pada waktu normal. Timnas masih sanggup menahan Rusia pada perpanjangan waktu dua kali 15 menit.
"Waktu itu belum ada peraturan yang dibuat kalau pertandingan seri dilanjutkan dengan sudden death tendangan penalti," kata Saelan.
Untuk menentukan pemenangnya, kedua tim harus melakukan pertandingan ulangan. Maka, kedua tim dijadwalkan kembali bertemu 36 jam kemudian. Sayang, timnas kandas dari Rusia 0-4.
"Mengenakan kaos timnas itu memang spesial, sangat istimewa. Kami bersyukur terpilih masuk timnas. Waktu itu kami tak dibayar. Tidur pun di bawah tribun penonton Stadion Ikada, yang sekarang berubah jadi Monas," kisah Saelan.
***
Empat tahun sesuah Olimpiade itu, Saelan memutuskan pensiun.
"Tepat 10 tahun saya di timnas, saya memutuskan pensiun. Kemudian saya masuk Tjakrabirawa," kata Saelan.
Dalam perjalanannya, karier Saelan di Tjakrabirawa melesat hingga dia menjabat sebagai wakil keomadan Tjakrabirawa, pasukan penjaga Presiden Sukarno, dan berpangkat kolonel CPM.
Dari Tjakrabirawa itu pula Saelan bisa kembali ke sepakbola. Kali ini dia tak lagi menjadi pemain atau pelatih lagi, Saelan diminta menjadi ketua umum PSSI.
Saat PSSI mencari ketua umum baru pada 1964, Presiden Soekarno menunjuk langsung Saelan. Rupanya leadership Saelan di timnas mengesankan Soekarno.
"Pak Karno minta saya jadi ketua umum PSSI, bagaimana saya bisa menolak," kata Saelan.
Pengalaman di olimpiade 1956 itu membuat Saelan bermimpi agar timnas Indonesia bisa bersaing di ajang olahrag terakbar sejagat empat tahunan itu. Dia tak ingin timnas sekedar numpang lewat di Olimpiade, timnas menjadi juara Asian Games bermain di Piala Dunia, Saelan pun menciptakan kompetisi usia muda: Piala Suratin.
"Pak Karno langsung yang meresmikannya. Sayang, kompetisi itu tinggal kenangan," kata Saelan mengomentari kompetisi usia muda yang kini memnag mati suri.
Keinginannya untuk melihat timnas berjaya di Olimpiade dan Piala Dunia belum terkabul hingga saat ini. Bahkan dia menilai saat ini timnas makin minim uji coba bermutu tinggi.
Saelan tak habis pikir kenapa timnas sulit berkembang. Faktor-faktor uji coba ke negara-negara jauh, baik eropa atau Amerika Selatan, yang zaman dahulu adalah sebuah perjalanan mewah kini sudah jamak dilakukan pegawai-pegawai kelas menengah.
Bikin paspor dan visa juga bukan lagi persoalan rumit. Para pemain masa kini juga diyakininya lebih melek teknologi. Jadi bisa mencari informasi perkembangan sepakbola dunia dengan lebih mudah.
"PSSI dulu menerbangkan timnas ke Rusia kemudian melanjutkan perjalanan dengan kereta api. Nah, di setiap kota yang dilewati kami singgah untuk menjalani uji coba," kata dia.
Saelan berharap mimpi tentang timnas itu bisa terwujud. Seperti saat dia menyimpan keinginan tampil di Olimpiade usai menyaksikan pelari Amerika Serikat Jesse Owens meraih empat medali emas dari Olimpiade 1936 Berlin.
Kini kondisi kesehatannya memaksa Saelan hampir tak pernah lagi datang langsung ke stadion untuk menyaksikan pertandingan. Tapi semangat untuk terus mendukung kebangkitan prestasi sepakbola Indonesia tak pernah luntur dari dirinya. "Cukuplah saya menyaksikan timnas lewat televisi."
"PSSI sekarang terlalu rumit. Perlu revitalisasi untuk memperbaiki kondisi yang ada," kata Saelan berpesan.
***
Pernah dimuat di detikSport, 23 September 2013. Foto-foto dok. detikSport
Pria sepuh berpeci dan berkaca mata itu tak berhenti tersenyum saat menatap salinan surat kabar berukuran A3. Maulwi Saelan tak menyangka bisa melihat lagi lembaran dengan namanya ditulis besar-besar di halaman satu harian Merdeka.
Begitulah kalimat pembuka artikel berjudul "Sensasi terbesar selama Olimpiade: Indonesia Paksa Rusia Main Seri 0-0".
Ejaan lama--dengan y yang masih ditulis dengan j--, kertas buram yang mulai menguning, serta halaman minim foto itu menunjukkan koran tersebut tak terbit 30 November di era sekarang. Ya, halaman itu, pada sebuah pertandingan semifinal olimpiade foto yang ada hanya pas foto wajah Ramang, Chairudin, Rasjid, dan Witarsa. Saelan masih terekam dengan aksi atraktifnya. Dia sedang dalam upaya menangkap bola.
Dilihat tanggal terbit, usia koran itu setara orang-orang menyambut pensiun, yakni 57 tahun lampau. Tapi ingatan Saelan, 85, masih menyimpannya. Tidak cuma membuatnya tersenyum tapi juga ada sebuah harapan tinggi yang tersimpan sampai saat ini dan ingin sekali dikabulkan oleh para pesekabola-pesepakbola muda masa kini.
***
Saelan memang tak lagi turun ke lapangan. Alih-alih untuk kembali ke PSSI yang jadi rebutan orang-orang sampai saat ini, Saelan tak lagi menyaksikan sepakbola live di stadion.
Tapi, kondisi itu tak membuatnya lupa manis pahit menjadi pemain, dari klub sampai bagian timnas. Juga menjadi ketua umum PSSI periode 1964.
Bahkan masa-masa pahit dibui selama lima tahun dengan tuduhan terlibat G30 S PKI sebagai wakil komandan Tjakrabirawa pun tak cukup kuat menghapus kenangan manis bersama pasukan Garuda waktu itu.
Serpihan kenangan-kenangan itu dinikmati dia lewat berbagai dokumentasi saat membela timnas dan menjadi pengurus PSSI. Kenangan paling membahagiakan terjadi di tahun 1956.
Tanda yang amat jelas ditunjukkan Saelan.
Senyumnya saat melihat lembaran koran tua tadi berubah menjadi tawa kecil ketika cerita bergulir tentang sukses timnas mencapai semifinal Olimpiade 1956 Melbourne.
Sembari bercerita, Saelan membuka koleksi foto hitam putih saat dia masih menjadi salah satu pemain timnas. Dia juga memperlihatkan koleksi buku bersampul kain batik dan berlogo garuda yang berisi skuat timnas plus rencana uji coba setahun yang bakal dilakoni tim bentukan PSSI yang dipimpin Maladi itu.
Saelan kemudian memamerkan koleksi catatan tangan pelatih timnas waktu itu, Toni Pogacnik, dari Yugoslavia. isinya soal taktik dan rencana detail timnas.
"Saya sekaligus menjadi kapten tim saat itu. Kami bertekad tidak menyerah meski melawan timnas Rusia yang jauh lebih maju daripada sepakbola kita," kata Saelan yang ditemui di Al Azhar, Kemang Raya, Jakarta, beberapa waktu lalu.
"Karena saya kapten timnas, maka saya harus bisa memimpin teman-teman di dalam dan luar lapangan. Saat pertandingan, peran pemainlah yang paling besar, makanya saya simpan baik-baik catatan pelatih itu," kata Saelan.
Harian Merdeka mencatat dengan apik laga timnas Indonesia yang bertarung melawan Rusia pada semifinal Olimpiade itu. Mereka menyebut timnas tak diisi pemain bola, tapi pahlawan. Harian merdeka juga mengutip AFP, yang mengambil judul'Indonesia gagah berani, Rusia main kasar'.
"Penonton di stadion turut mendukung timnas. Saat saya jatuh terlentang mereka meminta saya bangun lagi," kata Saelan.
Saelan dkk. sukses menahan imbang 'Beruang Merah' 0-0 pada waktu normal. Timnas masih sanggup menahan Rusia pada perpanjangan waktu dua kali 15 menit.
"Waktu itu belum ada peraturan yang dibuat kalau pertandingan seri dilanjutkan dengan sudden death tendangan penalti," kata Saelan.
Untuk menentukan pemenangnya, kedua tim harus melakukan pertandingan ulangan. Maka, kedua tim dijadwalkan kembali bertemu 36 jam kemudian. Sayang, timnas kandas dari Rusia 0-4.
"Mengenakan kaos timnas itu memang spesial, sangat istimewa. Kami bersyukur terpilih masuk timnas. Waktu itu kami tak dibayar. Tidur pun di bawah tribun penonton Stadion Ikada, yang sekarang berubah jadi Monas," kisah Saelan.
***
Empat tahun sesuah Olimpiade itu, Saelan memutuskan pensiun.
"Tepat 10 tahun saya di timnas, saya memutuskan pensiun. Kemudian saya masuk Tjakrabirawa," kata Saelan.
Dalam perjalanannya, karier Saelan di Tjakrabirawa melesat hingga dia menjabat sebagai wakil keomadan Tjakrabirawa, pasukan penjaga Presiden Sukarno, dan berpangkat kolonel CPM.
Dari Tjakrabirawa itu pula Saelan bisa kembali ke sepakbola. Kali ini dia tak lagi menjadi pemain atau pelatih lagi, Saelan diminta menjadi ketua umum PSSI.
Saat PSSI mencari ketua umum baru pada 1964, Presiden Soekarno menunjuk langsung Saelan. Rupanya leadership Saelan di timnas mengesankan Soekarno.
"Pak Karno minta saya jadi ketua umum PSSI, bagaimana saya bisa menolak," kata Saelan.
Pengalaman di olimpiade 1956 itu membuat Saelan bermimpi agar timnas Indonesia bisa bersaing di ajang olahrag terakbar sejagat empat tahunan itu. Dia tak ingin timnas sekedar numpang lewat di Olimpiade, timnas menjadi juara Asian Games bermain di Piala Dunia, Saelan pun menciptakan kompetisi usia muda: Piala Suratin.
"Pak Karno langsung yang meresmikannya. Sayang, kompetisi itu tinggal kenangan," kata Saelan mengomentari kompetisi usia muda yang kini memnag mati suri.
Keinginannya untuk melihat timnas berjaya di Olimpiade dan Piala Dunia belum terkabul hingga saat ini. Bahkan dia menilai saat ini timnas makin minim uji coba bermutu tinggi.
Saelan tak habis pikir kenapa timnas sulit berkembang. Faktor-faktor uji coba ke negara-negara jauh, baik eropa atau Amerika Selatan, yang zaman dahulu adalah sebuah perjalanan mewah kini sudah jamak dilakukan pegawai-pegawai kelas menengah.
Bikin paspor dan visa juga bukan lagi persoalan rumit. Para pemain masa kini juga diyakininya lebih melek teknologi. Jadi bisa mencari informasi perkembangan sepakbola dunia dengan lebih mudah.
"PSSI dulu menerbangkan timnas ke Rusia kemudian melanjutkan perjalanan dengan kereta api. Nah, di setiap kota yang dilewati kami singgah untuk menjalani uji coba," kata dia.
Saelan berharap mimpi tentang timnas itu bisa terwujud. Seperti saat dia menyimpan keinginan tampil di Olimpiade usai menyaksikan pelari Amerika Serikat Jesse Owens meraih empat medali emas dari Olimpiade 1936 Berlin.
Kini kondisi kesehatannya memaksa Saelan hampir tak pernah lagi datang langsung ke stadion untuk menyaksikan pertandingan. Tapi semangat untuk terus mendukung kebangkitan prestasi sepakbola Indonesia tak pernah luntur dari dirinya. "Cukuplah saya menyaksikan timnas lewat televisi."
Apa kata Saelan soal PSSI saat ini? Ada dualisme liga dan pengurus.
"PSSI sekarang terlalu rumit. Perlu revitalisasi untuk memperbaiki kondisi yang ada," kata Saelan berpesan.
***
Pernah dimuat di detikSport, 23 September 2013. Foto-foto dok. detikSport
Tidak ada komentar:
Posting Komentar