Kamis, 31 Maret 2016

Darah Olahraga Mainaky Bersaudara

Jika diusut, darah olahraga memang sudah mengalir deras di tubuh Mainaky dan semuanya bermula dari kakek mereka, Weuhelman. Berdarah campuran Jerman dan Belanda, Weuhelman adalah pemain sepakbola. Tujuh bersaudara Maniaky lahir setelah anak perempuan Weuhelman yang bernama Venna menikah dengan Jantje Rudolf Mainaky.


Meski menggeluti sepakbola, Weuhelman justru mendorong cucu-cucunya bermain bulutangkis. Salah satu pendorongnya adalah karena Jantje Rudolf Mainaky menggemari cabang olahraga tepok bulu tersebut.

"Ayah itu orang bilang sportman. Dia itu bisa atletik, dari lempar lembing, tolak peluru lari 200 meter bagus. Voli juga bisa, basket juga bisa. Dia juga seorang musisi dan sekolah bareng Enteng Tanamal," kisah Rexy.

Baca Juga: Mainaky Bersaudara Meraih Prestasi, Membibit Generasi

Hobi olahraga Jantje Rudolf Mainaky itu lantas ditularkan kepada anak-anaknya. Lari 12 kilometer menjadi menu rutin setiap hari sementara di akhir pekan ada tambahan lari cross country di Gunung Gamalama.

Mainaky bersaudara juga dilibatkan dalam pekerjaan rumah sehari-hari, seperti menimba air dan membangun plafon rumah. Rudy juga memberikan menu wajib yang tak biasa: dia 'memaksa' anak-anaknya memainkan botol bir dengan pergelangan tangan sesering mungkin.

Baca Juga: Generasi Kedua Mainaky Bersaudara

Beragam aktivitas tersebut pada awalnya diterapkan Jantje Rudolf Mainaky demi menghindarkan anak-anaknya dari terjerat pergaulan anak-anak muda Ternate yang doyan mabuk dan berkelahi.

Lapangan bulutangkis dibangun di belakang rumah yang berlokasi di Serunai, Ternate. Garis lapangan tanah dibikin dari bilah bambu. Meja pingpong dibuat agar anak-anak tak keluyuran di luar rumah, tapi justru bisa mengajak teman-teman singgah. Peralatan fitness juga dibuat sendiri.

Jantje Rudolf Mainaky tahu benar kalau bulutangkis adalah cabang olahraga yang punya peluang paling besar mengantarkan anak-anak lebih cepat berprestasi. Atas dasar itulah dia mulai lebih serius mengarahkan Richard dan adik-adiknya ke bulutangkis, bukan sepakbola, tinju atau karate seperti mayoritas penduduk Ternate.

Dukungan untuk menekuni bulutangkis juga didapatkan dari kakek. "Kakek tidak mau kami mengikuti jadi pemain bola. Dia justru sangat mendukung kami ke bulutangkis. Dialah yang merawat lapangan bulutangkis," kata Rexy.

Baca Juga: Richard Si Pembuka Jalan Mainaky Bersaudara


Namun, tak semua anak-anak mengikuti arahan Jantje Rudolf Mainaky. Termasuk Rexy yang sempat condong ke sepakbola. Lapangan bulutangkis di belakang rumah itu justru sering menjadi arena bermain bola. Weuhelman yang tak terima lapangannya rusak sering dibuat marah dan tak segan dia mengguyur anak-anak dengan air seni dari lantai dua.

Dari tujuh bersaudara keluarga Maniaky, cuma Marinus (anak pertama) Valentina (anak keenam) yang tak bermain bulutangkis. Sementara lima lainnya benar-benar tumbuh dan menghabiskan waktunya di cabang olahraga tersebut.

Pilihan itu terbukti tidak salah karena mereka masing-masing memiliki cerita sukses sendiri. Kisah yang kini menjadi dongeng di cafe-cafe sampai warung kopi tubruk pinggir jalan. (Habis)

Pernah dimuat di detikSport pada Hari Olahraga Nasional 9 September 2013

Richard Si Pembuka Jalan Mainaky Bersaudara

Meski menjadi anak kedua dari pasangan Jantje Rudolf Mainaky dan Venna Heuvelman, Richard Mainaky punya tugas dan peran sebagai pemimpin bagi adik-adiknya. Dia sekaligus teladan bagi adik-adik yang kemudian berprofesi serupa.
 
 Foto: PBSI

Richard menjadi 'pemimpin' setelah kakaknya, Marinnus Thomas Mainaky, memutuskan untuk menjaid pendeta. Richardlah yang kemudian menjadi tumpuan untuk meneruskan hobi Rudolf.

Dialah yang mula-mula bermain untuk Maluku. Richard pula yang pertama-tama menjejakkan kaki di Jakarta. Richard juga yang menjadi Mainaky pertama yang mencicipi pelatnas.

Kemudian pensiun dan memilih menjadi pelatih. "Richard itu pembuka jalan buat kami," kata Rexy Mainaky.

Richard pensiun pada 1994. Setelah tak lagi menjadi pemain dia pulang ke klub asal, di PB Tangkas. Lima tahun kemudian Christian Hadinata memintanya untuk menjadi pelatih di pelatnas.

Baca Juga: Richard Mainaky Menyusun Origami dengan Tangan Besi

Hingga saat ini tangan dinginnya sudah menghasilkan gelar juara dunia, All England dan perak Olimpiade. Pencapaian memuaskan terjadi tahun ini. Richard sukses mengantarkan Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir menjadi juara dunia dan All England.

"Perolehan Rexy sebagai pemain jauh lebih bagus daripada yang saya dapatkan. Tapi saya bersyukur bisa mendapatkan prestasi-prestasi impian itu saat jadi pelatih," kata Richard.

Kini Richard berharap putri satu-satunya bsia menjadi pemain hebat pula.

"Saya tak pernah lembek meskipun kepada anak sendiri. Dia sering menangis dengan pola latihan yang saya berikan, tapi dia menyadari kalau mau jadi pemain hebat memang harus sungguh-sungguh," kata Richard. (Bersambung)

Baca Juga: Mainaky Bersaudara: Meraih Prestasi, Membibit Generasi

Baca Juga: Generasi Kedua Maniaky Bersaudara

Rabu, 30 Maret 2016

Generasi Kedua Mainaky Bersaudara

Lima Mainaky bersaudara memberi prestasi untuk negeri ini. Mereka juga telah melakukan pembibitan dengan menjadi pelatih. Generasi Mainaky berikutnya bisa jadi akan muncul dalam beberapa tahun mendatang.


Faktanya, Richard, Riony, Marlev dan Karel juga memoles anak-anak mereka sendiri. Marlev malah coba-coba membangun perkumpulan bulutangkis Putra Mainaky.

"Anggotanya baru lima orang. Mereka anak-anak saya sendiri dan Riony. Orang sudah terlanjur tahu kalau Mainaky identik dengan bulutangkis, kami ingin berpartisipasi membantu perkembangan bulutangkis Indonesia," kata Marlev, yang untuk sementara perkumpulan bulutangkis miliknya itu masih menyewa tempat di kawasan Cibubur.

Baca Juga: Mainaky Bersaudara: Meraih Prestasi, Membibit Generasi


Putri semata wayang Richard Mainaky, Nathalia, juga mulai adu kepiawaian di kelompok umur taruna saat ini. Kendati baru memulai bulutangkis di usia 17 tahun, Richard menilai itu belumlah terlambat.

"Kalau benar-benar serius, tidak ada kata terlambat," kata Richard menyemangati putri hasil pernikahan dengan Meike Paruntu tersebut.

Awalnya Natalia merasa berat saat harus mengenakan Mainaky di kostum bertandingnya. Namun seiring penampilannya yang membaik, dia mulai terbiasa.

Kedua putra Rexy justru yang tak bermain di bulutangkis. Geraldine dan Christian Rudolf memilih fokus sebagai pelajar.

"Meski kemudian ada penyesalan tapi prestasi mereka di sekolah bagus. Mereka baru tahu kalau ayahnya bisa melatih. Mereka dulu keberatan memakai nama Mainaky," kata Rexy. (Bersambung)

Pernah dimuat di detikSport bertepatan Hari Olahraga Nasional 9 September 2013

Mainaky Bersaudara: Meraih Prestasi, Membibit Generasi

Mainaky bersaudara pernah memberi banyak gelar buat Indonesia di era 1990 sampai paruh awal 2000-an. Di era upaya membangkitkan lagi bulutangkis Indonesia, mereka kini bertugas membibit generasi.



Kemarau gelar yang harus dialami bulutangkis Indonesia membuat PB PBSI berbenah. Ketua Umum baru, Gita Wirjawan, menepati janji membangun kepengurusan dan barisan pelatih yang ideal, Gita membeberkan nama-nama yang tak biasa di kepengurusan.

Salah satunya mendudukkan Rexy Mainaky sebagai kepala bidang pembinaan dan prestasi PB PBSI. Posisi yang menjadikan menentukan bagaimana prestasi bulutangkis Indonesia di masa datang.

Penunjukkan lain yang dilakukan di kepengurusan saat ini adalah munculnya tiga nama bermarga Mainaky: Richard, Riony dan Marlev. Kembalinya para mantan pebulutangkis yang pernah memberi prestasi bagi olahraga tepok bulu nasional itu dianggap melegakan oleh beberapa pihak, tapi sebagian menanggapinya dengan miring, menganggapnya ada KKN.

"Kami di sini karena kualitas," kata Richard sebagai yang tertua menegaskan.

Terkait keluarga Maniaky, Rexy adalah yang paling punya prestasi mentereng dengan prestasi tertinggi berupa medali emas Olipiade 1996. sementara Marleve Mainaky pernah menjadi juara Indonesia Terbuka 2001.

Terkait peran di dunia kepelatihan Richard bukan lah wajah baru karena sejak 1997 dia menjadi tukang racik ganda campuran. Torehan prestasinya membanggakan. Anak didiknya menjadi langganan penyumbang medali emas Kejuaraan Dunia, All England dan perak Olimpiade.

Riony juga bukan pelatih medioker. Tangan dinginnya membuat bulutangkis Jepang kembali disegani saat dia merantau menjadi pelatih di sana. Marlev juga pernah dipercaya menangani tunggal putra di kepengurusan sebelumnya.

Kualitas Rexy sudah terbukti di Inggris dan Malaysia. Tak hanya empat kakak adik itu yang piawai membesut tim. Si bungsu, Karel, juga didapuk menjadi pelatih Jepang. (Bersambung)

Pernah dimuat di detikSport bertepatan Hari Olahraga Nasional 9 September 2013

Sandow Mendobrak Gaya Kuno Lifter Nasional

Sandow Weldemar Nasution, 32 tahun, mempunyai cara agar profesi sebagai lifter dianggap keren dan kekinian. Sulung dari dua bersaudara itu mempunyai cara mendobrak gaya kuno atlet angkat besi tanah air.


Sandow tak pernah peduli dengan anggapan publik yang masih memandang sebelah mata angkat besi. Dia justru tertantang menjadikan olahraga itu bisa dinikmati anak-anak gaul dan jadi gaya hidup kalangan muda.

Maka, Sandow tak mau tampil biasa-biasa saja. Dia amat kekinian dan punya penampilan yang dibilang anak-anak muda saat ini sebagai penampilan keren. Macam David Beckham atau Lionel Messi di sepakbola.

"Saya bikin tato dan banyak tindik, dan ikut balapan demi mengangkat pamor angkat besi," kata Sandow.

Baca Juga: Gagang Sapu yang Melanjutkan Dinasti Angkat Besi Nasution

Baca Juga: Keluarga Nasution, Deby Susanti Kabilaha, Pelopor Angkat Besi Putri


Sandow kini mempunyai enam tato dan 11 piercing. Uniknya, sebagian tato itu dibuat sebagai penanda even yang diikuti. Motifnya sih memang tak nyambung satu sama lain, alumni Univeristas Gunadarma tersebut merajah tubuhnya setiap kali ikut serta pada even besar seperti SEA Games atau Olimpiade.

Sementara soal tindikan, dia membuat sesuka suasana hati saja. Di telinga, bibir atau alis, Sandow tak butuh nunggu event khusus.

Kesukaan Sandow terhadap tato dan piercing tak dihalangi kedua orang tuanya, Sori Enda Nasution dan Deby Susanti Kabilaha.

Sandow memang sempat takut kedua orang tuanya bakal marah besar dengan tato pertama. Sori Enda dan Deby Susanti ternyata 'cuma' kaget saat pertama melihat namun kemudian santai saja dengan pilihan anaknya. Toh prestasi Sandow sepadan dengan gayanya.

"Saya sudah tunjukkan kepada teman-teman yang pernah meledek saat saya mencoba angkat besi dahulu kala. Dari angkat besi kehidupan saya bisa lebih baik daripada mereka," kata Sandow, yang hasil pernikahannya dengan Maxima Rizado menghasilkan buah hati laki-laki bernama Sabrio Haidar Mengga Nasution.

"Saya ingin jadi role model buat lifter Indonesia," kata pria yang berulang tahun setiap 2 Maret 1981 tersebut.

Saking gemesnya dengan penampilan teman-temannya di angkat besi yang setia dengan gaya jadul dan apa adanya Sandow tak segan menggertak para juniornya. "Saya bilang saja: penampilan seperti kamu itu sudah ada sejak angkat besi 1980-an, gaya sedikit," kata Sandow.

Selain hobi melukis tubuh dan piercing, Sandow punya kegemaran lain khususnya pada bidang otomotif. Selain kerap berganti mobil, kegiatan lainnya di luar angkat besi adalah balap motor memodivikasi Vespa.

Sandow juga sohor di komunitas sepeda BMX. Ada 14 sepeda yang jadi koleksinya. Sejatnya freestyle BMX adalah hobi lamanya. Malah dia lebih senang sepeda BMX daripada angkat besi saat masih Sekolah Dasar. Kini dia juga sedang senang-senangnya mengulik dan memodifikasi RC.

Selasa, 29 Maret 2016

Keluarga Nasution, Deby Susanti Kabilaha, Pelopor Angkat Besi Putri

Sori Enda Nasution bukan sekadar mantan dan pelatih atlet angkat besi. Selain punya anak yang kini juga jadi lifter, Sori Enda juga memelopori cabang angkat besi putri, melalui istrinya sendiri, Deby Susanti Kabilaha.
 

Tak cukup dirinya sendiri menjadi lifter. Sori Enda atau akrab disapa Bang Ucok kemudian mencetak atlet angkat besi berprestasi melalui anaknya Sandow Weldemar Nasution.

Cukup itu saja? Tidak. Sori Enda juga menjadi pelopor munculnya cabang angkat besi nomor putri di Indonesia.

Untuk memunculkan atlet angkat besi putri jelas bukan perkara mudah karena dia harus menemukan sosok yang benar-benar menyukai olahraga tersebut. Sudah begitu--namanya juag pelopor--Sori Enda harus babat alas.

Pencarian Sori Enda ternyata tidak jauh-jauh karena yang jadi 'Kelinci Percobaan' tak lain adalah istrinya sendiri: Deby Susanti Kabilaha. Deby menjadi pembuka jalan mulai diperlombakannya event-event angkat besi nomor putri.

Baca Juga: Gagang Sapu yang Melanjutkan Dinasti Angkat Besi Nasution

Sori Enda berhasil membuat kelompok wanita dilombakan pada kejuaraan nasional angkat besi 1984. Bukan pekerjaan mudah waktu itu. Tentangan didapatkan dari ibu negara waktu itu, Tien Soeharto. Pakaian lifter putri dianggap tak sopan.

Perang di media pun terjadi. Deby santai menanggapi. Hingga kemudian dia memutuskan pensiun.

"Saya mundur setelah muncul lifter-lifter putri. Kan tujuan utama sudah terpenuhi," kata Deby.

Dinasti angkat besi Nasution tampaknya tak akan berhenti setelah Sandow pensiun. Sabrio  Haidar Mengga Nasution, cucu Sori Enda dan putra Sandow Weldemar Nasution, tampaknya mulai gandrung dengan angkat besi.

Setiap kali ditanya tentang pilihan masa depan, bocah berusia 3 tahun itu dengan lantang memilih angkat besi daripada menembak seperti ibundanya, Maxima Rizado.

"Saya sih terserah anaknya. Tidak ada paksaan, kata Dodo," sapaan karib Maxima Rizado.

Sandow malah ingin Sabrio jauh-jauh angkat besi. Deraan cedera punggung dan porsi latihan keras setiap hari menjadi pertimbangan. "Balapan motor saja," kata Sandow.

Pernah dimuat di detikSport bertepatan dengan Hari Olahraga Nasional 9 September 2013

Gagang Sapu yang Melanjutkan Dinasti Angkat Besi Nasution

Sori Enda Nasution tak bisa menutupi kegembiraannya siang itu. Putra sulungnya, Sandow Weldemar Nasution, pulang dan menceritakan pengalaman yang tak biasa.

 

"Ayah, saya bisa angkat besi," kata Sandow kecil. Kalimat pendek itu benar-benar melekat di ingatan Bang Ucok, sapaan karib Sori Enda Nasution, meski kini kejadian tersebut sudah lewat berpuluh tahun lamanya.

Di luar mereka yang berkutat di cabang angkat besi, nama Sori Enda Nasution mungkin kurang familiar terdengar. Padahal pria itu adalah salah satu lifter terbaik yang pernah dipunya Indonesia dengan prestasi di antaranya menembus empat besar Olimpiade Los Angeles 1984. Dalam beberapa tahun terakhir Sori Enda Nasution berada di belakang layar, menjadi pelatih yang memunculkan atlet-atlet berkaliber medali Olimpiade dan Asian Games seperti Fatmawati, Erwin Abdullah dan Heri Setiawan.

Soal anaknya yang akhirnya mau berlatih angkat besi, Sori Enda memang pantas bersuka cita. Maklum, sebelumnya Sandow terlihat kurang berminat ikut latihan angkat besi, yang tempat latihannya berada di rumahnya sendiri. Sori Enda justru membimbing lifter dari daerah lain: titipan provinsi untuk PON ataupun pelatnas ke SEA Games.

Sandow kecil pada awalnya lebih senang menghabiskan waktu bermain freestyle dengan sepeda BMX-nya. Rumahnya yang tak jauh dari sekolah olahraga Ragunan, Jakarta memudahkan kakak Sendy Nasution itu menemukan kawan ber-freestyle.

"Tapi lingkungan memang jadi faktor penting buat anak-anak. Bagaimana saya bisa melepaskan diri dari angkat besi kalau ke depan, ke belakang ke samping kanan atau kiri, seluruh isi rumah membicarakan angkat besi," kisah Sandow menceritakan awal dia mau ikut latihan angkat besi.

Di rumah itu Sori Enda memang sudah menelurkan lifter berkualitas. Fatmawati, Erwin Abdullah dan Heri Setiawan adalah sedikit nama atlet angkat besi andalan Merah Putih yang dibesutnya.

"Saya justru mulai mengangkat besi bukan dari ayah. Pelatih-pelatih lain yang mengajarkannya," lanjut Sandow.

"Ayah sudah mengajarkan angkat besi sejak kecil. Tidak langsung, tapi pakai gagang sapu. Dia mengajarkan teknik-teknik yang benar," sahut Sandow mengenang masa kecilnya.

Totalitas Sandow di cabang angkat besi bisa dibilang mulai muncul saat kelas 1 SMA. Melihat anaknya punya bakat, Sori Enda menanyakan keseriusan putra pertamanya itu. "Saya tantang dia untuk ikut kejuaraan nasional junior. Eh, dia dia siap," kenang Sori Enda.

Kejuaraan nasional junior itu lantas jadi titik awal karier Sandow di cabang olahraga angkat besi. Sandow yang lahir tahun 1981 mulai bisa menikmati ketegangan yang dia rasakan saat belakang dan di atas panggung perlombaan. Lama-lama dia ketagihan mengisi skuat pelatnas.

Jalan yang dipilih Sandow sebagai seorang lifter terbukti tak salah. Dia merebut dua medali emas di SEA Games 2005 dan 2007 saat turun di kelas 77 kg. Sementara di kejuaraan Asia tahun 2007 dia sukses merebut medali perak. Langkah Sandow berikutnya adalah Olimpiade.

Keberhasilan Sandow lolos ke Olimpiade kembali memunculkan keharuan besar dalam diri sang ayah. Apa yang dia lakukan di Olimpiade Los Angeles tahun 1984 diulangi anaknya di Beijing 2008.

Sori Enda Nasution dan Sandow Weldemar Nasution bukan keluarga Nasution pertama yang berkiprah di cabang angkat besi dan memberi prestasi pada negeri ini. Di tahun 1960 Indonesia memiliki Asber Nasution, yang tak lain adalah paman dari Sori Enda Nasution.

Sama seperti Sori Enda dan Sandow Weldemar, Asber juga pernah berlaga di Olimpiade. Dia menjadi wakil Merah Putih pada Olimpiade 1960 di Roma. Atas torehan-torehan bersejarah yang dicatatkan, namanya bahkan diabadikan menjadi nama GOR Asber Nasution di Tebing Tinggi, Sumatera Utara.










Pernah dimuat di detikSport bertepatan Hari Olahraga Nasional 9 September 2013

Generasi Sepakbola dalam Keluarga Harry Tjong: Antara Kebanggaan dan Harapan

Tak banyak kisah pesepakbola nasional yang memiliki anak yang kemudian juga merintis karier di atas lapangan hijau. Pada anaknya Andro Levandy dan Adixi Lenzivio, Adityo Dharmadi--menantu Harry Tjong--menyimpan kebangaan dan harapan.


Adityo Dharmadi adalah salah satu anggota skuat Merah Putih saat berhasil menduduki posisi empat Asian Games 1986 di Seoul dan merebut emas di SEA Games 1987. Belasan tahun setelah menggeluti sepakbola dia kini menjadi pegawai di Jamsostek.

Tapi seperti mantan pesepakbola lainnya, Adityo tak pernah sepenuhnya bisa lepas dari olahraga yang membesarkan namanya itu. Apalagi dua anaknya Andro Levandy dan Adixi Lenzivio kini juga berkarier sebagai pesepakbola.

Andro memperkuat PS Sumbawa Barat di Divisi Utama Liga Indonesia, sementara adiknya Adixi Lenzivio (21 tahun) kini memperkuat Persija Jakarta U-21 dan berposisi sebagai kiper.

Fakta itu membuat Aditya menjadi satu dari sedikit mantan pemain bola yang mempertahankan silsilah sepakbola dalam keluarganya. Ya, di Indonesia tak banyak pesepakbola yang menurunkan profesinya ke anak. Padahal ya tidak ada pesan khusus dari sang mertua yang mantan pemain bola top, Harry Tjong, untuk merawat darah sepakbola itu.

 Baca Juga: Harry Tjong dan Dua Generasi Sepakbolanya

Selain Adityo, nama Rully Nere juga menjadi salah satu pasangan bapak-anak yang berprofesi sebagai pesepakbola. Putra Rully, Mitchel juga menjadi pesepakbola.

"Karena jarang ada anak seorang pemain sepakbola yang juga jadi pesepakbola, maka saya punya satu kebanggaan tersendiri," ucap Adityo.

Helena juga tak kalah bangga. Saat ngumpul-ngumpul sesama istri pensiunan pemain bola, dia sering kali mendapatkan selamat dari teman-temannya. Malah tak sedikit yang menunjukkan harapan serupa.

"Dinda Darmawan (istri Rahmad Darmawan, Red) salah satunya. Dia pernah bilang, senang ya anaknya ikut jadi pemain bola," kata Helena.

Setelah anak-anaknya sudah sukses mencapai prestasi di level junior, Adityo berharap kedua putranya bisa menuai prestasi yang lebih tinggi dari.

"Harapannya mereka bisa mengukir prestasi lebih tinggi dari yang pernah saya raih. Si kakak sudah hampir masuk timnas, tapi gagal karena mengalami cedera," ungkap Adityo.

Sadar dengan mimpi Adityo, Andro dan Adiksi tak merasa terbebani.

"Pelatih tidak melihat latar belakang kami putra atau cucu siapa. Performa di lapangan menjadi penilaian utamanya. Tapi, hal itu malah menjadi motivasi yang lebih buat kami agar bisa berprestasi lebih tinggi," jelas Adixi.

Pernah dimuat di detikSport bertepatan Hari Olahraga Nasional 9 September 2013

Senin, 28 Maret 2016

Harry Tjong dan Dua Generasi Sepakbolanya

DNA sepakbola Harry Tjong kental menurun pada dua cucunya Andro Levandy dan Adixi Lenzivio. Di rumah, mereka menjadikan sepakbola sebagai diskusi keluarga, bersama ayahnya yang juga eks timnas, Adityo Dharmadi.


Sepakbola selalu menjadi topik pembicaraan hangat dan sudah menjadi rutinitas buat keluarga Adityo Dharmadi. Di rumah yang kental dengan nuansa Persija Jakarta itu -- dengan dinding dan sofa ruang tamu berwarna oranye -- Helena, sang ibu, bahkan kerap nimbrung meramaikan pembicaraan.

Andro Levandy saat ini memperkuat PS Sumbawa Barat di Divisi Utama Liga Indonesia, sementara adiknya Adixi Lenzivio (21 tahun) kini memperkuat Persija Jakarta U-21 dan berposisi sebagai kiper. Mereka adalah cucu Harry Tjong, mantan kapten tim nasional Indonesia di era 1960-an. Nama Harry Tjong di tahun 1990-an juga sempat kembali mencuat saat dia dipercaya menjadi pelatih kiper tim Primavera yang berlatih jauh ke Italia.

Darah dan hasrat sepakbola Andro serta Adixi jelas datang dari kakeknya, yang menurun pada mereka melalui sang ibu. Dan itu makin diperkental karena ayahnya juga mantan penggawa timnas. Meski kini berstatus pegawai Jamsostek, Adityo Dharmadi adalah salah satu anggota skuat 'Merah Putih' saat berhasil menduduki posisi empat Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan. Ketika itu Indonesia kalah di tangan Kuwait pada perebutan peringkat ketiga, tim yang sama kemudian meraih medali emas SEA Games.

Diskusi keluarga membahas sepakbola kadang makin ramai kalau tetangga mereka ikut nimbrung. Tetangga yang dimaksud tak lain adalah Harry Tjong sendiri, yang rumahnya berada di depan kediaman Keluarga Adityo Dharmadi.

Soal dua anaknya yang kini menggeluti sepakbola, Adityo menyebut dirinya tidak pernah memaksakan hal tersebut. "Saya tak pernah mengarahkan anak-anak untuk menjadi pesepakbola. Tapi, sejak kecil mereka sudah menunjukan minatnya pada sepakbola," ucap mantan permain Persija Jakarta itu.

Andro dan Adiksi pun kompak memperkuat pernyataan itu. Keduanya juga sepakat menyebut kakek dan neneknya lah yang menjadi 'penular' gen sepakbola itu.

Yang pertama dibidik Harry Tjong untuk 'diracuni' sepakbola adalah Andro. Caranya adalah dengan memberikan iming-iming: Harry menyodorkan tujuh pasang sepatu yang dibawa langsung dari Italia.

"Sepatu itu dibawa saat opa pulang dari melatih Primavera di Italia. Saya disuruh milih satu dari tujuh sepatu itu. Saya pilih yang merk Line Seven warna hitam," ungkap Andro.

Berbekal sepatu tersebut latihan Andro di Menteng Junior makin giat dijalanin. Setelah Menteng Junior bubar dia pindah berlatih ke AS IOP. Di sana dia dilatih sendiri oleh Harry Tjong. Jurus iming-iming sepatu tak hanya digunakan pasangan Harry dan Evi kepada cucu pertama mereka. Adixi juga diberikan godaan serupa.

"Sering diajak oleh kakek latihan di SSB AS IOP akhirnya saya tertarik buat ikut latihan juga. Waktu itu masih kelas 3 SD. Malah oma yang memberikan sepatu pertama kepada saya. Saya lupa merk dan warnanya," timpal Adixi yang kini masih menjadi ketiga Persija itu.

Keputusan Andro menggeluti sepakbola mulai menunjukkan hasil saat dirinya lolos seleksi timnas U-16 pada tahun 2002. Pesepakbola yang terakhir membela PS Sumbawa Barat itu juga hampir lolos ke timnas U-23 untuk SEA Games 2007 di bawah arahan Foppe de Han.

"Tinggal sebentar lagi berangkat ke Belanda, saya kena cedera ligamen. Karena cedera itu saya harus absen satu tahun," jelas pemain yang juga pernah memperkuat Pelta Jaya, Persela Lamongan, dan Persiba Bantul itu.

Sementara itu, Adixi mengikuti jejak sang Ayah dengan membela tim Macan Kemayoran. "Empat tahun membela tim junior Persija, mulai tahun ini saya mulai mendapatkan kepercayaan di tim utama," ungkapnya.

Tuah profesi turun-temurun itu tak hanya didapatkan kelompok putra dari keluarga itu. Helena bisa bebas berkonsultasi kepada ayah dan ibunya saat kedua anaknya mendapatkan musibah. Seperti ketika Andor dibekap cedera parah hingga harus istirahat selama enam bulan dan menghapus trauma.

"Saya konsultasi kepada mama dan papa. Cedera bisa sembuh lebih cepat tapi traumanya itu bagaimana," kata Helena.

Menurut Andro, mamanya jugalah yang paling heboh saat dia masuk daftar seleksi timnas ke Belanda. Juga 'cerewet' menelpon saat harus jauh-jauhan dari rumah saat dipanggil ke Medan.

Harry Tjong tak hanya mengandalkan menantu untuk meneruskan generasi sepakbola. Putra pertamanya Eduward Tjong juga memilih karir sebagai pemain dan melanjutkan sebagai pelatih. Billy Tjong juga serupa. Meski sudah menjadi pegawai di Bank Indonesia, dia pernah tercatat menjadi kiper tim nasional Indonesia.

Pernah dimuat di detikSport bertepatan Hari Olahraga Nasional 9 September 2013

Kamis, 24 Maret 2016

Richard Mainaky Menyusun Origami dengan Tangan Besi

Sukses Praveen Jordan/Debby Susanto menjadi juara All England kembali membuktikan regenerasi sektor ganda campuran tak pernah berhenti. Juga sebuah panggung Richard Mainaky mempertontonkan kelihaian menyusun 'origami' dengan tangan besinya.

Sukses Praveen Jordan/Debby Susanto menjadi juara All England kembali membuktikan regenerasi sektor ganda campuran tak pernah berhenti. Juga sebuah panggung Richard Mainaky mempertontonkan kelihaian menyusun 'origami' dengan tangan besinya.

Kalau saja Richard Mainaky tidak mematuhi permintaan Christian Hadinata untuk pulang ke pelatnas bulutangkis, bisa jadi kini dia masih berprofesi sebagai debt collector. Bisa jadi tangan besi dan kesukaannya berkelahi belum berhenti. Bisa jadi Indonesia belum juga melahirkan juara dunia ataupun All England dari sektor ganda campuran.

Tapi faktanya, pemusatan latihan nasional (pelatnas) Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) seolah tak pernah kehabisan ganda campuran kelas dunia. Setelah Tri Kusharjanto/Minarti Timur muncul Flandy Limpele dengan Vita Marissa.

Kemudian Vita dipasangkan dengan Nova Widianto. Suatu ketika Vita cedera. Nova diduetkan dengan Liliyana Natsir. Di kemudian hari, Nova/Liliyana boleh dibilang jadi pasangan paling top yang dilahirkannya. Cuma setahun bersama-sama, mereka menjadi juara dunia 2005 kemudian meraihnya lagi di tahun 2007.

Nova pensiun. Apakah kemudian masa emas ganda campuran pelatnas di bawah komando Richard habis? Tidak. Liliyana dicarikan pasangan lain. Sempat gonta-ganti pemain prianya, Liliyana dipasangkan dengan Tontowi Ahmad. Mereka membuktikan lagi tangan dingin Richard dengan meraih, di antaranya, hattrick juara All England.

Ketika Tontowi/Liliyana mulai inkonsisten dan Olimpiade 2016 Rio de Janeiro di depan mata, PBSI sempat waswas. Tapi, Richard datang kepada pengurus teras dan meminta tenang: "Pak Richard membisikkan kepada saya, kalau Praveen dan Debby tinggal tunggu waktu. Sebentar lagi mereka juara," kata Achmad Budiharto, wakil sekretaris jenderal PP PBSI.

Richard tak cuma omong kosong. Praveen/Debby menjadi juara All England ketika wakil Indonesia lainnya rontok di babak awal.

Titel tersebut menyelamatkan muka Indonesia. Raihan itu juga menggagalkan lanjutan paceklik juara tahun lalu. Gelar juara Praveen/Debby itu sekaligus memberikan angin segar Indonesia menuju Olimpiade.

Titel itu juga membuktikan kalau Praveen/Debby adalah pasangan juara. Mereka membuktikan kalau diprediksi masih jauh dari gelar juara tinggallah. Ejekan sebagai pasangan 'nyaris juara' dan 'nyaris menang' yang sempat lekat kepada keduanya juga sudah pupus.

Richard memang menjadi sosok penting dalam menemukan dan membongkar pasang para pemain ganda campuran di pelatnas itu. Richard begitu piawai menyusun dan membongkar pasang para pemain itu seperti seorang penggubah origami. Dia membangun dari yang bukan apa-apa menjadi sesuatu, juga mengubah struktur yang tak dianggap menjadi menarik perhatian. Origami itu menjadi bernilai karena kemudian mendapatkan pengakuan di level dunia.

Cuma soal prestasi? Tidak. Richard juga seorang yang selalu berdiri paling depan untuk para anak asuhnya.

Begitu pula ketika tekanan lebih besar menerpa Debby. Posturnya yang mungil, juga bakatnya yang standar membuat Debby disebut-sebut tak bakal mendunia. Tapi Richard yang jadi tameng pertama dari haters dan fans yang mulai goyah mendukung pemainnya.

Richard amat bertanggung jawab kepada setiap keputusannya. Termasuk keputusan mengambil siapa saja untuk dipolesnya di sektor ganda campuran. Siapapun yang sudah dipilihnya akan dipoles hingga jadi pemain dunia.

Apa modal Richard?

"Terus terang saya amat mengandalkan insting. Awalnya saya tidak menyadari kalau memilikinya, tapi Pak Christian (Hadinata) memberikan kesempatan kepada saya untuk melihat sendiri talenta dari Tuhan itu," kata Richard.

20 tahun silam, pintu untuk Richard kembali berkecimpung ke bulutangkis terbuka kala Christian yang menjadi pelatih ganda campuran di pelatnas PBSI memintanya untuk 'pulang ke rumah'. Tanpa pikir panjang, Richard yang sudah tiga tahun meninggalkan bulu tangkis menyanggupinya.

"Waktu itu saya jadi debt collector he he he. Setelah pensiun dari pemain kan saya tidak punya pekerjaan. Apalagi pada dasarnya saya itu temperamental, suka berkelahi," kenang pria asal Ternate itu.

Bersama-sama dengan Christian menjadi pelatih dijadikan ajang 'sekolah' bagi Richard. Bagaimana mendekati dan memoles pemain dengan karakter yang berbeda-beda. Bagaimana cara memaksimalkan potensi pemain, bukan berfokus kepada kekurangannya.

Richard bahkan mengakui sistem kepelatihannya tergolong keras dan tanpa ampun. Baik pada durasi latihan ataupun metode yang diterapkannya.

"Dalam latihan saya bertangan besi. Tiada hari tanpa latihan. Tapi di sisi lain saya coba sentuh para pemain lewat perasaan mereka masing-masing," tutur pria 51 tahun itu memuka rahasia pendekatan kepada pemainnya.

Selain itu, Richard tak pernah berhenti melakukan inovasi. Misalnya membuat jaring di atas lapangan demi memaksa pemain agar tak terbiasa melakukan bola-bola tinggi juga berlatih di atas pasir.

Richard kemudian mencontohkan bagaimana insting, tangan besi, menyentuh perasaan, berfokus kepada kekuatan dan inovasinya itu diterapkan saat menemukan dan memoles Praveen/Debby.

Richard sudah mengincar Praveen sejak si pemain masih di PB Djarum. Bahkan, dia sudah menyusun skenario bakal memasangkan Praveen dengan Debby yang kala itu masih berduet dengan Mohammad Rizal.

Tapi dari banyak informasi Praveen adalah pemain yang mempunyai attitude kurang sip. Bersama PB Djarum, dia 'bersekongkol' untuk mereduksinya. Praveen tak ditarik ke pelatnas, tapi tetap diperam di klub. Kemudian diberi pendampingan khusus oleh Vita yang kebetulan pindah dari PBPB Tangkas ke Djarum.

Praveen dan Vita menjadi juara-juara di beberapa turnamen internasional. Barulah Richard mengajaknya ke pelatnas.

"Praveen mempunyai kelebihan. Kalau dia nyentrik itu wajar. Biasanya memang pemain yang mempunyai pukulan-pukulan unik adalah sosok-sosok yang nyentrik," ucap dia.

Beda lagi dengan Debby. Richard tak melihat keistimewaan permainan Debby, tapi kerja keras dan pantang menyerah yang selalu ditunjukkan si pemain membuat Richard kepincut. Bahkan postur mungil Debby justru dianggap kelebihan oleh Richard.

Debby menjadi pemain pelatnas lebih dulu. Dia masuk ke Cipayung sebagai pemain ganda putri. Richard memprediksi Debby tak bakal berkembang di sektor tersebut dengan posturnya yang mungil. Dia pun meminta kepada pelatih ganda putri agar Debby diserahkan kepadanya.

"Saya sudah tahu apa yang akan saya benahi. Kecepatan Debby dan manfaatkan keunggulannya yang pantang menyerah. Saya poles kecepatan dan defense dia," ucap Rihard.

"Saya percaya kalau bakat itu bisa dibentuk. Dengan bakatnya yang standar dan posturnya yang kecil tapi dia mau melakukan apa yang saya minta, Debby sudah membuktikannya," ujar dia.

Tapi pekerjaannya belum selesai. Setelah 20 tahun menjadi pelatih, dia dibuat penasaran dengan emas Olimpiade. Rio de Janeiro akan menjadi kesempatan terbaik untuk meraihnya. Mumpung kini ada dua ujung tombak dari sektor miliknya ke Brasil. Sekali lagi, tangan besi Richard Mainaky tengah diuji untuk mengubah takdir.

Rabu, 23 Maret 2016

Ketika Kebiasaan Praveen Jordan dan Debby Susanto Diungkap Ortu Mereka

Orang tua Praveen Jordan dan Debby Susanto ikut meramaikan acara pemberian bonus untuk pasangan pemenang All England itu. Mereka mengungkap kebiasaan Praveen dan Debby.


Acara pemberian bonus dari Djarum Bakti Olahraga Djarum Foundation kepada Praveen/Debby di Lounge XXI, Plaza Senayan, Jakarta Selasa (22/3/2016) siang, berlangsung dalam suasana haru, berubah meriah, mengharu lagi, juga bernuansa gelak tawa akibat kehadiran orang tua mereka.

Dalam acara itu, sempat diputar pula testimoni orang tua Praveen dan Debby mengenai masa kecil mereka. Seru, karena diputar di layar lebar lebar di hadapan media, perwakilan PB PBSI, para pemain muda PB Djarum, dan pemain-pemain legenda PB Djarum.

"Debby itu orangnya pantang menyerah sejak kecil. Dia sudah menunjukkan kalau dirinya memang tidak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya," tutur Sugiyanti Budiman, ibunda Debby.

"Saya ingat waktu itu dia menulis di atas kertas kalau suatu hari nanti akan naik podium lewat bulutangkis. Saya terenyuh. Soalnya waktu kecil dia sempat diremehkan sebagai pemain. Posturnya kan kecil, baru kenal bulutangkis juga di usia sepuluh tahun," sebutnya sambil menitikkan air mata.

Sang ayah Susanto Darmawan juga ingat pernah memberikan pilihan kepada Debby untuk terus bermain bulutangkis atau berhenti saja dengan kondisi seperti itu. debby menjawab dengan menuliskan jawaban di atas kertas. Di sana, di atas kertas itu, dia menulis 'menjadi atlet bulutangkis dan menjadi juara dunia'.

"Setiap kali mengalami kekalahan saya selalu bilang kepada dia kalau kekalahan hanyalah kemenangan yang tertunda. Kalau mau capek dan kerja lebih keras kemenangan tak akan ke mana," imbuh ayah Debby, Susanto Darmawan.

Faktanya, kini Debby sudah menjadi juara All England bersama-sama dengan Praveen. Mereka menjadi penyelamat muka Indonesia di ajang tersebut.

Suasana berubah hangat saat Herlinche Sinambela, ibunda Praveen, menuturkan kenakalan-kenakalan Praveen kecil. Juga kesukaannya akan lagu-lagu Christine Panjaitan.

"Praveen itu memang terkenal dengan smash kerasnya ya, maklum badannya kan besar begitu. Dari dulu memang dia suka makan. Dia dulunya tidak diduga akan jadi pemain bulutangkis, karena nggak bisa diem dan suka gangguin papanya melatih bulutangkis," ujar Herlinche yang langsung disambut gelak tawa tamu yang hadir.

Herlinche bahkan membeberkan rahasia Praveen yang diam-diam ternyata suka menangis kalau tiba-tiba rindu akan mamanya.

"Abang jangan suka nangis lagi ya kalau mama tinggal. Kalau nangis jangan suka pura-pura pilek," pesan sang mama kepada Praveen.

"Dibalik mukanya yang sangar, anak saya ini hatinya mellow banget," ungkap Herlinche.

Yang paling tak disangka-sangka adalah Praveen ternyata sangat menyukai lagu Christine Pandjaitan yang berjudul Katakan yang Sesungguhnya. Herlinche bahkan meminta Praveen untuk menyanyikan lagu tersebut di hadapan tamu acara yang tentu awalnya langsung ditolaknya.

Namun setelah dibujuk sang mama dan diajak berduet, Praveen akhirnya menyanyikan lagu tersebut beberapa bait. Sontak penonton pun langsung riuh dan bertepuk tangan.

Sang mama juga menjadi tempat curhat Praveen kala dirinya dilanda kegalauan soal prestasi di bulutangkis.

"Praveen pernah curhat di LINE sama saya, waktu itu dia belum berprestasi dan bilang mau berhenti saja main bulutangkis. Saya nasihati dia bahwa jangan menyerah, kamu sudah setengah jalan, waktumu masih panjang, masih muda. Kalau berusaha terus pasti bisa juara dan bisa rangking satu dunia dan juara olimpiade yang memang jadi keinginan terbesarnya dia," jelas Herlinche

Bagaimana kebiasaan mereka memberi oleh-oleh tiap kali mengikuti turnamen di luar negeri?

Sugiyanti mengatakan kalau Debby sudah amat paham dengan kesukaannya dengan fashion. "Ini oleh-oleh dari Debby pas All England kemarin," katanya sambil menunjukkan liontin kalung dan cincin di jari manis tangan kanannya.

Sementara Herlinche ibunda Praveen justru pasrah kalau soal oleh-oleh. "Dia malas kalau soal oleh-oleh. Paling banter dia baca cokelat," ungkap dia.