Sabtu, 24 September 2016

Maulwi Saelan: Penjaga Soekarno, Kenangan Olimpiade 1956, dan Impian yang Belum Terpenuhi

Maulwi Saelan, legenda kiper tim nasional sepakbola, menyimpan mimpi yang belum juga terpenuhi. Dia juga pernah dipenjara sebagai wakil ketua Tjakrabirawa, tim penjaga Presiden Soekarno. 


Pria sepuh berpeci dan berkaca mata itu tak berhenti tersenyum saat menatap salinan surat kabar berukuran A3. Maulwi Saelan tak menyangka bisa melihat lagi lembaran dengan namanya ditulis besar-besar di halaman satu harian Merdeka.

"Dengan semangat banteng jang menjala2 putera-putera Indonesia pertahankan bentengja. Saelan dan kawan2nja menarik sympati 100.000 penonton.”

Begitulah kalimat pembuka artikel berjudul "Sensasi terbesar selama Olimpiade: Indonesia Paksa Rusia Main Seri 0-0".

Ejaan lama--dengan y yang masih ditulis dengan j--, kertas buram yang mulai menguning, serta halaman minim foto itu menunjukkan koran tersebut tak terbit 30 November di era sekarang. Ya, halaman itu, pada sebuah pertandingan semifinal olimpiade foto yang ada hanya pas foto wajah Ramang, Chairudin, Rasjid, dan Witarsa. Saelan masih terekam dengan aksi atraktifnya. Dia sedang dalam upaya menangkap bola.

Dilihat tanggal terbit, usia koran itu setara orang-orang menyambut pensiun, yakni 57 tahun lampau. Tapi ingatan Saelan, 85, masih menyimpannya. Tidak cuma membuatnya tersenyum tapi juga ada sebuah harapan tinggi yang tersimpan sampai saat ini dan ingin sekali dikabulkan oleh para pesekabola-pesepakbola muda masa kini.

***

Saelan memang tak lagi turun ke lapangan. Alih-alih untuk kembali ke PSSI yang jadi rebutan orang-orang sampai saat ini, Saelan tak lagi menyaksikan sepakbola live di stadion.

Tapi, kondisi itu tak membuatnya lupa manis pahit menjadi pemain, dari klub sampai bagian timnas. Juga menjadi ketua umum PSSI periode 1964.

Bahkan masa-masa pahit dibui selama lima tahun dengan tuduhan terlibat G30 S PKI sebagai wakil komandan Tjakrabirawa pun tak cukup kuat menghapus kenangan manis bersama pasukan Garuda waktu itu.

Serpihan kenangan-kenangan itu dinikmati dia lewat berbagai dokumentasi saat membela timnas dan menjadi pengurus PSSI. Kenangan paling membahagiakan terjadi di tahun 1956.

Tanda yang amat jelas ditunjukkan Saelan.

Senyumnya saat melihat lembaran koran tua tadi berubah menjadi tawa kecil ketika cerita bergulir tentang sukses timnas mencapai semifinal Olimpiade 1956 Melbourne.

Sembari bercerita, Saelan membuka koleksi foto hitam putih saat dia masih menjadi salah satu pemain timnas. Dia juga memperlihatkan koleksi buku bersampul kain batik dan berlogo garuda yang berisi skuat timnas plus rencana uji coba setahun yang bakal dilakoni tim bentukan PSSI yang dipimpin Maladi itu.

Saelan kemudian memamerkan koleksi catatan tangan pelatih timnas waktu itu, Toni Pogacnik, dari Yugoslavia. isinya soal taktik dan rencana detail timnas.

"Saya sekaligus menjadi kapten tim saat itu. Kami bertekad tidak menyerah meski melawan timnas Rusia yang jauh lebih maju daripada sepakbola kita," kata Saelan yang ditemui di Al Azhar, Kemang Raya, Jakarta, beberapa waktu lalu.

"Karena saya kapten timnas, maka saya harus bisa memimpin teman-teman di dalam dan luar lapangan. Saat pertandingan, peran pemainlah yang paling besar, makanya saya simpan baik-baik catatan pelatih itu," kata Saelan.

Harian Merdeka mencatat dengan apik laga timnas Indonesia yang bertarung melawan Rusia pada semifinal Olimpiade itu. Mereka menyebut timnas tak diisi pemain bola, tapi pahlawan. Harian merdeka juga mengutip AFP, yang mengambil judul'Indonesia gagah berani, Rusia main kasar'.

"Penonton di stadion turut mendukung timnas. Saat saya jatuh terlentang mereka meminta saya bangun lagi," kata Saelan.

Saelan dkk. sukses menahan imbang 'Beruang Merah' 0-0 pada waktu normal. Timnas masih sanggup menahan Rusia pada perpanjangan waktu dua kali 15 menit.

"Waktu itu belum ada peraturan yang dibuat kalau pertandingan seri dilanjutkan dengan sudden death tendangan penalti," kata Saelan.

Untuk menentukan pemenangnya, kedua tim harus melakukan pertandingan ulangan. Maka, kedua tim dijadwalkan kembali bertemu 36 jam kemudian. Sayang, timnas kandas dari Rusia 0-4.

"Mengenakan kaos timnas itu memang spesial, sangat istimewa. Kami bersyukur terpilih masuk timnas. Waktu itu kami tak dibayar. Tidur pun di bawah tribun penonton Stadion Ikada, yang sekarang berubah jadi Monas," kisah Saelan.

***

Empat tahun sesuah Olimpiade itu, Saelan memutuskan pensiun.

"Tepat 10 tahun saya di timnas, saya memutuskan pensiun. Kemudian saya masuk Tjakrabirawa," kata Saelan.

Dalam perjalanannya, karier Saelan di Tjakrabirawa melesat hingga dia menjabat sebagai wakil keomadan Tjakrabirawa, pasukan penjaga Presiden Sukarno, dan berpangkat kolonel CPM.

Dari Tjakrabirawa itu pula Saelan bisa kembali ke sepakbola. Kali ini dia tak lagi menjadi pemain atau pelatih lagi, Saelan diminta menjadi ketua umum PSSI.

Saat PSSI mencari ketua umum baru pada 1964, Presiden Soekarno menunjuk langsung Saelan. Rupanya leadership Saelan di timnas mengesankan Soekarno.

"Pak Karno minta saya jadi ketua umum PSSI, bagaimana saya bisa menolak," kata Saelan.

Pengalaman di olimpiade 1956 itu membuat Saelan bermimpi agar timnas Indonesia bisa bersaing di ajang olahrag terakbar sejagat empat tahunan itu. Dia tak ingin timnas sekedar numpang lewat di Olimpiade, timnas menjadi juara Asian Games bermain di Piala Dunia, Saelan pun menciptakan kompetisi usia muda: Piala Suratin.

"Pak Karno langsung yang meresmikannya. Sayang, kompetisi itu tinggal kenangan," kata Saelan mengomentari kompetisi usia muda yang kini memnag mati suri.

Keinginannya untuk melihat timnas berjaya di Olimpiade dan Piala Dunia belum terkabul hingga saat ini. Bahkan dia menilai saat ini timnas makin minim uji coba bermutu tinggi.

Saelan tak habis pikir kenapa timnas sulit berkembang. Faktor-faktor uji coba ke negara-negara jauh, baik eropa atau Amerika Selatan, yang zaman dahulu adalah sebuah perjalanan mewah kini sudah jamak dilakukan pegawai-pegawai kelas menengah.

Bikin paspor dan visa juga bukan lagi persoalan rumit. Para pemain masa kini juga diyakininya lebih melek teknologi. Jadi bisa mencari informasi perkembangan sepakbola dunia dengan lebih mudah.

"PSSI dulu menerbangkan timnas ke Rusia kemudian melanjutkan perjalanan dengan kereta api. Nah, di setiap kota yang dilewati kami singgah untuk menjalani uji coba," kata dia.

Saelan berharap mimpi tentang timnas itu bisa terwujud. Seperti saat dia menyimpan keinginan tampil di Olimpiade usai menyaksikan pelari Amerika Serikat Jesse Owens meraih empat medali emas dari Olimpiade 1936 Berlin.

Kini kondisi kesehatannya memaksa Saelan hampir tak pernah lagi datang langsung ke stadion untuk menyaksikan pertandingan. Tapi semangat untuk terus mendukung kebangkitan prestasi sepakbola Indonesia tak pernah luntur dari dirinya. "Cukuplah saya menyaksikan timnas lewat televisi."

Apa kata Saelan soal PSSI saat ini? Ada dualisme liga dan pengurus. 

"PSSI sekarang terlalu rumit. Perlu revitalisasi untuk memperbaiki kondisi yang ada," kata Saelan berpesan.

***

Pernah dimuat di detikSport, 23 September 2013. Foto-foto dok. detikSport

Senin, 19 September 2016

PB Jaya Raya: Prakarsa Ali Sadikin, Pernah Nyaris Tutup, Lahirkan Juara Olimpiade


PB Jaya Raya merayakan ulang tahun ke-40 dengan peresmian gedung baru mereka. Ada pesan Ali Sadikin, berguru ke China, pernah nyaris tutup, juga gemasnya Ciputra melahirkan lagi juara olimpiade. 


PB Jaya Raya genap berusia 40 tahun pada 17 Juli tahun ini. Perayaan diundur dan dilaksanakan pada tanggal 15 September. Bukan tanpa alasan pesta ulang tahun itu diundur sampai dua bulan.

Pertama, pesta itu sekaligus dibarengkan dengan pelaksanaan turnamen rahunan PB Jaya Raya: Pembangunan Jaya Raya Yonex Sunrise Junior Grand Prix. Partai final digelar Minggu (18/9/2016).

Alasan kedua, pengunduran dari tanggal semestinya yang sekaligus menjadi alasan utamanya adalah dibarengkan dengan peresmian GOR Jaya Raya di Bintaro Jaya. Pesta ulang tahun pun sekalgus dihelat di lokasi GOR baru dengan kapasitas 16 lapangan tersebut.

GOR baru di Jalan Garuda, Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan itu akan mendampingi markas PB Jaya Raya selama ini, di GOR Rudy Hartono, kawasan Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Dalam penuturannya Ciputra menceritakan latar belakang dilahirkannya klub bulutangkis Jaya Raya itu, Beberapa mantan pemain dan pengurus klub juga mengenang fakta menarik tentang PB Jaya Raya.

Berikut catatan menarik PB Jaya Raya:

1. Dibentuk atas prakarsa Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin 

PB Jaya Raya lahir pada tahun 1976 atas prakarsa Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Dia meminta agar Ciputra yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Pembangunan Jaya untuk membina cabang olahraga sepakbola, atletik, dan bulutangkis. Ciputra memilih berfokus kepada bulutangkis.

"Alasan utama tentunya saya lebih mengenal bulu tangkis. Saat muda saya pernah jadi pemain. Kedua, saya mengenal tokoh-tokoh bulu tangkis saat itu seperti Rudy Hartono dan Ferry Sonneville. Yang ketiga, berdasar perhitungan bahwa dengan struktur tubuh orang Indonesia, olahraga ini lah yang paling berpeluang membawa nama daerah dan negara," tutur Ciputra, owner PB Jaya Raya.

2. Pernah nyaris tutup di tahun 1980-an

Karena goncangan ekonomi di tahun 1980-an, PB Jaya Raya nyaris tutup. Susy Susanti menjadi satu-satunya pebulutangkis yang tetap loyal. Bahkan, Ciputra sudah mengajak bicara kedua orang tua Susy terkait masa depan si pemain.

"Para pemain lain sudah pindah klub karena mendapat tawaran yang lebih bagus. Saya juga mendapatkan tawaran, bahkan sampai dijanjikan mobil. Namun, saya merasa berutang budi kepada Pak Ciputra. Karena itu, saya memilih bertahan karena tidak mau seperti kacang lupa kulitnya," tutur Susy.

Karena Susy pula, Ciputra akhirnya berupaya untuk terus mempertahankan Jaya Raya hingga kini mempunyai GOR baru.

3. Lebih dikenal sebagai kawah candradimuka pebulutangkis putri


Kendati banyak melahirkan para pemain top dari kelompok putra dan putri, PB Jaya Raya lebih dikenal sebagai produsen pemain-pemain putri. Padahal dua emas olimpiade yang diraih oleh pemain Jaya Raya dari kelompok putra. Mereka Candra Wijaya/Tony Gunawan dari Olimpiade Sydney 2000 dan Markis Kido/Hendra Setiawan pada Olimpiade Beijing 2008.

"Seperti sudah jadi sugesti publik ya kalau PB Jaya Raya itu sebagai penghasil pemain putri," kata Susy Susanti yang menyumbangkan emas pertama Indonesia dari olimpiade. Dia mendapatkannya pada Olimpiade Barcelona 1992.

"Sekarang ini dari mana pemain ganda putri terbaik Indonesia? Greysia Polii dan Nitya Krishinda dari Jaya Raya. Dari nomor tunggal dulu Adriyanti Firdasari, Bellaetrix Manuputty juga dari sini. Saya, Mia Audina, dan memang banyak pemain putri nasional berasal sini. Mungkin faktor itu penyebabnya," imbuh dia.

Selain medali emas, Susy dan Mia Audina mempersembahkan perak dan perunggu. Mia mendonasikan perak dari Olimpiade Atlanta 1996 dan perunggu diraih oleh Susy Susanti juga pada Olimpiade Atlanta 1996.

4. Mewajibkan para pebulutangkis tetap bersekolah

PB Jaya Raya bermarkas Ragunan dengan alasan salah satunya agar berada satu kompleks dengan SMP dan SMA Ragunan. Kini, mereka malah mempunyai kurikulum sendiri yang disusun oleh Sekolah Pembangunan Jaya, yaitu sekolah unggulan di wilayah Tangerang Selatan yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan Jaya, sebuah yayasan lain di bawah Pembangunan Jaya Grup yang bergerak di bidang pendidikan.

"Waktu itu papa mau saya jadi atlet bulutangkis tapi tetap bersekolah. Nah, di Jaya Raya ini mewajibkan para pemain bersekolah. Mereka memberikan fasilitas gratis sekolah. Malah sekarang sedang dirancang untuk kerja sama dengan universitas. Kan tidak semua pemain jadi juara," kata Adriyanti Firdasari yang kini menjadi pelatih di PB Jaya Raya.

Sementara itu, Ketua Harian PB Jaya Raya Imelda Wiguna, memastikan para pemain mendapatkan ijazah yang dilegalisir oleh Dinas Pendidikan meskipun kurikulum yang dirancang berbeda dengan sekolah reguler.

"Untuk SMP mata pelajarannya hanya enam sedangkan SMA delapan mata pelajaran. Nah, kenapa harus sekolah? Kami punya mimpi agar setelah tak jadi atlet, para pemain ini tetap jadi orang," tutur Imelda.

5. Berguru Sampai ke Negeri China

PB Jaya Raya memanfaatkan koneksi dengan pelatih China yang pernah lama menjadi pelatih pelatnas bulutangkis Indonesia, Tong Shin Fu. Kesempatan itu diambil kala Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan jadi juara dunia di Guangzhou.

Ketua Harian PB Jaya Raya Imelda Woguna, mengajak rombongan klub ke Guangzhou. Salah satu agendanya melongok sekolah bulutangkis yang dimiliki pelatih tim nasional bulutangkis China, Li Yong Bo, di Li Yong Bo School.

"Secara bangunan fisik sekolah tidak nyontek ya, karena Pembangunan Jaya sudah pakarnya untuk urusan ini. Tapi, obrolan dengan Tong Shin Fu soal mengelola sekolah jadi masukan. Utamanya soal pesan dia soal kalau Jaya Raya harus mencari pelatih yang loyal. Awalnya saya anggap pesan biasa, tapi dia mengulang sampai tiga kali. Bahkan saat saya sudah masuk masuk ke mobil dia ulang lagi agar kami mencari pelatih yang loyal," kenang Imelda.

6. Angan-Angan Lahirkan Juara Olimpiade Lagi

Dalam dua olimpiade terakhir, PB Jaya Raya tak berhasil mengantarkan pebulutangkis mereka jadi juara. Di London tahun 2012, Indonesia, juga Jaya Raya, sama sekali tak beroleh emas. Tahun ini, emas olimpiade disumbangkan dua pemain PB Djarum, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir.

"Saya tidak mau punya klub yang pemainnya tak dikenal. Saya ingin pengurus klub ini punya visi jauh dan imajinasi tinggi untuk mewujudkannya, yaitu juara Olimpiade," tutur Ciputra.

Susy menerjemahkan keinginan Ciputra itu sebagai sebuah motivasi besar buat Jaya Raya untuk terus menelurkan pebulutangkis-pebulutangkis top dunia.

"Klub sudah memberikan segalanya, baik dana ataupun perhatian. Begitu pula konsistensi dalam membina, apresiasi juga ada. Tapi Jaya Raya belum berhasil meraih emas lagi pada dua olimpiad eterakhir. Makanya menjadi sebuah kerinduan tersendiri buat Jaya Raya untuk mencetak pebulutangkis yang bisa meraih emas olimpiade," tutur Susy.



Sabtu, 17 September 2016

Hendra Setiawan Bicara Berat Badan, Anak Kembar, dan Hasrat Juara di Korea


Hendra Setiawan masih memimpikan gelar juara Korea Super Series. Selain itu, dia juga curhat soal susahnya menjaga berat badan ideal dan asyiknya peran sebagai ayah.


Hendra, 32, bersama Mohammad Ahsan masih berstatus sebagai ganda putra terbaik tanah air saat ini. Mereka berhasil menjadi penyelamat Indonesia ketika menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia 2015.

Jauh sebelum itu, sebuah pembuktian sudah pernah dilakukan Hendra bersama Markis Kido pada Olimpiade 2008 Beijing. Merekalah yang menjadi penjaga tradisi emas olimpiade Indonesia yang dibangun sejak Olimpiade 1992 Barcelona.

Hanya saja hasil kurang sip dibuat Hendra dengan Ahsan pada Olimpiade 2016 Rio de Janeiro. Digadang-gadang menyumbangkan medali emas, mereka malah tersingkir di babak kualifikasi.

Saya berkesempatan ngobrol dengan Hendra di sela-sela peresmian GOR Jaya Raya Bintaro Jaya di Tangerang Selatan beberapa waktu lalu. Hendra mengungkapkan kegalauannya soal spekulasi masa depan bersama pelatnas, asyiknya menjadi ayah dua anak kembar--Richard Heinrich Setiawan dan Richelle Hillary Setiawan--dan sulitnya menjaga berat badan yang ideal.

Berikut petikan wawancaranya:

Tanya (T): Halo Hendra, bagaimana tanggapan dengan hasil Olimpiade Rio?

Hendra Setiawan (S): Sempat menyesali juga sih hasil di Rio kemarin, tetapi cuma sebentar. Mau bagaimana lagi kan persiapan ke Olimpiade juga sudah maksimal. Sekarang sih saya sudah lupa sama apa yang terjadi di Rio. Saya sudah move on.

T: Siapa yang dikabari pertama usai kekalahan itu?

S: Istri saya. Saya kabari dia lewat whatsapp. Malamnya baru saya telepon. Senangnya istri memberikan semangat.

T: Adakah perbedaan antara Olimpiade Rio dengan Beijing?

S: Pasangannya beda he he he. Waktu itu sama Kido, kemarin bersama Ahsan, kan. Emm... Olimpiade Rio dan Beijing sudah pasti berbeda, tetapi yang paling terasa adalah sistem pertandingan. Secara pribadi, saya kurang suka dengan sistem penyisihan grup, lebih baik langsung gugur saja.

T: Setelah bisa move on dari Olimpiade Rio, seperti apa rencana selanjutnya?

S: Rencananya saya akan ke turnamen di Jepang dan Korea, masih bersama Ahsan. Sebelum itu saya ke China dulu, ada pertandingan invitasi, cuma sehari kok. Setelah Jepang dan Korea barulah nanti pada turnamen di Eropa bersama Rian Agung Saputro. Turnamen China dan Hong Kong belum tahu lagi.

T: Di antara turnamen-turnamen itu mana yang paling menarik buatmu?

S: Korea karena saya belum pernah juara di sana.

T: Kalau berpasangan dengan Rian Agung akan terus berlanjut atau sementara saja?

S: Saya belum tahu, lihat sampai akhir tahun (melihat promosi dan degradasi pelatnas PBSI). Saat di Piala Thomas 2012 saya pernah berpasangan dengan Rian Agung. Dia mempunyai keunggulan pada bola-bola belakang yang bagus dan defense yang solid.

T: Dengan melihat kondisi saat ini, termasuk usia, masih berencana untuk tampil di Asian Games 2018? Mumpung menjadi tuan rumah?

S: Lihat akhir tahun. Saya harus membicarakannya dengan pelatih. Belum tentu saya masih di pelatnas, kan?

T: Kalau berkaca dari nomor ganda campuran bukankah pemain-pemain top yang senior masih dibutuhkan untuk mendongkrak pemain muda dengan cara dipasangkan di turnamen?

S: Masalahnya mereka mau apa enggak. Mereka yang saya maksud para pemain muda itu, juga PBSI. Tunggu akhir tahun ya.

Baca Juga: Hendra Setiawan, Pemburu Gelar di Jagat Badminton dari Pemalang

T: Selain Korea, masih penasaran atau tidak dengan trofi Piala Thomas dan Piala Sudirman?

S: Penasaran sudah pasti karena saya belum pernah mendapatkannya. Tapi kan belum tentu saya masih dibutuhkan tahun depan. Pokoknya tunggu akhir tahun soal jawaban-jawaban untuk yang seperti ini.



T: Setelah masuk usia 30-an ada perbedaan program latihan atau tidak dibandingkan di usia yang lebih muda? 

S: Latihan rutin sesuai program pelatih masih sama. Pagi mulai pukul 08.00-11.00, sore mulai lagi pukul 15.00-17.00. Kalau mau ada turnamen besar baru nambah latihan sendiri pas malam hari.

T: Saat nambah latihan itu biasanya sendiri atau ada pemain lain?

S: Ngajak pemain muda biar gampang diatur he he he.

T: Hal apa yang paling sulit diatur dalam usia saat ini?

S: Berat badan. Padahal makannya lebih sedikit tapi berat badan malah lebih banyak (kemudian tersenyum). Dulu berat badan konstan 73kg, sekarang di kisaran 80kg.

T: Lebih capek mana latihan tiga kali sehari dengan momong si kembar?

S: Momong si kembar. Mereka itu enggak bisa diam, gerak terus.

T: Ada pesan untuk para pemain muda, khususnya ganda putra?

S: Mereka harus mau ekstra kerja keras karena persaingan sudah lebih rata di semua negara. Selain itu sudah semestinya para pemain ini lebih fokus, kalau sudah badminton tidak usah mikir yang lain dulu.

====

Pernah dimuat di detikSport, 16 September 2016

Jumat, 16 September 2016

Bahaya Laten di Balik Manisnya Gelimang Bonus PON


Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX/2016 Jawa Barat kembali menjadi ajang pemerintah daerah untuk adu bonus. Ada bahaya laten yang mengancam prestasi internasional karenanya. 


Memberikan bonus kepada atlet berprestasi memang sudah semestinya. Tapi nominal yang jauh lebih besar buat para peraih medali PON ketimbang bonus untuk mereka yang mendonasikan medali di ajang internasional menjadi dilematis.

Selain itu, perbedaan mencolok janji masing-masing daerah berpotensi memunculkan atlet kutu loncat. Daerah yang menawarkan bonus paling besar menjadi incaran para atlet. Mau diakui atau tidak, ada bahaya laten yang mengintai di balik manisnya gelimangan bonus PON.

Fenomena itu--bagi-bagi bonus PON yang memunculkan atlet kutu loncat--bukan sekali ini saja muncul, tapi sudah menjadi tradisi. Maklum, dalam pelaksanaannya tak semua daerah bisa mengucurkan dana pembinaan olahraga secara konsisten.

Tak sedikit yang menerapkan sistem kebut semalam dalam persiapan menuju PON. Pemusatan latihan daerah (pelatda) hanya digeber setahun sebelum PON atau bahkan ada yang nekad menggeber pelatda pada tahun yang sama dengan pelaksanaan PON. Artinya, buat para atlet ada masa jeda dua PON di mana mereka tak mendapatkan uang saku dari KONI provinsi. Padahal belum tentu mereka dipanggil ke pelatnas.

Maka, mau tak mau atlet cari pendapatan lain di luar profesinya untuk menghidupi diri-sendiri dan bisa tetap berlatih. Makanya pula, tak sedikit atlet-atlet yang aji mumpung dengan memanfaatkan pemerintah daerah yang jor-joran menjelang PON. Mereka memilih provinsi yang menawarkan fasilitas latihan, kejuraan nasional dan internasional, uang saku, dan bonus besar. Meskipun dalam pelaksanaannya mutasi atlet tak lancar melulu. Bahkan, ada kasus atlet tak bisa tanding karena terganjal masalah transfer daerah itu. Tapi risiko itu cuma dianggap: namanya juga usaha.

Menyenangkan bukan cuma buat para atlet, tapi juga pemimpin daerah. Bagi atlet tentunya jadi kesempatan untuk mengamankan kesejahteraan masa depan. Sementara bagi pejabat, setidaknya bagi-bagi bonus itu bisa jadi panggung untuk mendongkrak popularitas.

Mari menyimak bonus dari beberapa provinsi menjelang PON Jabar tahun ini.

Di antara kontestan PON, pemerintah DKI Jakarta yang memberikan janji paling menggiurkan. Mereka menjanjikan bonus kepada peraih emas PON Jabar 2016 yang dihelat mulai 17-29 September sebesar Rp 1 miliar.

Tidak ada penjelasan lebih rinci untuk para penerima bonus dari masing-masing provinsi itu. Misalnya apakah Rp 1 miliar itu untuk mengapresiasi per keping emas atau per atlet. Sebab, cabang olahraga yang dipertandingan bermacam-macam, ada yang tunggal, ganda, trio, beregu, dan tim.

Padahal referensi pembagian bonus dari sebuah ajang olahraga amat mudah didapatkan lewat mesin pencari google. Jerman misalnya secara detail mengatur besaran bonus kepada atlet olimpiade yang berprestasi. Bukan cuma mereka yang dapat medali, tapi sampai para perempatfinalis untuk cabang-cabang olahraga yang mempunyai popularitas tinggi di level dunia. Juga bagaimana mereka membagi bonus kepada nomor tunggal, duo, trio, beregu, dan tim.

Baca Juga: PON 2016: Gengsi Daerah Oke, Prestasi Internasional Tetap yang Utama

Bahkan, jika ditilik nominalnya saja sudah terlalu 'wow'. Nominal itu seperlima dari yang didapatkan atlet peraih medali emas olimpiade atau setengah dari perak olimpiade 2016.

Apalagi jika menilik nominal bonus peraih emas Asian Games 2014 Incheon. Anda bakal geleng-geleng kepala sembari mengatakan, "Pantas atlet lebih senang tampil di PON. Dengan pesaing yang lebih ringan, bonusnya lebih besar,". Bisa jadi Anda tak sendirian bergumam.

Ya, penyumbang emas Asian Games Korea Selatan itu diberi bonus oleh pemerintah Rp 400 juta. Untuk level SEA Games, atlet penyumbang emas diganjar bonus 'cuma' senilai Rp 200 juta. Bisa dibayangkan betapa berbahayanya bonus-bonus itu dalam pencapaian prestasi Indonesia di level internasional?

Dengan nominal itu DKI memang menjadi daerah yang menjanjikan bonus paling besar di antara kontestan PON lainnya.

Mari simak janji bonus beberapa provinsi lain.

Tuan rumah Jawa Barat tak menyebut secara detail nominal bonus yang ditawarkan kepada peraih medali. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan hanya menyebut Jabar yang turun dengan kekuatan paling besar, 1.945 atlet, ada bonus dan target juara umum. Pokoknya peraih medali akan dapat bonus.

Pengumuman satu daerah biasanya sukses membuat panas telinga petinggi KONI dan pemerintah provinsi lain. Selain adu gengsi, ada lasan lain: muncul ketakutan atlet yang jadi lumbung emas bakal dibajak oleh daerah yang punya iming-iming bonus lebih besar.

Seperti Gubernur Papua Lukas Enembe yang tak mau kalah dalam memberikan bonus PON dari DKI. Papua mengirimkan 304 atlet yang turun dalam 34 cabor dari 44 cabor yang dipertandingkan. Kata sang gubernur: pokoknya bonus Papua harus lebih besar daripada DKI Jakarta.

Sumatera Selatan punya cara lain. Pemerintah provinsi Sumsesl menjanjikan bonus berupa apartemen di athlete village Asian Games 2018 kepada peraih medali PON. Setelah perhelatan asian Games kelar, apartemen yang kini tengah dibangun itu memang akan dilelang. Nah, di antaranya ada jatah untuk para peraih medali. diperkirakan nominalnya mencapai Rp 250-350 juta.

Jawa Timur juga menjanjikan Rp 250 juta buat para peraih emas, Sumatera Barat Rp 200 juta, begitu pula Riau yang memberikan iming-iming Rp 200 juta.

Janji yang menyenangkan tapi ternyata menyimpan buntut yang cukup panjang dan rumit, bukan?

Dengan adanya besaran yang amat jomplang satu daerah dengan yang lainnya dan berbuntut pada sportivitas, apakah tidak sebaiknya ada regulasi yang mengatur besaran bonus kepada atlet sesuai level persaingannya, bukan sekadar kemampuan masing-masing daerah?

===

Pernah dimuat di detikSport, 14 September 2016

PON 2016: Gengsi Provinsi Oke, Prestasi Internasional yang Utama


Pekan Olahraga Nasional XIX/2016 Jawa Barat memang menawarkan gengsi bagi tiap provinsi. Namun, perlu diingat PON hanyalah sasaran antara demi prestasi Indonesia di mata dunia.



Seolah sudah jadi tradisi, tiap-tiap provinsi mempunyai antusiasme tinggi menyambut PON. Ajang olahraga empat tahunan, kesempatan adu gengsi.

Indikasinya cukup mencolok: gelontoran APBD yang tak terkira nilainya. Bahkan dengan nominal yang tidak masuk akal. Ada banyak alasan di balik gelontoran dana itu. Gengsi daerah yang ditonjolkan meski kerap kali tak bisa dihindari ada misi terselubung seperti mengerek popularitas pejabat pemerintah dan pengurus olahraganya.

Lewat dana hibah, APBD dialirkan ke KONI secara besar-besaran di tiap tahun pelaksanaan PON. Anggaran terbesar biasanya dialokasikan untuk bonus peraih medali, biaya kontingen, dan ironisnya ada bagian anggaran untuk transfer atlet dari daerah lain--membajak atlet istilahnya.

Sebagai gambaran DKI Jakarta yang jadi juara bertahan mendapatkan suntikan APBD senilai Rp 200 miliar tahun ini. Di antara nominal itu, Rp 23 miliar di antaranya untuk biaya kontingen yang diperkuat 902 atlet. Papua menganggarkan Rp 270 miliar kepada KONI Papua selama setahun ini. Rp 100 miliar di antaranya untuk alokasi kontingen ke PON Jawa Barat yang akan dimulai 17 sampai 29 September.

Tak mengherankan jika seorang atlet (biasanya yang top) akan membela daerah yang berbeda tiap empat tahunnya. Iming-iming bonus yang nilainya wow, uang saku bulanan yang lebih konsisten, dan fasilitas yang diberikan KONI provinsilah yang bikin atlet tergiur untuk pindah daerah. Biasanya sih tuan rumah yang paling jor-joran menggelontorkan dana untuk memberi kemewahan atlet menjelang PON.

Frasa pengganti PON yang menyebut sebagai pesta olahraga nasional empat tahunan menjadi pas benar. Faktanya PON seolah menjadi sebuah pesta untuk menyenangkan tuan rumah. Sampai-sampai mereka mempunyai hak yang begitu besar dalam menentukan cabang olahraga dan nomor yang dipertandingkan demi dua misi yang diemban: sukses prestasi dan sukses sebagai jadi penyelenggara.

Bahkan, menjadi hal yang biasa melihat atlet olimpiade turun pada PON. Boleh dibilang dari tujuh cabang olahraga yang ke Olimpiade 2016 Rio de Janeiro, cuma bulutangkis yang 'menabukan' olimpiannya untuk turun di PON.

Peraih perak dari cabang olahraga angkat besi, Eko Yuli Irawan, mengakui adanya ketidaktepatan jalur pembinaan prestasi itu. Hanya saja kondisi di lapangan memaksa dia untuk pasang kaca mata kuda.

"Sekarang kami ikut PON itu bisa mendapat Rp 150-250 juta darimana lagi kalau bukan dari daerah," ungkap peraih tiga medali Olimpiade (2008, 2012, dan 2016) itu.

Padahal tak jarang sukses itu hanyalah sukses semu belaka. Setelah perhelatan PON usai, kepala daerah jadi tersangka KPK. Dari sisi prestasi malah lebih gawat lagi. Para peraih emas sulit bersaing di ajang internasional seperti SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Atau kuantitas emas yang didapatkan sebuah daerah lebih banyak emas dari cabang olahraga ajaib yang tak dipertandingkan di olimpiade.

Pada PON Jawa Barat ini bahkan ada pembengkakan nomor yang dipertandingan ketimbang PON empat tahun lalu di Riau. Kini, Jabar menawarkan 755 medali emas, sedangkan PON 2012 Riau cuma 601. Dirunut lebih ke belakang lagi, pada PON 2008 di Kalimantan Timur ada 749 medali emas yang diperebutkan.

Angka-angka itu menjadi terlihat sangat besar dan diada-adakan jika berkaca kepada jumlah emas yang didapatkan Indonesia dari multievent internasional. Jangankan medali, jumlah atlet yang lolos ke Olimpiade Rio hanya 24 atlet elite--yakni mereka yang tersaring tanpa wild card.

Dari jumlah atlet elite itupun hanya satu yang bisa lolos pada tiga cabang olahraga yang menawarkan medali emas terbanyak: atletik, senam, dan renang. Cuma ada Maria Natalia Londa yang lolos lewat kualifikasi di nomor lompat jauh.

Tak perlulah melihat olimpiade, bahkan Indonesia sudah terseok-seok di SEA Games. Pada tiga perhelatan SEA Games terakhir, kontingen 'Merah Putih' cuma sekali menjadi juara umum, yakni pada 2011 ketika berstatus sebagai tuan rumah. Dua kali pelaksanaan lainnya, pda 2013 di Myanmar dan 2015 Singapura, posisi tiga besar tak didapatkan.

Dengan situasi itu, menjadi sebuah kewajaran kalau Indonesia makin sulit berkompetisi di level Asia dan dunia. Padahal Indonesia akan menjadi tuan rumah Asian Games 2018.

Nah, agar PON kembali menjadi ajang nasional yang bergengsi dan kompetitif serta bermuara kepada ajang internasional, Menpora Imam telah memberikan rambu-rambu agar pemerintah memprioritaskan cabang olahraga berprestasi. Malah, permintaan itu datang langsung dari Presiden Joko Widodo saat menerima peraih medali Olimpiade di Istana Negara.

Buat pemerintah bukankah lebih mengasyikkan kalau jor-joran dana untuk pembinaan prestasi dan pemberian bonus itu bisa menghasilkan atlet yang tampil bahkan meraih medali di olimpiade?

Kalau memang pejabat daerah dalam menggelontorkan dana itu mengejar popularitas bukankah lebih menyenangkan bisa mendapatkan pemberitaan media nasional dan internasional?

Berkaca aliran doku dan gegap gempitanya publik yang didapatkan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir setelah meraih emas olimpiade Rio, apakah para atlet tidak terpacu untuk bertarung di level dunia?

Beranikah PON berubah demi prestasi Indonesia di level dunia?

===

Pernah dimuat di detikSport, 14 September 2016