Sabtu, 27 Agustus 2016

Rasakan Manisnya Emas, Gita Wirjawan Ajak Cabor Lain Raih Medali Olimpiade

Suka cita dirasakan Ketua umum PP PBSI, Gita Wirjawan, setelah Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir meraih emas olimpiade. Suka cita yang tak terkira membuat Gita mengajak ketua umum cabang olahraga lain mengikuti jejaknya untuk mengantarkan atlet-atletnya berlaga di olimpiade.
 
   Ketua Umum PP PBSI Gita Wirjawan (Foto: Badminton Indonesia)

Gita memang baru menjalani periode pertama kepengurusannya di PBSI. Terpilih pada akhir tahun 2012, dia dilantik menjadi orang nomor satu di PBSI pada Januari 2013.

Gita yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan ditunggu tugas berat: mengembalikan tradisi medali emas olimpiade. Sejauh ini memang baru bulutangkis yang bisa menyumbangkan emas di olimpiade.

Perubahan besar-besaran dibuat olehnya. Dari sebuah organisasi tradisional, PBSI berubah wajah menjadi lebih terkontrol. Yang paling signifikan adalah perubahan kontrak pemain, dengan membuka kran sponsor pribadi dari perusahaan apparel kepada masing-masing pemain.

Para pelatih yang cemerlang di negara lain dipulangkan yang tentunya membawa konsekuensi kontrak besar bagi para pelatih itu. Fasilitas latihan di pelatnas Cipayung, Jakarta Timur yang sudah tua diperbarui.

Gita tak menutupi kalau dirinya kerap merogoh kocek sendiri untuk menambah biaya operasional PBSI. Dia juga memanfaatkan relasinya untuk menggaet sponsor.

Bagaimana naik turun suka gembira dan lukanya Gita sebagai ketua umum PP PBSI?

Berikut obrolan dengan dengan Gita wirjawan di Cipayung pada Kamis (25/8/2016) setelah Tntowi/Liliyana memastikan emas olimpiade.

Tanya (T): Selamat! PBSI berhasil mengembalikan tradisi emas Indonesia di olimpiade. Apakah kerja 3,5 tahun kabinet PBSI--dengan PBSI periode sebelumnya yang kurang sip--terbayar dengan emas ini?


Gita Wirjawan (GW): Bukan tidak ada prestasinya, (PBSI yang dulu) ada prestasi. Kita harus mengapresiasi siapapun yang mendahului kita. Sejak awal kami harus menatap ke depan dan dengan situasi yang ada kami memang dituntut untuk mengambil langkah beda dan baru. Alhamdullilah kami mendapatkan hasil yang membanggakan.

T: Apakah langkah-langkah baru itu memang semata-mata demi emas Olimpiade Rio ini?

GW: Saya tidak berpikir emas di Olimpiade. Kami berpikir supaya lembaga PBSI ini bisa secara berkesinambungan membuahkan hasil terbaik buat semuanya jadi harus ada semangat membangun secara kelembagaan. Saya tidak melihat satu titel (dari kejuaraan) ke titel yang lain. Makanya, kami ambil sikap yang struktural dan sedikit fundamental.

T: Bisa dijelaskan?

GW: Yang pertama, soal kesejahteraan dalam lembaga ini, yakni perubahan sistem sponsor yang sebelumnya bersifat kolektif menjadi individu. Kedua, soal akuntabilitas, sistem pengukuran kinerja pengurus dan pelatih, asisten pelatih, atlet. Yang ketiga adalah kaderisasi. Obsesinya memang demi memperdalam kaderisasi yang sudah kelihatan lah sekarang.

T: Boleh dibilang setelah emas diraih, artinya program itu berhasil. Setelah ini apalagi?

GW: Ke depan kami terobsesi untuk melakukan pendataan komunikasi dan kesejahteraan di daerah. Ya mudah-mudahan bisa diukur dengan baik dan berkolerasi dengan prestasi. Jangan sampai ada sentilan atau ucapan bahwa atlet ini dari provinsi ini pindah ke provinsi lain karena tidak terdukung karena kurangnya prasarana atau apa. Nah ini harus disikapi secara institusional. Secara spesifiknya, bagaimana supaya tunggal putri bisa lebih kelihatan prestasinya. Itu akan jadi obsesi kami. Dengan dedikasi dan kerja keras serta sedikit kesabaran, saya rasa bisa tercapai.

T: Apakah itu sistem itu bisa dibilang desain terbaik untuk sebuah organisasi cabang olahraga?

GW: Masih ada sih yang harus diperbaiki. Saat kami mengambil sikap seperti itu memang mengundang perhatian dan sedikit kontroversi. Apapun itu waktu yang bisa mengubah semua penilain tersebut.

T: Berarti bisa dibilang PBSI bisa dijadikan percontohan bagi cabor lain?

GW: Wah kalau sampai bisa seperti itu, bisa dipertimbangkan dan diperhatikan, akan sangat mengharukan. Saya ingin menegaskan kalau kami tidak sempurna, masih banyak hal yang tidak sempurna. Jangan sampai yang dicontoh yang tidak sempurnanya lho oleh cabor lain.

T: Banyak yang kapok menjadi ketua umum cabang olahraga karena beberapa orang menilai kalau menerima jabatan itu artinya harus siap menjadi ATM berjalan cabang olahraganya. Bagaimana dengan pengalaman Anda?

GW: Ya alhamdullilah kami mendapat dukungan dari teman-teman dan dukungan itu mencukupi untuk membuahkan kesejahteraan yang diinginkan atlet, pelatih, dan pembina, serta anggota kepengurusan. Saya sih yakin bahwa ke depan dengan prestasi Olimpiade ini penggalangan dukungan secara sistematis bisa lebih mudah.

Baca Juga: 'Kali Ciliwung' Sudah Bersih, Rexy Mainaky Pede Tradisi Emas Berlanjut


T: Kantong pribadi bagaimana? Apakah juga kebobolan?

GW: Ada. Jujur, bonus untuk Owi/Butet, Rexy Mainaky (ketua bidang pembinaan dan prestasi PP PBSI), Richard Mainaky (pelatih Owi/Butet), dan Nova Widianto (asisten pelatih), sampai tukang pijat dari kantung pribadi saya. Saya memberikan dukungan semampunya dalam batas keterbatasan saya, tanpa pamrih dan penuh keikhlasan. Dukungan yang lebih besar malah datang dari pihak lain, seperti Djarum dan beberapa lembaga lain.

T: Tapi terbayar kan dengan emas olimpiade ini? Apaka Anda menyangka sebegitu besarnya euforia meraih emas olimpiade?

GW: Enggak...enggak mengira. Kadang-kadang saya masih harus mencubit diri saya sendiri (sambil mempraktikkan mencubit pipinya) apakah ini benar-benar sudah terjadi. Apalagi Owi/Butet ya. Bahkan saat harus menempuh jalur darat selama tujuh jam dari RIo de Janeiro dengan harus ke Sao Paulo lebih dulu untuk mendapatkan penerbangan ke Jakarta, senang-senang saja. Kalau saya disuruh naik mobil 25 jam juga saya jalankan. Saat pesawat take off juga tidak bisa tidur saking gembiranya dan masih tidak percaya. Alhamdullilah ketika di Jakarta ditambah lagi suka citanya setelah melihat euforia yang luar biasa yang diberikan masyarakat. Padahal saat melihat pertandingan-pertandingannya jantung saya seperti mau copot, apalagi mereka masuk lapangan. Itu luar biasa.

T: Apakah sambutan publik itu menjadi sebuah indikator tertentu?

GW: Ya, menurut saya itu menjadi indikator bahwa masyarakat bisa mengapresiasi. Bukan hanya terhadap apa yang dilakukan Owi/Butet tapi seluruh tim pendukung di sekitar Owi dan Butet. Ya saya dan teman-teman di PBSI itu hanya sebagai syarat saja yang memfasilitasi apapun yang diperlukan oleh siapapun atlet di lapangan agar atlet bisa berprestasi.


T: Saat mendampingi para pebulutangkis yang ke Rio, apakah kepikiran soal hasil akhir sampai terbawa mimpi?

GW: Saya mimpi Owi dan Butet dua hari berturut turut. Emm, ini yang penting: dua hari sebelum pertandingan final, kami--Pak Budi dengan Rexy, Richard, Owi, dan Butet--duduk bersama. Kami mencoba memberi ketenangan yang maksimal untuk mereka terakhir kalinya. Sebab, kami telah sepakat untuk tidak ngomong dengan Owi/Butet satu hari sebelum pertandingan, bahkan di hari pertandingan. Itu penting sekali untuk mereka bisa mendapat ketenangan yang diperlukan dan fokus.

T: Ada firasat kalau Owi/Butet bakal juara di Rio?

GW: Saya sempat bisik-bisik kepada Pak Budi di hari pertama, 'ini mata Owi/Butet beda nih'. Kelihatan dari cara mereka melihat beda dari biasa. Alahamdullilah, Owi baca Yasin setiap hari, Butet pegang alkitab, terus berdoa, berdua bersama Rexy dan Richard.

T: Pada titik mana Anda berkeyakinan kalau Owi/Butet bisa dapat emas?

GW: Saat semifinal. Begitu game pertama selesai melawan Zhang Nan/Zhao Yunlei, juara nih. Tapi saya mengingatkan diri saya sendiri dan semuanya jangan terlalu percaya diri. Jangan sampai over pede itu sampai ke telinga pemain. Itu bahaya ya. Tapi begitu selesai, Owi/Butet langsung putar badan mencari kita, saya, kami berpelukan kita nangis. Sampai naik pesawat hingga 11 jam mungkin saya masih nangis. Istri saya nangis, pak Budi, Rexy, semuanya nangis tidak percaya. Sekarang saja saya sudah mau nangis lagi nih.

Baca Juga: Yuk, Ngobrol Sama Richard Mainaky setelah Owi/Butet Raih Emas Olimpiade


T: Bisa dibilang saat menghadapi Zhang Nan/Zhao Yunlei ikut merasakan ketegangannya?

GW: Yang paling tegang waktu drawingnya malah. Greysia/Nitya dapat undian lawan China, lalu Butet/Owi lawan Praveen/Debby, ya Allah. Mungkin memang nasib kita ini. Ini ujian.

T: Apakah Anda puas melihat hasil keseluruhan para atlet bulutangkis di Olimpiade Rio?


GW: Sangat..sangat puas. Dari awal saya hanya menargetkan satu medali dan seperti yang saya bilang warna apa saja boleh. Tapi di berita targetnya tiga emas? Oke, mungkin nanti kita mesti sering komunikasi dengan Satlak Prima. Tetapi alhamdullilah dikasih emas. Ya, dapat perunggu kami terima, perak lebih kami terima, apalagi emas. Subhanallah.
 
Foto-foto: ves Lacroix/Badminton Photo via PP PBSI

Dimuat di detikSport, Kamis (25/8/2016) dengan judul: Suka Cita Tak Terkira, Gita Wirjawan Ajak Cabor Lain Raih Medali Olimpiade

Jumat, 26 Agustus 2016

'Kali Ciliwung' Sudah Bersih, Rexy Mainaky Pede Tradisi Emas Berlanjut

Bersih-bersih yang dibuat Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi PP PBSI, Rexy Mainaky, di PBSI dinilai berhasil. Dia optimistis tradisi emas Indonesia dari bulutangkis berlanjut.



Rexy menjadi salah satu sosok penting dalam perubahan PP PBSI yang kini berhasil mengembalikan tradisi emas olimpaide. Kehadirannya yang didukung barisan pelatih berkualitas dinilai telah mengubah atmosfer pelatnas Cipayung.

Padahal Rexy tak menganggur saat kepengurusan PP PBSI memasuki periode baru, dari yang dipimpin Djoko Santoso ke tangan Gita Wirjawan. Rexy terlanjur teken kontrak dengan Filipina setelah tak lagi menjadi pelatih di Malaysia dan sebelumnya menangani Inggris.

Kepercayaan dari Gita dan rekan-rekan serta kakak kandungnya yang sudah bertahun-tahun menjadi pelatih di pelatnas, Richard Mainaky, dan pasangannya kala menjadi pemain, Ricky Soebagdja, membuatnya pulang. 3,5 tahun sejak itu Indonesia berhasil meraih sekeping emas olimpiade yang sempat terhenti di London tahun 2012.

Oleh Gita, Rexy diganjar bonus tak kurang dari Rp 1 miliar sebagai apresiasi kerja kerasnya. DetikSport mendapatkan kesempatan berbincang dengan Rexy di pelatnas Cipayung pekan ini. Dia bilang sama sekali tak menyangka bakal dapat bonus tersebut.


Inilah obrolan dengan Rexy di Cipayung, Kamis (25/8/2016):

Tanya (T): Selamat PBSI berhasil mengembalikan lagi tradisi emas olimpiade. Apakah satu emas ini sesuai target pribadi Anda?
Rexy Mainaky (R): Saat Pak Gita menelepon saya untuk kembali ke Indonesia, saya bertekad untuk mengembalikan tradisi emas olimpiade. Saya bilang istri saya agar mendoakan biar saya berhasil.

T: Dari mana keyakinan Anda bisa mengemban tugas itu?

R: Karena saat saya jadi pemain, saya bisa meraih emas. Setelah menjadi pelatih, pemain saya bisa memenangkan gelar juara Asian Games dan perak olimpiade. Nah, setelah menjadi pengurus di Indonesia saya bertekad untuk kembalikan tardisi emas yang terputus.

T: Sudah lunas semua berarti harapannya?
R: Yes! Lunas semua sekarang. Saat di Rio itu, setelah Owi Butet menang, saya sujud dan bilang kerja keras saya sudah lunas terbayar dengan emas ini.

T: Kerja keras terbayar dengan emas ditambah dengan bonus yang--kata Pak Gita--tidak kurang dari Rp 1 miliar. Bagaimana tanggapan Anda?
R: Sebelum berangkat ke Campinas, Pak Gita sendiri yang langsung ngomong. Yang mengesankan, kali ini PBSI ini tidak hanya memberikan bonus kepada pelatih dan pemain serta orang-orang yang terlibat dalam pertandingan tapi semua karyawan. Pak Gita memang mau semua dari atas sampai bawah mendapatkan bonus. Dia mempunyai pertimbangan kalau atlet baru bisa berlatih tenang karena ada yang ngepel lapangan.

Baca Juga: Generasi Kedua Mainaky Bersaudara

T: Saat dipanggil Pak Gita agar Anda pulang ke Indonesia, apakah sudah menyangka kalau tekanan dari publik akan sangat besar sebagai pengurus PBSI?

R: Setelah dipanggil pulang, saya telpon Richard. Dia bilang saya harus siap. Saya telpon Ricky Soebagdja untuk tukar pikiran dengan saya. Saya bilang PBSI mau juara olimpaide dan dia percaya kalau saya mampu menerima tugas itu. Sebagai pemain saya sudah tahu besarnya tekanan itu. Bahkan tekanan di Malaysia lebih besar lagi. Kalau mau nyaman saya akan memilih untuk kembali ke Inggris saat melatih di Filipina. Saya ambil risiko ini dan optimistis bisa! Faktor media itu risiko. Sejak dulu saya katakan kalau gagal salahkan saya, jangan atlet. Risiko harus hadapi.


T: Dari mana semua kepemimpinan dan sistem yang Anda terapkan di PBSI?

R: Sebagai pemain saya pernah tiga tahun tidak pernah kalah. Itu saya dapatkan karena saya mau belajar dari segala kegagalan. Jadi, saya bisa tahu apa saja yang masih kurang. Saya selalu mau maju dan bekerja keras.

T: Seberapa besar perubahan yang sudah dibuat PBSI periode ini?

R: Saya enggak mau menjelekkan pengurus yang dulu. Tapi saya dengar dari pemain kalau di Cipayung tidak ada rasa menghargai satu sama lain lagi. Saya masuk ke sini saya betulkan di dalam pelatnas dulu. Kan bisa dilihat, sekarang 'Kali Ciliwung' sudah bersih, tapi saya mau ekor ke kepala sampai ke ekor lagi bersih semua. Dengan perubahan-perubahan itu tradisi emas bisa kembali. Tinggal bagaimana dijaga dan makin memperkokoh apa yang sudah didapatkan. Pak Gita mengingatkam saya kepada Tri Sutrisno. Kita punya generasi yang bagus di zaman saya. Asian Games lawan siapa saja itu sudah nomor satu. Negara lain cuma berebut nomor dua.

T: Idealnya mulai kapan persiapan ke olimpiade berikutnya dimulai?

R: Dari sekarang, jangan tunggu nanti-nanti. Tidak perlu menunggu siapa kepengurusan baru. Kita harus punya target untuk loloskan pemain tidak hanya satu atau dua ke dalam daftar pemain ke olimpiade. Para pemain tinggal berebut tempat nantinya. Nah, pada last minute tinggal menentukan siapa yang akan didorong.

T: Pak Gita bilang menargetkan tiga emas pada Olimpiade 2020 Tokyo. Apakah PBSI akan tetap bertumpu pada tiga sektor yang kuat saat ini?
R: Tidak. Tunggal putri bisa. Lima nomor bisa punya peluang. Bukan lagi ganda putra atau ganda campuran. Negara-negara lain sedang dalam masa tidak punya pemain-pemain muda yang menonjol. China sampai sekarang masih andalkan yang tua. Tapi China juga beri pelajaran karena sesekali memunculkan pemain mudanya.

Baca Juga: Generasi Kedua Mainaky Bersaudara



T: Ini peluang Indonesia untuk bangun generasi juara baru?

R: Ya betul. empat tahun lagi, pemain-pemain kita justru akan memasuki usia matang. Kalaupun misalnya Debby benar-benar pensiun kita tinggal cari pasangan Praveen. Kita siapkan penggantinya. Kita harus siapkan pemain-pemain yang bisa menguasai 10 besar dunia di nomor ganda. Dimulai dari sekarang bukan nanti saat kualifikasi.

T: Lebih pusing mana jabatan saat ini atau pemain?

R: Saya bilang kalau selama ini saya enggak pusing. Pusing itu kalau ketua umum ikut campur, orang tua ikut campur dan lainnya. Kalau sudah seperti itu saya akan lari dari PBSI he he he.

Yuk, Ngobrol Sama Richard Mainaky setelah Owi/Butet Raih Emas Olimpiade

Richard Mainaky optimisis Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir bakal membayar lunas utang emas di Olimpiade 2016. Dia juga membicarakan rencana perombakan ganda campuran.


Sebagai pelatih pelatnas PBSI di nomor ganda campuran, Richard telah perngelaman dalam enam olimpiade. Dari enam olimpiade itu baru sekali ini Richard merasakan manisnya raihan emas olimpiade dari tiga kali final. Dua final lain berakhir dengan medali perak.

Ada berkesempatan untuk berbincang dengan Richard di pelatnas Cipayung, Jakarta Timur, Rabu (24/8/2016). Richard menjelaskan momen mendebarkan sejak drawing sampai final hingga rencana masa depan Owi/Butet dan para pemain ganda campuran lainnya.


Berikut obrolan dengan Kak Icad, sapaan karib Richard oleh para pemain besutannya.

Tanya (T): Selamat atas keberhasilan meraih emas. Apakah sudah menduga untuk mendapatkan emas di Olimpiade Rio?

Richard Mainaky (R): Ada. Saya mulai yakin setelah mereka mengalahkan pasangan China (Zhang Nan/Zhao Yunlei) di semifinal. Saya optimistis kalau mereka bisa membawa pulang emas.

T: Seberapa yakin, karena bukan sekali ini saja kan ganda campuran sampai ke final olimpiade?

R: Saya berdoa agar saya tidak lengah, tetap sabar, tidak jemawa atau takabur. Saya harus tenang. Saya berusaha untuk tidak tegang karena sudah hampir pasti juara. Agar lebih tenang saya SMS istri memberikan kabar dan minta doa. Bisa berbahaya kalau saya berlebihan karena bisa-bisa penyampaian instruksi kepada pemain bisa berbeda dan malah bikin grogi pemain.

T: Apa yang dikatakan kepada Owi dan Butet di semifinal dan final?
R: Prosesnya bukan cuma di semifinal dan final. Jujur saja, selama ini saya tidak pernah pakai psikolog, hanya saja saya melihat setelah juara Malaysia 2015 penampikan mereka malah menurun. Termasuk saat tak bisa jadi juara di Indonesia Terbuka. Sebagai pelatih, karena sudah lama, saya bisa jadi psikolog tapi bahasa komunikasinya tetap berbeda. Nah, dari Satlak mempunyai psikolog dan saya memanfaatkannya, ternyata banyak yang positif.

T: Sempat kesulitan tidur tidak pada malam sebelum semifinal dan final?

R: Ha ha ha tidak. Kebetulan saya orangnya tidak pernah sulit tidur.

T: Perubahan apa yang paling signifikan yang dibuat psikolog itu?
R: Banyak hal positifnya. Terutama Butet yang tidak lagi mudah emosi ketika Owi membuat kesalahan di lapangan.

T: Apakah hanya kehadiran psikolog yang membuat perbedaan Owi/Butet?
R: Tidak. Selain itu Butet mau berubah dua bulan menjelang olimpiade. Dia mau menelan latihan denan menu yang sama dengan para pemain muda. Kalau Debby melakukan latihan 10 ronde, Butet juga mau. Dia bsia dengan mudah melakukan cegatan bola di depan net.


T: Jadi sudah puas dengan pencapaian sebagai pelatih?

R: Saya anggap melatih itu pekerjaan saya. Dalam setiap kepengurusan dan saya sebagai pelatihnya, saya selalu berikan yang terbaik. Saya menganggap itu sebagai tanggung jawab kerja saya. Jadi, kalau berhasil biar anak-anak saya, saya tidak perlu.

T: Apakah hasil di olimpiade itu sudah sesuai ekspektasi, kan ganda campuran bisa meloloskan dua ganda campuran ke Rio?
R: Jujur saya ingin mereka ketemu di semifinal dan final. Tapi saat drawing ternyata mereka harus berjumpa lebih dini setelah Praveen dan Debby menjadi runner-up grup.

Baca Juga: Darah Olahraga Keluarga Mainaky



T: Apakah ini kondisi terbaik ganda campuran pada olimpiade yang pernah Anda tangani?

R: Enggak juga. Saat Minarti dan Tri Kus juga, juga waktu Nova dan Butet. Begitu pula olimpiade lainnya, ganda campuran selalu meloloskan wakilnya dan mereka tengah dalam trek yang bagus. Nah, berkaca dari olimpiade-olimpiade itu saya bilang ke Owi jangan jemawa dulu setelah semifinal. Sukses kali ini berkat doa dan tidak jemawa.

T: Apakah olimpiade kali ini lebih tegang?
R: Tidak. Setiap pertandingan itu tegang tapi kali ini saya harus bisa kontrol. Jangan sampai seperti di Indonesia Open sampai saya lempar handuk ke wasit. Waktu itu anak-anak dicurangi dan beban di olimpiade muncul di situ. Wajar, kan. Kalau saya dibilang salah waktu itu, saya memang salah. Tapi, kalau dibilang benar karena membela atlet, ya benar.

T: Dengar-dengar Butet dan Debby berencana pensiun dalam waktu dekat, benarkah?

R: Saya menyayangkan keputusan Debby kalau itu benar. Debby masih muda. Masanya untuk ke olimpiade masih cukup. Atau setidaknya dia bisa bertahan dua atau tiga tahun. Dia terlalu cepat untuk pensiun.

T: Apakah was-was dengan situasi itu?
R: Saya tidak. Saya selalu siapkan generasi berikutnya. Seperti kepada Owi, saya minta Nova Widianto untuk bisa membentuk juniornya sebelum benar-benar pensiun. Setelah Nova pensiun saya tinggal poles sedikit.

T: Apakah cukup waktu untuk memolesnya karena Asian Games 2018 tinggal dua tahun lagi?
R: Butet setahun juara dunia he he he.

T: Kalau begitu sudah siapkan pasangan baru untuk Owi?

R: Yang jelas sih pasti dari permainan, dia harus mendukung karakter Owi. Otomatis pasangan yang dibutuhkan Owi seperti Butet, bagus permainan depannya. Di pelatnas saat ini ada Melati Daeva, Gloria Emanuelle Widjaja, dan Anisa Saufika.

Baca Juga: Mainaky Bersaudara: Meraih Prestasi, Membibit Generasi

T: Berarti setelah ini akan ada perombakan?

R: Mungkin. Kalau Butet masih mau main, dalam artian, dia mau juara lagi bicara Asian Games. Tapi juga dicoba-coba Owi dengan pemain muda. Butet jug amulai dipasangkan dengan pemain muda.

D: Perubahan komposisi itu dimulai kapan?

R: Target terakhir untuk mereka adalah final super series akhir tahun ini. Kita lihat di akhir tahun ya.



*) Pernah dimuat di detikSport, Kamis (25/8/2016) dengan judul 'Richard Mainaky Sudah Yakin Owi/Butet Akan Juara di Rio'.

Kamis, 04 Agustus 2016

Maria Kristin Yulianti, Pendobrak Kekuatan Tiongkok di Olimpiade Beijing

Kekuatan pebulutangkis putri Indonesia dipandang sebelah mata. Secara mengejutkan, gadis asal Tuban, Jawa Timur, Maria Kristin Yulianti, sukses membawa pulang perunggu dari Olimpiade Beijing.


TAK disangka, sektor putri bulu tangkis mampu menjadi penyumbang medali perunggu pada Olimpiade XXIX/2009 Beijing. Padahal, tak sedikit pun harapan ditumpukan kepada Maria Kristin.

Namun, penampilan Maria di babak perebutan medali perunggu itu berhasil menumpulkan wakil Tiongkok, Lu Lan. Dia pun membetot perhatian sang komentator.

"Penampilannya sungguh dingin, tetapi berdaya mematikan," ucap si komentator.

Hasilnya mengejutkan. Perunggu diboyong ke Indonesia. Menilik track record sang lawan, maria sama sekali tak diunggulkan. Lu Lan  adalah pemegang peringkat kedua dunia, sedangkan Maria masih berada di 15 besar. Head to head juga tak mendukung kemenangan Maria di laga itu.

Tapi Maria berhasil mengoyak skenario ideal. Kemenangan atas Lu Lan sekaligus menggagalkan Tiongkok menyapu bersih tiga medali yang ditawarkan di tunggal wanita. Ya, Tiongkok berhasil menguasai medali emas dan perak dengan membuat All Chinese Finals dengan duel antara Zhang Nan dan Xie Xingfang. hasilnya, emas jatuh ke tangan Zhang Ning dan perak dimiliki Xingfang.

Perjalanan Maria ke Olimpiade Bejing ini juga boleh dibilang tak mendapatan sorotan. Berbeda dengan sektor tunggal dan ganda pria serta ganda campuran dengan Indonesi sanggup meloloskan lebih dari satu wakilnya. Di nomor tunggal putri ini, Maria menjadi satu-satunya pemain yang lolos. Itupun, tak berpredikat sebagai unggulan.

Saat didaftarkan, Maria hanya berperingkat ke-24 BWF (Federasi Bulu Tangkis Dunia). Sudah begitu, sak pernah sekali pun Maria menggondol gelar juara super series, turnamen perorangan berhadiah paling besar dalam kelander BWF.

Malah, penampilannya yang tak pernah menanggalkan deker membuat banyak pihak pesimistis Maria dapat mengejar shuttlecock.

Adalah Indonesia Open 2008 di Jakarta pada bulan Juni ssebagai turnamen  yang semestinya membuat para rival di nomor tunggal putri waspada. Dia menggondol predikat runner-up. Tapi, bahkan PBSI juga tak melihat ada sebuah modal berharga buat Maria sebelum turun di Olimpiade Beijing. Dia tak dipatok target apapun.

Jika disimak, sejatinya Maria telah melambung lebih dini. Bukan dari Indonesia Open, tapi Maria memetik banyak pelajaran dalam turnamen beregu putri di bulan Mei."Saya merasa titik balik perjalanan karir saya dan rekan-rekan pemain wanita dimulai pada Piala Uber lalu," ungkap Maria.

Di ajang beregu itu Maria dipaksa berjumpa dengan pebulutangkis-pebulutangkis terbaik negara-negara peserta. Maria harus menghadapi para pemain top yang mayoritas mempunyai postur tinggi menjulang, bola-bola yang lebih cepat dan permainan yang ulet.

Menurut dia, selain itu dia diasah oleh para pelatih dan orang ketiga yang amat mumpuni. Hendrawan dan Marleve Mainaky adalah duo pelatih yang  memolesnya di pelatnas. Selain itu pendampingan Susy Susanti sebagai manajer dalam Tim Uber tidak bisa dianggap enteng.

Kendati Susi tak banyak mengomentari permainannya di lapangan, justru itulah yang membuatnya semakin percaya diri saat tampil di lapangan."Cik Susi hanya memberikan pernyataan yang penting-penting, motivasi, dan berusaha meyakinkan bahwa kami benar-benar bisa," ucap wanita kelahiran 25 Juni 1985 tersebut.

Tanpa adanya beban target dari PB PBSI, Maria melangkah pasti menuju Beijing.Tak sedikit pun firasat perunggu akan dibawa pulang. Namun, kemenangannya atas juara All England asal Denmark Tine Rasmussen membuat sulung di antara tiga bersaudara itu semakin percaya diri.

"Dari sana, mimpi mulai dibangun. Tapi, Zhang Ning (pebulu tangkis Tiongkok yang akhirnya meraih emas, Red) benar-benar pemain yang memiliki kekuatan mental dan teknik yang komplet," kenang Maria.

Untung, Lu Lan yang menjadi lawan di perebutan perunggu tak mampu menghapi penampilan kalem Maria."Saya sudah merasa menang waktu melihat penampilan Lu Lan di perebutan peringkat ketiga. Tapi, terus terang saya malah tidak memikirkan akan dapat perunggu," ucap Maria.

Torehan manis itu membuat Maria semakin optimistis menempati papan atas dunia. Tetapi, dia tak menampik perjalanan akan semakin sulit karena lawan sudah mengetahui kekuatan yang dimilikinya.

"Yang penting berlatih dan tetap mengikuti pertandingan yang ada karena ranking sangat dipengaruhi frekuenmsi pertandingan," tegasnya.

Tak memikirkan bonus Maria?"Saya belum tahu akan mendapatkan dari mana saja. Tetapi, yang jelas, sudah ada janji dari pemerintah dan sudah mendapatkan dari klub," tukas Maria.

Pernah dimuat di Jawa Pos, 28 Agustus 2008

Rabu, 03 Agustus 2016

Ayo, Bawa Pulang Emas dari Rio!

Kontingen Indonesia terbang ke Brasil dengan sebuah misi besar. Pasukan 'Merah Putih' bertekad untuk mengembalikan tradisi emas olimpiade.


Indonesia mengemban misi super dalam Olimpiade 2016 Rio de Janeiro yang akan dibuka 5 Agustus dan ditutup 21 Agustus nanti. Kali ini kontingen Indonesia memboyong 28 atlet yang turun dalam tujuh cabang olahraga. Dari jumlah itu cuma tiga atlet yang olos ke Rio lewat jalur wildcard.

Jumlah itu meningkat ketimbang empat tahun lalu di London. Kala itu, Indonesia meloloskan 21 atlet. Satu modal bagus untuk menyelesaikan misi itu.

Pada Olimpiade 2012 di London itu, Indonesia meraih hasil paling muram sejak 1992 di Barcelona. Tak satupun emas didapatkan. Malah, bulutangkis yang konsisten menyumbangkan emas gagal meraih medali satupun.

ngkat besi menjadi penyelamat buat Indonesia hingga tak pulang dengan tangan kosong. Duo lifter, Triyatno dan Eko Yuli Irawan, masing-masing menyumbangkan perak dan perunggu.

Kini, empat tahun berlalu sejak hasil kurang memuaskan di London itu. Agar tak terperosok ke lubang yang sama, beberapa perubahan dibuat. Kendati sempat muncul ganjalan lewat masalah-masalah klasik--seperti perlengkapan dan peralatan tanding--perbaikan sudah dibuat di sana-sini. target juga dibuat. Pemerintah mencanangkan raih dua emas dari Olimpiade Rio sebagai tujuan.

Kementerian Pemuda dan Olahraga memberikan suntikan motivasi dengan caranya sendiri. Kemenpora Imam Nahrawi mewujudkan jaminan hari tua dengan memberikan pensiun kepada para peraih medali di olimpiade. Peraih emas dijamin untuk mendapatkan Rp 20 juta, perak Rp 15 juta, dan perunggu Rp 10 juta. Kapanpun seorang atlet pensiun dari profesinya uang pensiun bisa diterima. Hanya, dana tak bisa diwariskan. Selain itu, Imam juga menjanjikan bonus Rp 5 miliar buat penyumbang medali emas.

Jika sebelumnya Chef de Mission (CdM) ditunjuk jeda beberapa hari menjelang pengukuhan kontingen, tidak kali ini. Ketua Umum PB ISSI yang juga bos Mahkota Promotion, Raja Sapta Oktohari, diberi mandat sebagai CdM jauh-jauh hari sebelum pengukuhan kontingen. Dia telah mendampingi para atlet sejak mereka masih berada dalam periode berebut tiket olimpiade. Jadi, tak akan ada lagi celetukan CdM tak kenal atlet. Atau CdM terkejut atlet yang dibawa ternyata tidak dalam kondisi fit, cedera, dan lain sebagainya. Tidak akan ada lagi CdM yang menanggung getahnya.

Nah, dengan perbaikan-perbaikan itu semestinya Indonesia mempunyai modal lebih meyakinkan untuk bertarung di olimpiade nanti. Apalagi jika berpegang kepada prinsip 'mempertahakan lebih sulit ketimbang merebut' semestinya jalan CdM untuk mendampingi para atlet untuk meraih emas saat ini lebih mudah, bukan?


Hal-hal kecil juga diperhatikan. Misalnya, uang saku atlet yang sudah dibagikan sebelum atlet tiba di bandara Soekarno-Hatta. Tidak lagi dalam rupiah tapi sudah berupa lembaran USD dan saat sudah repot mendorong koper besar di bandara.

Perbaikan juga dibuat oleh dua kepengurusan yang menjadi tumpuan medali emas pada tiap olimpiade: bulutangkis dan angkat besi.

Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) membuat perubahan besar-besaran setelah kegagalan di London. Kendati kemunculannya tak segresif di tahun pertamanya menjabat sebagai ketua umum PP PBSI, Gita Wirjawan berhasil membuat revolusi di induk organisasi tepok bulu itu.

Salah satu yang paling mencolok adalah memulangkan pelatih-pelatih terbaik Indonesia yang merantau ke negara lain. Dia juga membuat atlet lebih bertanggung jawab dengan prestasi masing-masing dengan digulirkannya sistem kontrak individu pemain.

Terobosan juga dibuat angkat besi. Pengurus Besar (PB) Persatuan Angkat Besi dan Angkat Berat Seluruh Indonesia (PABBSI) mendatangkan ahli nutrisi yang mempunyai pengalaman panjang di angkat besi dan bertugas bak satpam, dari pagi sampai pukul 23.00 WIB.

Mereka juga mengatur makanan sendiri setelah keluar dari Hotel Century Athlete, Senayan, Jakarta. Pemindahan lokasi training camp itu bepengaruh positif terhadap kebiasaan makan tujuh lifter yang ke Rio.

Selain itu, panahan juga menunjukkan peningkatan dalam raihan tiket ke Olimpiade Rio ini. Tak hanya mengirimkan pemanah putri, Ika Yuliana Rochmawati, PP Perpani berhasil mengirimkan tiga pemanah untuk turun ke nomor beregu putra.



Dari luar arena, kalangan film juga menunjukkan kepedulian dengan merilis film 3 Srikandi menjelang pembukaan Olimpiade 2016, yakni pada 4 Agustus. Film itu membuka lagi nostalgia keinginan tiga pemanah putri, Lilies Handayani, Nurfitriyana Saiman, dan Kusuma Wardhani, untuk meraih medali bagi Indonesia pada Olimpiade 1988.

Kini saatnya menyaksikan perjuangan atlet di atas panggung masing-masing. Kita yang berada di sini bertugas memberi doa dan semangat kepada mereka. Ayo, bawa pulang emas dari Rio!

Mereka yang lolos ke Olimpiade Rio 2016:

Atletik: Maria Natalia Londa

Angkat Besi: Eko Yuli Irawan, Triyatno, Deni, M Hasbi, I Ketut Ariana, Sri Wahyuni Agustiani, Dewi Safitri

Balap Sepeda: Toni Syarifudin

Bulu Tangkis: Tommy Sugiarto, Linda Wenifanetri, Mohammad Ahsan, Hendra Setiawan, Nitya Krishinda Maheswari, Greysia Polii, Tontowi Ahmad, Liliyana Natsir, Praveen Jordan, Debby Susanto

Dayung: La Memo, Dewi Yuliawati

Panahan: Riau Ega Agata Salsabila, Muhammad Hanif, Hendra Wijaya, Ika Yuliana Rochmawati

Pernah dimuat di detikSport, 3 Agustus 2016

Senin, 01 Agustus 2016

Nostalgia 28 Tahun Trio Srikandi Indonesia Lewat Layar Perak

Julukan trio srikandi sudah melekat kepada sosok Nurfitriyana Saiman, Kusuma Wardhani, dan Lilies Handayani. Peraih perak Olimpiade 1988 itu bernostalgia di Jakarta tahun ini 'gara-gara' Reza Rahardian.



"Wah lek Bang Donald iku koyok Reza Rahardian, aku ngacung disik dewe lak dikongkon push up!" celetuk Lilies, 51, dengan logat Surabaya yang kental.

Kira-kira begini pernyataan Lilies itu dalam bahasa Indonesia, "Wah kalau Bang Donald itu mirip Reza Rahardian, aku akan tunjuk tangan untuk push up! paling pertama."

Mereka kemudian bilang kalau Donald Pandiangan, sang pelatih di pelatnas panahan menjelang Olimpiade 1988 Seoul, tak seganteng dan segagah Reza di film 3 Srikandi. Kegalakan Reza di film itu juga masih kalah dengan Donald yang punya julukan Robin Hood Indonesia kala menjadi pelatih mereka. Gambaran latihan di dalam film itu juga masih jauh lebih ringan ketimbang menu yang harus mereka lahap.

Tapi, untuk urusan membidik sasaran dengan busur panas Donald lah jagoannya. Julukan Robin Hood Indonesia sudah terpatri kepada Donald yang wafat di tahun 2008. Makanya, dia dipercaya sebagai pelatih tim nasional panahan putri ke Olimpiade 1988. Reza memang memerankan sosok Donald sang Robin Hood Indonesia itu dalam film tersebut.

Sesekali Lilies memperagakan gerak-gerik Donald. Kebiasaan Donald berjalan, saat memberi instruksi, sampai bagaimana bentakan-bentakan Donald kepada mereka. Semuanya disertai tawa.

Dia juga mengingat kembali kenangan saat jadi ratu sehari usai pulang dari Olimpiade itu. Tak disangka-sangka bisa meraih medali pertama untuk Indonesia dari Olimpiade, Lilies yang berstatus sebagai mahasiswa Hukum Universitas Airlangga diarak keliling kampus. Di film itu, Lilies diperankan Chelsea Islan.



"Lilies itu ya seperti Chelsea Islan di film itu. Begitulah dia. Apapun jadi banyolan," kata Yana, pemanah yang paling sneior di antara tiga srikandi itu.

Yana amat bersyukur di dalam tim trio srikandi itu ada pemanah yang kolokan, konyol, lugu, dan bandel. Latihan berat di Sukabumi, Jawa Barat, dengan pelatih galak selama tujuh bulan bisa jadi neraka.

"Bagaimana, bagaimana setelah nonton filmnya? Seperti nonton Warkop Dono Kasino Indro versi cewek ya?" Lilies menyela.

Menurut Yana, kalau dipersentasi film 3 Srikandi sudah 70 persen menggambarkan mereka yang sebenarnya. Yana yang diperankan Bunga Citra Lestari adalah pemanah dari DKI Jakarta dan sudah lebih dulu menjadi pemimpin dalam tim. Dua pemanah lain pun patuh kepadanya. Suma yang diperankan Tara Basro adalah pemanah dari Sulawesi Selatan. Dia sosok yang pendiam tapi galak. Sementara Lilies adalah sosok yang bikin cair tim. Dia lah yang mampu membujuk Suma untuk banyak bicara. Selain itu, katanya, Lilies yang cantik adalah primadona pelatnas pada 1980-an.

Kenangan-kenangan itu kembali menyeruak. Nostalgia itu tak cuma jadi perbincangan di antara mereka, tapi menjadi tontonan dengan diputarnya 3 srikandi di bioskop-bioskop dalam waktu dekat. Film mengenai perjuangan mereka sejak masuk pelatnas hingga meraih medali perak di Olimpiade 1988. Juga mimpi pelatih mereka, Donald Pandiangan.


Nah, untuk urusan itu pula Lilies dan dua rekannya Yana dan Suma tengah berkumpul di Jakarta. Mereka bersama-sama di Hotel Royal Kuningan, Jakarta.

Ya meski sama-sama masih menggeluti panahan, tidak mudah bagi mereka untuk berkumpul. Dalam setiap kejuaraan nasional panahan yang biasanya digelar satu kali setahun, Lilies, Yana, dan Suma memang kerap berada dalam satu lapangan. Tapi, masing-masing sibuk dengan kontingen daerah masing-masing. Atau malah cuma dua orang yang bisa hadir.

Kini, Lilies tinggal di Surabaya untuk mengembangkan sekolah panahan yang didirikannya Lilies Handayani Trio Srikandi Archery School. Dia menjabat sebagai CEO saat ini. Ibu tiga anak itu juga berstatus sebagai karyawan Dinas Pendapatan Daerah Kota Surabaya.



Sementara Yana yang masih tinggal di Jakarta menjadi karyawan Bank DKI sekaligus menjadi pelatih pelatnas panahan. Suma, 52, tercatat sebagai pegawai kantor Pemerintah Gubernur Sulawesi Selatan. Dia juga menangani tim Sulsel ke PON Jawa Barat bulan September nanti. PutrinyaAmanda Fajriana, juga atlet panahan.

"Ini lumayan lama bisa bersama-sama selama tiga hari dan tidak di lapangan. Apa ya? Karena acaranya padat, kami rumpi-rumpi saja. Soal zaman dulu juga soal sekarang," kata Yana, 54.

Selain tiga srikandi yang berkumpul, Dellie Threesyadinda, putri Lilies, juga bergabung. Mengenakan dress selutut dipadu cardigan, Dinda tak canggung berkumpul dengan para seniornya. Mengikuti jejak sang bunda, Dinda juga menggeluti panahan. Prestasinya dibuktikan dengan sederet medali, di antaranya tiga medali emas dan dua perak Asian Grand Prix Laos 2011, satu medali emas 1st Asian Grand Prix 2013, dan satu medali emas (beregu) SEA Games 2013 di Myanmar. Dia juga nongol di film 3 Srikandi sebagai Fitrizal Iriani.

Sudah punya medali Olimpiade, anak yang meneruskan profesi sebagai atlet panahan, dan tetap berada pada trek panahan belum membuat mereka puas. Masih ada keinginan yang diangankan oleh tiga srikandi tersebut. Sebab, menurut mereka apa yang diperoleh saat ini adalah apa yang diimpikan di waktu sebelumnya.

"
Saya bahkan sudah bermimpi kalau ada film tentang kami setelah dapat medali Olimpiade itu. Pernah ditawari dua kali tapi ada kendala pada perijinan dengan federasi internasional. Tapi akhirnya jadi kenyataan sekarang," tutur Lilies.

"Memang ya semua itu berawal dari mimpi. Bahkan medali Olimpiade pun adalah mimpi Bang Donald," imbuh dia.

Pernah dimuat di detikSport, 28 Juli 2016 dengan judul: Ketika Lilies Handayani dkk. 'Terpanah' Reza Rahardian