Sabtu, 29 Januari 2011

Suryo Agung Ketimbang Film, Pilih Dinovelkan

Sprinter Suryo Agung Wibowo tak latah bikin biografi. Dia memberi acc saat kisah hidupnya jadi ide novel.



  Biografi atlet mulai jamak diterbitkan di Indonesia. Sebut saja kisah hidup pebulu tangkis yang kondang dengan smesnya, Liem Swie King, atau smes 100 watt Hariyanto Arbi. Namun, Suryo Agung Wibowo tak lantas latah mengikuti jejak dua pebulu tangkis kondang itu.

  ’’Kok sepertinya terlalu sombong menyajikan kisah hidup saya dalam sebuah biografi,” ujar pria berjuluk manusia tercepat Asia Tenggara itu. Pelari spesialis 100 meter itu tak menolak kisah hidupnya dija dikan ide utama sebuah novel. Judulnya Lari Gung! Lari! Tak hanya ide, novel itu nyaris 100 persen berdasar liku-liku perjalanannya.

  Bahkan, beberapa nama menggunakan nama sesungguhnya. Dari nama Agung, istrinya, sampai saudara-saudara yang dilibatkan pada novel tersebut. Tak heran jika jatuh bangunnya Suryo melakoni karir sebagai sprinter benar-benar terekam pada novel tersebut.

  Di antara halaman pembuka hingga akhir, ada satu bagian yang sangat digemarinya.

  ’’Saya kok ya pede (percaya diri) mem beberkan kenangan saat berjualan kue di Stadion Manahan pada 2006 lalu,” terang Suryo Agung.

  Waktu itu kebetulan Suryo tak dipanggil pelatnas Asian Games Doha. Maklum, di SEA Games 2005 dia hanya meraih perunggu. Karena tak ada tiket pelatnas, dia pun tak bisa berlama-lama di Jakarta karena statusnya juga masih atlet Jawa Tengah. Untuk mengisi kekosong an waktu dan menambah penghasilan, Suryo berjualan kue.

  Proses penyusunan novel itu memang berdasar wawancara dengan Suryo selama tiga hari pada awal 2010 lalu. Idenya malah dimulai sejak 2009, tepatnya sebelum SEA Games ke-25 di Laos.

  Waktu itu Setia Dharma Madjid, salah seorang pengurus Program Atlet Andalan (PAL) menjanjikan penyusunan biografi kepada Suryo Agung jika dia sanggup memecahkan rekor dan menuai medali emas di nomor andalannya, 100 meter. Target pun dipenuhi, proyek lantas jalan tanpa hambatan.

  Namun, sampai sekarang jangan harap bisa menemukan novel tersebut di toko buku atau agen koran. Ya, Menpora mengambil alih proses penyebaran novel setebal 200 halaman itu ke seluruh sekolah di Indonesia.

  ’’Saya saja cuma punya terbatas. Dengan terpaksa, saya tak bisa memberikan kalau ada teman yang minta,” ujar Suryo.

Minggu, 16 Januari 2011

Seharusnya Indonesia Tak Cuma Bisa Mencetak Satu Susi Susanti

Banyak pelajaran yang saya dapat saat meliput Asian Games (AG) XVI/2010 Guangzhou. Seharusnya Indonesia mulai berpikir bagaimana mencetak ribuan Susi Susanti seperti yang dilakukan Tiongkok.


  Guangzhou benar-benar menakjubkan. Kenangan itu akan saya bawa sampai ke tanah air nanti. Tak perlu berbicara tentang infrastruktur yang dimiliki ibu kota Provinsi Guangdong, Tiongkok itu.

  Cukup melihat dari perhelatan Asian Games XVI/2010 yang saya ikuti sejak pembukaan 12 November lalu hingga penutupan 27 November. Seharusnya pengurus besar dan KONI tak perlu takut mengembangkan olahraga tak popular, asalkan dilombakan di Olimpiade.

  Pertama menjejakkan kaki di Bandar Udara (Bandara) Baiyun, saya langsung kagum. Tak perlu bersusah payah menanti taxi seperti saat keluar bandara Soekarno-Hatta, tapi cukup menuju terminal subway yang masih berada dalam satu gedung untuk menuju tengah kota.

Tak hanya menghemat pengeluaraan, tapi juga mempercepat waktu tempuh. Pengalaman ber-subway memang tak bisa dipisahkan dari perhelatan AG. Sebab, Guangzhou membangun sarana ini juga untuk mendukung sukses menjadi tuan rumah AG. Termasuk pembanguan subway dari tengah kota ke bandara.

  Itu di luar arena. Keheranan saya tak berhenti saat meliput angkat besi dan atletik, dua cabang olahraga yang kebetulan diikuti oleh Indonesia. Sudah biasa jika bulu tangkis atau olahraga permainan seperti basket dan sepak bola penuh penonton. Apalagi prestasi bulu tangkis dan basket negeri Tembok Raksasa itu sangat memuaskan. Tapi angkat besi dan atletik di AG kali ini pun disesaki penonton.

  Angkat besi yang dihelat di Dongguan Gymansium tak pernah sepi penonton. Stadion Utama Aoti juga tak pernah sepi. Mereka rela membayar tiket nonton, bukan karena adanya pengerahan masa yang bukan hal aneh di Tiongkok. Alasan yang dikemukakan senada. Mereka ingin menonton
langsung penampilan sang idola.

  Ya, Tiongkok memiliki segudang atlet di angkat besi. Kali ini mereka menahbiskan diri menjadi juara umum dengan total perolehan delapan medali emas, dua perak, dan 11 perunggu. Dongguan pernah melahirkan juara dunia Chen Jing Kai. Di atletik juga sama, Tiongkok menjadi juara umum dengan mengoleksi 13 medali emas, 15 perak, dan delapan perunggu.

  Sorak sorai di stadion utama Aoti Sport Center bahkan jauh lebih semarak. Stadion berkapasitas 80 ribu penonton itu selalu penuh dari hari pertama perlombaan sampai hari terakhir. ’’Liu Xiang idola kami,” ujar beberapa penonton yang datang ke stadion.

  Saya dibuat geleng-geleng kepala dengan para penonton yang rela mengantri tiket dan melewati proses keamanan yang ketat demi melihat langsung aksi pelari gawang 110 meter Liu Xiang.

  Bahkan, tak sedikit yang harus merogoh kocek cukup dalam karena tiket sudah ada di tangan calo. Harga tiket nonton Liu mencapai 1.600 yuan alias Rp 2,1 juta.Tentu saja harga itu sudah jauh dari banderol yang dicetak 80 yuan atau hanya sekitar Rp 100 ribu.

  Nama Liu Xiang meroket setelah sukses menuai medali emas Olimpaide 2004. Emas itu sangat istimewa, karena mencatatkan namanya sebagai sebagai atlet Tiongkok pertama yang mencetak medali emas di atletik di nomor track.

  Tak hanya itu pemuda berusia 27 tahun tersebut juga sukses menahbiskan diri menjadi pemegang tiga mahkota, yakni pemegang rekor dunia, juara
dunia, plus juara Olimpiade.

  Saya lantas mengingat-ingat. Dahulu di masa kecil saya juga memiliki  pengalaman serupa. Tapi rasanya bisa lebih lama, tak hanya sekian detik seperti penampilan Liu di lintasan.

  Waktu itu, saat saya masih di sekolah dasar, rasanya gembira sekali melihat penampilan pebulu tangkis legendaris Susi Susanti. Ada detik-detik menegangkan setiap kali angka yang dicetaknya tertinggal. Momentum itu bahkan hanya bisa saya nikmati lewat televise pemerintah.

  Tak sendirian, selalu saja ada acara nonton bareng meski hanya melalui televisi 21 inchi yang sudah sangat top waktu itu. Gambaran itu diterjemahkan dengan apik pada film Liem Swie King.

  Sukses Susi di Olimpiade menjadi momentum yang kian mengukir namanya sebagai atlet terbaik yang dimiliki tanah air. Dasarnya bulu tangkis sudah popular, keberhasilan Susi yang kala itu semakin kinclong dengan mengawinkan gelar juara bersama calon suaminya Alan Budikusuma, kian membuat masyarakat latah menggilai bulu tangkis.

  Dari sana pembinaan pun lancar. Bagi para atlet, prestasi itu sekaligus mendongkrak dompet mereka. Makanya untuk induk organisasi cabang olahraga tirulah Tiongkok dan bulu tangkis (jaman jaya dahulu).

  Penonton bisa datang ke stadion karena memiliki jagoan yang memang layak ditonton. Bulu tangkis masih bisa bertahan karena memiliki Taufik Hidayat yang
cukup cemerlang. Menjadi juara dunia dan juga peraih emas Olimpiade. Muncul juga pemain ganda yang moncer di perhelatan internasional. Markis Kido/Hendra Setiawan, Nova Widianto/Liliyana Natsir dan masih banyak lagi.

  Sayang prestasi yang mulai naik turun mulai mengurangi popularitas bulu tangkis akhir-akhir ini. Saya menjadi teringat keluh kesah seorang bapak di Tianhe Gymnasium yang ikut nonton final ganda pria Indonesia Markis Kido/Hendra Setiawan kontra dua Malaysia Koo Kien Keat/Tan Boon
Heong.

  ’’Dulu penonton di Istora juga ramai begini. Saat Susi (Susanti) atau Ardi (B. Wiranata) latihan saja, Istora sudah penuh. Sekarang kenapa tidak lagi ya?” tutur dia.

  Untuk KONI saya rasa fokus saja ke cabang olahraga Olimpiade. Atlet yang sukses menuai medali emas, jelas akan bersinar dan turut mendongkrak gengsi cabang olahraga. Juga kepada pengurus besar tak selayaknya mengalah kepada nasib. Kini gejala itu mulai ditunjukkan oleh angkat besi. Siapa tahu dayung juga bsia sepopuler bulu tangkis.

  Jayalah olahraga tanah air. Caiyo!

Selasa, 04 Januari 2011

Sepeda sebagai Transportasi Alternatif Jarak Pendek di Guangzhou University Town

  Slogan bike to work di tanah air mulai menjadi trend baru-baru ini saja. Sebelumnya transportasi sepeda masih dianggap jadul alias jaman dulu yang artinya ketinggalan jaman. Tapi, pada perkembangannya kini justru sepeda menjadi transportasi yang jor-joran.

  Di Guangzhou sebaliknya. Para mahasiswa di lingkungan Guangzhou University Town justru sepeda menjadi pilihan utama untuk jarak dekat. Tapi jangan dikira, sepeda yang dipakai keluaran terbaru.

  Pemandangan berbeda begitu terasa antara kampus-kampus di Indonesia dengan salah salah satu kompleks universitas di Guangzhou, Guangzhou University Town. Kawasan yang dibangun di atas pulau di kawasan selatan Guangzhou itu begitu bersih dengan jalan-jalan yang luas.

  Guangzhou University Town memang cukup unik. Kawasan satu pulau itu sengaja dikonsentrasikan untuk bangunan kampus. Pembangunannya belum lama, baru 2004 lalu. Ada 10 universitas di sana. Yakni yang paling kondang dan berada di urutan pertama adalah Universitas Sun Yat Sen, kemudian diikuti South China University of Technology. Masih ada

  Sembilan universitas lain yang dari namanya saja sudah cukup membuat tercengang. Simak saja, ada universitas yang khusus mempelajari obat-obat tradisional Tiongkok, bukan jurusan atau sekedar fakultas. Yakni Guangzhou University of Traditional Chinese Medicine. Di tanah air, Universitas Indonesia sudah memiliki, tapi baru menjadi jurusan di salah satu fakultas.

  Delapan universitas lainnya adalah Guangdong Pharmaceutical University, Guangzhou University, South China Normal University, Guangdong University of Foreign Studies, Guangzhou Art College, Guangdong University of Technology, dan Xinhai Conservertory of Music.

  Lokasi yang terpusat itu memang memudahkan bagi mahasiswa yang ingin
belajar dua ilmu sekaligus dan berbeda universitas. Tapi ada masalah yang harus dihadapi. Lokasi tersebut menjadi kawasan tertutup, tak ada pemukiman penduduk. Namun pihak pengelola sudah menyiapkan asrama sebagai tempat tinggal. Harganya beragam, sesuai kapasitas kamar yang dibatasi satu hingga empat orang. Untuk kamar yang ditinggali satu orang dihargai 10.000 yuan atau sekitar Rp 13 juta setahun.

  Urusan transportasi juga sudah tak perlu bingung-bingung lagi. Bus dan subway tersedia sejak pukul 05.00 sampai 24.00 waktu setempat. Bus itu memiliki jurusan yang menjangkau seluruh kampus yang ada. Tapi untuk melipir dalam kampus, para mahasiswa punya cara tersendiri. Pilihannya jalan kaki yang tentu bakal menguras tenaga atau mengendarai sepeda dan naik ojek. Dua alternatif pertama menjadi pilihan utama, sedangkan anik ojek bisa dilakukan saat tak ada larangan dan punya duit lebih. Larangan itu berlaku sesuai keinginan pemerintah setempat, misalnya saat ada AG seperti ini.

  Kebijakan itu membuat banyak mahasiswa mau merogoh kocek untuk membeli sepeda. Tapi jangan dikira jika sepeda yang mereka pilih adalah keluaran terbaru dengan model up to date seperti di tanah air.

Sepeda yang dipilih adalah sepeda mini yang dilengkapi keranjang. Sepeda lengkap dengan boncengan besi bersegi empat seperti pada sepeda jengki. Tongkrongannya amat sangat jadul kalau orang Indonesia bilang. Mana ada mahasiswa Indonesia yang mau memakai sepeda model seperti itu di kampus-kampus di tanah air. Paling hanya komunitas sepeda yang mau mengendarai sepeda model tersebut di jalan-jalan perkotaan dan pada momen tertentu saja.

  Shao Guan, salah satu mahasiswa jurusan ekonomi, South China University of Tecony (SCUT), sengaja membeli sepeda sesegera setelah dia dinyatakan lolos menjadi mahasiswa.

  ’’Jarak satu kampus dengan yang lainnya cukup jauh. Dengan sepeda ini bisa membantu pergerakan saya. Lebih seru karena beberapa teman juga bersepeda,” ujar Guan.

  Sepeda itu, jelas Guan, tak pernah dibawa pulang. Maklum rumahnya cukup jauh dari kampus. Rumah Guan ada di kawasan lain yang berjarak 3,5 jam naik kereta. JIka lagi bosan naik kereta, dia memilih naik bus.

  ’’Nggak perlu khawatir hilang. Di kampus ada garasi untuk menyimpan sepeda semua mahasiswa,” ujar dia. Kalau memang harus bepergian lebih jauh, kereta bawah tanah atau bus yang lewat kampus.

  Untuk mahasiswa yang tak punya sepeda tak perlu pusing. Mereka bisamenyewa sepeda yang tersedia di kawasan tersebut. Harganya tak mahal-mahal amat untuk kocek mahasiswa, hanya 1,5 yuan perjam atau sekitar Rp 2000.

  ’’Motor memang dilarang di sini. Lagipula itu tak aman bukan. Kami juga harus beli bensin untuk mengendarainya, harga motor juga tak murah,” ujar Onyang Haowen, mahasiswa teknik informatika, SUCT.

  Seperti Shao Guan, Onyang juga memilih membeli sepeda. Sepeda miliknya bermodel sepeda mini plus dengan keranjang. Menurutnya model itu lebih pas dengan dia sebagai mahasiswa yang harus membawa perlengkapan dan peralatan belajar setiap hari.

  ’’Sepeda ini membantu banget. Lumayanlah nggak perlu capek-apek jalan,” ujar dia beralasan.

Shao Guan juga bisa berhemat tak perlu membayar ongkos bus atau membeli bensin.

  ’’Lagipula sangat berbahaya naik sepeda motor atau kendaraan yang lebih cepat. Di sini banyak sekali mahasiswa pada jam-jam terntentu, utamanya pagi dan sore hari,” terang pemuda yang punya nama Omen juga itu.

  Stefani Aztralia, mahasiswi tingkat tiga SCUT, mengakui sempat syok dengan kondisi di kompleks kampus tersebut. Maklum saat masih tinggal di Jakarta semuanya terbilang mudah. Dia tak perlu jalan kaki jauh-jauh untuk ke sekolah.

  ’’Tapi setelah tiga bulan berjalan semua malah terasa enak. Saya merasa di sini lebih aman, transportasi bus dan subway juga mudah,” ujar cewek yang akrab disapa Fani itu.

  Dia memimpikan Jakarta bisa menyediakan kemudahan transportasi layaknya di Guangzhou. ’’Di sini juga lebih aman saya rasa,” imbuh dia.

  Guangzhou disebut-sebut sebagai kota dengan transportasi terbaik di Tiongkok. Subway memiliki delapan jalur yang menjangkau hampir seluruh kawasan dalam kota. Bus juga tersedia 24 jam meski frekuensinya berkurang pada dini hari. Jalanannya pun mendukung. Di dalam kompleks Guangzhou University Town jalan-jalan dibangun dengan tiga jalur pada masing-masing arah.

  Kondisi itu tentu tak banyak ditemui di kawasan universitas di tanah air. Di Institut Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) akan lebih banyak berseliweran sepeda motor daripada sepeda pancal, demikian arek Suroboyo menyebutnya. Suasanya pun menjadi berbeda. Di sini, mahasiswa bisa duduk-duduk di sepanjang jalan sambil buka buku tanpa khawatir bising kendaraan bermotor.

  Tapi kondisi itu memang tak lepas dari peran pemerintah. Ada atau tidaknya AG, pemerintah Tiongkok melarang sepeda amotor masuk kota sejak Januari 2007 lalu. Malah selama AG berlangsung mereka juga menggilir plat mobil genap dan ganjil untukmengurangi kemacetan. Tapi moda transportasi umum juga ditingkatkan. Wah kapan Jakarta dan Surabaya mengikuti langkah tersebut ya?

Minggu, 02 Januari 2011

Podium Pertama Bagi Nana dan Sinta

Ivana Adelia Irmanto dan Ni Luh Sinta Darmariani menjadi bintang pada pekan pertama Asian Games XV/2010. Mereka menyumbangkan medali untuk Indonesia.

  Keharuan mewarnai gedung angkat besi Guangdong Stadyum Rabu malam
(17/11) lalu. Tak disangka-sangka Ni Luh Sinta Darmariani berhasil
menuai emdali perak di kelas 69kg pada Asian Games (AG) XVI/2010.

  Di atas kertas, Sinta sama sekali tak dijagokan. Total angkatan yang
dimiliki Sinta hanya berada di urutan keempat. Pesaingnya adalah
lifter tuan rumah Tiongkok dan Taiwan.

  Tapi Sinta berhasil membukukan angakatan jauh dari miliknya sendiri dengan total angkatan 137 kg. Hasilnya, Sinta mampu berada di urutan kedua dengan terpaut 4kg dengan peraih medali emas Liu Chunhong dari Tiongkok.

  ’’Saya tak menyangka bisa mendapatkan media perak. Apalagi dengan
total angkatan jauh dari angkatan terbaik saya,” ujar Sinta.

  Firasat untuk mendapatkan medali sama sekali tak dirasakannya. Malam sebelum berlaga, gadis asal Bali itu malah jalan-jalan di mall. Tak ada beban
dan tak ada target pribadi. Tapi justru tak adanya beban menyumbangkan
medali itu membuat SInta tampil rileks. Dia malah menyempatkan diri
untuk jalan-jalan di pertokoan dalam lingkungan perkampungan atlet.

  Tapi rupanya kebiasaan unik Sintalah yang menjadi pembuka berkah.
Peraih medali emas SEA Games XXIV/2007 di Nakhon Ratchasima itu selalu
mengajak salaman Ivana Ardelia Irmanto, atlet yang menyumbangkan medali
perak pertama bagi Indonesia.

  ’’Biasanya ketemu di ruang makan dan sebelum even saya bertemu Ivana dua kali,” kenang Sinta. Pertama saat Ivana usai mednapatkan medali perak. Kemudian yang kedua malam tepat sebelum Sinta berlaga.

  ‘’Saya nggak mau tuh salaman dengan teman-teman yang pada dapat perunggu,” canda Sinta. ’’Syukur bisa ketularan,” imbuh wanita kelahiran 22 Desember 1986 itu dengan gembira.

  Yang lebih membahagiakan Sinta, medali itu membuat dia bisa naik podium AG untuk kali pertama. Empat tahun lalu di Doha, cewek yang sudah berstatus
PNS itu memang meraih perunggu, tapi Sinta tak naik podium.

  Perunggu yang diperolehnya terkait vonis doping kepada lifter
peringkat ketiga dari Myanmar. Pemberitahuan sebagai atlet peraih
perunggu didapat setelah dia berada di Bali, kampong halamannya. Tapi
medali nggak smapai di tangannya, hanya bonus dari pemerintah yang
dinikmati SInta.

  Sama seperti Sinta, Nana, sapaan karib Ivana Adelia Irmanto, juga tak
menyangka jika bisa mendpatkan perak. Yang paling istimewa dia menjadi
penyumbang medali pertama bagi Indonesia. Tak cuma itu, Ivana sama
sekali tak dijagokan menyumbangkan medali. Lolosnya siswa SMA kelas 2
SMA Bopkri itu ke pelatnas saja sudah sangat mepet dengan
keberangkatan ke Guangzhou.

  Nana malah hanya berlatih di Beijing selama satu pekan. Seangkan atlet
wushu Merah Putih lainnya sampai satu hingga tiga bulan. Selama
berlatih di tanah air, boleh dibilang Nana tak mendapatkan polesan
optimal.

  Gurunya di sasana Sinduadi, Jogjakarta Zhao Chang An memiliki
psesifikasi jurus yang berbeda dengan dia. Nana berkonsentrasi pad
ajurus Nanquan alias tangan kosong dan nandao, golok kecil.

  ’’Saya sama sekali tak menyangka menjadi penyumbang medali perak apalagi bisa lebih baik dari para senior,” ujar gadis berlesung pipit itu.

  Malam hari sebelum turun ke lapangan, Nana sempat merasakan tak bisa
tidur. Maklum AG merupakan even multieven Asia pertamanya. Dia juga
belum lama bergabung dengan kelas senior. Belum genap setahun lalu,
sejak Nana tampil di Kanada Terbuka 2009.

  Selain itu dia teringat awal keberangkatannya ke Beijing, saat akan mengikuti pelatnas di Beijing.  Waktu keberangkatan Nana dari Jakarta bertepatan dengan Gunung Merapi  memuntahkan awan panas. Rumahnya di Kaliurang dan Godean termasuk  daerah yang kebagian luncuran awan tersebut.

  ’’Saya sempat ragu untuk berangkat ke Beijing. Tapi pelatih saya
meyakinkan kalau saya lebih baik membulatkan tekad ke Tiongkok dan
berlatih lebih intens. Syukurlah keluarga semuanya baik,” ujar dia.

Pengorbanannya mendapatkan imbalan setimpal. Nana berhasil membawa
pulang medali perak. Hebatnya lagi, dia menuai medali perak AG pada usia yang cukup muda, 17 tahun.(*)

Ini hanya terbit di blogku saja

Sabtu, 01 Januari 2011

Di Warung Kopi

Hari ini seperti juga kemarin
Berakhir pada secangkir kopi pahit
Dan ingin merebahkan diri
Bukan di kediaman
Cukup di pojok remang kedai minuman
Sejenak melepas beban tugas
Untuk mengganti pokok pikiran di otak kanan
Tak perlu motor berpolusi
Cukup jalan kaki
Sementara perut tak bisa dibohongi
Dia juga meminta jatah dini hari
Terpaksa kucari sedikit nasi
Sejenak kutinggalkan kopi
Kutelusuri gang sempit
Mencari warung dini hari
Seolah menjadi pekerja sensus
Tapi tak kutemui
Aku memilih kembali
Dan kunikmati saja dingin kopi
Sembari menanti pagi

tahun baru

Tahun baru kali ini begitu istimewa. Masih beraroma semangat pasukan Garuda pada Piala Suzuki AFF 2010.
 Hanya runner-up tapi paling tidak bisa menggugah rasa kebangsaan dan nasionalisme rakyat Indonesia.
Aku menjadi ingat benar saat Piala Thomas dan Uber 2008 di Istana Olahraga (Istora) Senayan, Jakarta.
Waktu itu Merah Putih juga diagung-agungkan. Penyebabnya tim Uber juga sanggup melaju ke partai final. Sayang gelar juara tak dituai. Namun lagi, lagi semangat kebangsaan dan nasionalisme begitu meluap. Tak dimungkiri peran pemain legendaris Susi Susanti yang sampai turun gunung.
''Biar saja semua orang bilang ini mission imposible. Tapi saya yakin tim Uber bisa mendapatkan hasil maksimal," ujar dia sebelum Piala Uber dimulai.
Namun hati saya miris saat melihat status salah satu pemain nasional di jejaring sosial miliknya. Dia mempertanyakan kenapa rakyat bisa marah saat prestasinya jeblok. Tak sadarkah posisimu sebagai hiburan mahadasyat untuk kemiskinan negeri ini.

Ah sudahlah...selamat tahun baru..........................................
Jayalah Merah Putih!