Sprinter Suryo Agung Wibowo tak latah bikin biografi. Dia memberi acc saat kisah hidupnya jadi ide novel.
Biografi atlet mulai jamak diterbitkan di Indonesia. Sebut saja kisah hidup pebulu tangkis yang kondang dengan smesnya, Liem Swie King, atau smes 100 watt Hariyanto Arbi. Namun, Suryo Agung Wibowo tak lantas latah mengikuti jejak dua pebulu tangkis kondang itu.
’’Kok sepertinya terlalu sombong menyajikan kisah hidup saya dalam sebuah biografi,” ujar pria berjuluk manusia tercepat Asia Tenggara itu. Pelari spesialis 100 meter itu tak menolak kisah hidupnya dija dikan ide utama sebuah novel. Judulnya Lari Gung! Lari! Tak hanya ide, novel itu nyaris 100 persen berdasar liku-liku perjalanannya.
Bahkan, beberapa nama menggunakan nama sesungguhnya. Dari nama Agung, istrinya, sampai saudara-saudara yang dilibatkan pada novel tersebut. Tak heran jika jatuh bangunnya Suryo melakoni karir sebagai sprinter benar-benar terekam pada novel tersebut.
Di antara halaman pembuka hingga akhir, ada satu bagian yang sangat digemarinya.
’’Saya kok ya pede (percaya diri) mem beberkan kenangan saat berjualan kue di Stadion Manahan pada 2006 lalu,” terang Suryo Agung.
Waktu itu kebetulan Suryo tak dipanggil pelatnas Asian Games Doha. Maklum, di SEA Games 2005 dia hanya meraih perunggu. Karena tak ada tiket pelatnas, dia pun tak bisa berlama-lama di Jakarta karena statusnya juga masih atlet Jawa Tengah. Untuk mengisi kekosong an waktu dan menambah penghasilan, Suryo berjualan kue.
Proses penyusunan novel itu memang berdasar wawancara dengan Suryo selama tiga hari pada awal 2010 lalu. Idenya malah dimulai sejak 2009, tepatnya sebelum SEA Games ke-25 di Laos.
Waktu itu Setia Dharma Madjid, salah seorang pengurus Program Atlet Andalan (PAL) menjanjikan penyusunan biografi kepada Suryo Agung jika dia sanggup memecahkan rekor dan menuai medali emas di nomor andalannya, 100 meter. Target pun dipenuhi, proyek lantas jalan tanpa hambatan.
Namun, sampai sekarang jangan harap bisa menemukan novel tersebut di toko buku atau agen koran. Ya, Menpora mengambil alih proses penyebaran novel setebal 200 halaman itu ke seluruh sekolah di Indonesia.
’’Saya saja cuma punya terbatas. Dengan terpaksa, saya tak bisa memberikan kalau ada teman yang minta,” ujar Suryo.