Senin, 14 September 2015

Hanya Peringkat Keempat Asia Tenggara, Olahraga Indonesia Mau Dibawa Kemana?

Dengan anggaran Rp 250 miliar, besar harapan Indonesia kembali menjadi juara umum SEA Games XXVII Myanmar. Namun, jauh panggang dari api, “Merah Putih” terlempar dari urutan tiga besar.

Bisa apa dengan uang Rp 250 miliar? Manajemen Persib Bandung mencatat nominal sebesar itu bisa digunakan untuk belanja pemain hingga 18 musim dengan acuan musim 2013. Namun, uang sebesar itu bahkan tak cukup membayar gaji setahun Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.

Namun, buat pemegang kebijakan nominal sebesar itu bisa jadi bahan buat “ngeles”. Ya, nominal itulah yang dikucurkan pemerintah untuk menyiapkan 665 atlet menuju SEA Games XXVII/2013.

Pemerintah memang masih menjadi sumber utama pembinaan prestasi olahraga. Tapi , tentu saja kontingen Indonesia tak hanya mengandalkan dana sebesar itu. Ada dana dari sumber lain yang mengalir. Artinya ad nominal lebih besar dari Rp 250 miliar untuk bahan ngeles.

Beberapa cabang olahraga sukses menggaet sponsor lain. PP Perbasi misalnya, didukung barisan bank syariah untuk terbang ke Myanmar. Jelang keberangkatan, mereka sampai dilepas Kementrian Agama. Begitu pula bulutangkis yang mendapatkan suntikan dana dari Pertamina.

Tapi apa yang dibawa pulang dari Myanmar? Alih-alih mempertahankan predikat juara umum, “Merah Putih” gagal menduduki urutan tiga besar multievent dua tahunan bangsa-bangsa Asia Tenggara itu. Indonesia hanya menghuni peringkat keempat dengan torehan 65 emas. Jumlah emas yang jauh dari patokan target, 120 emas.

Memang, dengan dana itu, memang pengurus-pengurus besar/pusat cabang olahraga dibuat tak berkutik. Jumlahnya sudah minim, pencairannya pun tersendat. Gaji telat, peralatan terlambat, dan pengurangan kuota menjadi drama yang mengikuti.

Muncullah istilah para tukang talang alias pihak-pihak yang rela memberikan dana talangan lebih dahulu. Mereka benar-benar relawan sebab kalau tak memegang prinsip “uang kembali syukur, tidak kembali ya anggap saja beramal” dijamin bakal menyesal. Semacam muncul konvensi, semua harus bermodal ikhlas. Tidak boleh merogoh kocek dengan niatan investasi.

Tapi tak semua pihak siap jadi tukang talang. Perusahaan media yang cermat menghitung profit mulai enggan ambil bagian dalam mencatat sejarah yang dibuat di SEA Games. Memberangkatkan pewarta, tulis dan fotografer, ke SEA Games dinilai tak lagi mendongkrak oplah dan jumlah klik atau rating. Toh, kemungkinan untuk menjadi juara umum atau minimal mendapatkan medali emas dari sepakbola—sebagai jualan terbesar—bukanlah angka pasti.

Saya yakin, perusahaan media lama-lama tak sendirian jika pemerintah dan mereka yang terlibat di olahraga itu terus-menerus tak bisa mengelola dana, atlet dan potensi yang ada untuk meraup prestasi yang “hanya” di kawasan Asia Tenggara.

Kenyataannya bukannya segera mengevaluasi dengan detil, pemilik kebijakan dan mereka yang bertanggung jawab malah sibuk mencari kalimat ala berhastag #pasangtameng. Yang paling gampang sih dengan mudah memilih kalimat: serba tuan rumah.

“Myanmar banyak melakukan kecurangan. Terutama di nomor-nomor yang tak terukur.“

“Cabang olahraganya diada-adakan, sesuai permintaan Myanmar.”

Itu sedikit kalimat yang dilontarkan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo Senin (23/12/2013) siang meski sebelumnya dia merasa sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kegagalan “Merah Putih”.

Faktanya, Indonesia gagal total di cabang olahraga terukur. Renang, atletik, panahan dan cabang olahraga terukur lainnya tak satupun mencapai target yang diharapkan. Hanya catur dan kempo—yang bukan olahraga terukur—yang melampaui target. Bulutangkis, wushu, berkuda adalah cabang olahraga yang pas target. Sisanya gagal total!

Apalagi kalau menyimak SEA Games XXVI/2011 di Palembang dan Jakarta, bukankah kita juga memperlakukan dua hal serupa kepada para tamu? Kita membuat cabang olahraga yang membuat pundi emas kian gemuk. Wasit-wasit kita juga berat sebelah kok.

Nyatanya kita mengirimkan atlet paling banyak, 1059 saat itu. Cabang olahraganya juga tak sedikit yang “aneh” dan menawarkan banyak emas. Seperti sepatu roda, panjat dinding dan paragliding.

Kalau Myanmar atau tuan rumah lainnya melakukan hal serupa, kita mau bilang apa? Protes pun sepertinya tak akan berani dilakukan. Malah mempermalukan diri sendiri bukan?

Tapi pemerintah, KONI dan KOI juga tak lantas boleh diam saja. SEA Games sudah jadi tradisi yang sayang ditinggalkan tapi buang-buang duit saja untuk terus diikuti.

Sejatinya publik akan maklum jika sejak awal menpora, KONI dan KOI plus Satlak Prima mengumumkan target 60 emas sebelum berangkat. Kontingen berangkat dengan kondisi kurang ini kurang itu. Tapi ketidakpiawaian menghitung kekuatan sendiri dan memetakan kekuatan lawan menjadi blunder.

Berpikir sajalah, SEA Games dijadikan ajang uji coba untuk anak-anak muda yang diproyeksikan ke level lebih tinggi Asian Games. Sayangnya, siang tadi saat evaluasi, menpora justru berpikir terbalik: Asian Games Incheon akan jadi batu loncatan ke SEA Games 2015 di Singapura dan 2017 di Malaysia.

Dengan logika itu, jangan harap olahraga Indonesia akan kemana-mana. Paling, paling dua tahun lagi kita akan mendengar kalimat serupa.

"Singapura banyak melakukan kecurangan. Terutama di nomor-nomor yang tak terukur.”

“Cabang olahraganya diada-adakan, sesuai permintaan Singapura.”

Mau dibawa ke mana olahraga Indonesia ini dengan hanya berdalih seperti itu?

 
Catatan SEA Games XXVII/2013 Myanmar

Minggu, 13 September 2015

Ketika Para Legenda Bulutangkis Berkumpul di Markas PB Djarum

Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis 2015 sekaligus menjadi ajang reuni para mantan pemain era 1970-an. Ngobrol soal kesehatan dan batu akik jadi tema pembicaraan yang menghangatkan pertemuan mereka.


Audisi Kudus tak hanya jadi tempat penyaringan atlet untuk mengisi PB Djarum, sebagai audisi terakhir dan grand final. Tapi, juga menjadi tempat reuni para legenda bulutangkis Indonesia.

Djarum mendatangkan 14 pemain legenda ke markas mereka di GOR Djarum, Jati, Kudus selama empat hari penuh. Mereka -- Christian Hadinata, Lius Pongoh, Eddy Hartono, Hariyanto Arbi, Kartono Hari Atmanto, Heryanto Saputra, Liem Swie King, Denny Kantono, Bobby Entarto, Simbarsono Sutanto, Johan Wahyudi, Maria Kristin Yulianti, Hastomo Arbi, dan Fung Permadi -- tiba di Kudus sejak Senin (31/8/2015) sampai hari ini (3/9/2015).

Meski memiliki nama besar di dunia bulutangkis, beberapa dari mereka sudah lama menghilang dari dunia olahraga. Johan Wahjudi, misalnya, sejak gantung raket di tahun 1982 dia seolah bertapa dan menjauh dari dunia bulutangkis, juga rekan-rekannya sesama pemain. Pekan ini, di Kudus, setelah 33 tahun, dia berjumpa lagi dengan Liem Swie King dan Hadiyanto.

"Enggak menyangka ya kalau kami bisa berjumpa saat ini, bahkan sampai banyak begini," kata Johan, pemilik enam gelar juara All England di nomor ganda putra bersama Tjun Tjun itu.

"Justru saya yang menghubungi Pak Yoppy (Rosimin, program director Djarum Bakti Indonesia) lebih dulu. Kata salah satu rekan saya, Pak Yoppy berulang kali menghubungi saya tapi sulit. Kemudian saya minta nomornya Pak Yoppy dan sayatelpon dia. Karena gregetan dengan prestasi bulutangkis nasional saat ini," tutur mantan pemain asal Malang, Jawa Timur itu.

Baca juga: Liem Swie King dan Hastomo Arbi, Awal Cikal Bakal PB Djarum Kudus

Rupanya, Johan sudah menyimpan kerinduan kepada dunia olahraga nasional sejak mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan olahraga nasional dari Kemenpora di tahun 2013. Sejak itu dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk peduli lagi dengan olahraga nasional. Apalagi dari berbagai sumber dia mendapati kalau prestasi bulutangkis Indonesia sedang naik turun

Komunikasi dengan Yoppy membuat Johan makin happy. Dia tak sendirian diajak untuk berkumpul dalam rangkaian audisi.

"Ternyata Pak Yoppy juga mengajak mantan-mantan pemain lain. Saya langsung kontak-kontakan dengan Liem Swie King. eh rupanya dia bersedia juga, saya makin semangat," ucap pria yang kini berusia 62 tahun itu.
Tak dinyana, pertemuan dengan Sie King terjadi lebih cepat dari bulan September. Mereka tergabung menjadi tim pemandu bakat di Jember, kota pertama audisi Djarum, empat bulan lalu.

Pertemuan di Jember itu menjadi pertemuan pertama sejak 1982. Itu ketika Johan memutuskan untuk pensiun.

"Saya lihat dia, tidak banyak berubah. Wajahnya kan memang baby face gitu dari dulu. Pertama-tama saya tanyakan kesehatan dia. Saya lihat jalannya sedikit pincang, ada apa? Saya beri obat," kata dia.

Berjalannya audisi hingga sembilan kota membuat mereka menjadi lebih sering berjumpa. Obrolan pun berkembang sampai ke hal-hal lain. Pertemuan paling baru terjadi di Kudus dalam audisi kesembilan ini. Hobi yang sama--selain bulutangkis--dilakoni bersama-sama.

"Kami nyari batu akik bersama-sama di Werdu. Bersama-sama Lius, Hardiyanto, dan Haryanto Arbi dan salah satu teman kami. Kami gunakan waktu istirahat, sekalian buat jalan-jalan he he he," kata Swie King.

"Saya ikut-ikut saja soal batu akik. Di rumah ada beberapa tapi belum sampai 100 biji kok. Saya juga mencari batu akik khas daerah kalau kebetulan sedang pergi ke daerah-daerah," jelas pria yang dikenal sebagai King Smash itu.

Baca juga: PB Djarum Buka-bukaan soal Dapur dan Nutrisi

Yoppy mengakui ada upaya khusus untuk mengumpulkan para legenda itu. Utamanya untuk merangkul kembali Johan dan Swie King.

"Paling sulit dua orang itu. Mereka kan sempat lama 'bertapa di gunung'. Saya rayu, Liem Swie King untuk kembali ke Kudus. Dia kan orang Kudus asli. Dia juga punya nama besar dari bulutangkis. Akhirnya bersedia," kata Yoppy.

"Saya juga coba untuk ajak Tjun Tjun. Dia tidak menolak tapi samai hari H tidak hadir, Mungkin ada sesuatu hal. Tidak apa-apa. Kami mengumpulkan legenda-legenda ini bukan melulu karena Djarum tapi karena mereka mantan pemain yang mempunyai kemampuan kelas dunia," jelas Yoppy.

Malam ini tampaknya bakal jadi malam terakhir kebersamaan mereka di Kudus. Itu bersamaan dengan berakhirnya audisi umum PB Djarum.

"Tidak, sama sekali tidak ada penyesalan untuk kumpul-kumpul seperti ini. Sebaliknya saya senang karena tidak cuma reuni tapi juga rencananya akan sering ke Kudus untuk memantau perkembangan mereka," jelas Swie King.

Jumat, 11 September 2015

Mengintip Dapur PB Djarum: Ada Menu Khusus untuk ‘Anak Kurus’

PB Djarum membangun pusat pelatihan bulutangkis di Kudus, Jawa Tengah seideal mungkin. Termasuk penyediaan kebutuhan makanan untuk para atlet dan barisan pelatih, sampai-sampai ada menu khusus untuk ‘anak kurus’.


Pekan lalu bersama rombongan dari Jakarta, saya berkesmepatan bertandang ke markas PB Djarum di Jalan Jati, Kudus, Jawa Tengah. Disambut GOR dengan 16 lapangan latihan plus asrama dengan desain modern, saya juga berbincang dengan koki PB Djarum, Susilo.

Pukul 04.00 WIB, dapur di PB Djarum mulai sibuk. Dua petugas sudah meracik jus sebagai salah satu menu di sela-sela latihan pagi. Berselang 30 menit kemudian dua koki lain mulai menyiapkan menu sarapan.

Susilo, 41, tinggal menyesuaikan. Dia mengisi bagian yang bolong. Toh, menu sudah disiapkan di awal bulan. Mereka juga bukan tim yang baru.

“Saya sudah 10 tahun menangani dapur Djarum. Sudah biasa memulai kerja dari pagi dan bersama-sama tim,” kata Susilo yang ditemui detikSport di Kudus, Jawa Tengah belum lama ini.

Tim dapur bukan hanya mereka berempat. Ada satu lagi, dokter gizi, yang selalu memantau kecukupan nutrisi para pemain PB Djarum.

Mereka tidak hanya bertugas menyediakan asupan makanan yang cukup nutrisi, tapi juga sesuai selera para pemain dan pelatih. Soal yang kedua, Susilo tak kesulitan. Sebagai lulusan sekolah boga, dia punya banyak daftar menu makanan yang bervariasi.

“Sebulan sekali ada pertemuan dengan dokter gizi untuk evaluasi. Apakah menu yang sudah diberikan satu bulan lalu disukai atau tidak. Kami juga bertanggung jawab terhadap pemantauan berat badan atlet,” kata Susilo.

Agar memudahkan pemantauan, Susilo menyusun atlet dalam beberapa kategori sesuai kelompok umur dan penanganannya. Di antara kelompok-kelompok itu, ada satu grup yang menarik, yakni kelompok “anak kurus”.

Dari daftar yang dimiliki Susiolo saat ini, ada sembilan anak yang masuk kategori tersebut. Mereka mendapatkan penanganan khusus dengan tambahan makanan di luar jadwal normal.

“Kategori ini kebanyakan diisi dari atlet-atlet kelompok umur di bawah 15 tahun dan baru masuk. Mereka sulit sekali makan. Makanya kami tambah dengan makanan ringan empat sampai lima kali sehari,” tutur Susilo.

“Untuk kategori anak kurus ini kami tak bisa menangani sendirian. Kami bekerja sama dengan pelatih. Utamanya untuk membujuk si anak agar mau menaati jadwal makan,” imbuh dia.

Menurut Maria Kristin Yulianti, pelatih tunggal putri U-13 PB Djarum, persoalan itu memang seolah jadi tradisi. Setiap tahun ada saja anak-anak yang masuk kategori ‘anak kurus’.

“Ada lo anak-anak yang sampai menyembunyikan makanan di bawah piring. Bisa jadi mereka tidak doyan, utamanya sayur. Tapi kami kan memantau terus dan kami bujuk dengan segala cara agar anak-anak menghabiskan makanan yang sudah disediakan,” ucap Maria.

Saat ini, PB Djarum dihuni 77 atlet dan 13 pelatih. Untuk memenuhi makan seluruh personal itu, Susilo biasanya menyiapkan sekitar 30-40 kilogram beras per hari. Kebutuhan beras di pagi hari paling sedikit, paling hanya 10 sampai 15 kilogram karena atlet dan pelatih diberi pilihan roti tawar dan sereal.

Beras untuk makan siang dan malam biasanya masing-masing waktunya butuh 15-20 kilogram. “Untuk sayur dan lauknya bervariasi. Biasanya satu kali makan kami sediakan dua macam sayur dan satu macam lauknya. Buah selalu ada,” ucap dia.

Sebagai gambaran, lanjut Susilo, untuk memenuhi makan siang timnya harus menyiapkan ikan hingga 14 kilogram atau udang dengan jumlah yang sama. Untuk ayam kampung biasanya mencapai 25 ekor.

Sayur juga bervariasi. Hari ini sayur lodeh, besok sayur asam. Dan bisa berganti dengan sop. Suplemen dan vitamin disediakan di ruang makan yang ada di seberang dapur dan tepat di belakang GOR.

Bagaimana kalau atlet bosan dengan menu makanan dna ingin jajan di luar?

“Kalau ingin jajan di luar tidak masalah, asalkan mereka menghabiskan jatah makanan yang sudah disediakan. Para atlet juga dibekali pengetahuan soal risiko makan di luar,” jelas Susilo.

Pernah dimuat di detikSport atau bisa dibaca di dapur PB Djarum

Perjalanan PB Djarum: Dari Barak Rokok menjadi Hall 16 Lapangan

Perjalanan PB Djarum dimulai dengan munculnya bocah berbakat dari Kudus, Liem Swie King dan Hastomo Arbi. Dalam perjalanannya, klub itu mempunyai markas sendiri dan menjadi klub bulutangkis raksasa di tanah air.


Munculnya Liem Swie King dalam Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis 2015 membuka cerita lama soal cikal bakal PB Djarum. Program Director Bakti Olahraga Djarum Fundation, Yoppy Rosimin, menyebut Liem Swie King adalah sosok sentral berdirinya PB Djarum Kudus.

Konon, dia ditemukan langsung oleh owner Djarum, Budi Hartono, ketika tengah bermain di lapangan outdoor. Sekali dua kali Budi menyaksikan kehebatan Siwe King bocah. Dia pun direrut untuk berlatih bersama para karyawan Djarum yang berlatih tiap malam di barak rokok milik Djarum di Kudus, Jawa Tengah.

aya berkesempatan mengorek cerita itu dalam salah satu perjalanan ke Kudus, Jawa Tengah di pekan pertama September 2015 ini. Cerita makin mengasyikkan dengan hadirnya para legenda bulutangkis yang sekaligus jadi cikal bakal PB Djarum, Liem Swie King dan Hastomo Arbi.

****

Ketika para pelinting rokok pulang, salah satu barak di Jalan Bitingan Lama, Kudus ‘disulap’ menjadi lapangan bulutangkis. Karyawan pabrik rokok itu memanfaatkan gedung tersebut sebagai tempat untuk menyalurkan hobi bermain bulutangkis.

Suatu ketika di tahun 1960-an, gedung itu tak hanya menampung karyawan. Ada tiga bocah yang ikut berlatih di sana. Dua di antaranya Liem Swie King dan Hastomo Arbi.

“Dulu kami latihan di gedung lama, di Jalan Bitingan Lama. Setiap sore kami harus menyingkirkan alat-alat untuk bikin rokok itu. Bau ruangan juga sangat menyengat, bau cengkeh, bau tembakau. Biasanya mulai pukul 18.30 sampai jam 21.00. Setelah latihan selesai kami kembalikan lagi alat-alat itu ke tempatnya,” kata Hastomo.

“Kami dulu dilatih langsung oleh Pak Budi Hartono. Waktu itu latihannya sederhana saja, eh ternyata latihan itu benar lho. Jam 16.00 latihan fisik dulu, yang paling umum lari,” ucap kakak Haryanto Arbi itu.

Latihan fisik itu biasanya digeber di Desa Colo, Kecamatan Dawe yang mempunyai jalur tanjakan ke arah Gunung Muria.

Adanya dua pemain yang berlatih bersama-sama karyawan itulah yang menjadi tonggak berdirinya PB Djarum. Sejak adanya tiga bocah tersebut Djarum mulai merekrut pemain-pemain muda usia untuk bergabung. Tentunya bukan hanya karena kehadiran Liem Swie King dkk. tapi juga karena mereka mampu menunjukkan prestasi yang menawan di level nasional.

Ya, Liem Swie King yang menunjukkan prestasi bagus di kancah nasional membuat Budi Hartono, pemilik PT Djarum mulai berniat serius membina atlet muda. Hastomo yang sempat bergabung kemudian lepas dari Djarum, direkrut lagi.

Baca juga: Ketika Para Legenda Reuni di Markas PB Djarum

Pemain-pemain muda mulai ditarik untuk bergabung. Pelatih didatangkan. Kala itu Djarum belum menyediakan asrama. Para pemain kos di sekitar barak di jalan Bitingan Lama itu.

Latihan di barak Jalan Bitingan Lama itu berlangsung hingga 1982. Pusat latihan POR Djarum dipindah ke GOR Kaliputu yang juga ada di Kudus. Saat itu Djarum bukan hanya membina bulutangkis, tapi juga jadi pusat pelatihan bridge, tenis, tenis meja, sepakbola, dan voli.

GOR Kaliputu dibangun khusus untuk pusat pelatihan bulutangkis. Ada 10 lapangan dan asrama pemain. Dari Kaliputu itu lahir pemain-pemain bintang seperti Hariyanto Arbi, Denny Kantono, dan Sigit Budiarto.

Dalam perjalanannya, prestasi bulutangkis mulai tak konsisten di tahun 2000. Petinggi Djarum, Victor Hartono, menggagas untuk membuat GOR baru yang lebih luas dengan fasilitas yang lebih komplet.



GOR itu kemudian dibangun di atas tanah 4 hektar di Jalan Jati, Kudus. Selain hall dengan 16 lapangan, asrama berkapasitas 80 atlet serta rumah untuk pelatih, GOR itu juga memiliki kantor dan perpustakaan, ruang latihan beban, ruang pijat, dan fisioterapi. Asrama juga dilengkapi ruang makan dan dapur. Untuk mengatur menu bagi para atlet itu disediakan dokter gizi dan tim koki.

Menurut Edy Prayitno, ketua bagian administrasi GOR Djarum, menyebut saat ini ada 77 atlet menghuni asrama tersebut, masing-masing 43 putra dan 34 putri.

Sekali waktu, GOR itu juga digunakan untuk kegiatan di luar para pemain Djarum. Tahun 2014, PBSI memanfaatkan PB Djarum sebagai lokasi karantina menjelang Piala Thomas Uber.

Rencananya 7-11 Oktober tahun ini, GOR Djarum juga bakal jadi perhelatan Kejuaraan Asia U-15 dan U-17.

GOR itu kini menanti kelahiran bintang-bintang dunia. Semoga ada kado terindah di tahun depan, saat GOR tepat berusia 10 tahun.

“Dulu fasilitas seadanya saja juara melulu, sekarang dengan fasilitas yang lebih bagus semestinya juara lebih banyak dicetak,” kata Liem Swie King.

Saat Tangis Itu Benar-benar Luka

Ini bukan tawaran solusi, hanya curahan hati 


  Kekalahan Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir di semifinal Olimpiade 2012 London benar-benar menyesakkan. Ngoceh di twitter dengan sumpah serapah untuk para pejabat dan ofisial yang menyiapkan amunisi ala kadarnya untuk atlet ke multieven empat tahunan menjadi pelipur lara.

 Namun air mata Butet, begitu saya menyebut Liliyana, yang memaksa tumpah saat dicegat media usai pertandingan dan Towi yang memilih mojok dengan menutup wajah memakai handuk, yang ini lewat pandangan mata Widya Amelia, penulis di PBSI, membelokkan kesedihan menjadi luka patah hati tanpa ucapan perpisahan. Amat sangat menyakitkan.

 Kemudian pekerjaan menuntut saya merangkum foto-foto lama Susi Susanti, Alan Budi Kusuma, Ricky Subagja dan Rexy Mainaky. Juga memori Tony Gunawan dan Candra Wijaya serta Taufik Hidayat dan Markis Kido/Hendra Setiawan yang naik podium tertinggi membuat semakin melankolis. Saat itu pasti Indonesia Raya berkumandang di seantero ruangan. Gemanya mengalir sampai jauh…jauh sekali dan semakin riuh di negri kita sendiri.

 Mereka juga menitikkan air mata. Haru. Sakral. Foto itu merekam bagaimana tak saya temukan kebengalan di wajah Taufik dan keisengan yang terlanjur distempel untuk menggambarkan Rexy. Suka cita begitu jelas di wajah Kido. sama sekali tak ada amarah meski di atas podium kepalanya dielus ganda Cina Fu Haifeng dan menjadi abadi sampai bertahun-tahun kemudian.

 Ah, seandainya air mata Butet dan Owi setara dengan tears of joy milik pendahulunya. Juga suka cita itu.

 Namun, jika boleh jujur saya justru menyimpan rasa syukur kali ini Indonesia tak pulang membawa emas. Saya belum dapat melupakan duka lara di New Word  Hotel, Wuhan Mei lalu. Di hotel itu Taufik Hidayat yang masih menjadi jendral para pemain Indonesia meski tak lagi menjadi pebulu tangkis pelatnas menumpahkan keluh kesahnya.

  Acara wawancara itu sudah tak beda dengan sesi curhat si peraih medali emas Olimpiade Athena 2004 tersebut. Betapa sangat amburadulnya persiapan Piala Thomas Uber. Betapa keberangkatan ke negri berpenduduk semiliar orang itu bak formalitas belaka. Bahkan tim Uber yang harus terseok untuk mendapatkan tiket putaran final pun tak menjadi alasan kuat untuk berbenah. “Tak ada evaluasi setelah babak penyisihan di Makau itu.”

 Nah, saya menduga PB PBSI juga tak melakukan evaluasi dan gebrakan menjelang Olimpiade 2012 kali ini. Lip service “mengamankan” pemberitaan di ratusan media tampaknya lebih penting daripada acara perbaikan internal. Tak ayal julukan Mr evaluasi pun muncul.

“Ah, jawaban pasti sama tinggal template.” Itu guyonan yang jamak dilakukan pekerja media yang mengawal bulu tangkis karena memang sama sekali tak ada beda evaluasi satu turnamen dengan yang lain.

 Hasil tak meyakinkan mayoritas pebulu tangkis di turnamen perorangan hanya membuat pusing sebentar, tak sampai pusing tujuh keliling. Di sektor tunggal putra pemain bahkan kehilangan pelatih dengan kepulangan Li Mao ke Cina menjelang terbang ke London. Sebelumnya pelatih tunggal putri Wong Tat Men juga kabur dari pelatnas. Tak ada keterangan resmi. Malah dia dikabarkan mundur dari Cipayung lantaran ada teror yang dilayangkan kepadanya.

 Tunggal putra dan putri memang berangkat tanpa target. Harapan diberikan Simon Santoso setelah menjadi juara Indonesia Open 2012 Mei lalu, tapi saat dadu undian dilempar dia dan Taufik mati kutu. Mereka dihadang dua pemain terbaik dunia saat ini, Lee Chong Wei (Malaysia) dan Lin Dan (Cina). Firda sudah kalah sebelum bertanding. Jejak rekamnya hanya cukup untuk menjadi pupuk bawang di Olimpiade. Penampilannya di ajang super series tak pernah lebih jauh dari babak kedua.

 Bagaimana ganda putra dan ganda putri? Dua nomor itu memang sejak awal sama sekali tak diunggulkan. Mantra bim salabim pun tampaknya tak cukup manjur mengangkat pamor mereka untuk melaju sampai podium paling tinggi. Bahkan jika diucapkan serentak 250 juta jiwa penduduk Indonesia. Penampilan stabil tak sampai semifinal pada super series menjadi alasan. Aroma perpecahan antara Bona Septano dan Muhammad Ahsan bukan rahasia lagi sepanjang persiapan Olimpiade.

Ganda putri Greysia Polii dan Meiliana Jauhari juga tak menjanjikan apapun kecuali cari pengalaman di London. Mereka jarang sekali menang saat menghadapi ganda Korea Selatan. Malah sudah kalah mental dulu sebelum bersua pemain dengan kostum Cina.

 Harapan bertumpu di pundak Liliyana dan Towi. Liliyana yang menjadi kapten lapangan memang sudah mampu memimpin Towi. Penampilan Towi juga mulai menjanjikan usai menjadi juara All England 2012. Kemudian merajai gold grand prix dan super series sesudahnya. Peringatan kecil muncul saat mereka gagal juara di Indonesia Open 2012 Mei lalu. Di laga itu terlihat bagaimana Towi cenderung berubah menjadi pria takut “istri” saat Butet ngamuk. Towi belum dapat mereduksi unforced error yang dibukukan Butet yang  sudah kadung emosional.

 Saya memang tak hendak menyuguhkan solusi. Saya hanya ingin menyampaikan jika kekuatan bulu tangkis kita lelah dengan beban yang diberikan setiap empat tahun sekali itu. Lelah setiap kali mereka harus berjuang sendirian. Tapi bukan berarti saya membenarkan pengurus yang meributkan tak ada dana dan sudah melakukan evaluasi. Selalu mempertanyakan dukungan pemerintah tapi selalu bisa membawa ofisial gemuk pada tiap turnamen.

 Saya justru mempertanyakan ke mana miliaran uang pembinaan cabang olahraga lain? Tak adakah keinginan untuk sejajar dengan bulu tangkis yang mampu naik podium tertinggi pada lima kali Olimpiade terakhir? Apakah pengurus cabang olahraga lain juga sibuk mempertanyakan dukungan pemerintah dan minimnya dana?  Tapi mereka juga bisa memberangkatkan ofisial yang jumlahnya lebih besar daripada tim inti?

Penjaga tradisi emas Olimpiade sejak 1992


1992 Barcelona         2 emas Susi Susanti dan Alan Budikusuma

1996 Atlanta             1 emas Ricky Subagja/Rexy Mainaky

2000 Sydney              1 emas Tony Gunawan/Candra Wijaya

2004 Athena              1 emas Taufik Hidayat

2008 Beijing              1 emas Markis Kido/Hendra Setiawan


Juni 2012

Selasa, 01 September 2015

Panggilan Bulutangkis, 'Sang Raja' Akhirnya Turun Gunung

Lama tak terdengar kabar beritanya, legenda bulutangkis Indonesia Liem Swie King "turun gunung". Ia merasa harus comeback karena merasa "gregetan" dengan prestasi di nomor tunggal putra.


Liem Swie King menjadi salah satu mantan pemain top yang masuk dalam tim pemandu bakat Audisi Djarum Beasiswa Bulutangkis 2015, yang sedang berlangsung di Kudus, Jawa Tengah.

Kehadirannya pun tak pelak menjadi pusat perhatian. Maklum, sangat langka dia "muncul" ke publik, terutama sejak kariernya sebagai pemain selesai di tahun 1988, setelah dia memutuskan gantung raket.

Di masa jayanya, semua orang tahu siapa dia: salah satu pebulutangkis (tunggal) putra terbaik yang pernah ada di planet bumi. Dia pun memiliki julukan yang lekat dengan namanya sendiri -- dan hanya satu di dunia: King Smash.

King sempat muncul lagi ketika meluncurkan biografi berjudul 'Panggil Aku King' di tahun 2009. Serangkaian acara jumpa fans dan penandatanganan buku membuat King kembali mendekat dengan bulutangkis. Tapi, setelah itu dia menghilang lagi -- dan kembali ke bisnis yang dia lakoni.

Nah, mulai tahun ini pemilik tiga kali juara All England tersebut benar-benar comeback ke bulutangkis. Dia menjadi pemandu bakat Audisi Djarum Beasiswa Bulutangkis 2015 bersama 13 pemain legenda lainnya.

"Dengan melihat prestasi tunggal putra yang belum muncul juga sampai saat ini, saya sangat terpanggil untuk bisa menggairahkan kembali prestasi bulutangkis di Indonesia," kata Swie King di Kudus, Senin (31/8/2015).

Kendati sudah absen cukup lama dari bulutangkis, bukan berarti Liem Swie King abai dengan perkembangan badminton Indonesia. Pria berusia 59 tahun itu mempunyai sejumlah catatan soal seretnya prestasi sektor tunggal putra.

Faktanya, Indoensia seolah tak bergigi di tunggal putra setelah Taufik Hidayat pensiun. Sony Dwi Kuncoro, Simon Santoso, dan Tommy Sugiarto yang diharapkan bisa menggantikan Taufik tak melaju sesuai harapan.

"Saya tergerak melihat tingginya potensi pemain-pemain berbakat di banyak daerah. Tapi, setelah memasuki pemain senior mereka malah tidak bisa menembus ke atas," ucap putra asli Kudus itu.

"Kendala banyak, kompleks, tapi dari pengamatan saya yang paling besar pengaruhnya adalah soal motivasi. Sebagai pemain memang harus mempunyai kegigihan. Di level junior bagus, tapi setelah masuk ke senior motivasi turun, cepat puas hanya jadi juara level nasional, ya susah.

"Masukan saya, mereka, para pemain itu, harus berlatih lebih intensif, lebih dari yang sebelumnya. Juga soal motivasi. Saya berharap muncul bibit-bibit muda, terutama di sektor tunggal," jelas King.

Yoppy Rosimin, program director Bakti Olahraga Djarum Foundation, mengatakan kehadiran Liem Swie King diharapkan bisa menjadi garansi kesuksesan pembibitan di PB Djarum.

"Kembalinya King ke PB Djarum ini seperti menjadi sugesti bagi kami kalau akan muncul juara dari tunggal putra," jelas Yoppy.

Satu cerita lain di luar bulutangkis dari seorang King adalah dia pernah menjajal akting bersama aktris Eva Arnas dan Ida Leman dalam film berjudul "Sakura dalam Pelukan".

Nah, saat ditanya kemungkinan main film lagi, King menjawab sambil tertawa. "Waktu itu kan pas ada kesempatan saja, he he he," ucap dia.

Welcome back, King!