Dengan anggaran Rp 250 miliar, besar harapan Indonesia kembali menjadi juara umum SEA Games XXVII Myanmar. Namun, jauh panggang dari api, “Merah Putih” terlempar dari urutan tiga besar.
Bisa apa dengan uang Rp 250 miliar? Manajemen Persib Bandung mencatat nominal sebesar itu bisa digunakan untuk belanja pemain hingga 18 musim dengan acuan musim 2013. Namun, uang sebesar itu bahkan tak cukup membayar gaji setahun Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.
Namun, buat pemegang kebijakan nominal sebesar itu bisa jadi bahan buat “ngeles”. Ya, nominal itulah yang dikucurkan pemerintah untuk menyiapkan 665 atlet menuju SEA Games XXVII/2013.
Pemerintah memang masih menjadi sumber utama pembinaan prestasi olahraga. Tapi , tentu saja kontingen Indonesia tak hanya mengandalkan dana sebesar itu. Ada dana dari sumber lain yang mengalir. Artinya ad nominal lebih besar dari Rp 250 miliar untuk bahan ngeles.
Beberapa cabang olahraga sukses menggaet sponsor lain. PP Perbasi misalnya, didukung barisan bank syariah untuk terbang ke Myanmar. Jelang keberangkatan, mereka sampai dilepas Kementrian Agama. Begitu pula bulutangkis yang mendapatkan suntikan dana dari Pertamina.
Tapi apa yang dibawa pulang dari Myanmar? Alih-alih mempertahankan predikat juara umum, “Merah Putih” gagal menduduki urutan tiga besar multievent dua tahunan bangsa-bangsa Asia Tenggara itu. Indonesia hanya menghuni peringkat keempat dengan torehan 65 emas. Jumlah emas yang jauh dari patokan target, 120 emas.
Memang, dengan dana itu, memang pengurus-pengurus besar/pusat cabang olahraga dibuat tak berkutik. Jumlahnya sudah minim, pencairannya pun tersendat. Gaji telat, peralatan terlambat, dan pengurangan kuota menjadi drama yang mengikuti.
Muncullah istilah para tukang talang alias pihak-pihak yang rela memberikan dana talangan lebih dahulu. Mereka benar-benar relawan sebab kalau tak memegang prinsip “uang kembali syukur, tidak kembali ya anggap saja beramal” dijamin bakal menyesal. Semacam muncul konvensi, semua harus bermodal ikhlas. Tidak boleh merogoh kocek dengan niatan investasi.
Tapi tak semua pihak siap jadi tukang talang. Perusahaan media yang cermat menghitung profit mulai enggan ambil bagian dalam mencatat sejarah yang dibuat di SEA Games. Memberangkatkan pewarta, tulis dan fotografer, ke SEA Games dinilai tak lagi mendongkrak oplah dan jumlah klik atau rating. Toh, kemungkinan untuk menjadi juara umum atau minimal mendapatkan medali emas dari sepakbola—sebagai jualan terbesar—bukanlah angka pasti.
Saya yakin, perusahaan media lama-lama tak sendirian jika pemerintah dan mereka yang terlibat di olahraga itu terus-menerus tak bisa mengelola dana, atlet dan potensi yang ada untuk meraup prestasi yang “hanya” di kawasan Asia Tenggara.
Kenyataannya bukannya segera mengevaluasi dengan detil, pemilik kebijakan dan mereka yang bertanggung jawab malah sibuk mencari kalimat ala berhastag #pasangtameng. Yang paling gampang sih dengan mudah memilih kalimat: serba tuan rumah.
“Myanmar banyak melakukan kecurangan. Terutama di nomor-nomor yang tak terukur.“
“Cabang olahraganya diada-adakan, sesuai permintaan Myanmar.”
Itu sedikit kalimat yang dilontarkan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo Senin (23/12/2013) siang meski sebelumnya dia merasa sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kegagalan “Merah Putih”.
Faktanya, Indonesia gagal total di cabang olahraga terukur. Renang, atletik, panahan dan cabang olahraga terukur lainnya tak satupun mencapai target yang diharapkan. Hanya catur dan kempo—yang bukan olahraga terukur—yang melampaui target. Bulutangkis, wushu, berkuda adalah cabang olahraga yang pas target. Sisanya gagal total!
Apalagi kalau menyimak SEA Games XXVI/2011 di Palembang dan Jakarta, bukankah kita juga memperlakukan dua hal serupa kepada para tamu? Kita membuat cabang olahraga yang membuat pundi emas kian gemuk. Wasit-wasit kita juga berat sebelah kok.
Nyatanya kita mengirimkan atlet paling banyak, 1059 saat itu. Cabang olahraganya juga tak sedikit yang “aneh” dan menawarkan banyak emas. Seperti sepatu roda, panjat dinding dan paragliding.
Kalau Myanmar atau tuan rumah lainnya melakukan hal serupa, kita mau bilang apa? Protes pun sepertinya tak akan berani dilakukan. Malah mempermalukan diri sendiri bukan?
Tapi pemerintah, KONI dan KOI juga tak lantas boleh diam saja. SEA Games sudah jadi tradisi yang sayang ditinggalkan tapi buang-buang duit saja untuk terus diikuti.
Sejatinya publik akan maklum jika sejak awal menpora, KONI dan KOI plus Satlak Prima mengumumkan target 60 emas sebelum berangkat. Kontingen berangkat dengan kondisi kurang ini kurang itu. Tapi ketidakpiawaian menghitung kekuatan sendiri dan memetakan kekuatan lawan menjadi blunder.
Berpikir sajalah, SEA Games dijadikan ajang uji coba untuk anak-anak muda yang diproyeksikan ke level lebih tinggi Asian Games. Sayangnya, siang tadi saat evaluasi, menpora justru berpikir terbalik: Asian Games Incheon akan jadi batu loncatan ke SEA Games 2015 di Singapura dan 2017 di Malaysia.
Dengan logika itu, jangan harap olahraga Indonesia akan kemana-mana. Paling, paling dua tahun lagi kita akan mendengar kalimat serupa.
"Singapura banyak melakukan kecurangan. Terutama di nomor-nomor yang tak terukur.”
“Cabang olahraganya diada-adakan, sesuai permintaan Singapura.”
Mau dibawa ke mana olahraga Indonesia ini dengan hanya berdalih seperti itu?
Catatan SEA Games XXVII/2013 Myanmar