Sabtu, 30 Mei 2015

Darwati, Ratu Jalan Cepat, Mencari Penerus Takhta

Darwati mulai berpikir untuk pensiun. Tak ingin takhtanya kosong, dia mulai membentuk sang penerus.



  Sudah berusia kepala empat, Darwati mulai ancang-ancang pensiun. Sebuah upaya besar dibuat sang ratu jalan cepat itu dengan membangun klub di rumahnya sendiri agar lebih mudah menitiskan ilmu yang dimiliki.

  Perubahan status dari gadis menjadi istri, kemudian berlanjut menjadi seorang ibu, juga dari usia belasan sampai kepala empat tak membuat kendor semangat Darwati menggeluti jalan cepat. Perempuan kelahiran Blora, Jawa Tengah pada 6 Desember 1973 itu tetap berlatih pagi sore.

  Saat ujian tiba, Darwati juga tampil all out. Dia masih jadi yang terbaik di tanah air. Lawan-lawan bisa sedikit senang ketika Darwati 'cuti'. Tapi, cuti itu biasanya diambil ketika ada momen besar seperti hamil dan melahirkan. Seperti di tahun 2001-2002. Setelah itu, Darwati tancap gas.

  Bahkan, ketika usianya memasuki akhir 30-an. Istri Hisyam Al Uwaini tersebut konsisten mengoleksi medali emas sejak Pekan Olahraga Nasional 2000 di Surabaya. Tiga PON berikutnya juga diselesaikan sebagai juara.

  Di SEA Games, Darwati juga masih bisa bersaing. Dia mengoleksi tiga perunggu dan tiga perak dari ajang se-Asia Tenggara dua tahunan yang sudah diikuti sejak 1989 tersebut.

  Tapi, torehan apik itu justru membuat galau Darwati belakangan ini. Sebab, dia belum punya penerus, padahal usianya sudah 41 tahun.

  "Itu jadi salah satu alasan saya untuk ngopeni (merawat) atlet jalan cepat di rumah. Saya ingin sekali menularkan ilmu buat anak-anak muda ini," kata Darwati.

  Kebetulan, kediaman Darwati dan suaminya, Hisyam Al Uwaini, ada di Tumpang, Malang, Jawa Timur, yang ada di ketinggian yang pas untuk latihan jalan cepat. Lokasi latihan pun tak sulit. Jalan kampung cukup untuk mengasah teknik dan fisik.

  Darwati menampung anak-anak yang ingin berlatih bersama dia sejak lama. Tapi, dalam perjalanannya sering kali dia terbentur tak bisa mengirimkan atlet. Nah, agar punya jalan memudahkan atlet yang berlatih bersamanya, akhirnya dia dan suaminya bersepakat mendirikan sebuah klub atletik: Mandala Surya Malang setahun lalu.

  "Untuk ikut kompetisi harus mewakili klub atau pengprov, jadi agar lebih mudah kami bikin klub ini," jelas perempuan berhijab itu.

  Soal metode latihan, Darwati tak kesulitan. Dia mengombinasikan teknik jalan cepat yang memang sudah jadi makanan sehari-harinya dengan pengalaman suami yang mantan pelari jarak menengah.

  Suami Darwati jugalah yang berperan sebagai pelatih sesungguhnya. Sementara dirinya, masih jadi pelatih bayangan. Sebab, dia sendiri masih fokus mengasah kemampuan untuk tampil pada Pekan Olahraga Nasional 2016 di Bandung.

  "Saya beri latihan lari tiga kali sepekan. Darwati juga saya paksa untuk lari demi memperbaiki kerja paru-paru. Hasilnya, meski usia dia sudah masuk kategori tua, Darwati bisa memecahkan rekor pada jarak 10 kilometer," beber Hisyam.

  Selain menangani soal teknik, Darwati juga punya tanggung jawab urusan dapur. Dialah yang merancang menu makan enam atlet yang kini menjadi anak asuhnya, dibantu seorang tukang masak. Mereka juga berbagi peran siapa yang jadi pelatih yang sangar ataupun yang bisa dekat dengan para atlet didikan.

  Pasangan suami istri itu juga berkolaborasi soal pendanaan klub. Mereka mempunyai cara yang cukup unik. Yakni, mengandalkan 'prestasi' untuk pemasukan.

  Mereka memang sepakat tak meminta iuran dari atlet didikan. Sponsor juga tak rutin datang. Makanya, Darwati dan Hisyam wanti-wanti kepada para atlet jika klub itu bisa berjalan jika mereka mendapatkan jatah pemusatan latihan daerah. Jika Darwati dan atlet lain lolos puslatda, biasanya Hisyam juga bakal direkrut. Jatah bulanan bisa dikelola bersama-sama.

  "Makanya kami tidak bisa menampung atlet terlalu banyak. Dana terbatas, selain itu kami tak bisa membayar pelatih lagi," ucap Hisyam.

  Darwati mengatakan situasi itu sama sekali bukan gangguan. Dia sudah memahami sejak awal. Bahkan dia menjadikan tantangan untuk terus berprestasi dan tak henti mencari penerusnya.

  "Buat para atlet perempuan, jangan mau kalah oleh pria. Usia juga bukan halangan untuk terus berprestasi," pesan dia.

Darwati


41 tahun
Suami: Hisyam Al Uwani
Anak: Sulthan Hisyam
Prestasi:
3 perunggu SEA Games (1989, 1991, 2001)
3 perak SEA Games (2007, 2009, 2011)
4 emas PON (2000, 2004, 2008, 2012)
8 emas Kejuaraan Nasional (2001, 2005, 2005, 2006, 2007, 2009, 2010, 2011)
Aktivitas:
Pemilik dan pelatih Klub Atletik Mandala Surya Malang Timur (2014-sekarang)

Jumat, 29 Mei 2015

Nazar yang Membuat Julisa Rastafari Setia Memoles Pebasket Muda

Julisa M. Rastafari gemas dengan prestasi tim basket putri Indonesia. Demi menunggu medali perak miliknya bisa dilampaui, Lisa terus mencetak pemain-pemain cilik. 



  Julisa M. Rastafari selalu dibuat dagdigdug setiap kali SEA Games bakal bergulir. Semangat dan rasa penasaran menjelang ajang dua tahunan itu menjadi salah satu alasan mantan kapten timnas putri basket tersebut tetap setia menangani anak-anak di Indonesia Muda.

  23 tahun sudah berlalu. Tapi, tim nasional basket putri belum juga mampu mengulang atau bahkan memperbaiki raihan Julisa pada SEA Games 1991. Kala itu, tim yang dipoles Rastafari M. Horongbala tersebut membawa pulang perak.

  Lisa--demikian dia kerap disapa--gemas tak terkira medali itu belum juga bisa diulang atau malah diperbaiki. Lisa menyadari situasi saat ini memang membuat para atlet harus bekerja lebih keras untuk latiha. "Situasi para pemain saat ini memang lebih sulit dan godaan yang lebih banyak. Gadget, perangkat games, juga kemacetan di Jakarta yang makin menggila, serta makin susahnya mencari lapangan untuk latihan," kata Lisa.

  "Tapi, bukan berarti kesulitan itu tidak bisa dikalahkan. Mungkin butuh formula yang lebih manjur untuk bisa minimal mengulang medali itu," harap ibunda pemain basket nasional Andakara Prastawa Dhyaksa tersebut.

  Karena rasa penasaran itu pula Lisa belum bersedia meninggalkan lapangan basket. Pagi dan sore dia masih memoles para pemain muda di Indonesia Muda Bola Basket Jakarta. Ya, Lisa menyimpan nazar untuk berhenti dari lapangan basket jika tim nasional putri bisa meraih hasil lebih oke dari masanya.

  Bahkan, biasanya perempuan 52 tahun itu jadi langganan pengurus PP Perbasi. Cuma dua kepengurusan ini saja namanya tak masuk jajaran itu.

  "Saya putuskan untuk tak jadi pengurus. Siapa tahu kalau saya di luar, Perbasi bisa lebih oke, he..he..he," kelakar Lisa.

  Di klub, Lisa menangani tim kedua U-16. Bukan U-16 yang utama. Lisa mengatakan ada kepuasaan berbeda yang dirasakan ketika bisa memoles pemain yang sudah dianggap tak berkembang oleh pelatih lain.

  Lagipula, Lisa tertantang untuk terus menitiskan ilmu basket yang dimiliki dia kepada anak didik di klub yang bermarkas di Senayan, Jakarta Pusat itu. Padahal, Lisa sudah jadi penasehat klub tersebut.

  Ya, Indonesia Muda Bola Basket memang bukan sepenuhnya milik Lisa dan suami, Rastafari. Tapi, mereka berdualah yang nyempal dari Indonesia Muda yang punya menaungi banyak cabang olahraga di masa dulu, menjadi punya kepengurusan di cabang basket pada tahun 1993.

 "Kami berdua memang gila basket. Buat saya basket sudah jadi bagian dari hidup. Saya mendapatkan segalanya dalam hidup ini terkait dengan basket: kuliah, pekerjaan, bahkan suami," jelas lulusan Geologi Universitas Trisakti itu.

  "Kalau Indonesia Muda sudah jadi rumah. Nah, karena sudah saya anggap sebagai rumah, saya kembangkan dengan setulus hati. Saya cari cara bagaimana IM ini bisa jadi besar dan menelorkan pemain-pemain oke," beber perempuan yang pernah delapan tahun menjadi karyawan di Arco Oil Company itu.

  Makanya, Lisa tak keberatan ketika harus mengerjakan semua tugas organisasi dan melatih di lapangan di tahun-tahun awal IM Bola Basket Jakarta. Dialah yang mengurus keuangan anggota klub, jadwal, sampai urusan berangkat ke kompetisi.

  Kala itu, dia mencari cara agar IM bisa terus berkembang. Dana menjadi persoalan utama.

  "Akhirnya kami putuskan untuk membuat sistem iuran. Benar-benar amatir pokoknya. Saya bersyukur dalam perjalanannya, bisa makin modern. Dengan bantuan teman-teman IM lama-lama bisa menggaji pelatih dan pengurusnya," jelas ibu dua anak itu.

  Saat ini, IM mempunyai 13 pelatih dan dua pelatih magang. Jumlah siswa dari berbagai kelompok umur sudah mencapai 400 orang. Dengan masing-masing kelas dibatasi maksimal 20 anak.

  Semoga saja, dari masing-masing kelas itu bisa muncul pemain-pemain top yang bisa membawa pulang minimal medali perak SEA Games. "Medali dari timnas putra, juga dari timnas putri. Dua-duanya bisa menyandingkan berbarengan lebih bagus lagi. Ayo, tolonglah Perbasi, buat tidur saya enak dengan cetak medali perak atau yang lebih baik," ucap Lisa.


 
Julisa M. Rastafari

52 tahun
Suami: Rastafari Horongbala
Anak:
1. Andakara Prastawa Dhyaksa
2. Baladika Badra Anggakara
Prestasi:
- Perunggu SEA Games 1983
- Perunggu SEA Games 1987
- Perunggu SEA Games 1989
- Perak SEA Games 1991
Aktivitas:
- Penasehat dan pelatih Indonesia Muda
- Pelatih timnas U-18 putri (2014)
- Pelatih Timnas U-16 putri (2013)
- Ketua III (SDM dan sertifikasi) PP Perbasi (2004-2010)
- Bidang Kobatama/Kobanita PP Perbasi (2002-2004)
- Bidang Kobanita PB Perbasi (1998-2002)
- Bidang Pembinaan Wanita PB Perbasi (1994-1998)

Kamis, 28 Mei 2015

Sarwendah Bangun Akademi Bulutangkis dengan Akuisisi Klub Masa Kecil

Satu-persatu mimpi Sarwendah Kusumawardhani terwujud. Termasuk memiliki klub bulutangkis.


  

  Sarwendah Kusumawardhani punya tekad kuat untuk menjadi pelatih bertangan dingin. Mantan pebulutangkis tunggal putri itu bisa sekaligus bernostalgia dengan klub di masa kecil.

  Keinginan untuk menjadi pelatih memang sudah dipancang Sarwendah sejak masih berstatus pemain. Sarwendah tak terpikir untuk banting setir ke usaha lain.

  "Tidak ada keinginan untuk kerja lain, pokoknya setelah pensiun saya ingin jadi pelatih. Setidaknya saya bisa menelurkan ilmu kepada anak-anak," kata Sarwendah.

  Maka tak lama setelah gantung raket, Sarwendah langsung mengiyakan ajakan PB Tangkas Jakarta untuk jadi pelatih. Seperti nomor andalan dia, Sarwendah dipercaya memoles pemain tunggal putri. Selain itu, perempuan kelahiran 22 Agustus 1967 itu bertekad punya lapangan bulutangkis sendiri suatu hari nanti.

  "Awalnya saya kaget juga, ternyata melatih itu tidak gampang. Di situ saya belajar dan belajar," kenang Endah.

  Sedang asyik-asyiknya menikmati profesi baru di tahun 1995, eh kekasih dia Hermawan Susanto yang juga mantan pebulutangkis nasional melamar. Menikah dan kemudian hamil, membuat Endah 'cuti' sebentar.

  Setelah anak sudah bisa ditinggal-tinggal dan rasa kangen kepada bulutangkis kembali menggelora, pas ada tawaran menarik.

  Klub di masa kecil, Mei, meminta Endah untuk turut menangani para pemain junior di tahun 2002. Tapi popularitas dia sebagai pemain nasional memantik para orang tua untuk menyerahkan anak-anak mereka agar ditangani Endah. Mau tak mau Endah mengamini permintaan itu.

  Selama melatih kembali, keinginan untuk mempunyai GOR sendiri menguat. Beberapa kali dia meminta sang suami untuk mencarikan GOR yang setidaknya mempunyai satu lapangan. Tapi, rupanya cita-cita Sarwendah yang satu ini lebih rumit. Maklum, harga tanah di Jakarta makin membumbung tinggi. Tapi, suau ketika doanya terjawab.

  "Mungkin sudah jalannya ya. Suatu hari klub masa kecil saya itu, Mei, berniat menutup latihan dan melego GOR," ucap dia.

  Sarwendah pun membujuk suami untuk membelinya. Karena persoalan romantisme, Sarwendah merasa sayang jika GOR itu jatuh ke tangan orang lain. Dengan bantuan Liem Swie King--paman Hermanto yang dikenal sebagai King Smes--akhirnya GOR itu jadi milik Sarwendah.

  Memanfaatkan GOR itu, Sarwendah membuka klub di tahun 2010. Namanya diambil dari nama dia sendiri: Sarwendah Badminton Club. "Biar orang mudah mengingat," jelas dia.

  Untuk urusan administrasi dan melatih, Sarwendah dibantu oleh sang suami. Bahkan, suami tak keberatan harus lebih banyak lagi fokus lagi mengurus tim ketika Sarwendah dipanggil ke pelatnas Cipayung untuk menjadi asisten pelatih tunggal putri. Dari menangani setiap hari, Sarwendah tinggal punya waktu di akhir pekan.

  Faktanya, klub itu tumbuh dan berkembang. Kini klub tersebut mempunyai 70-100 murid reguler dan 25-30 siswa yang menghuni akademi. Mereka ditangani sembilan pelatih lain.

  Sebuah mobil operasional klub sudah dimiliki. Asrama juga mulai dibangun. Selain itu Sarwedah BC juga menyediakan reward bagi para pemain yang menunjukkan kualitas oke. "Di asrama ada empat kamar sekarang, pelan-pelan bisa lebih banyak lagi nantinya," jelas dia.

  Untuk menjaga kelangsungan klub itu, Sarwendah mengandalkan iuran murid. Maklum, sponsor tak rutin datang.

  Nah, untuk menyiasati anak didiknya tampil di ajang internasional, Sarwendah menggandeng Susi Susanti dan PB Jaya Raya Jakarta.

  "Kalau sirkuit nasional masih oke kami tangani sendiri, atau ke Malaysia dan Songapura. Tapi yang lebih dari itu, saya dengan senang hati bekerja sama dengan pihak lain. Susi bantu, Jaya Raya juga," ucap dia.

  Semua itu belum membuat Sarwendah puas. Sebab, dia justru makin tertantang untuk mencetak pemain tunggal putri berkualitas.

  "Yang saya harapkan sudah terwujud. Saya masih merasa kurang, merasa kurang karena belum mencetak pemain yang bagus. Tidak cuma satu, terus saja biar regenerasi berjalan," jelas ibu satu anak itu.



Sarwendah Kusumawardhani
47 tahun
Suami: Hermawan Susanto
Anak: Andrew Susanto
Prestasi:
Emas SEA Games 1993
Juara Belanda Terbuka 1987, 1991, dan 1992
Juara Malaysia Terbuka 1991
Emas Badminton World Cup 1990
Aktivitas:
- Asisten pelatih tunggal putri pelatnas
- Pemilik Sarwendah BC dan pelatih

Rabu, 27 Mei 2015

Bersenang-senang dengan Tenis di Akademi Angelique Widjaja

Angelique Widjaja bertekad membuat tenis  dikenal anak-anak. Dia membuat tenis jadi kegiatan yang menyenangkan.



  Tanpa mengusung nama Angelique Widjaja terang-terangan dan tanpa promosi jor-joran, AD Tennis Academy laris manis. Angie mencoba mengajak anak-anak untuk menyukai tenis dengan bersenang-senang di akademi miliknya itu.

  Tenis, tenis dan tenis. Seperti itulah kegiatan Angie sejak usia empat tahun sampai saat ini. Dari ikut-ikutan main tenis kelima kakak lelakinya, perempuan kelahiran Bandung 12 Desember 1984 itu jadi petenis profesional.

  Gantung raket dan 'liburan' sebentar, akhirnya dia gatal kembali ke 'rumah kedua' dia di lapangan tenis. Angie membangun akademi tenis sekaligus pelatih AD Tennis Academy.

  "Lagipula, saya mempunyai passion dengan anak kecil. Makanya, saya buka AD Tennis Academy, sekolah tenis khusus junior. Saya membuka ini bersama mantan pelatih yang sudah kerja bareng selama 13 tahun, Deddy Tedjamukti," kata Angie lewat surat elektronik.

  Angie yang pernah mencapai urutan 55 WTA itu merogoh kocek sendiri untuk membangun akademi tersebut. Karena memang sudah malang-melintang di dunia tenis, baik Angie ataupun Deddy, niatan itu mudah saja diwujudkan. Juli 2010 sekolah itu resmi dibuka di Simprug, Jakarta Selatan.

  Tak hanya sibuk saat mendirikan, Angie juga terjun langsung menangani anak-anak. Dari Senin sampai Sabtu dia hadir di lapangan, kurang lebih tiga jam setiap hari. Tentu saja bukan cuma mereka berdua, tapi ada 20 pelatih yang terlibat saat ini. Sebab, siswa di akademi itu sudah ratusan.

  Padahal kalau ditilik soal promosi, Angie tak bikin gebrakan khusus. Bahkan, Angie tak ikut-ikutan memanfaatkan media sosial untuk menyebarluaskan sekolah yang dibangunnya itu. Akademi itu berkembang lewat getok tular alias dari mulut ke mulut.

  "Saya malah enggak pernah promosi. Thank God, ini lewat mouth to mouth saja. Makanya, suka dibilang kayak enggak niat bisnisnya," jelas istri Andreas Timothy Hadikrisno tersebut.

  Ya, Angie memang jauh lebih santai dalam menjalankan bisnis itu. Dia tidak ngoyo.

  Angie mempunyai biang dalam membuat adonan dalam akademi itu. Dia mengajak anak-anak bersenang-senang dengan tenis. Soal prestasi nasional, siapa tahu bisa terdongkrak kemudian.

  "Ehmmm secara pribadi, saya sudah puas dengan pencapaian di tenis. Nah, di academy tennis ini saya ingin membangun fun tennis, supaya anak-anak di Indonesia mulai menyukai lagi olahraga tenis," kata peraih perak Asian Games 2002 di Busan dari ganda putri itu.

  Dia sendiri begitu menikmati rutinitas itu. Apalagi, jam di lapangan sudah tak seketat ketika berstatus petenis WTA. Kala itu, berjumpa dengan keluarga dan menjejakkan kaki di tanah air menjadi persoalan yang sulit.

  Angie tak pernah menyesalinya. Kini dia tinggal panen buah dari kerja keras dan pengorbanan jauh dari keluarga itu. Sederet prestasi di level Asia pernah diraih Angie. Dia juga rutin tampil di turnamen tenis Grand Slam.

  "Dibanding saat masih jadi atlet, durasi di lapangan tenis itu sudah menurun drastis. Waktunya juga lebih fleksibel," kata perempuan yang menjadi petenis pro di tahun 1999 itu.

  "Bedanya, yang pasti ketika jadi petenis, athlete is the boss, tapi ketika membuka academi kita mengubah posisi kita, client is our boss ha..ha..ha," canda penyuka warna-warna klasik dan pastel itu.

  Angie juga merasa beruntung ada dalam lingkungan keluarga yang sangat mendukung. Bahkan, dia merasa suami yang bukan seorang atlet apalagi petenis profesional memberikan dukungan yang tak habis-habisnya.

  "Pokoknya suami dan keluarga saya adalah God's greatest gift dalam hidup saya. Doakan ya saya segera dapat momongan," harap penyuka makanan Jepang dan aneka steak itu.

Angelique Widjaja

30 tahun
Suami: Andreas Timothy Hadikrisno
Prestasi:
- Ranking 55 WTA (tahun 2003)
- Emas Asian Games 2002 Busan (beregu putri)
- Perak Asian Games 2002 Busan (ganda putri bersama Wynne Prakusya)
- Perak SEA Games 2007
Aktivitas:
- Pemilik dan pelatih AD Tennis Academy

Selasa, 26 Mei 2015

Elsa Manora Nasution, Kombinasikan Pengalaman Parenting dengan Ilmu Renang

Elsa Manora Nasution setia dengan olahraga yang sudah membesarkan namanya, renang. Ilmu ditularkan lewat sekolah Pari Sakti.




  Elsa Manora Nasution mempunyai jurus jitu mengembangkan Sekolah Renang Pari Sakti. Salah satu putri dinasti Nasution itu mengombinasikan pengalaman sebagai ibu dan atlet nasional selama belasan tahun untuk memoles atlet muda.

  Elsa berteriak lantang dari pinggir kolam Damai Indah Golf, Bintaro Serpong Damai, Serpong, Tangerang Senin (20/4/2015) petang. Dengan kalimat yang jelas perempuan kelahiran Jakarta, 25 Oktober 1977 itu menginstruksikan empat bocah yang ada di hadapannya.

  Setelah anak-anak itu mentas, Elsa menyambut dengan senyum dan mengajak ngobrol santai. Barulah, anak-anak itu berpamitan.

  "Ini sepi, coba ke sini Jumat atau Sabtu, bisa ramai sekali," kata Elsa.

  Jumlah murid Pari Sakti SCBD memang bukan cuma empat bocah cilik itu, tapi mencapai 135 dari anak-anak sampai dewasa. Tentu saja di hari-hari itu, Elsa dibantu oleh para pelatih lain. Elsa adalah owner sekaligus kepala sekolah Pari Sakti cabang SCBD.

  Elsa memang tak langsung terjun ke kolam para siswa terjun di kolam. Dia kebagian mengawasi dari pinggir kolam, seperti sore kemarin.

  "Kalau saya nyemplung malah nanti jealous satu dengan yang lain. Saya tak ingin itu terjadi," ucap dia.

  Tapi, bukan berarti Elsa tidak akrab dengan para murid. Justru suara lantang itu yang jadi salah satu jurus jitunya.

  "Tugas saya mengawasi. Kalau ada anak-anak yang main siram-siraman atau mereka salah duduk di sudut manapun, paling jauh sekalipun, saya akan teriak. Saya hapal nama semua murid he..he..he. Tapi setelah itu, ya sudah, kalau sudah naik ke atas, saya sapa lagi. Jadi mereka senang-senang saja dan kalau ketemu juga selalu menyapa,'Kak Elsa," beber dia.

  Atmosfer kekeluargaan itu dibangun Elsa bukan tanpa dasar. Selama belasan tahun, dia pernah menjadi atlet renang nasional sampai, sampai kolam renang bak rumah kedua.

  Dalam perjalanannya dia mendapatkan ilmu parenting setelah melahirkan putri pertama Naila Cahaya Puteri dari pernikahan dengan Ricky Soebagdja dan anak kedua, Naddif Elmar Asyraf Siregar, yang baru berusia 2 tahun, dari pernikahan dengan Ardiansyah Arifin Siregar. Bekal itu makin klop dengan lisensi pelatih yang didapatkan dari PRSI.

  "Bagaimana saya pdkt (pendekatan) ke anak-anak, bagaimana menghadapi anak yang takut-takut atau malah terlalu berani. Saya juga intens face to face. Juga mengembangkan cara membujuk anak yang mempunyai karakter berbeda-beda. Pengalaman jadi seorang ibu saya terapkan di sini," ucap dia.

  Suasana rileks itu juga terbangun karena Pari Sakti di SCBD itu mempunyai konsep berbeda dengan Pari Sakti Senayan yang dilahirkan ayah Elsa, Radja Nasution, dan kini ditangani adiknya, Akbar Nasution.

  "Tidak semua orang tua menginginkan anak-anak mereka menjadi atlet. Tapi mereka tetap ingin anak-anak bisa berenang untuk kesehatan, kebugaran atau hobi. Lagipula dari awal saya mematok untuk mengajarkan mereka bisa melakukan empat gaya renang dengan baik dan benar bukan menjadi atlet," ujar dia.

  "Saya memberikan 50 persen ilmu renang dari yang diberikan Pari Sakti Senayan. Yang di sana memang untuk mengejar prestasi.

  "Namanya memang sama, tapi tujuannya berbeda. Awalnya saya memang ingin punya nama sendiri tapi ini kan bisnis jasa yang modalnya tenaga dan ilmu. Kalau mencari nama baru, I'm a busy mom. Idenya sekolah renang, seperti preparation. Kalau mau lanjut ke level prestasi saya sarankan untuk bergabung di Senayan atau mencari klub yang dekat-dekat daerah sini," jelas perempuan yang memutuskan pensiun dari atlet pada 2005 itu.

  Tapi bukan berarti bekal untuk para pelatih di Pari Sakti SCBD berbeda. Elsa tak bisa ditawar soal standar pelatih. Para pelatih baru harus mempunyai lisensi pelatih plus wajib menjalani pelatihan ala Pari Sakti selama sepekan penuh sebelum menangani para perenang. Setiap tiga bulan sekali, ada penyegaran.

  "Saya tahu para pelatih ini ready to work tapi belum tentu ready to kids. Makanya saya harus menyiapkan mereka. Saya tidak ingin ada masalah karena keteledoran, seperti pelecehan seksual yang sangat sensitif," ucap pemilik delapan emas PON 2004 Jambi itu. 

  Meskipun membangun sekolah bukan untuk menjadi atlet nasional Elsa tak memungkiri masih menyimpan hasrat agar muncul perenang-perenang handal, terutama di sektor putri.

  "Saya pesan kepada perenang putri agar berjuang sekeras mungkin. Kita, Indonesia sama kuat dengan yang lainnya," tutur Elsa.


Elsa Manora Nasution (37 tahun)


Suami: Ardiansyah Arifin Siregar
Anak: 1. Nailah Cahaya Puteri (13 thn). 2. Naddif Elmar Asyraf Siregar (2 thn)

Prestasi:
3 perunggu SEA Games 1991 Manila
3 perak, 1 perunggu SEA Games 1993 Singapura
3 perak SEA Games 1995 Chiang Mai
1 perak, 1 perunggu, 1 SEA Games 1997 Jakarta
1 emas, 1 perak, 1 perunggu SEA Games 1999 Bandar Seri Begawan
1 perak, 1 perunggu SEA Games 2003 Hanoi
Aktivitas:
- Pemilik dan kepala sekolah Pari Sakti SCBD

Senin, 25 Mei 2015

Tugas Besar Hanna Ramadini dari Ruang Medis di Dongguan

Tugas dadakan diterima Hanna Ramadini di sebuh ruangan yang tak biasa. Tak ada rasa takut dan keder.




  Hanna Ramadini mendapatkan tugas dadakan yang tak ringan untuk mewakili Indonesia pada nomor perorangan putri SEA Games 2015. Kepercayaan itu dia terima di tempat yang tidak biasa: ruang medis Dongguan, China.

  Hanna ikut panik saat rekan satu tim dia, Bellaetrix Manuputty, terjatuh dan meringis kesakitan saat tampil di babak semifinal Piala Sudirman. Lutut kiri Bella bermasalah. Bella akhirnya menyerah kalah karena tak bisa melanjutkan pertandingan.

  Bersama pelatih tunggal putri, Bambang Supriyanto, Hanna mendampingi Bella yang dievakuasi ke ruang medis. Ada sebuah perhitungan berbeda yang dibuat Bambang saat melihat cedera Bella.

"Di ruangan itu Mas Bambang bilang kalau saya harus siap-siap untuk menggantikan kak Bella. Saya pikir di mana ternyata di SEA Games," kenang Hanna.

  Hanna memang sudah masuk tim SEA Games. Tapi dia hanya diproyeksikan tampil di nomor beregu putri.  Dia menjadi pemain cadangan tunggal putri. Dalam hitungan pekan, sebuah tugas besar harus diemban dia. SEA Games akan bergulir mulai 6 Juni.
 
  "Saya anggap mungkin itu jadi jalan saya untuk main di SEA Games. Sebuah tanggung jawab besar karena membawa nama negara," ucap pebulutangkis 20 tahun itu.

  Selain Hanna, di nomor perorangan Indonesia menurunkan pemain senior Linda Wenifanetri. Sebelumnya, Linda sudah menyatakan tekad untuk mempertahankan medali emas tunggal putri yang disumbangkan Bella dua tahun lalu.

  Bagi Hanna, turnamen itu akan menjadi pengalaman pertama. Soal persaingan sedikit banyak dia sudah mengetahuinya.

  "Kalau melihat lawan-lawan di tunggal putri, Thailand dan Malaysia tetap jadi lawan terberat. Kalau menghadapi Singapura saya optimistis bisa melewatinya," ucap Hanna.

  Semoga sukses, Hanna!

Hanna Ramadini

Hanna Ramadhini
Lahir: Tasikmalaya, 21 Februari 1995
Tinggi: 162 cm
Berat: 55 kg
Klub: PB Mutiara Bandung
Peringkat Dunia: 57
Prestasi:
- Juara Swiss Terbuka Challange 2014
- Juara Vietnam Terbuka Challange 2014

Minggu, 24 Mei 2015

Kata Mereka

Giant killer. Keren sekali sebutan itu tapi tidak sesuai dengan orangnya. Saya nggak sesangar itu.
-- Maria Kristin Yulianti, peraih perak bulutangkis tunggal putri Olimpiade 2008