Minggu, 13 Februari 2011

Djayusman-Novriali Yami Tak Bertemu Malah 'Berseteru'

Tim sepak bola Indonesia babak belur di pentas SEA Games XXV/2009 Laos Desember lalu. Namun, sebagian di antara skuad Garuda –julukan timnas Indonesia–masih bisa pulang dengan 'kepala tegak'.

  Meski gagal membawa pulang medali, mereka sukses mendapatkan gadis pujaan. Sebut saja Djayusman Triasdi dan Lucky Wahyu Dwi Permana. Dua penggawa timnas yang sama-sama berasal dari Persebaya Surabaya itu sukses menggaet dua pemain voli indoor. Djayusman mendapatkan cinta Novriali Yami, sedangkan Lucky kian lengket dengan Maya Puspita Widyastuti.

  Inilah kali pertama mereka melewati Hari Valentine dengan status sebagai pasangan kekasih. Sayang, karena tuntutan profesi, dua pasangan tersebut tak bisa menghabiskan waktu bersama di Hari Kasih Sayang. Bahkan, untuk sekadar bertatap muka pun, mereka tak bisa.

  Kebetulan, tepat pada Hari Valentine kemarin (14/2), Green Force –julukan Persebaya– harus turun ke lapangan melawan Persib Bandung. Artinya, Djayusman dan Lucky harus menjalankan kewajibannya sebagai pemain Persebaya.

  Di sisi lain, Novriali dan Maya berkutat dengan jadwal latihan di klub masing-masing yang ketat. Intan –sapaan akrab Novriali– adalah pemain pilar Jakarta BNI Taplus, sedangkan Maya menjadi penggawa Jakarta PLN Elektrik.

  Ketika Persebaya harus melawan Persib, perseteruan pun mewarnai hubungan Djayusman dengan Intan. Sebagai pemain belakang andalan Persebaya, Djayusman tentu berjuang agar timnya menang. Sementara itu, Intan adalah pendukung setia Persib.

  ”Yang repot justru saya, bingung mau membela yang mana,” ujar Intan.

  Mantan pemain Bandung Tectona tersebut tentu akan memberikan dukungan kepada Djayusman. Namun, alasan itu juga tak cukup kuat untuk membuatnya berpaling dari Maung Bandung, julukan Persib.

  ”Asal Persebaya tidak kalah saja. Kalau kalah, Djayus (panggilan Djayusman, Red) bisa bete seharian,” ucap anak kedua di antara empat bersaudara tersebut. ”Bisa-bisa makin kelabu saja malam Valentine-nya,” imbuh wanita kelahiran Purwakarta itu.

  Menyambut Valentine’s Day, Djayus punya rencana khusus. ”Seandainya ada pertemuan, mungkin diisi dengan dinner saja,” ungkap pemuda yang berulang tahun pada 22 Agustus tersebut.

  Soal makan bisa menjadi masalah bagi mereka. Sebab, selera makan Djayus dan Intan bertolak belakang. Intan tak menyukai ikan dan semacamnya. Sebaliknya, ikan merupakan menu favorit Djayusman.

  Lain lagi pasangan Lucky dan Maya. Terpisah antara Jakarta dan Surabaya tak membuat mereka kesepian. ”Tenang saja. Meski jauh-jauhan, kami bisa memanfaatkan teknologi. Ada video call,” jelas Lucky. Maya pun tenang-tenang saja. Komunikasi via telepon cukup menjadi pengobat rindu bagi keduanya. Bahkan, frekuensinya bisa melebihi minum obat yang biasanya dijadwalkan tiga kali sehari. ”Makanya, kami memilih operator yang sama, biar hemat,” terang Maya.

  Ketika pulsa menipis, Maya dan Lucky memiliki alternatif komunikasi. ”Chatting saja juga cukup. Pokoknya, ada kabar dari dia,” kata Maya.

Sabtu, 12 Februari 2011

Christian Ronaldo Sitepu Kejar Wisuda Bulan Depan

Atlet basket Christian Ronaldo Sitepu tak cuma ingin jadi atlet. Status sebagai lulusan perguruan tinggi dikejarnya juga.


  Wisuda menjadi salah satu momen yang ditunggu-tunggu mereka yang berstatus sebagai mahasiswa. Rasanya tuntas sudah segala kewajiban selama bertahun-tahun saat memakai tiga. Momentum itu pula yang tengah ditunggu atlet basket Christiano Ronaldo Sitepu.

  Forward Satria Muda Britama tersebut tak sabar menanti bulan depan. Pekan depan, dia dijadwalkan untuk sidang skripsi lebih dahulu. Dengan materi skripsi yang tak jauh-jauh dari bidang yang ditekuninya, olahraga, pemuda bertinggi nyaris 2 meter itu optimistis bisa lulus dengan mudah.

  ’’Saya harus wisuda Maret nanti, nggak boleh meleset dan molor lagi,” ujar Dodo, sapaan karib Christian Ronaldo Sitepu. Keinginan pemuda kelahiran Bogor, 27 Oktober 1986 itu memang sudah di pucuk kepala. Sebab jika tak ikut wisuda Maret ini bisa jadi dia bakal dicap mahasiswa abadi. Saat ini saja, mahasiswa jurusan manajemen, fakultas ekonomi, Perbanas Jakarta tersebut sudah masuk semester sebelas.

  Apalagi ke depan jadwal bertanding diprediksi bakal lebih berat. Musim ini saja, National Basketball League (NBL) Indonesia tak seramah musim sebelumnya saat masih ber-title Indonesian Basketball League (IBL). Jadwal semakin padat dengan tur ke luar kota makin panjang karena imbas dari kian banyaknya jumlah pertandingan masing-masing klub. Belum lagi jika nanti dia dipilih untuk memperkuat tim nasional basket SEA Games XXVI/2011 di tanah air. Serangkaian try out sudah menanti, belum lagi jadwal latihan di pelatnas.

   ’’Untungnya saat jadwal padat, skripsi juga sudah tahap akhir,” ujar Dodo. Lagi pula, dia diuntungkan mendapatkan pembimbing yang lumayan bisa diajak kompromi soal jadwal.

  Sudah dapat pendamping wisuda? ’’Wah harus ya,” ujar dia malu-malu. Dodo menolak saat disebut-sebut bakal didampingi seorang pebulu tangkis nasional yang kini juga anggota pelatnas Cipayung.

Sabtu, 05 Februari 2011

Raja Binaraga ABG Syafrizaldy Tolak Tawaran Film dan Sinetron

Binaraga bukan olahraga favorit di tanah air. Namun, kenyataan itu tidak membuat Syafrizaldy mundur. Keyakinan menuai hasil emas pascausia 37 tahunlah yang membuat dia setia sebagai binaragawan.



  Rumah petak 5 x 7 meter di kawasan Jakarta Timur itu terlalu sempit untuk keluarga kecil dan memajang sejumlah penghargaan dari even internasional dan nasional. Maka, tak ada pilihan selain memajang medali dan sertifikat di dinding rumah itu.

  ”Semua saya tumpuk saja. Mana cukup dinding untuk memajang semua penghargaan itu,” ujar Rizal –sapaan Syafrizaldy.

  Di usianya yang genap 45 tahun, dia telah mengantongi sederet penghargaan. Sebab, dia telah menekuni binaraga sejak 26 tahun lalu. Meski, awalnya pria penyuka warna hitam dan putih itu memulai binaraga karena ”kecelakaan”.

  Tekadnya untuk datang ke ibu kota tak pernah ter pikir menjadi atlet. Meski, dia pernah berlatih tinju di Medan, tempat kelahirannya. Niat untuk menjadi petinju tenar pupus setelah penampilannya di atas ring ditentang ibundanya, Jus’ar. ”Ibu saya tak tega melihat darah yang mengucur waktu saya bertanding,” ujar Rizal.

  Tak disangka, kondisi ekonomi keluarganya memaksa dia untuk hengkang ke Jakarta pada waktu yang bersamaan. Usaha rumah makan Padang keluarganya bangkrut. Setelah berdiskusi dengan keluarga, dia dan ayahnya, Darnis St. Ba tuah, hijrah ke Jakarta. Lagi pula, Rizal tersandung masalah dengan salah seorang temannya di kampung halaman.

  Sesampai di Jakarta, Rizal tak mau berpangku tangan. Dia membantu ayahnya mencari uang. ”Saya berjualan teh botol di Rasuna Said (kawasan Kuningan, Red). Rumah saya juga berada di sana,” ujar Rizal.

  Namun, hasratnya sebelum menuju ibu kota tak bisa disembunyikan. ”Saya ingin jadi artis,” kenang dia. Saat pertama tiba di Jakarta, Rizal mencari tempat latihan teater. ”Di sana justru idealisme saya dipertaruhkan," ucap dia.

  Rupanya, menjadi artis panggung harus bermodal tampang kece sekali atau sebaliknya. "Kalau tampangnya pas-pasan seperti saya, nggak laku,” kelakar dia.

  Setelah tak melihat ada peluang untuk menjadi bintang di teater, Rizal melirik gelanggang olahraga. Kebetulan, salah satu cabang olah raga yang berlatih di sana adalah binaraga.

  Namun, modal tampang dan kenekatan saja tidak cukup. Usaha untuk berlatih di luar jam atlet pelatnas pun ditolak mentah-mentah.

  ”Saya hanya berpikir, olahraga ini sangat menarik. Ibu pasti merestui karena lahraga ini jauh dari kekerasan dan tak ada darah,” ujar bapak tiga anak tersebut.

  Maka, meski sudah ditolak, Rizal tak patah arang. Dia mencari tempat latihan. Setelah delapan tahun berjalan, dia kian menyukai olahraga yang memper tontonkan otot-otot tersebut.

  ”Saya yakin, ketekunan ini akan berbuah meski butuh wkatu lama. Masa emas binaragawan bukan saat ini, tetapi nanti setelah saya melewati usia 37 tahun,” terang dia.

  Keyakinan itu tidak salah. Setahap demi setahap ketekunannya membuahkan hasil. DKI Jakarta yang mengandalkan dia di PON 1996 tidak pulang malu. Sebab, dia menyumbangkan medali emas.

  Karir dia melesat saat dipercaya memperkuat Indonesia pada SEA Games 1997 di Jakarta. Perak didonasikannya untuk kontingen Indonesia. Perolehan itu membuat harganya melambung menjelang PON 2000. Janji bonus yang besar membuatnya memutuskan untuk bergabung dengan Bengkulu.

Rizal pun setia kepada Bengkulu hingga tiga kali PON. Dia berturut-turut menyumbangkan medali emas. Dia menjadi satu-satunya penyumbang emas bagi Bengkulu. Namun, menjelang PON ke-18 pada 2012 di Riau nanti, dia hengkang ke Jawa Timur (Jatim).

  ”Saya kecewa karena harus berseteru lebih dahulu untuk mendapatkan dana persiapan PON. Setali tiga uang, Jatim berani menawar saya lebih tinggi menghadapi PON 2012,” ujar dia.

  Dia optimistis bisa menyumbangkan emas pada PON 2012. Meski, saat itu usianya sudah 46 tahun. ”Saya mempertaruhkan nama saya untuk Jatim.
Saya juga ingin membuktikan bahwa karir di binaraga pada usia seperti ini bukan mandek, tetapi justru stabil,” ujar penyuka musik itu.

  Soal materi, Rizal mendapatkan jauh lebih dari cukup. Kebutuhan suplemen, biaya sekolah anak, dan kehidupan sehari-hari yang totalnya sekitar Rp 16 juta bisa dicukupi. Dia malah bisa membangun rumah dan membeli kebun di Bogor.

  Rumahnya tidak hanya berada di Jakarta. ”Namun, sertifikat dan medali belum sempat saya pasang. Masih menumpuk di rumah lama,” imbuh dia.

  Tidak hanya itu. Hanya berbekal ijazah madrasah tsanawiyah (MTs) alias setingkat SMP, Rizal sukses menaklukkan Asia. Pada dua kali Asian Beach Games (ABG), pria kelahiran Medan itu sukses membawa pulang medali emas lewat binaraga.

  Olahraga itu menjadi pembuka jalan tercapainya semua cita-citanya. Rumah yang bisa di bilang mewah menjadi miliknya saat ini di kawasan Bogor dan tanah seluas 3.000 meter. Selain itu, jalan ke dunia hiburan bisa dicapai Rizal.

  Dia menjadi bintang iklan banyak produk. Di antaranya, Liga Dunhill, salah satu produsen baterai, dan lain-lain. Dia ingat, kalan itu seolah tertutup rapat justru saat Rizal belajar teater. Pada beberapa tahun terakhir, ajakan untuk bermain film dan sinetron cukup terbuka bagi dia.

  ”Binaraga masih menjadi pilihan utama. Untuk iklan, saya masih mau, sedangkan sinetron dan film saya tolak,” ujar dia. Maklum,pengambilan gambar film dan sinetron bakal membu tuhkan waktu yang tidak singkat.

  Padahal, dia sudah mengikat kontrak dengan negara dan daerah untuk tampil di single dan multieven. ”Tanggung jawab tersebut lebih besar,” tegas dia.