Liliyana Natsir pensiun dari bulutangkis meninggalkan sederet prestasi dan mengerek gengsi ganda campuran. Dia akan dikenang sebagai pengubah zaman.
Liliyana pamitan lewat pesta kecil menjelang final Indonesia Masters 2019 kemarin. Dia mengucapkan selamat tinggal kepada bulutangkis.
"24 tahun saya berkarier di bulutangkis. Dan hari ini, Minggu, 27 Januari 2019, saya menyatakan pensiun menjadi atlet profesional bulutangkis," ujar Liliyana sembari menyeka air mata.
Suporter yang memenuhi tribune baper. Teriakan 'I love you Butet' bersahutan dengan tepuk tangan.
Mereka terharu, sedih, namun bukan karena luka. Mereka baper kehilangan satu pemain legendaris, panutan, pekerja keras, dan tak mau kalah.
Fans yang mengikuti lewat kabar di media dan media sosial bersatu lewat tagar #ThankYouButet. Nyaris seharian hastag itu menjadi topik paling ramai dibicarakan.
Rekan dan rival di bulutangkis juga menyampaikan kesan mendalam kepada Liliyana lewat Instagram, Twitter, dan Facebook. Mereka memberikan pujian, menyampaikan rasa syukur bisa berpasangan atau berduel dengan salah satu pebulutangkis terhebat pada zamannya.
"24 tahun saya berkarier di bulutangkis. Dan hari ini, Minggu, 27 Januari 2019, saya menyatakan pensiun menjadi atlet profesional bulutangkis,
Pelatih pelatnas PBSI ganda campuran, Richard Mainaky, yang amat mengenal Liliyana dan kondisi ganda campuran, secara tersurat menyatakan kehilangan. Dia masih berandai-andai Butet, sapaan karib Liliyana, pensiun dua taun lagi, bukan saat ini.
Siapa yang tidak khawatir jika dalam 13 tahun terakhir ini ganda campuran yang mapan tau-tau ditinggal ratunya.
Ya, 13 tahun Indonesia bertumpu kepada Liliyana. Itu tanpa memperhitungkan periode junior. Titik nol itu dimulai pada 2005, saat Liliyana menjadi juara dunia bersama Nova Widianto di Anaheim, Amerika Serikat.
Waktu itu, usia Liliyana masih 19 tahun. Dia menjadi pengganti Vita Marissa. Tidak sampai setahun dipasangkan, duet Nova dan Liliyana menggegerkan dunia. Mereka menjadi juara dunia.
Titel itu melengkapi gelar juara dari nomor paling bergengsi, tunggal putra, yang diraih lewat Taufik Hidayat. Indonesia pun pulang dengan dua gelar juara dunia.
Raihan gelar juara dunia itu kian istimewa. Jika Taufik melanjutkan sukses Hendrawan, Hariyanto Arbi, Joko Supriyanto, Icuk Sugiarto, dan Rudy Hartono, Nova/Liliyana mengakhiri paceklik ganda campuran sejak 1980 oleh Christian Hadinata dan Imelda Wiguna.
Sukses Nova dan Liliyana juga memiliki makna lain. Gelar juara dunia itu sekaligus membuat sejajar nomor ganda campuran dengan tunggal putra. Bahkan, sejak itu, ganda campuran lah yang menyelamatkan muka Indonesia di kancah internasional. Berkali-kali.
Ya, Nova dan Liliyana membuktikan mereka bukan One Hit Wonder. Sekali juara sudah. Mereka konsisten melanjutkan hasil-hasil sip di turnamen terbuka, menjadi tumpuan Indonesia di ajang internasional.
Malah, ketika sektor tunggal mulai sulit menjadi juara dunia, setelah penampilan Taufik naik turun dan belum memiliki pengganti, Nova/Liliyana stabil di empat besar. Mereka berdampingan dengan sektor ganda putra yang juga telah mapan sejak lama.
Pamor ganda campuran kembali terdongkrak saat Nova/Butet meraih predikat juara lagi di Kejuaraan Dunia 2017 di Kuala Lumpur. Di ajang itu, Indonesia juga meraih gelar juara dari nomor ganda putra lewat Markis Kido/Hendra Setiawan.
Nomor ganda campuran pun kian mendapatkan tempat tersendiri di hati fans bulutangkis Tanah Air. Butet mampu membuktikan jika ganda campuran bukan sektor sampingan. Justru lewat nomor itu, bendera Indonesia kerap dikerek di tiang tertinggi dan lagu Indonesia dikumandangkan.
"Perhatian dan penghargaan untuk ganda campuran berbeda dulu. Zaman sudah berbeda," kata Minarti Timur, mantan pemain ganda campuran nasional.
Bukan hanya bersama Nova, Liliyana juga cemerlang bersama Tontowi. Malah, dia semakin matang dan berbahaya sejak dipisah dengan Nova menjelang Asian Games 2010 Guangzho.
Dicoba-coba dengan beberapa pemain putra, Liliyana paling klop dengan Tontowi. Konsisten di super series, mereka kemudian naik panggung tertinggi pada Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2013 di Guangzhou.
Predikat juara itu diperoleh setelah di tahun sebelumnya mereka menjadi juara All England dan back to back pada 2013. Satu pesta lain dicatatkan Owi/Liliyana di All England 2014. Mereka mencatatkan hat-trick di turnamen bulutangkis tertua di dunia itu.
Tiga gelar juara dunia dan tiga dari All England tak membuat Liliyana berhenti. Satu misi terbesar sebagai seorang atlet belum diraihnya. Dia berambisi untuk meraih emas olimpiade.
Satu medali memang sudah diraihnya dari pesta olahraga terakbar sejagat itu. Bersama Nova, Liliyana meraih perak Olimpiade 2008 Beijing. Mereka kandas di tangan Lee Yong Dae/Lee Hyo Jung di babak final.
Kesempatan untuk mendapatkan emas datang lagi pada Olimpiade 2012 London. Tapi Liliyana tak berhasil meraihnya. Bersama Tontowi, LIliyana kandas di semifinal.
Beban Tontowi dan Liliyana cukup berat memang. Mereka tak hanya ingin menuntaskan ambisi pribadi, namun harus menebus hasrat ganda campuran pelatnas sekaligus misi bangsa sebagai penjaga tradisi emas olimpiade. Ya, ganda campuran memiliki pekerjaan rumah untuk meraih emas olimpiade setelah konsisten di turnamen-turnamen rutin.
Ambisi itu membuat pasangan itu sempat tak akur. Hasil naik turun dalam periode kualifikasi merenggangkan hubungan mereka. Tensi menurun dengan campur tangan pelatih dan psikologi.
Saat tiba waktu 'berperang; di Olimpiade 2016 Rio de Janeiro, mereka bisa betul-betul ganas. Emas pun diraih.
Bersama Tontowi, Liliyana berhasil menuntaskan hasrat Indonesia, juga Richard, dan dirinya sendiri. Berjarak 11 tahun dari gelar juara dunia di Anaheim.
Lawannya sudah berganti. Sempat satu lapangan dengan Zhang Yawen, Liliyana kemudian berhadap-hadapan dengan Gao Ling, Yu Yang, dan Zhao Yunlei hingga Olimpiade Rio itu.
Makanya, tak mengherankan jika Liliyana nyaris berhenti dari bulutangkis tepat setelah Olimpiade Rio itu. Richard dan Owi, sapaan karib Tontowi, keberatan. Dua tahun lagi kata mereka. Liliyana diharapkan bermain di Asian Games 2018. Ajang itu bukan Asian Games biasa karena Indonesia menjadi tuan rumah.
Liliyana manut. Dia batal pensiun. Tapi, dengan menegaskan dia cuma memiliki waktu dua tahun lagi. Tak ada toleransi lagi setelah itu.
Liliyana pun melanjutkan duet dengan Tontowi. Kali ini, mereka lebih selektif memilih turnamen. Sementara itu, Yunlei, musuh bebuyutannya dari China pensiun. Dia diganti oleh Huang Yaqiong, 24 tahun, yang berpasangan dengan pemain seumuran Shesar Hiren Rhustavito, Zheng Siwei (21 Tahun). Yaqiong itu kakinya kuat, gerakannya lincah, defense-nya seperti tembok milik negara dia. Sulit ditembus.
Tapi persaingan dengan pemain muda tak membuat Liliyana mati kutu. Bersama Owi, dia berhasil menambah satu lagi gelar juara dunia. Liliyana juga membuat rekor pribadi, menjadi pemain putri dengan gelar juara terbanyak (empat kali). Liliyana sekaligus terdaftar sebagai pemain paling sukses dari kategori ganda campuran sepanjang sejarah kejuaraan dunia.
Setahun kemudian, tugasnya seharusnya selesai. Liliyana tampil di Asian Games 2018 dan menyumbangkan medali perunggu.
Sejak itu, publik tinggal menunggu waktu. Dua tahun yang diberikan tinggal sebentar lagi. Dan momen itu betul-betul tiba di Indonesia Masters kemarin. Rela atau tidak rela.
"Sebenarnya (pensiunnya Liliyana Natsir) sangat disayangkan. Dunia akan kehilangan pasangan terbaik". Kalimat itu diucapkan pemain putra ganda campuran terbaik sejagat saat ini," Zheng Siwei.
Betul, bukan hanya Siwei yang kehilangan. Tapi, pecinta bulutangkis juga tak rela Lilliyana menyudahi kariernya. Satu medali emas dan satu perak olimpiade, empat gelar juara dunia, tiga gelar juara BWF World Tour, 23 gelar juara, dan 10 gelar juara BWF Gold Grand Prix menjadi warisan Liliyana di olahraga tepok bulu.
Terima kasih Liliyana sudah menandai zaman dengan berbagai gelar juara. Terima kasih Butet sudah mengerek pamor nomor ganda campuran. Terima kasih Butet telah mengajarkan kepada kami untuk tidak mudah menyerah.