Jumat, 30 Agustus 2019

Kado Emas Juara Dunia dari Hendra/Ahsan untuk (Keberagaman) Indonesia

Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan juara dunia 2019 (foto PBSI)
Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan menyelamatkan muka Indonesia di Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2019. Menjadi kado untuk ulang tahun ke-74 Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja.

Entah nge-voor atau memang kalah angin, gim kedua bikin geregetan karena tertinggal jauh sejak awal 3-7 dari pasangan muda Jepang, Takuro Hoki/Yugo Kobayashi di St. Jakobshalle, Minggu (25/8/2019) malam WIB. Gim kedua itu pun diselesaikan dengan skor 9-21 setelah unggul 25-23 di gim pertama.

Andai, Hendra tampil bersama Markis Kido, pasangannya saat menjadi juara dunia 2007 dan medali emas Olimpiade 2008 Beijing, yang kocak dan blak-blakan bisa diduga, jawabannya akan seperti ini," Biar masuk tv-nya lama".

Faktanya sih, gim ketiga berlangsung (terlihat) cukup mudah. Apalagi, mengingat kalimat Hendra siang WIB sebelum pertandingan itu.

"Buat final Kejuaraan Dunia Bulutangkis ini, yang disiapkan itu mentalnya. Harus berani dan fokus dari awal. Hasilnya kami serahkan kepada Tuhan," kata Hendra sebelum menjalani final di St. Jakobshalle, Minggu (25/8/2019).

Gim ketiga, sebagai penentu menang atau kalah, Hendra/Ahsan oleh dibilang tak menemui hambatan berarti. Mereka menutup gim itu dengan skor 21-15.

Ya, pasangan yang cukup senior itu, Hendra, yang tepat berulang tahun pada hari final itu, dan Ahsan, yang akan berulang tahun ke 32 pada 7 September itu, berhitung bukan fisik yang akan menentukan laga itu. Tapi, mental.

Dengan kalimat itu, boleh dibilang 75 persen kemenangan untuk Indonesia. Soal mental, merekalah yang bakal bisa lebih relaks di tengah lapangan, saat poin-poin kritis.

Hendra dan Ahsan memang tak cuma numpang lewat di jagat bulutangkis. Telah 12 tahun sejak menjadi juara dunia bersama Kido dan terakhir, menambah dua gelar juara bersama Ahsan pada 2013 dan 2015, juga dari turnamen terbuka tak perlu lagi mempertanyakan mental mereka. The Daddies datang ke Basel dengan bekal juara All England serta finalis Indonesia Open dan Japan Open 2019.

Sementara, pasangan Jepang sama-sama berusia 24 tahun. Mereka tampil bukan sebagai unggulan dengan ada di urutan ke-13 dunia dan di ajang world tour raihan terbaik sebagai runner-up Korea Open 2018. Sudah cukup bagus mereka melaju sebagai finalis dan tidak mengalami starstruck saat menghadapi Hendra/Ahsan.

***

Tanpa Beban Didukung Statistik Oke

Hendra/Ahsan lolos ke Kejuaraan Dunia 2019 dengan meyakinkan. Mereka tampil sebagai unggulan keempat.

Mentas dengan predikat unggulan membuat mereka setidaknya tak perlu menghadapi unggulan di babak-babak awal. Lagipula, mereka tampil di Kejuaraan Dunia 2019 itu sebagai pemilik dua gelar juara dunia yang diraih saat berduet, sedangkan khusus Hendra, dia sudah hat-trick, dengan satu gelar juara dunia didapatkan bersama Markis Kido pada 2007.

"Kalau saya lihat mereka (Hendra/Ahsan) lebih menikmati karena mereka sudah dua kali mendapat gelar Kejuaraan Dunia. Berbeda jadinya jika belum pernah." Begitulah kata pelatih pelatnas bulutangkis ganda putra, Herry Iman Pierngadi.

Gelar dua juara dunia itu bahkan dicapai dengan amat spesial oleh Hendra dan Ahsan. Dalam dua keikutsertaan di ajang itu, mereka selalu meraih medali emas.

Hat-trick gelar juara dunia meneguhkan pencapaian kesuksesan 100 persen di The Daddies di Kejuaraan Dunia Bulutangkis.

Tahun ini, Hendra/Ahsan cuma kehilangan dua gim dari lima laga yang dilakoni. Yakni, saat menghadapi Fajar Alfian/Mohammad Rian Ardianto di babak semifinal dan di final.

Saat menjadi jawara juara 2015, Hendra/Ahsan juga cuma kehilangan dua gim. Yakni, di babak pertama dari pasangan nonunggulan Prancis, Baptiste Careme/Ronan Labar dan di babak kedua saat menghadapi ganda Jepang Kenta Kauno/Kazushi Yamada.

Malah, pada Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2013, Hendra/Ahsan mencatatkan laju mulus. Mereka menyelesaikan babak demi babak dengan dua gim langsung. Salah satu laga menghadapi mantan Hendra, Markis Kido yang berpasangan dengan Alvent Yulianto pada babak ketiga.

Selain itu, Hendra masuk klub deretan pebulutangkis ganda putra yang meraih empat gelar juara dunia (terbanyak saat ini) setara musuh bebuyutannya dulu, Fu Haifeng/Cai Yun, dari China.

Hendra dan Ahsan sekaligus menjadi ganda putra Indonesia kedelapan yang sukses membawa pulan medali emas Kejuaraan Dunia. Sejauh ini, hanya 14 pemain Indonesia yang masuk klub juara dunia dari sektor ganda putra.


Mental Matang karena Fisik Sip

Kematangan mental bertanding Hendra/Ahsan tak perlulah dipertanyakan. Pengalaman panjang sepanjang karier dengan asam garamnya menjadi bekal meyakinkan untuk tampil di Kejuaraan Dunia di Basel itu.

Tapi, mental saja tanpa didukung fisik yang sip juga bukan jaminan. Justru seorang atlet disebut siap mental, percaya diri, saat fisik juga sip.

Kendati berusia tua untuk dibilang sebagai atlet veteran, Hendra dan Ahsan memiliki fisik yang tangguh. Mereka mempunyai resep khusus untuk memoles menjelang turun dalam setiap turnamen. Selain dukungan barisan pelatih pelatnas, Hendra dan Ahsan mendapatkan ilmu saat menjadi pemain bebas.

Hendra dan Ahsan, dengan sederet predikat juara, tak gengsi untuk menimba ilmu dari pebulutangkis negara lain. Mereka sangat terbuka untuk menerima hal-hal baru.

"Saat mengikuti liga bulutangkis di negara lain, saya sering bergabung dengan pemain Eropa yang sudah senior banget. Saya tanya-tanya latihan fisik dan lainnya untuk tetap bisa awet bermain," kata Hendra.


Status Profesional Rasa Magang

Hendra menjalani pelatnas tahun lalu dengan predikat magang. Sempat berada di luar pelatnas, namun dia dipanggil lagi untuk berduet dengan Ahsan. Predikat status magang itu cukup mengejutkan karena biasanya diberikan kepada pemain potensial, namun kuota PBSI sudah penuh sehingga si pemain harus membiayai tur kejuaraan-kejuaraan dunia, visa, dan biaya kesehatan sendiri. Di tahun 2018 mereka juara Singapore Open.

Selama setahun bersama-sama, mereka memutuskan untuk keluar pelatnas, menjadi pemain bebas rasa magang. Sebab, selayaknya pemain profesional, biaya ini itu ditanggung sendiri, namun bisa berlatih di pelatnas, di bawah asuhan barisan pelatih pelatnas ganda putra yang dipimpin oleh Herry Iman Pierngadi. Tahun ini, mereka bukannya kendur, namun malah menolak tua.

Hendra dan Ahsan membuktikan dengan menjadi juara All England, New Zealand, dan juara dunia, serta berderet predikat runner up; Indonesia Masters, Singapore Open, Indonesia Open dan Japan Open. Kini, peringkat dunia mereka cuma kalah dari Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon yang mendiami peringkat pertama. Ya, The Daddies mengisi urutan kedua dunia.

Hendra tak pernah merasa repot dengan urusan di luar pertandingan sebagai pemain mandiri yang seolah-olah magang itu.

"Untuk travel dan hotel, biasanya saya minta tolong kepada agen perjalanan. Jadi enggak repot kok," ujar Hendra.

Satu keuntungan Hendra dan Ahsan dengan status itu, mereka bisa lebih relaks menjalani turnamen dengan predikat magang itu. Dua tahun sebelumnya, Hendra pun sudah menyadari, PBSI membutuhkan tempat lebih luas agar leluasa melakukan regenerasi. Salah satu caranya, Hendra mundur dari pelatnas. Waktu itu dia bilang agar terbiasa apa-apa sendiri saat betul-betul meninggalkan pensiun nanti.

Tapi, khusus menuju Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2019 ini, mereka masuk dalam pembiayaan PBSI.

"Karena mewakili negara ya (biayanya) dari PBSI dong," kata Sekjen PP PBSI, Achmad Budiharto.


Kado untuk HUT Indonesia yang sedang Tidak Baik-baik Saja

Gelar juara dunia yang diraih Hendra/Ahsan di Basel tahun ini bukan cuma istimewa dari statistik. Hendra dan Ahsan meraih medali emas saat Indonesia dilanda krisis keberagaman hingga memunculkan aksi rasial.

Mereka, tanpa banyak kata, menunjukkan betapa perbedaan justru membuat Indonesia begitu disegani di dunia. The Daddies, yang memiliki perbedaan mencolok itu, mati-matian di tengah lapangan demi Merah Putih. Perlu diketahui, Kejuaraan Dunia Bulutangkis tak menawarkan hadiah uang, cuma poin untuk ranking peserta.

Hendra, yang seorang keturunan Tionghoa dan kristiani sedangkan Ahsan muslim yang taat, tak canggung untuk berlatih bersama pagi dan sore--setiap hari, makan satu meja, bertukar keringat saat berpelukan untuk merayakan kemenangan.

Dan, mereka memiliki jawaban yang sama saat ditanya,'Untuk siapa gelar juara dunia itu?' dalam sesi wawancara usai menggenggam medali emas itu.

"Untuk kado ulang tahun Indonesia!"

Sabtu, 10 Agustus 2019

Berlarilah Zohri, Berlarilah dengan Gembira Seperti di Atas Pasir Putih Waktu Dulu

Lalu Muhammad Zohri bicaranya irit, namun kecepatan larinya melimpah. Dulu kakinya kerap menapak di pantai-pantai Lombok Utara tanpa sepatu, kini Zohri menggenggam jalan di lintasan Olimpiade 2020 Tokyo dengan alas kaki yang bebas dipilihnya.



Zohri kecil memiliki taman bermain yang luas. Batasnya laut. Di sana dia bebas berlari.

Taman itu itu bukan trek lari artifisial seperti yang diakrabi Zohri belakangan ini. Taman itu penuh dengan pasir putih. Taman bermain itu ada di kampung halamannya. Di Lombok Utara. Di pantai-pantai indahnya.

Di sanalah dia lahir. Di sanalah dia berlari. Tanpa aturan, tanpa alas kaki. Bebas, tanpa beban.

"Saya juga punya keturunan yang jago lari. Kalau enggak salah, saya dengar cerita bapak saya dulu adalah pelari. Bapak bisa mengejar anjing," kata Zohri.

Tak hanya berlari di atas pasir, Zohri juga menjajal lintasan jalan raya.

Kegilaan Zohri berlari terendus Rosida, guru Zohri di kelas 1 SMP Negeri 1 Pamenang di Dasan Lontar. Tapi, Zohri tak menyadari potensinya. Dia menolak. Zohri melihat tak ada korelasi antara berlatih lari dan menjadi tentara seperti cita-citanya. Lagipula, waktu itu, dia lebih senang bermain sepakbola. Lagipula, Zohri tak memiliki sepatu.

Rosida tak menyerah. Rosida, yang tamatan jurusan Pendidikan Jasmani Olahraga Kesehatan IKIP Mataram tahun 1995 dan pelompat jauh saat masih menjadi siswa di Sekolah Guru Olahraga Mataram 1988-1991 itu, yakin Zohri memiliki bakat sebagai sprinter.

Sebaliknya, Zohri tak menyadari bakat itu. Zohri, yang sudah yatim piatu itu, sama sekali tak tertarik untuk berlari.

Dia bersikukuh berlari akan menarik saat dilakukan di atas lapangan hijau, sembari berebut bola dengan 11 pemain tim lawan. Dia sering melihat aksi kakaknya yang seperti itu, kakaknya yang tergabung dalam sebuah klub bola.

Zohri memang keras kepala.

"Saya sudah ditawari, saya disuruh lari. Dia kayaknya tahu orang cepat lari bagaimana. Dia tahu ciri-ciri bakat lari seperti apa. Tapi, saya enggak mau," ujar Zohri.

Dua tahun pdkt alias pendekatan Rosida buntu. Zohri bergeming. Dia sama sekali tak tertarik diajak berlari di lintasan.

Tapi, Rosida juga seorang yang keras kepala. Melebihi Zohri bahkan. Dia tak berhenti membujuk Zohri untuk berlari.

Seperti hepasan omba yang mampu merapuhkan batu karang, usaha tanpa henti Rosida mengikis keras kepalanya Zohri. Tepatnya, saat Zohri sudah duduk di kelas tiga SMP itu. Bukan cuma menyerah karena tak enak dengan Rosida, rupanya Zohri juga gagal masuk tim sepakbola sekolah waktu itu.

"Kelas tiga kan saya sudah enggak bisa ikut (sepakbola), akhirnya saya mencoba atletik. Lagipula, Bu Rosida tidak pernah menyerah, mengajak saya terus. Akhirnya, saya coba," dia menambahkan.

Kali ini, Zohri tak memikirkan soal alas kaki. Latihan pagi dan sore dijalani Zohri dengan cuek meski tak memiliki alas kaki. Toh, dia terbiasa berlari-lari di atas pasir putih tanpa sepatu.

Zohri memegang teguh kalimat gurunya yang keras kepala itu saja bahwa dia akan dipinjami sepatu setiap kali mengikuti lomba lari.

Malah, sepatu didapatnya bukan dari Rosida semata. Kakak Zohri, yang dianggap sebagai orang tuanya setelah ayah dan ibunya meninggal dunia, Baiq Fazila, juga membelikannya sepatu.

"Beli di pasar, enggak tahu mereknya," ujar Zohri.

Kekeraskepalaan Rosida dikombinasikan dengan latihan rutin yang dijalani Zohri berbuah manis. Zohri, yang diturunkan dalam Kejuaraan Daerah Atletik di lari 100 meter dan 200 meter tampil menggebrak. Zohri langsung juara dalam debutnya.

Berkat hasil itu, oleh salah satu guru di PPLP, I Komang Budagama, dan Sugabio dari Dispora Mataram, Zohri diajak bergabung ke PPLP.

Tidak langsung setuju, Zohri sempat bimbang. Sebab, dia tak tahu apa itu PPLP.

"Tapi, saya kan tidak tahu PPLP itu apa? Katanya ada di Mataram, itu jauh lo dari rumah saya, naik bus sekitar 1 jam," ujar Zohri.

Kendati jauh dari rumah, tapai tawaran Komang cukup menggiurkan. PPLP adalah tempat yang asyik. Di sana, dia bisa berlari lebih kencang.

Apalagi, satu janji dari Komang yang belum tentu bisa dicapainya andai ia bersikukuh tinggal di kampungnya.

"Di PPLP semua gratis. Saya ingat, saat itu, saat masih SMP, ekonomi masih kurang, saya enggak pernah pakai sepatu, kadang-kadang cuma saya sendiri yang enggak pakai sepatu di sekolah. Kemudian dapat fasilitas gratis sekolah, makan, dan tempat tinggal," kata Zohri.

Dengan tak membebani kakak-kakaknya, Zohri bisa relaks di PPLP. Saking kendornya, Zohri sempat menjadi pemuda yang bandel hingga nyaris dikeluarkan dari PPLP itu pada 2016.

Tapi, guru dan pelatih masih memberikan tempat kepada Zohri karena prestasi sip di lintasan lari. Penampilan sip Zohri tercium juga oleh pelatih pelatnas, Eni Nuraini.

Sebuah kejutan dibuat Zohri di Kejuaraan Nasional Antar-PPLP (Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar) pada 2017 di Rawamangun, Jakarta Timur. Zohri, yang tampil mewakili PPLP NTB, finis terdepan dengan catatan waktu 10,25 detik di lari 100 meter putra.

Dengan catatan waktu itu, Zohri sampai-sampai membuat panpel mengecek ulang alat pengukur. Setelah dinilai tak ada yang salah dengan alatnya, Zohri pun sah dinyatakan sebagai juara. Zohri sekaligus mencatatkan namanya sebagai pemilik rekor nasional dengan melewati catatan waktu milik Sudirman Hadi (10.45 detik).

Eni membuka pintu kepada Zohri untuk bergabung ke pelatnas. Dia pun berlatih bersama dengan atlet-atlet atletik terbaik Tanah Air di ibu kota pada Januari 2018.

Digodok di Jakarta, di bawah asuhan Eni dan mentoring langsung dari pelatih atletik asal Amerika Serikat (AS) Harry Mara, yang membawa Ashton Eaton, pemilik medali emas dasalomba Olimpiade 2012 London dan Rio de Janeiro, kaki-kaki Zohri semakin terlatih. Larinya semakin cepat.

Zohri merebut gelar juara Asia junior di nomor lari 100 meter di Gifu Asian Junior Championship Jepang pada 9 Juni 2018. Dia mencatatkan waktu 10,27 detik.

Sebulan kemudian, Zohri tampil di Kejuaraan Dunia Junior di Finlandia. Di sanalah Zohri membetot perhatian dunia. Zohri finis terdepan menjadi juara dengan waktu 10,18 detik.

Pintu rejeki terbuka lebar. Berkat prestasinya itu, juga tak bisa dimungkiri justru karena gaduh bendera Merah Putih pemberian ofisial Polandia, Zohri mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak. Uang tunai, rumah, asuransi, tabungan emas digelontor untuk Zohri.

Dengan pundi-pundi uang yang diterimanya, Zohri merasakan betapa mudahnya membeli sepatu sendiri. Dia bisa memilih membeli sneakers hingga sepatu khusus untuk berlari di atas lintasan tartan dari berbagai merk. Rumah tinggalnya yang dulu papan, kini sudah diperbaiki. Zohri juga memiliki empat rumah lain berkat kejutan-kejutan dari lintasan lari.

Seluruh apresiasi itu tak mengurangi keras kepalanya Zohri. Dia bahkan 'membangkang' dari instruksi pengurus PASi dan pelatih. Dijaga untuk pelan-pelan naik level dan menambah kecepatan, Zohri malah laksana main sulap.

Ya, PASI sempat cemas dengan keinginan publik agar Zohri tampil di Asian Games untuk nomor individu. PASI khawatir ekspektasi besar dapat membuat Zohri tergelincir cepat.

Tapi, Zohri tampil meyakinkan di Asian Games 2018. Tak meraih medali memang, namun Zohri amat dekat dengan catatan waktu manusia tercepat Asia Tenggara, Suryo Agung Wibowo. Zohri, yang tampil di lintasan 6, tepat di sebelah sprinter China yang juga juara Asia tiga kali, Su Bingtian, finis dengan catatan waktu 10,20 detik. Sementara, Suryo memegang rekor nasional dengan waktu 10,17 detik di SEA Games 2019 Laos.

Tak hanya itu, malah di nomor lari berantai, estafet 4x100 meter, Zohri bersama Muhammad Fadlin, Eko Rimbawan, dan Bayu Kertanegara, meraih medali perak dengan catatan waktu 38,77 detik.

Dengan dua catatan waktu itu, di nomor individu dan estafet, Zohri membuktikan dia tak canggung untuk naik kelas. Dia bukan lagi sprinter junior.

Sejak itu tampaknya kaki-kaki Zohri tak bisa lagi dikendalikan. Berdekatan dengan Su Bingtiang dan merasakan langsung embusan kecepatannya saat tampil di Asian Games 2018 itu membuat Zohri kian terobsesi untuk berlari sekencang-kencangnya. Apalagi, iming-iming Olimpiade nyata di depan mata.

PASI layak dipuji dalam hal ini. PASI menjadi pihak yang paling rajin meredam ekspektasi publik, namun menyadari keras kepalanya Zohri untuk berlari secepat-cepatnya. Makanya, PASI memberikan fasilitas terbaik kepada Zohri dan atlet-atlet yang berpeluang ke Olimpiade 2020 untuk bisa sampai ke Tokyo.

"Tiket Olimpiade 2020 lebih sulit ketimbang sebelumnya, setiap atlet akan lolos Olimpiade dengan menggunakan dua jalan, yaitu melalui limit dan skor atau rangking. Untuk mengumpulkan skor tak hanya harus rutin ikut, tapi kejuaraan yang diikuti harus lah berkualitas tinggi dan jaraknya jauh, seperti Eropa, Amerika Serikat." Begitulah kalimat dari pengurus PB PASI di awal 2019 sebelum kualifikasi Olimpiade 2020 Tokyo dimulai.

Tapi, sekali lagi, Zohri adalah manusia keras kepala. Dia juga hobi mendobrak kemapanan sprinter pendahulunya.

Saat masih berusia 18 tahun, Zohri dengan enteng merebut predikat sprinter tercepat Asia Tenggara dari tangan Suryo Agung Wibowo yang sudah menggenggamnya selama satu dekade.

Kemudian, saat tampil di semifinal Kejuaraan Asia 2019 Doha pada 22 April, Zohri mencatatkan waktu 10,15 detik yang kemudian diperbaiki dalam tempo dua hari dalam babak final menjadi 10,13 detik.

Catatan waktu itu tak membuatnya puas, Zohri merasakan lapar yang amat sangat untuk memangkas waktu di lintasan 100 meter itu. Tampil di Olimpiade tampaknya menjadi sebuah obsesi tersendiri bagi Zohri.

"Saya pribadi, saya harus, misalnya di kejuaraan ke depannya, saya harus lebih baik, lebih baik, dan memperbaiki catatan waktu kemarin. Ke depannya semoga bisa lolos limit olimpiade saja," ujar Zohri dalam persiapan ke Kejuaraan Estafet di Yokohama pada 11-12 Mei dan berlanjut ke Golden Grand Prix, Osaka pada 19 Mei.

Berlari di antara pelari dunia, Zohri menjawab hasratnya sendiri. Tampil di lintasan lari Yanmar Stadium di Nagai, Osaka, Jepang, yang pernah dipakai untuk menghelat tiga pertandingan Piala Dunia 2002, termasuk laga perempatfinal antara Turki melawan Nigeria, juga markas klub Liga Jepang (J-League), Cerezo Osaka, Zohri mencatatkan waktu 10,03 detik.

Di ajang itu, Zohri mengawali lomba dengan start paling tepi, sebagai tempat untuk pelari-pelari nonunggulan. Bahkan, Zohri sempat tak mendapatkan tempat hingga tampil sip di Kejuaraan Asia 2019 dengan waktu 10,15 detik itu. Zohri menjawab dengan berjarak 0,03 detik dengan Justlin Gatlin (10,00 detik) dan Kiryu Yoshihide (10,01 detik).

Eni optimistis Zohri bisa lebih cepat lagi. Eni melihat Zohri masih ragu menjelang finis.

"Startnya sudah membaik, tapi Zohri masih tengak-tengok menjelang finis. Itu perlu diperbaiki," kata Eni.

Kini, Zohri bisa memperbaiki detail penampilannya. Zohri sudah bisa lebih relaks usai tampil di Osaka. Dia telah memastikan tiket Olimpiade 2020 Tokyo, juga Kejuaraan Dunia di Doha tahun ini. Zohri juga tak perlu lagi memikirkan sepatu dalam tiap pertandingan.

Kini, fokus Zohri cuma satu: berlari sekencang-kencangnya di Olimpiade 2020 Tokyo. Akankah ada kejutan lagi dari Zohri, yang seorang Asia dengan genetik yang berbeda dengan orang Jamaika, di pesta olahraga terakbar sejagad itu? Zohri bisa menembus waktu di bawah 10 detik, misalnya. Mampukah?

Bisa jadi seperti kata Su Bingtian, sprinter China yang juga idola Zohri, saat dimintai peluang mendekati waktu tercepat Usain Bolt, si orang Jamaika itu.

'Di masa depan, mungkin itu akan terjadi. Saya rasa bisa.'

***
Dimuat di detikSport, 23 Mei 2019
Kolaborasi bareng Mercy Raya

Senin, 13 Mei 2019

Babak Baru Ratu Wushu Lindswell Kwok


Lindswell Kwok saat wawancara dengan detikSport (Foto: Ari Saputra)
Kehidupan ratu wushu Lindswell Kwok memasuki babak baru. Setelah pensiun, dia menikah dengan Achmad Hulaefi dan membuka usaha clothing line.

Lindswell tak lagi beradu di atas gelanggang wushu. Lentur liukan kaki dan tangannya di nomor taichi yang memukau dunia ditutup di Asian Games 2018 Jakarta-Palembang.

Sukses Lindswell di Asian Games 2018 menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Dia menyaksikan langsung aksi pewushu asal Medan itu, juga memberikan selamat lewat unggahan di Instagram.

Sempat menunjukkan aktivitas lewat Instagram setelah menjadi juara di Asian Games, Lindswell 'menghilang'. Tahu-tahu, dia muncul di kediaman Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi.

Penampilan Lidnswell berubah. Dia mengenakan hijab dan mengabarkan akan menikah dengan rekannya di pelatnas wushu, Achmad Hulaefi.

Pro dan kontra muncul. Sebagian mendukung langkah Lindswell menjadi mualaf dan mengubah penampilan dengan pakaian syar'i, sebagian lain mengkritik langkah Lindswell tak lagi menjadi pemeluk Budha dan dicap sebagai anak durhaka.

"Sedihnya itu, kenapa orang enggak tahu cerita, tapi bisa banget langsung menghujat. Paling sedih, sakit itu saat dibilang dasar anak durhaka. Sedih," ujar Lindswell.

Kegaduhan berkembang setelah keluarga Lindswell menyebut tak merestui hubungan mereka. Lindswell juga tak didampingi keluarga saat melangsungkan resepsi di Jakarta pada 14 Desember.

Bukan apa-apa, Lindswell mengambil langkah itu karena tak ingin menyakiti hati mamanya Nuraini dan ayah Tjoa Eng Hing, serta lima saudara kandungnya. Sebagai bungsu, Lindswell menyadari keluarga kecewa dengan keputusan besar yang dibuatnya.

"Kami melaksanakan akad lebih dulu sebelum resepsi. Sebenarnya, kami mau akad bareng resepsi, tapi melihat situasinya enggak memungkinkan, bakal gaduh, kami enggak mau keluarga saling ribut. tapi, apapun langkah yang kami ambil, kami tahu, efeknya tetap sama, enggak bakal diterima juga makanya kami pelan-pelan yang penting niatnya baik," ujar Lindswell.

Lindswell dan Hualefi terus berupaya untuk menjalin komunikasi dengan keluarga di Medan. Mereka berharap jalinan keluarga yang renggang kembali erat.

Lindswell Kwok (Foto: Ari Saputra)
Di sisi lain, Lindswell dan Hulaefi bersama-sama untuk tegar menghadapi cibiran netizen. Lindswell bilang Hulaefi, pemilik medali perunggu Asian Games 2018 dari nomor daoshu, memiliki resep mujarab untuk mengalihkan perhatiannya dari media sosial.

"Ulai selalu mengajak aku untuk mempelajari hal-hal baru. Saat aku mulai tertarik tentang desain rumah, pas bangun rumah ini, dia getol menyodori desain-desain rumah, kemudian dia juga mulai mengenalkan kepada bisnis clothing line," kata Lindswell.

Tiga bulan berlalu sejak pernikahan itu, upaya Lindswell untuk membuka komunikasi dengan Nuraini dan Tjoa Eng Hing berhasil. Mereka mulai berbincang via telepon. Akrab dan dekat.

Nuraini kembali rutin mengingatkan jam makan Lindswell. Tapi, kadang menyatakan keberatan dengan hijab yang dikenakannya.

Kini, lima bulan setelah resepsi itu, Lindswell dan Hulaefi, dengan caranya sendiri, terus mengetuk pintu restu ayah dan ibunda Lindswell.

Kesibukan Lindswell dengan clothing line pun berlanjut ke sebuah babak baru. Dia merilis brand pakaian syar'i miliknya, Kianne, tepat pada 1 Ramadhan tahun ini atau 6 Mei, yang menjadi Ramadhan ketiga untuknya.

***

Artikel serupa tayang di detikSport, Sabtu (11/5/2019).  

Selasa, 07 Mei 2019

Ode Untuk Liliyana Natsir Si Pengubah Zaman



Liliyana Natsir pensiun dari bulutangkis meninggalkan sederet prestasi dan mengerek gengsi ganda campuran. Dia akan dikenang sebagai pengubah zaman.

Liliyana pamitan lewat pesta kecil menjelang final Indonesia Masters 2019 kemarin. Dia mengucapkan selamat tinggal kepada bulutangkis.

"24 tahun saya berkarier di bulutangkis. Dan hari ini, Minggu, 27 Januari 2019, saya menyatakan pensiun menjadi atlet profesional bulutangkis," ujar Liliyana sembari menyeka air mata.

Suporter yang memenuhi tribune baper. Teriakan 'I love you Butet' bersahutan dengan tepuk tangan.

Mereka terharu, sedih, namun bukan karena luka. Mereka baper kehilangan satu pemain legendaris, panutan, pekerja keras, dan tak mau kalah.

Fans yang mengikuti lewat kabar di media dan media sosial bersatu lewat tagar #ThankYouButet. Nyaris seharian hastag itu menjadi topik paling ramai dibicarakan.

Rekan dan rival di bulutangkis juga menyampaikan kesan mendalam kepada Liliyana lewat Instagram, Twitter, dan Facebook. Mereka memberikan pujian, menyampaikan rasa syukur bisa berpasangan atau berduel dengan salah satu pebulutangkis terhebat pada zamannya.
"24 tahun saya berkarier di bulutangkis. Dan hari ini, Minggu, 27 Januari 2019, saya menyatakan pensiun menjadi atlet profesional bulutangkis,
Pelatih pelatnas PBSI ganda campuran, Richard Mainaky, yang amat mengenal Liliyana dan kondisi ganda campuran, secara tersurat menyatakan kehilangan. Dia masih berandai-andai Butet, sapaan karib Liliyana, pensiun dua taun lagi, bukan saat ini.

Siapa yang tidak khawatir jika dalam 13 tahun terakhir ini ganda campuran yang mapan tau-tau ditinggal ratunya.

Ya, 13 tahun Indonesia bertumpu kepada Liliyana. Itu tanpa memperhitungkan periode junior. Titik nol itu dimulai pada 2005, saat Liliyana menjadi juara dunia bersama Nova Widianto di Anaheim, Amerika Serikat.

Waktu itu, usia Liliyana masih 19 tahun. Dia menjadi pengganti Vita Marissa. Tidak sampai setahun dipasangkan, duet Nova dan Liliyana menggegerkan dunia. Mereka menjadi juara dunia.

Titel itu melengkapi gelar juara dari nomor paling bergengsi, tunggal putra, yang diraih lewat Taufik Hidayat. Indonesia pun pulang dengan dua gelar juara dunia.

Raihan gelar juara dunia itu kian istimewa. Jika Taufik melanjutkan sukses Hendrawan, Hariyanto Arbi, Joko Supriyanto, Icuk Sugiarto, dan Rudy Hartono, Nova/Liliyana mengakhiri paceklik ganda campuran sejak 1980 oleh Christian Hadinata dan Imelda Wiguna.

Sukses Nova dan Liliyana juga memiliki makna lain. Gelar juara dunia itu sekaligus membuat sejajar  nomor ganda campuran dengan tunggal putra. Bahkan, sejak itu, ganda campuran lah yang menyelamatkan muka Indonesia di kancah internasional. Berkali-kali.

Ya, Nova dan Liliyana membuktikan mereka bukan One Hit Wonder. Sekali juara sudah. Mereka konsisten melanjutkan hasil-hasil sip di turnamen terbuka, menjadi tumpuan Indonesia di ajang internasional.

Malah, ketika sektor tunggal mulai sulit menjadi juara dunia, setelah penampilan Taufik naik turun dan belum memiliki pengganti, Nova/Liliyana stabil di empat besar. Mereka berdampingan dengan sektor ganda putra yang juga telah mapan sejak lama.


Pamor ganda campuran kembali terdongkrak saat Nova/Butet meraih predikat juara lagi di Kejuaraan Dunia 2017 di Kuala Lumpur. Di ajang itu, Indonesia juga meraih gelar juara dari nomor ganda putra lewat Markis Kido/Hendra Setiawan.

Nomor ganda campuran pun kian mendapatkan tempat tersendiri di hati fans bulutangkis Tanah Air. Butet mampu membuktikan jika ganda campuran bukan sektor sampingan. Justru lewat nomor itu, bendera Indonesia kerap dikerek di tiang tertinggi dan lagu Indonesia dikumandangkan.

"Perhatian dan penghargaan untuk ganda campuran berbeda dulu. Zaman sudah berbeda," kata Minarti Timur, mantan pemain ganda campuran nasional.

Bukan hanya bersama Nova, Liliyana juga cemerlang bersama Tontowi. Malah, dia semakin matang dan berbahaya sejak dipisah dengan Nova menjelang Asian Games 2010 Guangzho.

Dicoba-coba dengan beberapa pemain putra, Liliyana paling klop dengan Tontowi. Konsisten di super series, mereka kemudian naik panggung tertinggi pada Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2013 di Guangzhou.

Predikat juara itu diperoleh setelah di tahun sebelumnya mereka menjadi juara All England dan back to back pada 2013. Satu pesta lain dicatatkan Owi/Liliyana di All England 2014. Mereka mencatatkan hat-trick di turnamen bulutangkis tertua di dunia itu.

Tiga gelar juara dunia dan tiga dari All England tak membuat Liliyana berhenti. Satu misi terbesar sebagai seorang atlet belum diraihnya. Dia berambisi untuk meraih emas olimpiade.

Satu medali memang sudah diraihnya dari pesta olahraga terakbar sejagat itu. Bersama Nova, Liliyana meraih perak Olimpiade 2008 Beijing. Mereka kandas di tangan Lee Yong Dae/Lee Hyo Jung di babak final.

Kesempatan untuk mendapatkan emas datang lagi pada Olimpiade 2012 London. Tapi Liliyana tak berhasil meraihnya. Bersama Tontowi, LIliyana kandas di semifinal.

Beban Tontowi dan Liliyana cukup berat memang. Mereka tak hanya ingin menuntaskan ambisi pribadi, namun harus menebus hasrat ganda campuran pelatnas sekaligus misi bangsa sebagai penjaga tradisi emas olimpiade. Ya, ganda campuran memiliki pekerjaan rumah untuk meraih emas olimpiade setelah konsisten di turnamen-turnamen rutin.

Ambisi itu membuat pasangan itu sempat tak akur. Hasil naik turun dalam periode kualifikasi merenggangkan hubungan mereka. Tensi menurun dengan campur tangan pelatih dan psikologi.

Saat tiba waktu 'berperang; di Olimpiade 2016 Rio de Janeiro, mereka bisa betul-betul ganas. Emas pun diraih.

Bersama Tontowi, Liliyana berhasil menuntaskan hasrat Indonesia, juga Richard, dan dirinya sendiri. Berjarak 11 tahun dari gelar juara dunia di Anaheim.

Lawannya sudah berganti. Sempat satu lapangan dengan Zhang Yawen, Liliyana kemudian berhadap-hadapan dengan Gao Ling, Yu Yang, dan Zhao Yunlei hingga Olimpiade Rio itu.

Makanya, tak mengherankan jika Liliyana nyaris berhenti dari bulutangkis tepat setelah Olimpiade Rio itu. Richard dan Owi, sapaan karib Tontowi, keberatan. Dua tahun lagi kata mereka. Liliyana diharapkan bermain di Asian Games 2018. Ajang itu bukan Asian Games biasa karena Indonesia menjadi tuan rumah.

Liliyana manut. Dia batal pensiun. Tapi, dengan menegaskan dia cuma memiliki waktu dua tahun lagi. Tak ada toleransi lagi setelah itu.

Liliyana pun melanjutkan duet dengan Tontowi. Kali ini, mereka lebih selektif memilih turnamen. Sementara itu, Yunlei, musuh bebuyutannya dari China pensiun. Dia diganti oleh Huang Yaqiong, 24 tahun, yang berpasangan dengan pemain seumuran Shesar Hiren Rhustavito, Zheng Siwei (21 Tahun). Yaqiong itu kakinya kuat, gerakannya lincah, defense-nya seperti tembok milik negara dia. Sulit ditembus.

Tapi persaingan dengan pemain muda tak membuat Liliyana mati kutu. Bersama Owi, dia berhasil menambah satu lagi gelar juara dunia. Liliyana juga membuat rekor pribadi, menjadi pemain putri dengan gelar juara terbanyak (empat kali). Liliyana sekaligus terdaftar sebagai pemain paling sukses dari kategori ganda campuran sepanjang sejarah kejuaraan dunia.

Setahun kemudian, tugasnya seharusnya selesai. Liliyana tampil di Asian Games 2018 dan menyumbangkan medali perunggu.

Sejak itu, publik tinggal menunggu waktu. Dua tahun yang diberikan tinggal sebentar lagi. Dan momen itu betul-betul tiba di Indonesia Masters kemarin. Rela atau tidak rela.

"Sebenarnya (pensiunnya Liliyana Natsir) sangat disayangkan. Dunia akan kehilangan pasangan terbaik". Kalimat itu diucapkan pemain putra ganda campuran terbaik sejagat saat ini," Zheng Siwei.

Betul, bukan hanya Siwei yang kehilangan. Tapi, pecinta bulutangkis juga tak rela Lilliyana menyudahi kariernya. Satu medali emas dan satu perak olimpiade, empat gelar juara dunia, tiga gelar juara BWF World Tour, 23 gelar juara, dan 10 gelar juara BWF Gold Grand Prix menjadi warisan Liliyana di olahraga tepok bulu.

Terima kasih Liliyana sudah menandai zaman dengan berbagai gelar juara. Terima kasih Butet sudah mengerek pamor nomor ganda campuran. Terima kasih Butet telah mengajarkan kepada kami untuk tidak mudah menyerah.

Jumat, 26 April 2019

Hari Kartini dari Gelanggang Olahraga: Lantang Lasmi Membongkar Bobrok PSSI, Jeritan Aldila Suarakan Kesetaraan


Hari Kartini tahun ini ditandai dengan lantang prestasi dari gelanggang oleh atlet-atlet masa kini. Juga gigih perjuangan Lasmi Indaryani menuntut keadilan dan keberanian membongkar kebusukan di PSSI. Tapi, catatan pedih masih disisakan oleh Aldila Sutjiadi dan Fanny Kalumata. 

Mengenakan kebaya dan berhijab, Eni Nuarini naik panggung dalam gala dinner di Doha, Sabtu (20/4/2019). Dia dinobatkan sebagai pelatih terbaik Asia.

Eni memang berhasil menggembleng pemuda dari Lombok Utara, Lalu Muhammad Zohri, menjadi yang tercepat di nomor 100 meter Kejuaraan Dunia Atletik Junior 2018 di Finlandia.

Di bawah asuhan Eni, tim lari estafet 4x100 meter putra (Fadlin, Zohri, Eko Rimbawan, dan Bayu Kertanegara) juga mencatatkan rekor di Asian Games 2018 Jakarta. Mereka berhasil meraih medali perak, cuma kalah dari Jepang.

Eni, yang dulu merupakan perenang andalan Indonesia, juga mengorbitkan Suryo Agung Wibowo. Hingga kini, Suryo masih tercatat sebagai manusia tercepat Asia Tenggara.

Tahun lalu, Defia juga membuktikan perempuan Indonesia tak bisa diremehkan. Tampil atraktif di taekwondo kategori poomsae (seni) menjadi peraih medali emas pertama untuk kontingen Indonesia di Asian Games 2018 Jakarta-Palembang.

Tak hanya Defia, rekening emas Indonesia di Asian Games 2018 itu dilanjutkan oleh dua atlet putri lainnya, yakni dari wushu yang dipersembahkan oleh Lindswell kemudian Tiara Andini Prastika dari sepeda gunung downhill.

Jauh sebelum itu, Susy telah mencatatkan sejarah sebagai peraih medali emas pertama untuk Indonesia di Olimpiade. Dia berhasil meraih medali emas di Olimpiade 1992 Barcelona.

Begitu pula medali perdana di Olimpiade. Adalah trio srikandi (Lilies Handayani, Nurfitriyana Saiman, Kusuma Wardhani) yang mempersembahkannya dari panahan di Olimpiade 1988 Seoul.
"Perbandingannya 30 persen putri, yang putra 70 persen. Perbedaannya masih jauh banget"
Tapi, sayangnya, ketimpangan untuk atlet putri belum semuanya pupus. Sebagai contoh, prize money alias uang hadiah untuk para petenis putri jauh lebih sedikit ketimbang petenis putra.

"Perbandingannya 30 persen putri, yang putra 70 persen. Perbedaannya masih jauh banget," kata Aldila Sutjiadi, peraih medali emas tenis ganda campuran Asian Games 2018.

"Saya berharap hadiah untuk petenis putra dan putri bisa disetarakan secepatnya, karena kan kami latihan juga sama capeknya dengan petenis putra. Lagipula, prize money putra dan putri di internasional juga sudah setara," Dila menambahkan.

Pengelolaan liga juga masih jomplang di beberapa cabang olahraga. Basket, misalnya. Liga bahkan sempat vakum hingga lahir kembali sebagai Srikandi Cup.

Tahun ini, Srikandi Cup kembali berjalan dengan tujuh kontestan (GMC Cirebon, Scorpio Jakarta, Tanago Jakarta, Sahabat Semarang, Merpati Bali, Flying Wheel Makassar, dan Tenaga Baru Pontianak). Jumlah itu lebih sedikit ketimbang IBL, yang diramaikan sepuluh klub. Srikandi Cup juga tak mengenal hadiah uang.

Kapten Tenaga Baru Pontianak, Fanny Kalumata, bersyukur liga berjalan dan diputar dalam seri di kota-kota berbeda. Dari berbagai sumber, Srikandi Cup sulit mendapatkan sponsor. Dana pelaksanaan liga didapatkan dari patungan pemilik klub.

Fanny Kalumata (kedua dari kiri) 
"Potensi pemain putri ini bisa dikembangkan secara profesional. Kami ingin mendapatkan support yang setara dengan IBL. Saya melihat justru kurang solid di antara basketnya sendiri, karena salah satunya jadwal seri IBL kerap bentrok dengan Srikandi Cup dan dijadwalkan di kota berbeda," ujar Fanny.

Malah, liga sepakbola putri yang direncanakan sejak kepengurusan PSSI periode 2016-2020 dilantik masih sekadar rencana. Bisa jadi keuangan menjadi masalah utama seperti PSSi dalam mengelola Timnas Indonesia putri.

Seperti laporan dari mantan Manajer Persibara Banjarnegara, Lasmi Indaryani, dia bahkan harus memberikan dana talangan agar pelatnas Timnas U-16 berjalan.

Berkat Lasmi pula, seorang perempuan di sepakbola, kebusukan sejumlah petinggi PSSI terungkap. Kini, 16 orang dijadikan tersangka kasus dugaan pengaturan skor. Hampir seluruhnya bermula dari laporan Lasmi kepada Satgas Anti Mafia Bola.

Selamat Hari Kartini!