Pemain Timnas basket 5x5 Helena Tumbelaka |
Indonesian Basketball League (IBL) sebagai kompetisi basket putra profesional di Tanah Air bergulir rutin. Dengan atau tanpa sponsor, ajang itu seolah memiliki jaminan untuk tetap bergulir.
Pembinaan basket putri kurang mulus. Pelaksanaan liga timbul tenggelam. Srikandi Cup yang kini bergulir pun akhirnya menjadi liga yang terbentuk dari hasil patungan pemilik-pemilik klub.
Saat IBL bergulir di beberapa kota, Srikandi Cup dilaksanakan di satu kota: di Cirebon. Disebut-sebut selain ngirit dana, pemilik delapan klub peserta Srikandi Cup sepakat tak tergantung dengan IBL.
Mantan pengurus dan pemain Timnas basket putri, Julisa Rastafari, mengakui perbedaan liga basket di sektor putra dan putri sulit dihindari. Begitu pula soal pembinaan.
"Itu problem dari dulu. Sejak saya jadi pengurus Perbasi, timnas putri dan liga putri dinomorduakan," kata Lisa, sapaan karib Julisa Rastafari, dalam obrolan kepada detikSport.
"Ini yang dari dulu saya selalu berjuang. Selalu harus ada. Tapi, memang saya nggak bisa memaksakan kehendak, memang diakui atau tidak, sponsor berperan sekali. Liga putri,yang nonton nggak bisa penuh. Makanya, butuh operator yang mampu mengemas kompetisi menarik," ujar dia.
"Selain itu, sejak dari basic pemain putri harus dibentuk agar bisa bermain menarik. Sejak kelompok umur bawah. Seharusnya Perbasi investasi pelatih bagus untuk menangani KU bawah, bukan hanya di tataran tim profesional. Juga kuantitas kompetisi sejak usia bawah," dia menambahkan.
Sempat Khawatir Liga Berhenti
Pemain Timnas basket 5x5 yang berkostum Surabaya Fever, sempay khawatir liga berhenti total setelah tak berjalan beriringan dengan IBL. Dalam prosesnya dia bisa lega dengan kompetisi yang tetap bergulir.
"Waktau kompetisi dipisah, awalnya smepat waswas karena kirain bakal nggak ada. Tapi, setelah ada Srikandi Cup, menjadi lega. Ternyata semua berusaha yang terbaik untuk perkembangan basket putri," uujar Gabriel.
Pemain Timnas basket 5x5 Gabriel Sofia |
Beruntung bagi Gabriel, soal pendidikan bisa berjalan seiring dan sejalan dengan basket. Sekolahnya jalan terus meskipun jadwal kompetisi dan latihan Timnas tak berhenti.
Pemain Merpati Bali, Helena Tumbelaka,
juga menyimpan harapan besar agar liga bergulir rutin seperti IBL.
Sebab, diakui atau tidak, hasil liga bakal bermuara ke Timnas.
"Kami menyadari ada cabang olahraga prioritas yang dibuat oleh pemerintah. Melihat kekuatan Asia Tenggara, kelompok putri ini justru persaingannya ramai, tidak ada satu negara yang dominan. Kalau tim putra sudah sulit menyaingi Filipina, tidak dengan tim putri. Kalau mau lebih serius membina tim basket putri, emas SEA Games bukan hal yang tak mungkin," kata Helena.
Nah, potensi pemain bisa ditemukan dan digembleng lewat kompetisi. Semakin banyak kompetisi maka kemampuan kian terlatih. Selain itu, uji coba dengan tim-tim asing pun bsia lebih dgenjot lagi.
"Untuk Timans basket putri untuk persiapan Asian Games belum ada try out keluar, sedangkan tim putra ke Amerika Serikat. kami menyadari untuk persaingan Asian Games, bisa jadi tim putra jadi prioritas. Kami memang harus terus memberi pembuktian kalau timnas putri bisa. Pelan-pelan akan kami coba terus," dia menambahkan.
"Kami menyadari ada cabang olahraga prioritas yang dibuat oleh pemerintah. Melihat kekuatan Asia Tenggara, kelompok putri ini justru persaingannya ramai, tidak ada satu negara yang dominan. Kalau tim putra sudah sulit menyaingi Filipina, tidak dengan tim putri. Kalau mau lebih serius membina tim basket putri, emas SEA Games bukan hal yang tak mungkin," kata Helena.
Nah, potensi pemain bisa ditemukan dan digembleng lewat kompetisi. Semakin banyak kompetisi maka kemampuan kian terlatih. Selain itu, uji coba dengan tim-tim asing pun bsia lebih dgenjot lagi.
"Untuk Timans basket putri untuk persiapan Asian Games belum ada try out keluar, sedangkan tim putra ke Amerika Serikat. kami menyadari untuk persaingan Asian Games, bisa jadi tim putra jadi prioritas. Kami memang harus terus memberi pembuktian kalau timnas putri bisa. Pelan-pelan akan kami coba terus," dia menambahkan.
Hambatan Kultur
Selain itu, Helena menilai ada kultur yang menghambat basket putri berkembang. Pertama, lingkungan yang tidak mengenalkan basket kepada perempuan Indonesia sejak awal. Berkaca pengalaman, Helena baru mengenal basket saar kelas 4 Sekolah Dasar. Padahal, dia salah satu siswi di SD Don Bosco Pondok Indah, Jakarta.
Selain itu, orang tuanya pernah keberatan jika dirinya yang berbadan mungil dan gampang sakit berlatih basket yang menuntut komleksitas gerakan. Dari lari, lompat, body contact, dan lainnya.
"Padahal, apa yang didapatkan dari basket banyak banget. Selain fisik, saya diuntungkan dengan jaringan pertemanan yang luas, disiplin karena terbiasa dengan jadwal latihan, pembentukan karakter yang memaksa kami buat open minded," dia menambahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar