|
Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta |
Trauma.
Bisa dimaknai cedera fisik, luka pada tubuh. Bisa pula berarti keadaan
jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan
jiwa atau cedera jasmani.
Trauma bisa timbul karena lingkungan atau dirinya sendiri. Trauma muncul dari peristiwa yang mencemaskan dan menakutkan.
Trauma
tercipta akibat adanya keterkaitan antara ingatan sosial dengan ingatan
pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Trauma
bisa menimbulkan gangguan terus-menerus pada distribusi energi pikiran.
Situasi itu sedang dialami Andik. Dia trauma sampai takut untuk
kembali merumput di atas tanah sendiri, di Liga 1. Sebuah liga yang
sebelumnya diagungkan dengan label Indonesian Super League (ISL).
Agung
karena ISL sempat diyakini tak bisa diubah. Namanya sudah dipatri di
Statuta PSSI sejak 2008 sebagai liga kasta teratas Indonesia. Kompetisi
paling bergengsi di Indonesia itu diikuti 18 tim kontestan yang berada
dari barat sampai ke timur.
Tapi rupanya, perubahan label itu
sesulit seperti yang terlanjur dikultuskan. Nama kompetisi itu bahkan
bisa diganti dengan begitu gampang.
Prosesi perubahan nama itu
dibuat sendiri oleh orang-orang yang bilang pergantian nama kompetisi
itu sulit. Mereka yang bilang pergantian nama itu sulit, ya mereka yang
pengurus PSSI, sebagian masih menjadi pengurus saat ini, juga pemilik
suara.
Perubahan nama itu dibuat saat mereka berkumpupl dalam
Kongres PSSI di Hotel Aryaduta, Bandung, 8 Januari 2017. Dari
kumpul-kumpul itu muncullah wacana penggantian nama kompetisi.
Detailnya, mereka yang tahu karena kongres itu tertutup buat publik.
Setelah
bersepakat, proses berikutnya malah makin gampang. Nama kompetisi
dipasrahkan kepada sponsor. Cuma butuh waktu 13 hari buat mereka untuk
menentukan nama baru. Ya, berselang dua pekan kurang satu hari sejak
diwacanakan, ISL resmi ganti nama menjadi Liga 1.
Perubahan
brand menjadi Liga 1 dengan gampang itu tak menyembuhkan luka Andik
Vermansah dan anak-anak negeri lainnya dengan cepat. Andik secara
terbuka menyatakan belum bisa move on sepenuhnya. Dia masih terjebak
dalam luka masa lalu.
"Memang ada perubahan di liga Indonesia,
tapi saya masih trauma. Karena, menurut saya kondisi saat ini belum 100
persen normal," kata Andik.
Maka, dia pun memilih untuk bertahan di klub yang sudah diperkuat sejak 2013, Selangir FC, sebuah klub di liga Malaysia.
Wajar jika proses penyembuhan Andik belum bisa pulih dalam waktu singkat. Dia lakon. Dia tak hanya menonton.
Andik
adalah prajurit dalam sebuah tim yang bermain di liga resmi milik PSSI
dan diakui FIFA. Dia bermain di Persebaya 1927 pada 2010 yang tampil di
Indonesian Premier League.
Persebaya 1927 itu memang belum bisa
dibilang sebagai klub yang mencoba untuk memenuhi lima aspek lisensi
klub AFC yang didedungkan PSSI dan PT Liga Indonesia; memiliki
legalitas, finansial, personel dan administrasi, infrastruktur, serta
supporting (pembinaan usia muda).
Tapi, justru dalam prosesnya,
Persebaya 1927 yang kemudian tak diakui oleh federasi. Persebaya 1927
dianggap membelot oleh PSSI karena bermain di IPL.
Rentetan
peristiwa itu membuat penampilan Andik yang lincah tak cukup menjadi
tiket ke Timnas. Disebut-sebut sih, Andi tak dipanggil Timnas karena
terseret konflik dualisme PSSI itu.
Terpinggirkan. Terasing. Tidak dibutuhkan. Andik pun terluka.
"Situasinya
tidak kondusif," begitu Andik bilang waktu itu. Alasan lain dikemukakan
dia dengan bilang ingin merasakan suasana baru.
Apapun alasan
di balik keputusannya, Andik telah mengambil langkah tepat. Tak lagi
terbelit masalah dengan dualisme klub, Andik juga menunjukkan performa
yang makin sip di Liga Malaysia.
Saat sanksi PSSI dicabut dan
Timnas kembali dibangun untuk menghadapi Piala AFF 2016, Andik sedang
hit bersama Selangor. Pelatih Timnas, Alfred Riedl pun memanggilnya.
Untuk Timnas, tak ada kata penolakan dalam kamus Andik.
Bukan
hanya Andik, Ezra Walian mengambil sikap serupa. Pemain berdarah
Belanda itu memutuskan naturalisasi agar bisa membela Timnas Indonesia.
Tapi, tidak untuk bergabung di sebuah tim Liga 1.
Penolakan juga
dituturkan pemain belia Sutan Diego Armando Zico. Dia tak memasukkan
klub lokal sebagai prioritas untuk memulai debut karier profesionalnya.
Pemain
yang menjadi topskorer kualifikasi Piala Asia U-16 2017 itu secara
gamblang menilai bermain di Liga 1 bukanlah wadah yang tepat untuk
mengembangkan potensinya. Bukan apa-apa, ada ketakutan yang
menghantuinya saat berkaca pada pemain-pemain yangn sudah lebih dulu
mencicipi liga itu.
“Saya ingin main di luar negeri karena biar
kemampuan saya bisa lebih berkembang. Saya takutnya saya kayak yang
sudah-sudah, mainnya jadi tidak berkembang kalau main di Indonesia,"
kata Sutan Zico, putra dari Oriyanto Jhosan, yang juga merupakan mantan
pesepakbola Semen Padang itu.
Kolumnis Zen R.S. dalam
pengantarnya di buku Menincintai Sepakbola Indonesia meski Kusut
'Kiash-Kisah dari Pinggir Lapangan' yang ditulis MIftakhul Faham Shah,
tegas menyebut memilih untuk menghindari hubungan yang terlalu dekat
dengan sepakbola Indonesia. Ya pemain. Ya pelakunya. Siapapun.
Dia
memilih untuk hanya duduk di tribune selayaknya suporter sebuah klub
sepakbola. Padahal, dia memiliki kemudahan akses untuk berinteraksi
langsung dengan pemain dan pelaku sepakbola Indonesia.
"Saya
tidak mau imajinasi dan dan kecintaan saya terhadap sepakbola Indonesia
rusak oleh berbagai informasi yang mendetail dari tangan pertama."
Bukan
hanya pemain dan kolumnis. Suporter Liga 1 pun tak sedikit yang memberi
sinyal kemuakan terhadap Liga 1. Terlepas diacaknya siaran
pertandingan-pertadningan Liga 1 dan Liga 2 di TVOne, ya.
Curahan
hati suporter itu terangkum saat merespons fenomena wonderkid Indonesia
yang tengah naik daun, Egy Maukana Vikri. Mereka tak ingin kecepatan,
kelincahan dan akurasi ABg asal Medan, Egy, layu di Liga 1.
Masih
ingatkan, kesalahan yang dibuat kiper Timnas, Kurnia Meiga Hermansah,
yang berujung gol saat menghadapi Filipina pada laga kedua babak
penyisihan Grup A AFF Suzuki Cup 2014?
Dalam laga tersebut,
Meiga dengan sengaja menerima bola backpass yang dilepaskan pemain
bertahan Indonesia. Wasit yang dengan jelas melihatnya, langsung saja
memberikan hadiah tendangan bebas tidak langsung di dalam kotak penalti
Indonesia. Tapi, Meiga masih bersikukuh tak melakukan kesalahan.
***
Mari tengok Liga domestik kita musim ini. Liga 1 bergulir bukan tanpa gaduh.
Penghapusan
kompetisi ISL U-21 dan digantikan U-19. Para pemain U-23 dikarbit
tampil di Liga 1 tapi dengan juga muncul pembatasan usia yang
memunculkan para pemain senior dipaksa pensiun dini. Katanya sih,
pemain-pemain gaek yang cepat-cepat pensiun itu bisa segera diasah
sebagai pelatih. Stok pelatih kurang.
Tapi apa yang terjadi? Operator malah kongkalingkong dengan PSSI menggunting regulasi itu di tengah jalan.
Masalah
KITAS dan IMTA yang semestinya tak jadi soal kembali muncul. Soal KITAS
dan IMTA bahkan sampai menjadi perhatian media asing karena melibatkan
bekas pemain Chelsea, Michael Essien.
Padahal PSSI memiliki pengalaman panjang mempekerjakan tenaga asing. Baik pemain, pelatih, ataupun wasit.
Juga
perubahan jadwal pertandingan di tenngah kompetisi yang bukan
dikarenakan force majeure. Jadwal lebaran yang sudah bisa diintip
setahun sebelumnya lewat flier anak-anak yang suka traveling pada hari
libur kejepit, yang pastinya bisa dengan mudah diintip di media sosial,
malah tak diantisipasi.
Setelah sudah sangat dekat dengan
ramadan, barulah operator ingat sulitnya mendapatkan tiket perjalanan
mendekati lebaran. Bukan cuma tim-tim yang away ke kota-kota di Jawa,
tapi tim Jawa yang away ke luar Jawa pun harus balik ke homebase
masing-masing, bukan?
Soal jadwal ini juga bikin meringis
sejumlah klub. Jadwal pertandingan yang disusun satu kali home dan satu
kali away itu ada yang kelewat pendek satu sama lain. Padahal, bisa jadi
sebuah tim harus menjalani laga tandang yang waktu tempuhnya cukup
panjang.
Juga soal rasa aman. Lagi-lagi Andik yang bisa
membandingkannya. Pemain kelahiran Jember, Jawa Timur itu menilai
kualitas wasit di Malaysia jauh lebih baik.
"Meskipun saya orang
asing, tapi ada perlindungan. Di sana wasit melindungi pemain. Jika ada
yang melanggar, wasit langsung bertindak tegas," ucap Andik.
Gambaran
paling anyar betapa mengerikannya kompetisi sepakbola Indonesia terjadi
di Stadion Krakatau Steel pada Jumat (6/10/2017) saat PSS Sleman
melawat ke markas Cilegon United dalam lanjutan Grup A Liga 2.
Fisioterapis
PSS, Sigit Pramudya, dipukul oleh pemain Cilegon United di
tengah-tengah pertandingan. Tak berhenti di situ, Sigit kembali
mendapatkan pemukulan lagi saat berada di ruangan sebelum naik ke bus.
Juga
munculnya tuntutan dari 15 klub peserta Liga 1. Di antaranya minta
transparansi jumlah sponsor sampai soal kebijakan kompetisi usia muda.
Rasanya
sudah cukup. Jangan sampai ada lagi pemain dan pelaku sepakbola yang
terluka. Jangan muncul lagi alasan bermain di liga lain karena trauma.
Akan
lebih menyenangkan bukan saat pemain Indonesia melanglang buana ke liga
lain, yang lebih mapan tentunya, dengan alasan ingin mengembangkan
karier.
Bukankah lebih menggembirakan saat mengetahui kalau
hanya beberapa pemain Timnas Indonesia yang membela klub di liga
domestik, sebagian besar bergabung di klub-klub kompetisi yang lebih
oke. Seperti para pemain Timnas Islandia yang bikin geger di Piala Eropa
tahun lalu itu.
PSSI dan operator dan klub yang dijalankan oleh
orang yang sebenarnya itu-itu saja apakah tidak bosan mengulang
persoalan-persoalan yang serupa. Bahkan perutpun hanya bisa menampung
makanan dengan kapasitas tertentu. Tahu sendiri kan akibatnya kalau
kekenyangan?
Kenapa PSSI dan operator serta para pemilik klub
itu kesulitan untuk membangun hal-hal yang membahagiakan di sepakbola.
Bukankah Kurniawan Dwi Yulianto pernah bilang "sepakbola itu
menyenangkan".
=====
Jakarta, 10 Oktober 2017