Senin, 23 April 2018

Basket Putri Merintis Jalan Kesetaraan

Pemain Timnas basket 5x5 Helena Tumbelaka
Basket putri memiliki potensi besar untuk menjadi yang terbaik di Asia Tenggara. Pembinaan belum setara dengan sektor putra.

Indonesian Basketball League (IBL) sebagai kompetisi basket putra profesional di Tanah Air bergulir rutin. Dengan atau tanpa sponsor, ajang itu seolah memiliki jaminan untuk tetap bergulir.

Pembinaan basket putri kurang mulus. Pelaksanaan liga timbul tenggelam. Srikandi Cup yang kini bergulir pun akhirnya menjadi liga yang terbentuk dari hasil patungan pemilik-pemilik klub.

Saat IBL bergulir di beberapa kota, Srikandi Cup dilaksanakan di satu kota: di Cirebon. Disebut-sebut selain ngirit dana, pemilik delapan klub peserta Srikandi Cup sepakat tak tergantung dengan IBL.

Mantan pengurus dan pemain Timnas basket putri, Julisa Rastafari, mengakui perbedaan liga basket di sektor putra dan putri sulit dihindari. Begitu pula soal pembinaan.

"Itu problem dari dulu. Sejak saya jadi pengurus Perbasi, timnas putri dan liga putri dinomorduakan," kata Lisa, sapaan karib Julisa Rastafari, dalam obrolan kepada detikSport.

"Ini yang dari dulu saya selalu berjuang. Selalu harus ada. Tapi, memang saya nggak bisa memaksakan kehendak, memang diakui atau tidak, sponsor berperan sekali. Liga putri,yang nonton nggak bisa penuh. Makanya, butuh  operator yang mampu mengemas kompetisi menarik," ujar dia.

"Selain itu, sejak dari basic pemain putri harus dibentuk agar bisa bermain menarik. Sejak kelompok umur bawah. Seharusnya Perbasi investasi pelatih bagus untuk menangani KU bawah, bukan hanya di tataran tim profesional. Juga kuantitas kompetisi sejak usia bawah," dia menambahkan.

Sempat Khawatir Liga Berhenti


Pemain Timnas basket 5x5 yang berkostum Surabaya Fever, sempay khawatir liga berhenti total setelah tak berjalan beriringan dengan IBL. Dalam prosesnya dia bisa lega dengan kompetisi yang tetap bergulir.

"Waktau kompetisi dipisah, awalnya smepat waswas karena kirain bakal nggak ada. Tapi, setelah ada Srikandi Cup, menjadi lega. Ternyata semua berusaha yang terbaik untuk perkembangan basket putri," uujar Gabriel.

Pemain Timnas basket 5x5 Gabriel Sofia

Beruntung bagi Gabriel, soal pendidikan bisa berjalan seiring dan sejalan dengan basket. Sekolahnya jalan terus meskipun jadwal kompetisi dan latihan Timnas tak berhenti.

Pemain Merpati Bali, Helena Tumbelaka, juga menyimpan harapan besar agar liga bergulir rutin seperti IBL. Sebab, diakui atau tidak, hasil liga bakal bermuara ke Timnas.

"Kami menyadari ada cabang olahraga prioritas yang dibuat oleh pemerintah. Melihat kekuatan Asia Tenggara, kelompok putri ini justru persaingannya ramai, tidak ada satu negara yang dominan. Kalau tim putra sudah sulit menyaingi Filipina, tidak dengan tim putri. Kalau mau lebih serius membina tim basket putri, emas SEA Games bukan hal yang tak mungkin," kata Helena.

Nah, potensi pemain bisa ditemukan dan digembleng lewat kompetisi. Semakin banyak kompetisi maka kemampuan kian terlatih. Selain itu, uji coba dengan tim-tim asing pun bsia lebih dgenjot lagi.

"Untuk Timans basket putri untuk persiapan Asian Games belum ada try out keluar, sedangkan tim putra ke Amerika Serikat. kami menyadari untuk persaingan Asian Games, bisa jadi tim putra jadi prioritas. Kami memang harus terus memberi pembuktian kalau timnas putri bisa. Pelan-pelan akan kami coba terus," dia menambahkan.
Hambatan Kultur

Selain itu, Helena menilai ada kultur yang menghambat basket putri berkembang. Pertama, lingkungan yang tidak mengenalkan basket kepada perempuan Indonesia sejak awal. Berkaca pengalaman, Helena baru mengenal basket saar kelas 4 Sekolah Dasar. Padahal, dia salah satu siswi di SD Don Bosco Pondok Indah, Jakarta.

Selain itu, orang tuanya pernah keberatan jika dirinya yang berbadan mungil dan gampang sakit berlatih basket yang menuntut komleksitas gerakan. Dari lari, lompat, body contact, dan lainnya.

"Padahal, apa yang didapatkan dari basket banyak banget. Selain fisik, saya diuntungkan dengan jaringan pertemanan yang luas, disiplin karena terbiasa dengan jadwal latihan, pembentukan karakter yang memaksa kami buat open minded," dia menambahkan.

Sabtu, 21 April 2018

Jangan Ada Lagi Liga yang Menakutkan Bagi Anak Negeri

Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta

Trauma. Bisa dimaknai cedera fisik, luka pada tubuh. Bisa pula berarti keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani.

Trauma bisa timbul karena lingkungan atau dirinya sendiri. Trauma muncul dari peristiwa yang mencemaskan dan menakutkan.

Trauma tercipta akibat adanya keterkaitan antara ingatan sosial dengan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Trauma bisa menimbulkan gangguan terus-menerus pada distribusi energi pikiran. 

Situasi itu sedang dialami Andik. Dia trauma sampai takut untuk kembali merumput di atas tanah sendiri, di Liga 1. Sebuah liga yang sebelumnya diagungkan dengan label Indonesian Super League (ISL).

Agung karena ISL sempat diyakini tak bisa diubah. Namanya sudah dipatri di Statuta PSSI sejak 2008 sebagai liga kasta teratas Indonesia. Kompetisi paling bergengsi di Indonesia itu diikuti 18 tim kontestan yang berada dari barat sampai ke timur.

Tapi rupanya, perubahan label itu sesulit seperti yang terlanjur dikultuskan. Nama kompetisi itu bahkan bisa diganti dengan begitu gampang. 

Prosesi perubahan nama itu dibuat sendiri oleh orang-orang yang bilang pergantian nama kompetisi itu sulit. Mereka yang bilang pergantian nama itu sulit, ya mereka yang pengurus PSSI, sebagian masih menjadi pengurus saat ini, juga pemilik suara.

Perubahan nama itu dibuat saat mereka berkumpupl dalam Kongres PSSI di Hotel Aryaduta, Bandung, 8 Januari 2017. Dari kumpul-kumpul itu muncullah wacana penggantian nama kompetisi. Detailnya, mereka yang tahu karena kongres itu tertutup buat publik. 

Setelah bersepakat, proses berikutnya malah makin gampang. Nama kompetisi dipasrahkan kepada sponsor. Cuma butuh waktu 13 hari buat mereka untuk menentukan nama baru. Ya, berselang dua pekan kurang satu hari sejak diwacanakan, ISL resmi ganti nama menjadi Liga 1.

Perubahan brand menjadi Liga 1 dengan gampang itu tak menyembuhkan luka Andik Vermansah dan anak-anak negeri lainnya dengan cepat. Andik secara terbuka menyatakan belum bisa move on sepenuhnya. Dia masih terjebak dalam luka masa lalu.

"Memang ada perubahan di liga Indonesia, tapi saya masih trauma. Karena, menurut saya kondisi saat ini belum 100 persen normal," kata Andik.

Maka, dia pun memilih untuk bertahan di klub yang sudah diperkuat sejak 2013, Selangir FC, sebuah klub di liga Malaysia.

Wajar jika proses penyembuhan Andik belum bisa pulih dalam waktu singkat. Dia lakon. Dia tak hanya menonton.

Andik adalah prajurit dalam sebuah tim yang bermain di liga resmi milik PSSI dan diakui FIFA. Dia bermain di Persebaya 1927 pada 2010 yang tampil di Indonesian Premier League.

Persebaya 1927 itu memang belum bisa dibilang sebagai klub yang mencoba untuk memenuhi lima aspek lisensi klub AFC yang didedungkan PSSI dan PT Liga Indonesia; memiliki legalitas, finansial, personel dan administrasi, infrastruktur, serta supporting (pembinaan usia muda).

Tapi, justru dalam prosesnya, Persebaya 1927 yang kemudian tak diakui oleh federasi. Persebaya 1927 dianggap membelot oleh PSSI karena bermain di IPL.

Rentetan peristiwa itu membuat penampilan Andik yang lincah tak cukup menjadi tiket ke Timnas. Disebut-sebut sih, Andi tak dipanggil Timnas karena terseret konflik dualisme PSSI itu.

Terpinggirkan. Terasing. Tidak dibutuhkan. Andik pun terluka.

"Situasinya tidak kondusif," begitu Andik bilang waktu itu. Alasan lain dikemukakan dia dengan bilang ingin merasakan suasana baru. 

Apapun alasan di balik keputusannya, Andik telah mengambil langkah tepat. Tak lagi terbelit masalah dengan dualisme klub, Andik juga menunjukkan performa yang makin sip di Liga Malaysia.

Saat sanksi PSSI dicabut dan Timnas kembali dibangun untuk menghadapi  Piala AFF 2016, Andik sedang hit bersama Selangor. Pelatih Timnas, Alfred Riedl pun memanggilnya.

Untuk Timnas, tak ada kata penolakan dalam kamus Andik.

Bukan hanya Andik, Ezra Walian mengambil sikap serupa. Pemain berdarah Belanda itu memutuskan naturalisasi agar bisa membela Timnas Indonesia. Tapi, tidak untuk bergabung di sebuah tim Liga 1.

Penolakan juga dituturkan pemain belia Sutan Diego Armando Zico. Dia tak memasukkan klub lokal sebagai prioritas untuk memulai debut karier profesionalnya.

Pemain yang menjadi topskorer kualifikasi Piala Asia U-16 2017 itu secara gamblang menilai bermain di Liga 1 bukanlah wadah yang tepat untuk mengembangkan potensinya. Bukan apa-apa, ada ketakutan yang menghantuinya saat berkaca pada pemain-pemain yangn sudah lebih dulu mencicipi liga itu.

“Saya ingin main di luar negeri karena biar kemampuan saya bisa lebih berkembang. Saya takutnya saya kayak yang sudah-sudah, mainnya jadi tidak berkembang kalau main di Indonesia," kata Sutan Zico, putra dari Oriyanto Jhosan, yang juga merupakan mantan pesepakbola Semen Padang itu.

Kolumnis Zen R.S. dalam pengantarnya di buku Menincintai Sepakbola Indonesia meski Kusut 'Kiash-Kisah dari Pinggir Lapangan' yang ditulis MIftakhul Faham Shah, tegas menyebut memilih untuk menghindari hubungan yang terlalu dekat dengan sepakbola Indonesia. Ya pemain. Ya pelakunya. Siapapun.

Dia memilih untuk hanya duduk di tribune selayaknya suporter sebuah klub sepakbola. Padahal, dia memiliki kemudahan akses untuk berinteraksi langsung dengan pemain dan pelaku sepakbola Indonesia.

"Saya tidak mau imajinasi dan dan kecintaan saya terhadap sepakbola Indonesia rusak oleh berbagai informasi yang mendetail dari tangan pertama."

Bukan hanya pemain dan kolumnis. Suporter Liga 1 pun tak sedikit yang memberi sinyal kemuakan terhadap Liga 1. Terlepas diacaknya siaran pertandingan-pertadningan Liga 1 dan Liga 2 di TVOne, ya.

Curahan hati suporter itu terangkum saat merespons fenomena wonderkid Indonesia yang tengah naik daun, Egy Maukana Vikri. Mereka tak ingin kecepatan, kelincahan dan akurasi ABg asal Medan, Egy, layu di Liga 1.

Masih ingatkan, kesalahan yang dibuat kiper Timnas, Kurnia Meiga Hermansah, yang berujung gol saat menghadapi Filipina pada laga kedua babak penyisihan Grup A AFF Suzuki Cup 2014?

Dalam laga tersebut, Meiga dengan sengaja menerima bola backpass yang dilepaskan pemain bertahan Indonesia. Wasit yang dengan jelas melihatnya, langsung saja memberikan hadiah tendangan bebas tidak langsung di dalam kotak penalti Indonesia. Tapi, Meiga masih bersikukuh tak melakukan kesalahan.

***

Mari tengok Liga domestik kita musim ini. Liga 1 bergulir bukan tanpa gaduh.

Penghapusan kompetisi ISL U-21 dan digantikan U-19. Para pemain U-23 dikarbit tampil di Liga 1 tapi dengan juga muncul pembatasan usia yang memunculkan para pemain senior dipaksa pensiun dini. Katanya sih, pemain-pemain gaek yang cepat-cepat pensiun itu bisa segera diasah sebagai pelatih. Stok pelatih kurang.

Tapi apa yang terjadi? Operator malah kongkalingkong dengan PSSI menggunting regulasi itu di tengah jalan.

Masalah KITAS dan IMTA yang semestinya tak jadi soal kembali muncul. Soal KITAS dan IMTA bahkan sampai menjadi perhatian media asing karena melibatkan bekas pemain Chelsea, Michael Essien.

Padahal PSSI memiliki pengalaman panjang mempekerjakan tenaga asing. Baik pemain, pelatih, ataupun wasit.

Juga perubahan jadwal pertandingan di tenngah kompetisi yang bukan dikarenakan force majeure. Jadwal lebaran yang sudah bisa diintip setahun sebelumnya lewat flier anak-anak yang suka traveling pada hari libur kejepit, yang pastinya bisa dengan mudah diintip di media sosial, malah tak diantisipasi.

Setelah sudah sangat dekat dengan ramadan, barulah operator ingat sulitnya mendapatkan tiket perjalanan mendekati lebaran. Bukan cuma tim-tim yang away ke kota-kota di Jawa, tapi tim Jawa yang away ke luar Jawa pun harus balik ke homebase masing-masing, bukan?

Soal jadwal ini juga bikin meringis sejumlah klub. Jadwal pertandingan yang disusun satu kali home dan satu kali away itu ada yang kelewat pendek satu sama lain. Padahal, bisa jadi sebuah tim harus menjalani laga tandang yang waktu tempuhnya cukup panjang.

Juga soal rasa aman. Lagi-lagi Andik yang bisa membandingkannya. Pemain kelahiran Jember, Jawa Timur itu menilai kualitas wasit di Malaysia jauh lebih baik.

"Meskipun saya orang asing, tapi ada perlindungan. Di sana wasit melindungi pemain. Jika ada yang melanggar, wasit langsung bertindak tegas," ucap Andik.

Gambaran paling anyar betapa mengerikannya kompetisi sepakbola Indonesia terjadi di Stadion Krakatau Steel pada Jumat (6/10/2017) saat PSS Sleman melawat ke markas Cilegon United dalam lanjutan Grup A Liga 2.

Fisioterapis PSS, Sigit Pramudya, dipukul oleh pemain Cilegon United di tengah-tengah pertandingan. Tak berhenti di situ, Sigit kembali mendapatkan pemukulan lagi saat berada di ruangan sebelum naik ke bus.

Juga munculnya tuntutan dari 15 klub peserta Liga 1. Di antaranya minta transparansi jumlah sponsor sampai soal kebijakan kompetisi usia muda.

Rasanya sudah cukup. Jangan sampai ada lagi pemain dan pelaku sepakbola yang terluka. Jangan muncul lagi alasan bermain di liga lain karena trauma.

Akan lebih menyenangkan bukan saat pemain Indonesia melanglang buana ke liga lain, yang lebih mapan tentunya, dengan alasan ingin mengembangkan karier.

Bukankah lebih menggembirakan saat mengetahui kalau hanya beberapa pemain Timnas Indonesia yang membela klub di liga domestik, sebagian besar bergabung di klub-klub kompetisi yang lebih oke. Seperti para pemain Timnas Islandia yang bikin geger di Piala Eropa tahun lalu itu.

PSSI dan operator dan klub yang dijalankan oleh orang yang sebenarnya itu-itu saja apakah tidak bosan mengulang persoalan-persoalan yang serupa. Bahkan perutpun hanya bisa menampung makanan dengan kapasitas tertentu. Tahu sendiri kan akibatnya kalau kekenyangan?

Kenapa PSSI dan operator serta para pemilik klub itu kesulitan untuk membangun hal-hal yang membahagiakan di sepakbola. Bukankah Kurniawan Dwi Yulianto pernah bilang "sepakbola itu menyenangkan". 

=====

Jakarta, 10 Oktober 2017