Jumat, 28 Oktober 2016

'Namaku Sarengat', Autobiografi Manusia Tercepat Asia yang Cuma Tersimpan dalam Almari

“Namaku Sarengat”. Sebuah autobiografi yang ingin sekali diterbitkan Muhammad Sarengat, manusia tercepat Asia dari Indonesia. 

(Foto: Jawa Pos)

Sarengat menorehkan prestasi menawan pada Asian Games 1962 di Jakarta. Dia menjadi manuasi tercepat dengan meraih medali emas nomor 100 meter sekaligus memecahkan rekor di nomor tersebut.

Sarengat kemudian sekolah kedokteran dan masuk tentara. Namanya diabadikan sebagai nama stadion di kota tempatnya tumbuh besar, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Nah agar kisah hidupnya itu tak terlupakan begitu saja, Sarengat merekamnya dalam tulisan. Dia terobsesi untuk menerbitkannya sebagai autobiografi. Tulisannya sudah selesai. Dengan kertas kuarto tulisannya setebal 200 halaman.

Awalnya, autobiografi itu diberinya judul: Emas Untuk Bangsa. Tapi di tengah jalan dia berubah pikiran.

“Tapi setelah dipikir-pikir rasanya kok tidak cocok karena tak hanya saya yang mendapatkan emas. Sudah banyak atlet lain yang leboiih berprestasi,” ungkap Sarengat.

Dari perenungannya, Sarengat memilih kalimat yang lebih sederhana dan langsung mengacu kepadanya.

Alasan lain Sarengat memilih judul 'Namaku Sarengat' adalah ada tulisan dengan judul serupa dalam buku yang disusunnya secara mencicil sejak 1992 tersebut.

Baca Juga: Bisikan Presiden Soekarno yang Memacu Mohammad Sarengat Jadi Manusia Tercepat Asia

Sarengat memberi bocoran sedikit dalam bab itu. Muhammad Sarengat, menurut Sarengat kecil, bukanlah nama yang lumrah, tidka banyak anak kecil seusianya yang mempunyai nama seperti itu. Dia pernah menyimpan perasaan ingin sekali ganti nama. Pokoknya sal jangan Sarengat.

“Waktu itu saya tidak tahu apa maknanya. Kok saya diberi nama itu,” ucap Sarengat dengan nada tanya.

Pertanyaan itu terus mengganggunya. Dalam perjalannannya, Sarengat pun menanyakan kepada sang ayah, Prawirosuprapto.

Jawaban sang ayah membuat dia terkejut. Ternyata Sarengat mempunyai makna mendalam.

Menurut sang ayah nama itu adalah pemberian kakek Sarengat. Sebab Prawirosuprapto sendiri menyiapkan nama berbeda. Karena lahir pada tanggal 28 Oktober, Prawirosuprapto memberi nama M. Ramelan.

"Tapi kakek tak setuju dengan nama itu, karena sebagai cucu pertama sudah seharusnya mendapatkan nama yang istimewa. Kakek memberi nama Sarengat. Itu dari bahasa Arab sare’at yang bermakna hukum agama," tutur Sarengat.

Masih ada kisah lain dalam autobiografi itu. Sayang, saya tak sempat membacanya. Sarengat tak membawa buku itu saat kami berjumpa.

Baca Juga: Tentang Muhammad Sarengat yang Pernah Berpredikat Manusia Tercepat Asia

Selain itu. perjalanan hidup Sarengat lainnya bisa jadi akan tetap tersimpan dalam laci di salah satu almari rumahnya. Sebab, hingga dia menutup mata, tulisan itu tak pernah terbit.

“Belum ada sponsor,” ungkapnya pendek.

padahal lewat biografi itu, Sarengat ingin sekali berbagi pengalaman kepada orang lain, utamanya kepada atlet-atlet muda jaman sekarang.

“Bahwa saya pernah memiliki prestasi untuk negeri ini,” ungkapnya diplomatis.

Memang cukup minim atlet Indonesia yang memiliki biografi.  Tercatat baru ada atlet bulu tangkis yang rajin membukukan perjalanan prestasinya.

Terakhir, taekwondoin wanita Juana Wangsa Putri telah merangkum kehidupannya dari mengenal taekwondo hingga menjadi pelatih saat ini.

“Mudah-mudahan ada sponsor yang mau melirik,” tukas penyuka tempe goreng ini.

***

Obrolan dengan itu sudah terjadi delapan tahun lalu,  saat Sarengat masih sehat. Dia menawarkan wawancara di kawasan Hang Tuah, Jakarta Selatan, di sebuah restoran kecil dengan ruang praktik milik dia di ruang lainnya. Dia masih nyetir sendiri waktu itu.

Saya tidak tahu apakah akhirnya autobiografi tersebut terbit atau tidak. Dari antauan di toko buku sih saya tak pernah menemukannya.

Mumpung mau Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang, saya berharap biografi itu bisa muncul ke permukaan dan tak hanya dibiarkan berdebu.



Kamis, 27 Oktober 2016

Tentang Muhammad Sarengat yang Pernah Berpredikat Manusia Tercepat Asia

Muhammad Sarengat telah tiada. Tapi torehan prestasinya untuk Indonesia sebagai manusia tercepat Asia belum tergantikan.


Sarengat lahir di Banyumas, Jawa Tengah pada 28 Oktiber 1940. Dia meninggal 13 Oktiber 2014. bapak tiga anak itu sudah menderita stroke sejak 2010. Saat masuk rumah sakit Pondok Indah di bulan Oktober itu, Sarengat menghembuskan nafas terakhirnya.

Muhammad Sarengat

Lahir: Banyumas, 28 Oktober 1940
Isteri: Nani Supatmiani Titi Utari, 62 tahun
Anak:
- Retnosari Meidysina Setyorini, 39 th
- Dwi Ratnasari Setyoutsmi, 35 th
- Muhammad Landung Setyoutomo Suryoputro, 30 th

Pendidikan

- SDN 1 Batang
- SMPN 1 Pekalongan
- SMA Budi Utomo, Jakarta
- Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
- Magister Universitas Ora et Labora

Baca Juga: Bisikan Presiden Soekarno yang Memacu Mohammad Sarengat Jadi Manusia Tercepat Asia

Prestasi

- 2 emas, 1 perunggu Asian Games IV/1982 Jakarta
- 1 emas Ganefo 1963

Penghargaan

- 1967 Satya Lencana Kebudayaan
- Termasuk 100 atlet legendaris indonesia versi KONI

Karir

- Dokter pribadi wakil presiden Sultan Hamengkubuwono IX (1973-1978)
- Dokter pribadi wakil presiden Adam Malik
- Ketua Bidang pembinaan PB PASI
- Sekjen KONI Pusat
- Direktur Operasi Badan Pengelola Gelora Bung Karno

Baca Juga: 'Namaku Sarengat', Autobiografi Manusia Tercepat Asia yang Cuma Tersimpan dalam Almari

Favorit Sarengat:

Makanan

“Bapak tidak rewel soal makan. Tempe goreng dan sayur lodeh adalah makanan kesukaannya.”

Musik

“Saya tidak begitu suka musik jazz, tetapi kalau liriknya melankolis saya akan bisa menyukainya. Jangan salah saya sangatmenyukai Nidji dan Ungu yang sedang tren sekarang.”

Peliharaan

“Berganti-ganti, dari ayam kate, ikan nirwana, sampai anthurium.  Yang penting bisa nambah penghasilan.”

Olahraga

“Sekarang tinggal jogging saja.  Sebab setelah stroke saya sudah tidak lagi kuat melakukan membawa-bawa stik golf.”



Kamis, 13 Oktober 2016

Bisikan Presiden Soekarno yang Memacu Mohammad Sarengat Jadi Manusia Tercepat Asia

Mohammad Sarengat membawa harum nama Indonesia di era 1960-an. Dia sukses membawa Merah Putih berkibar di Asian Games IV/1962 di Jakarta sebagai manusia tercepat Asia. 

(Foto: Jawa Pos)

Tidak sulit bikin janji dengan Sarengat. Tempat yang dipilihnya juga tak jauh dari Senayan, tempat kami biasa kongkow saat liputan: di sebuah kedai di Jl. Hangtuah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sarengat bilang kedai itu milik istrinya. Jadi mau ngobrol dalam durasi berapa lamapun tidak akan sungkan. Selain itu, dia menjanjikan sajian istimewa yang jadi menu andalan di kedainya itu: "risolnya enak lho," tutur dia.

Sesuai hari dan jam yang disepakati, kami berjumpa di kedai itu. Untuk ngobrol sekaligus foto-foto.

Selain ngobrol soal profesi dokter dan tentara, obrolan juga bergulir soal masa jayanya sebagai atlet. Sarengat yang seorang manusia tercepat Asia.

Namanya harus dan tercatat sebagai salah satu atlet top nasional. Oleh Komite Olahraga Nasional indonesia (KONI) Sarengat dimasukkan dalam 100 atlet legendaris. Ada enam atlet atletik yang ada dalam buku itu. Sarengat disebut sebagai atlet yang paling sukses di Asian Games.

Tinta emas itu tak terukir begitu saja. Ada sebuah prestasi yang membuat nama Sarengat bisa amat melegenda. Ya, Sarengat adalah peraih emas Asian Games IV/2962 di Jakarta.

Baca Juga: 'Namaku Sarengat', Autobiografi Manusia Tercepat Asia yang Cuma Tersimpan dalam Almari

Begini kisahnya.

Sebuah keputusan mengejutkan diumumkan Presiden Soekarno. Pemerintah Republik Indonesia mengajukan diri menjadi tuan rumah Asian Games IV/1962. Keinginan itu diungkapkan di hadapan anggota OCA (Olympic Council of Asia).

Bukan cuma bikin kaget para anggota OCA, para atlet Indoensia juga tak percaya.

"Lha, saya sebagai warga negara Indonesia saja tidak percaya, apalagi orang lain," kenang Sarengat.

Menurut pria kelahiran Banyumas, 28 Oktober 1940 itu, kesanggupan Soekarno menjamu negara-negara Asia merupakan mission imposible. Bukan cuma soal fasilita solahraga yang dimiliki Indonesia, tapi para atlet yang berstatus atlet elite Indonesia, termasuk Sarengat, tak pernah mengikuti turnamen internasional.

"Apalagi menggelar even internasional," imbuh bapak tiga anak itu.

Rupanya, tak hanya bermodal tekad dan semangat untuk menggelar Asian Games. Soekarno membuka kepercayaan publik dengan menjaring dana dri rekanan negara lain. Proses berikutnya pemerintah membangun stadion, termasuk kompleks Gelora Bung Karno. Persiapan para atlet juga digenjot.

Media-media nasional merekam tahap demi tahap pembangunan GBK. Juga persiapan para atlet menjelang Asian Games itu.

"Kok ya bisa berhasil dan Stadion Gelora Bung Karno di Senayan itu akhirnya bisa dibangun," beber pria yang tepat 28 Oktober nanti berusia 68 tahun itu.


Kerja keras Soekarno membangun kompleks olahraga modern di Senayan itu memacu para atlet untuk menyadari bahwa mereka mempunyai tugas mengukir prestasi dari bangunan megah itu.

Mereka seperti ditodong pertanyaan: bisakah ada prestasi indah tercipta dari keringat-keringat anak-anak bangsa?

Dari sana tumbuhlah iklim kompetisi di antara para atlet. Sarengat bersama atlet-atlet tanah air bersaing memperebutkan tempat di tim nasional. Mereka berteka duntuk bisa mewakili Indoensia di markas sendiri.

Sarengat berhasil membuktikan diri sebagai atlet terbaik di nomor dasa lomba. Dari sepuluh nomor dasa lomba, Sarengat selalu menunjukkan diri kalau dia lah yang nomor satu pada lari 100 meter, 200 meter, 110 gawang, lempar lembing, hingga lempar cakram.

Baca Juga: Tentang Muhammad Sarengat yang Pernah Berpredikat Manusia Tercepat Asia

Sudah bisa menjadi yang paling jagoan pada nomor dasa lomba, tantangan datang lewat bisikan Bung Karno. Ya, tantangan, bukan janji bonus semata.

"Sarengat, rakyat minta bukti karena selama ini kamu diberi makan. Hanya kamu yang berpeluang menyumbangkan emas dari stadion utama ini," ucap Sarengat menirukan kalimat Bung Karno.

Bisikan itu direspons positif oleh Sarengat. Sprinter Sarengat menyumbangkan dua medali emas dalam nomor lari 100 meter dan lari gawang 110 meter. Satu medali lagi, perunggu, didapatkan dari nomor 200 meter.

Emas dari nomor 100 meter yang dibuat dari catatan waktu 10,4 detik itu membuat Sarengat menjadi peraih medali emas Asian Games pertama buat Indonesia. Catatan waktu dari emas 100 meter itu juga sekaligus menjadi rekor Asia.

Sarengat mematahkan rekor sprinter Pakistan, Abdul Khalik, dengan 10,6 detik pada Asian Games II di Manila, Filipina. Rekor itu baru pecah 22 tahun kemudian oleh sprinter Purnomo M. Yudhi pada Olimpiade 1984 di Los Angeles.

Sejauh ini hanya ada tiga atlet atletik Indoensia yang pernah menyumbangkan emas dari Asian Games. Setelah Sarengat, emas lain didonasikan Supriyati Sutono and Maria Natalia Londa.

Rabu, 12 Oktober 2016

Maulwi Saelan dan Impian yang Dibawa Mati

Maulwi Saelan tutup usia. Impian kiper legendaris itu untuk kembali melihat tim nasional bermain di Olimpiade terbawa sampai mati.


Kabar duka tersiar duka tersiar Senin (10/10/2016) petang. Maulwi, seorang mantan kiper nasional yang juga mantan Ketua PSSI, wafat.

Usia Maulwi memang tidak lagi muda. Beliau menutup usia pada umur 90 tahun. Pria kelahiran Makassar itu sempat sakit dan dirawat di RS Pertamina karena menderita komplikasi gangguan jantung, ginjal, dan paru-paru.

Siang tadi, Selasa (11/10/2016), beliau dimakamkan di pemakaman Kalibata Jakarta. Eks pemain nasional melepas kepergiannya.

Maulwi memang legenda di sepakbola nasional. Dia kiper nasional. Menjadi kapten kala tim nasional bermain di Olimpiade 1956. Kisah heroik Maulwi dan timnas terekam Harian Merdeka yang terbit 30 November 60 tahun lalu. Koran itu masih menggunakan ejaan lama. Kini kertasnya sudah mulai berwarna kuning.

Rekaman-rekaman perjalanan timnas itu mungkin cuma bisa didapatkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jl. Salemba Raya, Senen, Jakarta Pusat.

Tiga tahun lalu, pegawai perpustakaan nasional bilang kalau mereka tengah dalam upaya memindahkan file itu ke dalam bentuk digital.

Maulwi bahkan tak menyimpan lembaran koran itu. Tapi bukan berarti Maulwi zonder dokumen. Dia menyimpan baik-baik buku kecil bersampul batik dan berlogo garuda berisi nama pelatih dan skuat timnas waktu itu.

Dia juga menyimpan beberapa lembar foto hitam putih saat timnas melakukan perjalanan ke negara-negara masih masih dalam satu garis politik. Ceritanya mengalir menyebut nama-nama pimpinan negara yang ikut berfoto kala timnas menjalani ujicoba di sana sembair menunjukkan foto ini dan itu. Ada China, Uni Soviet juga beberapa Eropa.


"Mengenakan kaos timnas itu memang spesial, sangat istimewa. Kami bersyukur terpilih masuk timnas. Waktu itu kami tak dibayar. Tidur pun di bawah tribun penonton Stadion Ikada, yang sekarang berubah jadi Monas," kenang Maulwi.

Baca Juga: Maulwi Saelan: Penjaga Soekarno, Kenangan Olimpiade 1956, dan Impian yang Belum Terpenuhi

Makanya saat didaulat menjadi ketua umum PSSI oleh Soekarno --tetap lewat kongres-- pada tahun 1964, Maulwi bercita-cita timnas Indonesia bisa kembali mendapatkan panggung di Piala Dunia.

Sebuah cara diambil. Maulwi mencetuskan kompetisi usia muda lewat Piala Soeratin. Tapi, turnamen itu malah sempat hilang. Belum lagi masalah-masalah lain yang membuat timnas tak bisa benar-benar kembali menjadi garang.

Dia ingin pemuda Indonesia yang terpilih mempunyai kebanggaaan bisa tampil di olimpiade seperti kala dia mendapatkan inspirasi saat menyaksikan pelari Amerika Serikat, Jesse Owens, meraih empat medali emas dari Olimpiade 1936 Berlin.

Namun hingga Maulwi menutup mata, impian itu belum juga terwujud. Menjadi pekerjaan rumah bagi siapapun yang terpilih dari delapan calon ketua umum yang baru saja menjalani debat di muka publik lewat streaming. Di sana ada Bernhard Limbong, Erwin Aksa, Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi, Eddy Rumpoko, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, Tonny Apriliani, Sarman El Hakim, Djohar Arifin Husein, dan Kurniawan Dwi Yulianto.

Adakah di antara mereka yang menyebut ingin mewujudkan impian Maulwi? Atau apakah mereka memberikan penghormatan terakhir kepada seorang kiper legendaris, kapten timnas, juga mantan ketua umum PSSI siang tadi?

***

Pernah dimuat di detikSport, Selasa (11/10/2016) dengan judul yang sama.
Foto: dokumentasi detiksport. 

Jumat, 07 Oktober 2016

Menagih Prestasi Internasional dari PON yang Wah (dan Banyak Masalah)

Jumlah cabang olahraga dan gemuknya total kontingen peserta menjadi pro dan kontra yang mewarnai setiap pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON). Minimnya kontribusi terhadap atlet ke ajang internasional menambah kadar permasalahan prestasi olahraga nasional.


PON XIX/2016 dibuka dengan pesta wah. Berpentas 3 ribu penari, tujuh legenda olahraga nasional, 32 gubernur, dan dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Katanya ada anggaran senilai Rp 2 triliun untuk menggelar PON tahun ini. Khusus untuk upacara pembukaan dan penutupan PON XIX/2016 Jawa Barat menghabiskan dana Rp 90 miliar. Wajar kalau pesta pembukaan dan penutupan nanti adalah pesta nan mewah. Dari nominal itu bolehlah dibilang kalau Jabar serius membangun prestasi dan gengsi olahraga mereka.

Jabar memang antusias dalam menggelar PON. Wajar sebab sudah 55 tahun lampau terakhir kalinya Jabar menjadi tuan rumah. Dalam PON edisi itu pula Jabar berhasil jadi juara umum.

Sejak itu, Jabar tak pernah lagi jadi tuan rumah. Juara umum juga sulit dicapai meski mereka selalu jadi pesaing berat bagi DKI Jakarta dan Jawa Timur.

Agar gaungnya dirasakan oleh seluruh Jabar, dengan anggaran Rp 2 triliun itu PON XIX pun digelar menyebar pada 60 venue yang tersebar pada 16 kabupaten dan kota. Kedengarannya memang keren.

Boleh dibilang, Jabar bikin terobosan pda PON kali ini. Sebab, baru mereka yang menggelar PON sampai 16 kabupaten dan kota. Biasanya kurang dari sepuluh kabupaten dan kota yang terlibat menjadi tuan rumah PON.

Seperti muncul pesan kalau PON XIX jadi ajang untuk memasyarakatkan olahraga, bukan?

Dibantu media sosial yang dengan cepat merespons apapun yang tengah terjadi, PON Jabar semestinya jadi pionir PON paling wah dan paling kekinian. Kalau sekadar live score apa susahnya ya kan?

Dengan mudahnya komunikasi--smart phone yang ada di genggaman dan jaringan internet yang sudah 4G-- seharusnya jarak antar venue sudah bukan lagi masalah buat informasi pada PON Jabar ini, bukan?

Tapi fakta di lapangan berbeda. Jabar gaal menghadirkan PON yang kekinian. Jadul. Seolah-olah PON dilaksanakan di sebuha daerah yang masih memakai kentongan untuk alat komunikasi. Hasil-hasil pertandingan tidak ditampilkan dengan cepat dan bisa diakses dari mana-mana.

Apes buat Jabar. Kalau panitia masih hidup di zaman tanpa internet, publik sudah menggengga, telepon pintar.


Celah itu yang bikin Panitia Besar (PB PON) kecolongan. Ketidakkekinian PB PON lah yang meluas di dunia maya, dari satu tweet ke ratusan dan ribuan retweet.

PON makin 'populer' dengan justru karena PON tak melulu mementaskan kemampuan atlet. Malah setiap hari ada saja pertikaian di dalam arena.

Tudingan tuan rumah yang diuntungkan (basket), tapi tuan rumah juga sesekali merasa dirugikan hingga ada drama ketua umum Pengprov Wushu Jabar menantang wasit yang bertugas. Dalam PON Jabar juga muncul tawuran antarsuporter dan antaratlet, juga intimidasi terhadap wartawan.

Soal ini, dengan enteng, Ketua Panitia Besar (PB) PON yang juga Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, menilainya sebagai riak-riak kecil.

Memang kita tak bisa mengabaikan catatan-catatan sip yang dibuat para atlet-atlet muda yang bersinar di sana. Di antaranya Emilia Nova dari cabang olahraga atletik yang mencetak beberapa rekor dan Nurul Fajar dari cabang olahraga renang.

Ricuh PON memang sudah bisa diprediksi sebelum benar-benar dimulai. Selain masalah bajak-membajak atlet dari daerah lain, Jabar tak bisa menutupi kesulitan-kesulitan yang terjadi di lapangan dengan niat baiknya sendiri.

Oke, pesan itu memang bakal terdengar indah kalau luas daerah Jabar setara DKI Jakarta. Ya! Malah, sudah semestinya kalau DKI yang menggelar PON maka enam kota administrasi yang ada sebaiknya terlibat sebagai tuan rumah.


DKI malah akan repot kalau PON yang sekarang menawarkan 44 cabang olahraga dengan 756 nomor pertandingan dan diikuti 9.533 atlet, 4.071 ofisial, 10.271 panitia pelaksana, dan 18.468 relawan itu dilaksanakan di satu kota administrasi. Di Jakarta Pusat saja misalnya yang mempunyai kompleks Gelora Bung Karno di Senayan. Bisa dibayangkan betapa betapa panjang antrian tiap-tiap cabang olahraga untuk menggelar 756 nomor pertandingan dan perlombaan itu.

Oh ya luas DKI cuma 661,52 km persegi. Nah, provinsi Jabar seluas 35.222,18 kilometer persegi alias 53,24 kali DKI Jakarta, membentang dari barat ke timur. Bisa dibayangkan untuk urusan penyebaran logistik peralatan dan perlengkapan perlombaan dan pertandingan Jabar kesusahan sendiri, bukan?

Jabar terbukti telah terlambat mendatangkan alat hitung otomatis untuk sepatu roda yang dihelat di Bandung. Juga dibuat ketar-ketir dalam mendatangkan peralatan untuk cabang olahraga atletik yang digelar di Bogor. Dua kota yang semestinya lebih gampang dijangkau ketimbang kabupaten-kabupaten lain.

Belum lagi jika ternyata kabupaten atau kota itu tak punya tradisi membesarkan cabang olahraga yang dipertandingkan. Panitia lokal kemungkinan besar tak familiar untuk menggelar perlombaan dan pertandingannya.

Juga soal covering media. Bahkan, situs resmi PON sendiri tampak kesusahan mendapatkan hasil dan komentar dari atlet-atlet yang naik podium, manajer cabang olahraga yang menjadi juara umum, juga foto-foto pertandingan yang mestinya jadi kenang-kenangan buat para atlet dan catatan prestasi buat Indonesia.

Padahal soal quote manajer, pelatih, atau atlet pad asebuah multievent internasional sudah amat gampagn diadpatkna. Panitia pelaksana memanfaatkan relawan yang direkrut untuk turut dalam konferensi pers atau berjaga-jaga di mixedzone. Bahkan cara seperti itu sudah diterapkan kala Surabya menggelar PON 2000. Karena jaringan internet belum sekencang saat ini, PB PON 2000 menugaskan mahasiswa-mahasiswa jurusan komunikasi, khususnya jurnalistik, untuk ngendon di tiap-tiap venue, khusus untuk menjadi Joni--seperti dalam film Janji Joni--mengutip quote dan mengantarnya di pengepulan berita di media center.

Rentetan catatan kurang sip terhadap pelaksanaan PON 2016 itu memantik reaksi jajaran kemenpora dan Satlak Prima.

Staf ahli menpora yang baru yang juga mantan atlet nasional, Taufik Hidayat, sudah mengingatkan agar PON pada edisi selanjutnya fokus mempertandingkan cabang olahraga Olimpiade. Dia juga sepakat dengan usulan pembatasan usia bagi peserta.

Selain mempermudah kerja tuan rumah, Menpora dan Taufik tengah menagih prestasi dari perhelatan PON yangs udah rutin digelar setiap empat tahun.

Sejatinya, bukan cuma di Jabar ini PON sudah menyusahkan tuan rumah. Permasalahan-permasalahan yang muncul pada PON Jabar ini seolah letusan gunung api dengan proses vulkanik yang sudah terjadi dari PON-PON sebelumnya.

Coba tengok stadion-stadion di Samarinda dan Balikpapan serta Riau sebagai tuan rumah PON 2008 dan 2012. Masih baguskah? Tidak, sebab dua daerah itu justru kesulitan membiayai perawatan stadion-stadion yang dibangun menjelang jadi tuan rumah.


Ada efek ekonomi kah kepada provinsi-provinsi yang pernah jadi tuan rumah PON? Tidak ada riset khusus tentang hal itu. Apakah IT daerah itu makin berkembang setelah menjadi tuan rumah PON? Tidak ada jawaban jelas.

Bahkan sudah sejak tahun 1970-an, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, menyadari PON akan menyusahkan DKI sebagai tuan rumah jika peserta terlalu banyak. Selain itu, Ali juga memprediksi kalau PON berpotensi menjadi sebuah pesta wah yang tak akan berimbas kepada prestasi olahraga jika PON mengakomodasi cabang-cabang olahraga di luar Asian Games dan Olimpiade.

Maka, Ali pun meminta agar PON bukan cuma pesta yang asal ramai secara kuantitas tapi haruslah menjadi gelaran yang berkualitas.

"Saya mau atlet-atlet kita (DKI Jakarta) mengejar prestasi atlet-atlet yang di luar negeri. Langkah pertama mengejar juara-juara Asian Games. Menghadapi PON IX saya menjabat sebagai Ketua Umum PB PON IX saya mengusulkan agar hanya nomor-nomor yang dipertandingkan dalam Asian Games dan Olimpiade."

Begitulah usulan Ali Sadikin yang tercatat dalam biografinya. Namun, dalam pelaksanaannya usulan itu dimentahkan oleh pengurus induk cabang organisasi. mereka merajuk agar cabang-cabang olahraga di luar Asian Games dan Olimpiade tetap dipertadningkan di PON dengan alasan yang berbeda-beda, Seperti de javu, situasi yang sama juga terjadi saat ini, bukan?

Ali berkompromi. Namun dia minta agar total kontingen peserta tak lebih dari 3 ribu orang. Ya, cuma 3.000 peserta.

Tapi kini dalam perkembangannya, seperti disebut di awal tulisan, multievent ini diikuti 9 ribuan peserta alias tiga kali lipatnya.

Lantas apakah ada prestasi internasional yang sudah didapatkan Indonesia dari penyelenggaraan rutin PON yang rata-rata melombakan lebih dari 700-an nomor olahraga itu?

Jawabannya: alih-alih bisa masuk 10 besar Asian Games, jadi juara umum SEA Games saja Indonesia harus jadi tuan rumah lebih dulu sebab emas bisa didulang dengan menghadirkan banyak cabang olahraga ajaib, cabang olahraga yang tiba-tiba ada kalau kita jadi tuan rumah.


Kalau tak ada perubahan juga, jangan heran kalau masalah-masalah itu akan dipentaskan lagi pada PON XX/2020 di Papua. Di sisi lain prestasi internasional masih akan sulit diciptakan. Soal pelaksaan menjadi tuan rumah, kita juga tak bisa abai karena dua tahun lagi Jakarta dan Palembang akan jadi tuan rumah Asian Games. Jangan sampai malah menuai malu. (prestasi dan pelaksanaan).