Tradisi mengembalikan tradisi emas Olimpiade diiringi lonceng tanda bahaya. Para pebulutangkis Indonesia babak belur di Istora.
Foto: PP PBSI |
Ribuan suporter yang memadati bangunan yang sudah berdiri sejak era Presiden Soekarno menjelang Asian Games 1962 itu jadi daya tarik tersendiri pada setiap gelaran Indonesia Terbuka. Bahkan, seorang Lin Dan yang berjuluk "Super Dan" pun amat benci bermain di Istora. Terlalu berisik, dia bilang.
Jadilah Lin Dan yang mengoleksi dua emas Olimpiade, plus lima gelar juara dunia, tak pernah sekalipun juara di Indonesia Terbuka. Tapi, Lin Dan memang orang asing, "musuh bersama" publik Istora.
Makanya, sungguh menggelikan jika dalam tiga gelaran Indonesia Terbuka belakangan titel tak pernah diraih oleh pasukan 'Merah Putih'. Bahkan, kali ini Indonesia untuk pertama kalinya gagal meloloskan wakil ke babak final.
Persaingan bulutangkis di level dunia memang mulai merata setelah cabang olahraga itu dipertandingkan di Olimpiade. Negara-negara yang tak populer bulutangkisnya sudah membuktikan kalau mereka sanggup menjadi yang terbaik.
Tengok saja, juara All Egland tahun ini di sektor ganda putra. Siapa menyangka pemenangnya berasal dari... Rusia(!): Vladimir Ivanov/Ivan Sozonov. Sebelum-sebelumnya, mereka berdua langganan mendapat pertanyaan soal bagaimana perkembangan bulutangkis di negaranya, ada berapa jumlah lapangan bulutangis di Moskow, apakah bulutangkis jadi pelajaran ekstra kurikuler di sekolah-sekolah di Rusia, dan semacam itu.
Sementara Indonesia adalah tuan rumah. Menjadi runner-up di ajang dunia adalah sebuah kegagalan.
Negara lain juga mengakui kalau Indonesia adalah negara bulutangkis. Stempel itu kadung lekat karena sederet prestasi yang pernah diukir pemain-pemain dulu. Bahkan Tong Sin Fu yang jadi sesepuh barisan pelatih China juga orang Indonesia.
Akankah cap sebagai negara bulutangkis itu akan surut? Kemungkinan itu tak tertutup. Faktanya Indonesia gagal meraih emas Olimpiade empat tahun lalu di London.
Tahun ini, kalau tak berprestasi lagi di Olimpiade Rio de Janeiro mau jadi apa bulutangkis Indonesia?
Alarm sebagai tanda bahaya masa depan bulutangkis Indonesia--dalam jangka pendeknya adalah di Olimpiade Rio--sudah melengking di Istora sejak babak kedua pekan lalu. Tiga unggulan yang dipatok target juara dan menjadi tumpuan di Olimpiade di Brasil tersungkur.
Ya, di babak kedua. Greysia Polii/Nitya Krishinda bahkan baru melakoni laga perdana mereka setelah tak perlu tanding di babak pertama karena mendapatkan bye. Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan juga disingkirkan pasangan Denmark, Mads Conrad-Petersen/Mads Pieler Kolding.
Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dikalahkan ganda dadakan dari Denmark, Kim Astrup/Line Kjaersfeldt. Mereka tampil di Indonesia Terbuka dari babak kualifikasi. Si pemain wanitanya adalah pemain tunggal, dan Astrup spesialis di sektor ganda putra.
"Saya juga sangat kecewa, saya bermain di bawah performa terbaik saya. Saya terlalu ingin menang jadinya malah tertekan," kata Tontowi usai kekalahan itu.
Kalimat Owi itu seolah sebuah kalimat template yang tinggal klik 'send' kalau di telepon genggam saat mengirim pesan -- hanya mengulang tahun-tahun sebelumnya, usai kekalahan-kekalahan yang dibuat di Indonesia Terbuka. Pantaskah Owi dan Liliyana yang pernah juara dunia dan All England beralasan gagal mengatasi tekanan ingin menang ketika di Istora?
Satu pasangan lagi yang akan tampil di Olimpiade, Praveen Jodan/Debby Susanto, malah mencatatkan hasil lebih buruk. Mereka sudah jadi penonton sejak babak kedua.
Ketua Bidang Pembinaan Prestasi PP PBSI Rexy Mainaky juga heran dengan hasil itu. Publik juga mungkin bertanya-tanya. Bukankah semestinya ganda campuran tidak kelelahan dan "baper" karena tidak ikut bertarung di Piala Thomas Uber di Kunshan?
Pemain tunggal putra, Ihsan Maulana Mustofa, mengaku butuh waktu sampai sepekan untuk move on dari kegagalan meraih juara Piala Thomas. "Kata-kata Pak Victor (Hartono), pelatih (Hendry Saputra), dan orang tua yang bilang kalau semua tidak berhenti di Piala Thomas kemarin jadi semangat untuk bangkit, untuk move on," tutur Ihsan.
Ihsan membuktikan dirinya bisa sampai semifinal di Istora. Dia dikalahkan sang juara, Lee Chong Wei, yang memang menunjukkan permainan lebih sip di lapangan.
Memang sih kekalahan di awal itu tak melulu buruk bagi para tumpuan lumbung emas Indonesia di Olimpiade. Ada sisi baik yang bisa dipetik.
Bahwa Hendra/Ahsan dan Tontowi/Liliyana kalah dari pasangan nonunggulan adalah sebuah pelajaran besar sebelum ke Brasil. Sebab, Olimpiade bukan semata-mata menuntut soal Citius, Altius, Fortius alias lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat, tapi juga persahabatan dan persaudaraan di antara lima benua. Maka, Olimpiade akan menyuguhkan bukan cuma pemain-pemain terbaik dunia tapi juga pemain-pemain pemegang wildcard yang berasal dari negara-negara di mana para pemainnya sulit mencari raket dan shuttlecock. Pemain-pemain yang tak tak tertebak karena belum pernah ditemui di turnamen-turnamen bintang bulutangkis bintang lima.
Semoga Owi dan para pemain Indonesia ke Olimpiade nanti bisa lepas dari tekanan para pemain-pemain dadakan dan tidak overconfidence setelah mendapatkan sentilan di Indonesia Terbuka. Toh, mereka juga masih punya waktu untuk menelisik detail-detail permainan lawan yang akan menjadi seteru nantinya.
Kita cuma berharap agar hasil buruk di Indonesia Terbuka membuat mereka ingat kalau mereka bisa saja tersingkir bukan oleh batu yang besar, tapi juga karena kerikil-kerikil yang kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar