Sabtu, 22 Agustus 2015

Curhat Sony Dwi Kuncoro Soal Keinginan Comeback ke Jalur Profesional

Sony Dwi Kuncoro sudah melewati masa-masa emas sebagai pebulutangkis dunia. Kariernya meredup hingga harus meninggalkan pelatnas. Kini arek Surabaya itu bertekad untuk kembali ke jalur profesional.


Kedatangan Sony ke ruang konferensi pers usai laga di babak kedua kualifikasi BCA Indonesia Open Super Series Premier, Selasa (2/6/2015) menjadi spekulasi. "Biasanya sih kalau kalah dia tak mau datang ke konferensi pers," celetuk salah satu pewarta.

Ya, Sony tersingkir di babak kualifikasi. Dia dikalahkan pebulutangkis muda Anthony Ginting 9-21, 16-21 di Istana Olahraga (Istora), Senayan, Jakarta. Di babak pertama Sony sempat menjanjkan dengan mengalahkan Sattawat Pongnairat rubber games 17-21, 21-13, 21-2.

Rupanya, Sony membuktikan kalau dia sudah berubah. Sony mendatangi ruang konferensi pers. Percakapan malah bergulir santai.

"Menurut saya Anthony Ginting bermain pintar hari ini. Dia menunjukkan diri lebih matang ketimbang pretemuan pertama dengan saya di Vietnam Open. Dia sabar mengikuti permainan saya, satu dua pukulan mau mengolah lebih dulu, tak langsung menyerang," kata Sony membuka percakapan.

"Sebaliknya, saya sudah tak terlalu ngotot lagi. Motivasi belum sebesar saat saya masih menjadi pemain pelatnas. Kondisi saya juga lebih bagus waktu di Vietnam.

"Mungkin kalau kondisi saya barusan juga sebagus di Vietnam gampang lah mengalahkan Anthony, he he he..

"Atau mungkin ini efek terlalu sering main lokal, bukan internasional. Level kan berbeda. Tapi, saya menjadi tahu kekurangan yang harus diperbaiki apa saja untuk tampil di kejuaraan inetrnasional ke depan.

"Selama 13 tahun saya di pelatnas, semua hal dalam kondisi enjoy. Semua disediakan. Serba enaklah. Setelah saya keluar, baru terasa, saya sampai seperti patah hati. Tepat setelah saya diputuskan untuk degradasi, saya langsung pulang ke Surabaya. Saya seolah sudah setengah gantung raket. Semua kejuaraan yang ditawarkan saya tolak. Padahal waktu itu tak perlu kualifikasi saya masih masuk. Kejuaraan Dunia, China Super Series, Denmark Open. Tapi, saya tidak mau.

"Eh, ternyata kok keenakan. Latihan, ya, begitu saja karena sparring partner tidak ada. Mau turnamen tak ada yang membiayai. Bahkan, saya sampai pindah klub dari Jaya Raya Surya Naga ke Tjakrindo Masters, Surabaya. Tapi, sampai sekarang belum ada kesepakatan soal kejuaraan apa saja yang harus saya ikuti dan soal biaya, pelatih, dan lainnya.

"Saya mulai tampil di turnamen-turnamen lokal. Ini sudah jadi karier, kalau enggak main dari mana saya dapat penghasilan.

"Kalau dari permainan, saya rasa teknik tak turun cuma soal fokus saja. Bahkan latihan saya lebih berat ketimbang saat di pelatnas. Kalau sudah fokus mau ke mana saja, saya yakin saya akan bisa kembali oke. Diberi target tak masalah.

"Di pikiran saya sih sudah ada gambaran mau ke mana saja. Lawan terberat diri sendiri. Kalau sudah ketemu deal-nya saya sudah siap untuk kerja lebih keras lagi, diberi target lagi. Selama ini kalau diibaratkan makanan, adonannya itu belum pas. Makanya, saya mulai ikut-ikut kejuaraan lagi agar dapat merasakan aura pertandingan.

"Soal cedera itu memang sudah jadi teman saya. Saya kan juga tak mau cedera, tapi sudah terlanjur ada cedera mau apa lagi," jelas pria 30 tahun itu.

Sony memang pernah menjadi andalan Indonesia dalam berbagai turnamen internasional. Prestasi terbaik dibukukan dengan meraih medali perunggu Olimpiade 2004 di Athena. Kala itu, emas diraih Taufik Hidayat. Sony juga pernah menjadi juara Indonesia Open tahun 2008.

Kamis, 20 Agustus 2015

Ini Para Pelatih Indonesia yang 'Mudik' Saat Kejuaraan Dunia di Istora

Indonesia 'mengekspor' pelatih-pelatih bulutangkis ke negara lain. Kejuaraan Dunia di Istora kali ini menjadi kesempatan 'mudik' bagi mereka.


Kendati Ketua Umum PP PBSI periode 2012/2016, Gita Wirjawan, sudah memulangkan banyak pelatih yang menangani negara lain, masih saja tak sedikit pelatih Indonesia menjadi arsitek di luar negeri. Beberapa yang ditarik ke Jakarta adalah Rexy Mainaky dari Filipina, Edwin Iriawan (India), Imam Tohari (Jepang), dan Eng Hian (Singapura).

Para pelatih yang kini menangani tim-tim negara lain itu tak kalah banyak. Di antaranya, Flandy Limpele di Jepang, Nunung Wibiyanto di Singapura, juga Namrih Suroto di Thailand, dan Rudy Gunawan yang sudah sejak 1999 di Amerika Serikat.

Di antara para pelatih itu hadir di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, bertepatan dengan Kejuaraan Dunia 10-16 Agustus tahun ini. Siapa saja?

1. Namrih Suroto



Namrih Suroto pernah menangani nomor ganda di pelatnas PBSI. Kini, dia menjadi kepala pelatih Granular, Thailand.

Namrih didapuk menjadi pelatih Granular menggantikan pebulutangkis Malaysia, Koo Kien Keat, di bulan Maret tahun ini. Salah satu pemain di klub itu adalah tunggal putra ranking pertama Thailand, Tanongsak Saensomboonsuk.

Selama lima bulan ini, Namrih tak mengalami kesulitan beradaptasi dengan suasana baru di Thailand ataupun dengan para pemainnya. Termasuk makanan tak jadi soal.

"Tapi setengah mati kalau soal bahasa. Apalagi tulisannya beda banget, sedikit repot kan jadinya," kata Namrih kemudian tertawa.

Untungnya, masalah itu tak muncul di pelatnas. Sebab, para pemain Thailand paham bahasa Inggris.

2. Hendrawan



Hendrawan mulai menangani tim nasional bulutangkis Malaysia 2009. Di awal karier bersama Malaysia, dia menangani tim junior tapi kini mendampingi pemain tunggal, Lee Chong Wei.

Hendrawan sempat diminta untuk pulang ke Indonesia di awal masa kepengurusan PP PBSI Gita Wirjawan. Tapi, karena keluarga sudah terlanjur ikut pindah ke Malaysia, Hendrawan menolak ajakan itu.

Kini, di Kejuaraan Dunia yang bergulir di Istora Hendrawan sekaligus mudik bersama istri, Slivie, dan dua anaknya. Mereka menyempatkan untuk pulang ke Pemalang, Jawa Tengah.

"Pulang ke rumah mertua," kata Hendrawan yang juga kakak ipar juara dunia 2015, Hendra Setiawan, itu.

3. Riony Mainaky



Kejuaraan Dunia Bulutangkis sekaligus menjadi arena 'berkumpulnya' keluarga Mainaky. Riony yang datang jauh dari Jepang bisa bertatap muka dengan Rexy dan Richard di Istora.

Rexy dan Richard sudah berada di bawah naungan satu bendera yang sama, Indonesia. Riony masih menjadi pelatih tim nasional Jepang.

Ketiganya pernah hadir di Istora dengan bendera yang berbeda-beda. Richard tak pernah meninggalkan Indonesia. Dia loyal menjadi pelatih ganda campuran di pelatnas PBSI.

Rexy pernah melalang buana sampai ke Inggris dan Malaysia, kemudian hengkang ke Filipina. Dia kemudian diminta pulang saat Gita Wirjawan terpilih menjadi ketua umum PP PBSI periode 2012/2016 untuk menjadi kepala bidang prestasi dan pembinaan PP PBSI.

Riony sudah lama berstatus sebagai pelatih Jepang. Dia menjadi salah satu pelatih yang mendampingi para pemain putra Jepang meraih Piala Thomas tahun 2014.

Sejatinya, masih ada Marlev dan Karel yang juga jadi pelatih. Marlev menjadi asisten pelatih tunggal putra pelatnas, Karel menangani menangani klub Jepang, Renesas.

4. Rudy Gunawan



Rudy Gunawan mendapatkan kesempatan 'pulang' saat mendampingi para pemain Amerika Serikat ke Kejuaraan Dunia di Istora pada 10-16 Agustus di Jakarta. Rudy menyempatkan diri untuk menikmati makanan favoritnya di Jakarta.

Rudy tak mempunyai banyak waktu selama di Jakarta. Dia benar-benar mendampingi anak asuhnya, Phillip Chew, Jimie Subandi, dan Sattawat Pongnairat selama kejuaraan.

Sejak awal, Rudy memang tak berniat untuk pulang ke rumah keluarga besar mengingat tugas profesionalnya itu. Setelah para pemain pulang ke AS bertumbangan, di sela-sela kejuaraan Rudy menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat makan paling favorit dia.

"Kalau ke Jakarta saya selalu mampir ke bakmi Gajah Mada he he he. Enggak tahu kenapa ya seolah-olah saya harus mampir ke sana. Rasa bakminya selalu bikin kangen," kata Rudy yang sudah sejak 1999 menangani tim AS itu.

Selain itu, dia menyempatkan diri untuk berkumpul dengan pemain-pemain seangkatan di markas Djarum, Petamburan, Jakarta Pusat.

5. Paulus Firman



Paulus Firman menyempatkan untuk berkumpul dengan keluarga pada hari-hari terakhir pelaksanaan Kejuaraan Dunia Bulutangkis pertengahan Agustus ini. Sebab, tak ada libur panjang setelah kejuaraan itu.

Paulus menangani tim nasional Filipina sejak Januari tahun 2014. Setiap mendampingi pemain ke Indonesia, dia menyempatkan untuk kumpul dengan keluarga.

"Saya selalu mendampingi tim lebih dulu, barulah setelah para pemain kembali ke Manila hari Jumat pagi, saya pulang ke rumah," kata mantan pelatih ganda putri pelatnas PBSI (1999-2012) dan pernah menangani di Malaysia (2013).

"Di hari Sabtu manajer tim nasional Filipina yang masih di Jakarta mengundang saya dan keluarga untuk sarapan di hotel. Setelah itu benar-benar waktu saya maksimalkan bersama keluarga, nonton, ke gereja, dan nongkrong. Waktunya sangat pendek, saya lebih memilih berkumpul dengan keluarga," beber dia.

Bersama Filipina, Paulus dikontrak selama dua tahun dengan peninjauan kontrak setahun sekali.




Selasa, 11 Agustus 2015

Liliyana 'Butet' Natsir, Melejit Sebagai Tumpuan

Liliyana Natsir malah kerap sukses saat tekanan besar ada di puncaknya. Utamanya jika menjadi sosok yang selalu bertugas untuk mengembalikan titel juara untuk Indonesia. Dia masih punya obsesi untuk meraih emas Olimpiade.



Tak mudah mengatur pertemuan dengan Liliyana Natsir setelah menjadi juara All England untuk kedua kalinya. Sederet jadwal wawancara dengan berbagai media sudah dikantongi perempuan berusia 28 tahun itu setiba di Tanah Air, Selasa pekan lalu.

Belum lagi ditambah jadwal latihan yang tak bisa diganggu gugat. Maklum, dua event besar sudah menanti, Piala Sudirman dan Kejuaraan Dunia.

Butet, begitu sapaan karibnya, pun harus pandai-pandai mengatur agenda. “Jangan berat-berat, ya, pertanyaannya, capek habis latihan,” kata Liliyana kepada Detik di Pusat Pelatihan Nasional Bulu Tangkis PBSI, Cipayung, Jakarta Timur, kemarin siang.

Tapi rupanya kalimat itu hanya basa-basi. Butet tetap ramah dan menjawab segala pertanyaan. Wanita kelahiran Manado, Sulawesi Utara, itu dengan antusias membeberkan banyak hal, termasuk ambisinya di masa datang.

“Saya masih ingin menjadi juara Olimpiade,” katanya. Meski, ujarnya, pada Olimpiade 2016 usianya tak lagi muda. Umur Butet nanti mendekati 31 tahun.

Bukan hanya sesumbar, sejak saat ini Butet menyiapkan amunisi. Stamina sebagai modalnya, selain kepiawaian dan kecerdikan mengolah bola, diasah dari sekarang.

“Saya harus disiplin mengatur pola makan dan istirahat serta latihan sesuai dengan kebutuhan saya. Meski ada pelatih, saya sendirilah yang paham kebutuhan badan saya,” kata penyuka musik R&B dan jazz itu.

Ya, Butet bukan atlet kemarin sore. Pengalaman sudah mengantar dia untuk tahu diri. Soal disiplin, para pemain junior dan mereka yang lebih dulu berkarier di pelatnas memberikan acungan jempol kepadanya.

Bahkan, Butet dikenal sebagai pemain yang tak pernah terlena oleh keindahan kota dan negara yang dikunjungi saat kejuaraan. “Saya datang ke lokasi pertandingan untuk menjadi juara, bukan jalan-jalan,” kata wanita berzodiak Virgo itu.

Tak mengherankan jika dua gelar juara dunia dan dua kali podium tertinggi kejuaraan klasik All England menjadi koleksi wanita yang berulang tahun setiap 9 September 1985 itu. Kejuaraan dunia didapatkan saat berpasangan dengan Nova Widianto, sedangkan All England setelah berpasangan dengan Tontowi Ahmad.

Prestasinya juga moncer di ganda putri meski tak pernah punya pasangan tetap. Bersama Vita Marissa, Butet pernah menjadi juara China Masters 2007 dan Indonesia Terbuka 2008.

Istimewanya, Butet mempersembahkan gelar juara itu setiap kali Indonesia paceklik gelar juara. Dia menjadi penyelamat Merah Putih pada Kejuaraan Dunia 2007.


Kemudian pada kejuaraan All England. Gelar juara All England pertamanya menjadi penutup absennya wakil pemain Indonesia sejak 2003 lampau saat Chandra Wijaya/Sigit Budiarto naik panggung tertinggi. Begitu pula saat menjadi juara super series di nomor ganda putri.

Konsistensi Butet juga pantas mendapatkan apresiasi. Bersama Nova, Butet menguasai peringkat tertinggi dunia selama lima tahun.

Kemudian, bersama Tontowi, bungsu dari dua bersaudara itu stabil sebagai pemegang peringkat kedua dunia. Liliyana memang sudah disegani sejak di kelompok umur junior. Dia membukukan gelar juara saat berpasangan dengan Markis Kido pada kejuaraan Asia 2003.

“Saya mendapatkan semua ini bukan hanya karena faktor lucky, tapi saya memang punya kualitas,” kata Butet. “Sejak kecil saya memang tak pernah mau kalah," tegas dia.

***

Artikel ini pernah dimuat di Harian Detik pada 27 Maret 2013. Kala itu, Butet baru saja menjadi juara All England untuk kedua kalinya. Kini Butet masih menjadi tumpuan untuk menyelamatkan muka Indoensia di hadapan publik sendiri, pada Kejuaraan Dunia Bulutangkis yang dihelat di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

Mampukah?