Sony Dwi Kuncoro sudah melewati masa-masa emas sebagai pebulutangkis dunia. Kariernya meredup hingga harus meninggalkan pelatnas. Kini arek Surabaya itu bertekad untuk kembali ke jalur profesional.
Kedatangan Sony ke ruang konferensi pers usai laga di babak kedua kualifikasi BCA Indonesia Open Super Series Premier, Selasa (2/6/2015) menjadi spekulasi. "Biasanya sih kalau kalah dia tak mau datang ke konferensi pers," celetuk salah satu pewarta.
Ya, Sony tersingkir di babak kualifikasi. Dia dikalahkan pebulutangkis muda Anthony Ginting 9-21, 16-21 di Istana Olahraga (Istora), Senayan, Jakarta. Di babak pertama Sony sempat menjanjkan dengan mengalahkan Sattawat Pongnairat rubber games 17-21, 21-13, 21-2.
Rupanya, Sony membuktikan kalau dia sudah berubah. Sony mendatangi ruang konferensi pers. Percakapan malah bergulir santai.
"Menurut saya Anthony Ginting bermain pintar hari ini. Dia menunjukkan diri lebih matang ketimbang pretemuan pertama dengan saya di Vietnam Open. Dia sabar mengikuti permainan saya, satu dua pukulan mau mengolah lebih dulu, tak langsung menyerang," kata Sony membuka percakapan.
"Sebaliknya, saya sudah tak terlalu ngotot lagi. Motivasi belum sebesar saat saya masih menjadi pemain pelatnas. Kondisi saya juga lebih bagus waktu di Vietnam.
"Mungkin kalau kondisi saya barusan juga sebagus di Vietnam gampang lah mengalahkan Anthony, he he he..
"Atau mungkin ini efek terlalu sering main lokal, bukan internasional. Level kan berbeda. Tapi, saya menjadi tahu kekurangan yang harus diperbaiki apa saja untuk tampil di kejuaraan inetrnasional ke depan.
"Selama 13 tahun saya di pelatnas, semua hal dalam kondisi enjoy. Semua disediakan. Serba enaklah. Setelah saya keluar, baru terasa, saya sampai seperti patah hati. Tepat setelah saya diputuskan untuk degradasi, saya langsung pulang ke Surabaya. Saya seolah sudah setengah gantung raket. Semua kejuaraan yang ditawarkan saya tolak. Padahal waktu itu tak perlu kualifikasi saya masih masuk. Kejuaraan Dunia, China Super Series, Denmark Open. Tapi, saya tidak mau.
"Eh, ternyata kok keenakan. Latihan, ya, begitu saja karena sparring partner tidak ada. Mau turnamen tak ada yang membiayai. Bahkan, saya sampai pindah klub dari Jaya Raya Surya Naga ke Tjakrindo Masters, Surabaya. Tapi, sampai sekarang belum ada kesepakatan soal kejuaraan apa saja yang harus saya ikuti dan soal biaya, pelatih, dan lainnya.
"Saya mulai tampil di turnamen-turnamen lokal. Ini sudah jadi karier, kalau enggak main dari mana saya dapat penghasilan.
"Kalau dari permainan, saya rasa teknik tak turun cuma soal fokus saja. Bahkan latihan saya lebih berat ketimbang saat di pelatnas. Kalau sudah fokus mau ke mana saja, saya yakin saya akan bisa kembali oke. Diberi target tak masalah.
"Di pikiran saya sih sudah ada gambaran mau ke mana saja. Lawan terberat diri sendiri. Kalau sudah ketemu deal-nya saya sudah siap untuk kerja lebih keras lagi, diberi target lagi. Selama ini kalau diibaratkan makanan, adonannya itu belum pas. Makanya, saya mulai ikut-ikut kejuaraan lagi agar dapat merasakan aura pertandingan.
"Soal cedera itu memang sudah jadi teman saya. Saya kan juga tak mau cedera, tapi sudah terlanjur ada cedera mau apa lagi," jelas pria 30 tahun itu.
Sony memang pernah menjadi andalan Indonesia dalam berbagai turnamen internasional. Prestasi terbaik dibukukan dengan meraih medali perunggu Olimpiade 2004 di Athena. Kala itu, emas diraih Taufik Hidayat. Sony juga pernah menjadi juara Indonesia Open tahun 2008.