Musim 2011 menjadi tahun bersejarah bagi dunia tenis Tiongkok dan Asia. Januari lalu, Li Na, petenis Tiongkok, sukses menjadi finalis Grand Slam Australia Terbuka.
Sukses menduduki peringkat enam dunia menjadikan Li Na sebagai petenis putri pertama Tiongkok dengan peringkat tertinggi. Dia juga petenis putri Asia kedua yang mampu masuk enam besar WTA. Sebelumnya, petenis Jepang Kimiko Date-Krumm pernah nangkring di peringkat empat WTA. Kini, dari daftar terbaru WTA per 4 April 2011, Li Na menduduki posisi ketujuh dunia digeser Victoria Azarenka dari Belarusia.
Peringkat enam itu didapat saat tampil di Australia Terbuka. Dia menjadi finalis. Pada partai final tunggal putri di grand slam yang dihelat di Melbourne langkah Li Na dijegal petenis Belgia Kim Clijsters.
Sejatinya tanda-tanda kecemerlangan Li Na sudah dimulai saat dia tampil pada Olimpiade 2008. Dengan mengejutkan petenis kelahiran Wuhan itu sukses melaju ke semifinal dengan menumbangkan Svetlana Kuznetsova (Rusia) dan Venus Williams (Amerika Serikat). Tapi, dia gagal menuai kemenangan di laga selanjutnya hingga tak berhasil menuai medali dari multieven yang dihelat di Beijing tersebut.
Namun torehan itu cukup menunjukkan jika
come back-nya setelah delapan tahun istirahat haruslah diwaspadai. Nyatanya, karir Li Na meroket.
Memang tak banyak yang menyangka karir Li Na justru moncer 2,5 tahun kemudian. Salah satu yang menjadi faktor peragu itu adalah usia peraih medali emas Asian Games 2010 Guangzhou yang tak lagi muda. Pada 26 Februari lalu, dia merayakan ulang tahun ke-28. Selain itu, cedera lutut juga menjadi langganannya.
Tapi rupanya, keterlambatan sinar terang prestasi Li Na tak hanya itu. Secara nyata dia menyalahkan tanah airnya, Tiongkok. Tak jarang dia marah dengan yel-yel yang diteriakkan suporter Tiongkok kepada dia. Malah saat menjadi jawara grand slam Australia Terbuka, Li Na sama sekali tak mengucapkan terima kasih kepada Tiongkok. Dia hanya menyebut nama pacar, pelatih, dan sponsor.
Rupanya dia tak sepakat dengan sistem olahraga yang diterapkan di negaranya. Di mana Tiongkok hanya fokus mengutamakan even-even yang mengatasnamakan negara macam Piala Davis, Piala Fed. Juga Olimpiade, Asian Games, dan kejuaraan nasional.
Sedangkan untuk even-even perorangan, hanyalah dianggap sebagai laga latihan. Nyatanya prestasi tenis Tiongkok memang tak berkembang secara signifikan, berbeda dengan cabang olahraga lainnya.
"Untuk bermain perorangan memang berat. Karena saya harus menyiapkan segala sesuatunya sendiri. Dari memilih pelatih, mengatur latihan, juga jadwal latihan, sampai jadwal latihan. Saya benar-benar membayar jalan saya sendiri,” ujar penyuka the tarik itu seperti dilansir
Asia Mag.
Tak hanya Li Na yang kecewa. Banyak pihak yang mengandaikan, jika saja 10 tahun lalu Li Na tak terjebak oleh sistem olahraga di negaranya. Bukan tak mungkin dia sudah menjadi petenis paling ditakuti saat ini. Talenta yang dimiliki Li Na dinilai sangat luar biasa dan sudah diketahui sejak kecil.
Tercatat saat 2002 yang berarti dia masih berusia 20 tahun, Li Na sempat memutuskan untuk pensiun. Dia memilih masuk kuliah. Kemudian jelang Olimpiade di Beijing, asosiasi tenis Tiongkok membujuk agar Li Na kembali turun ke lapangan.
Barulah untuk menghadapi Olimpiade itu dia mendapatkan kebebasan dalam berlatih, termasuk memilih pelatih. Nyatanya Li Na masih bisa bersaing. Pada 2006 dia menjadi petenis Tiongkok pertama yang sanggup masuk 30 besar dunia, setahun kemudian masuk 20 besar.
Li Na juga menjadi petenis yang sanggup mempopulerkan tenis di negaranya. Dia ingat benar saat kecil tenis bukan olahraga yang dipilihkan keluarga dia. Mengikuti tren, Li Na kecil belajar bulu tangkis. Nah, saat usia 8 tahun pelatihnya menawari kedua orang tuanya agar Li Na berlatih tenis.
’’Orang tua saya balik bertanya, apa itu tenis,” kenang Li Na seperti dikatakannya kepada
New York Times.
Pertanyaan itu sekaligus menolak ajakan sang pelatih. Belajar tenis baru dimulai enam tahun kemudian, setelah sang ayah meninggal dunia. ’’Dua olahraga ini sangat berbeda. Meski sama-sama menggunakan raket, tapi tekniknya berbeda. Bulu tangkis mengandalkan pergelangan tangan, sedangkan tenis, bertumpu pada bahu,” terang dia.
’’Yang penting orang tak kesulitan lagi mencari nama saya di lembar drawing. Nama saya pendek, terserah mau menyebut Na Li atau Li Na. Saya tahu kalian, terutama bukan orang Tionghoa akan kesulitan,” seloroh dia.