Sabtu, 23 Oktober 2010

BerBataS


Setahun lalu.
Ada patah hati ketika kau pergi. Tapi aku tak bersiap dengan segala
irama duka atau nestapa. Maka aku tetap saja mandi kemudian bergegas
melakoni rutinitas. Menstarter si centil Jupiter oranye dan
mengajaknya berkeliling kota. Mataku tetap lapar memelototi setiap
detil kejadian yang kulewati.

Lantas aku memilih berhenti di tempat ngopi sebelah pom bensin. 
Tak membeli, hanya nunut bermodal sok kenal.
Kubuang napas dan merasakan memang ada yang tak lagi sama. Kubuka
novel popular terbitan percetakan ibukota. Kubuka lembar sisa yang
belum kubaca. Ah, tidak. Aku hanya pura-pura membaca. Pikiran dan
mataku entah ke mana. Duh, mataku mendadak buta warna. Semua menjadi
abu-abu.

Hanya aku tak bisa menangis. Kuhitung sudah tiga hari berlalu sejak
itu. Lumayan aku tak mengikuti tradisi berkabung. Aku tak lantas mengunci pintu
kemudian bersembunyi di bawah selimut tebal warna gelap.
Aku juga tak menjadi kalap mkn atau kehilangan selera mengunyah rangkaian karbohodta, protein, dan lemak.
Kecewa, sesal, dan penasaran menjadi satu. Ya, tapi tampaknya tak ada perlu lagi mencari tahu.

Tapi aku mendapatkan sebuah pelajaran. Kebahagiaan tak immortal.
Begitu juga sedih dan sedan. Semua memiliki batas waktu. Ada tanggal kadaluarsa.
Lebih kondangnya ada expired.

Apalagi lantas ada telepon masuk ke handphone. ’’Agenda hari ini ke mana? Jangan lupa hari ini dead line blab la blas…..’’
Kalimat sakti itu pun segera membuatku menutup novel dan memaksa body lari bersama si centil Jupiter oranye..

Sabtu, 09 Oktober 2010

BerbeDa

Lama tak hadir di sini. Banyak yang sudah berubah. Tak lagi sama.

Pertama dan paling terasa. Tak lagi berada di Kebayoran Lama, Jakarta. Tak bisa lagi memandang langsung Monas atau berlari-lari ringan di Gelora Bung Karno. Juga tak akan setiap hari nongkrong di Istora. Pun terhindar dari macetnya jalanan ibu kota. Tak perlu mencari jalan-jalan tikus demi melaju cepat ke 12A.

Tapi menjadi bisa menikmati kawasan Gunung Sari dan jalan A. Yani. Juga sehari-hari di Kerjajaya atau di Gelora Tambak Sari. Tak ada jalanan macet, mati, lumpuh total. Tapi juga tak bisa bepergian murah meriah dengan busway atau perjalanan kilat bersama tukang ojeg.

Namun tetap saja kehilangan es cendol ala Palmerah. Atau bebek slamet dan sea food kantong rakyat ala Jalan Panjang. Gultik Mahakam, ayam baker ganthari, dan roti bakar Edy. Sekedar mencicipi menu di Taman Menteng atau memilih makanan di Jalan Sabang. Atau nongkrong di area jajajan Kuningan atau Lokasari. Di samping kos juga ada pempek yahud tak tertandingi dan bakso malang.

Yang ada kini berburu bakso dari gunung sari, melipir ke Ketintang, lantas berpindah ke Margorejo, kemudian menuju Bonet atau di Jalan Nias dan Jagalan. Kalau rasa ingin datang tengah malam, maka lari ke Taman Bungkul menjadi pilihan. Warung kopi lebih banyak ditemui tanpa bisa bertemu gorengan dan sate telor puyuh angkringan.

Jika dulu pagi-pagi menuju Cipayung atau Sawangan. Bercengkerama dengan pasukan Merah Putih bulu tangkis dan Garuda sepak bola. Lantas menuju Sentul melongok voli, kemudian ke Ciloto melirik judo, atau Kelapa Gading home base Satria Muda dan Ragunan kandang Persija dan tak lupa menengok Kuningan laga Persitara. Waktu itu berjalan-jalan ke Otista dan Blok M.

Sekarang nyambangi CLS di Kertajaya atau Persebaya di Tambak Sari sana.Kadang kala menuju GOR Tri Dharma sekedar menyaksikan pemain Petro berlatih. Sesekali ke AWS karena Bank Jatim di sana. Atau ke lapangan panahan dan panjat tebing saja. Ke Kenjeran juga jadi satu tujuan jika ada balapan.