Jumat, 30 Agustus 2019

Kado Emas Juara Dunia dari Hendra/Ahsan untuk (Keberagaman) Indonesia

Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan juara dunia 2019 (foto PBSI)
Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan menyelamatkan muka Indonesia di Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2019. Menjadi kado untuk ulang tahun ke-74 Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja.

Entah nge-voor atau memang kalah angin, gim kedua bikin geregetan karena tertinggal jauh sejak awal 3-7 dari pasangan muda Jepang, Takuro Hoki/Yugo Kobayashi di St. Jakobshalle, Minggu (25/8/2019) malam WIB. Gim kedua itu pun diselesaikan dengan skor 9-21 setelah unggul 25-23 di gim pertama.

Andai, Hendra tampil bersama Markis Kido, pasangannya saat menjadi juara dunia 2007 dan medali emas Olimpiade 2008 Beijing, yang kocak dan blak-blakan bisa diduga, jawabannya akan seperti ini," Biar masuk tv-nya lama".

Faktanya sih, gim ketiga berlangsung (terlihat) cukup mudah. Apalagi, mengingat kalimat Hendra siang WIB sebelum pertandingan itu.

"Buat final Kejuaraan Dunia Bulutangkis ini, yang disiapkan itu mentalnya. Harus berani dan fokus dari awal. Hasilnya kami serahkan kepada Tuhan," kata Hendra sebelum menjalani final di St. Jakobshalle, Minggu (25/8/2019).

Gim ketiga, sebagai penentu menang atau kalah, Hendra/Ahsan oleh dibilang tak menemui hambatan berarti. Mereka menutup gim itu dengan skor 21-15.

Ya, pasangan yang cukup senior itu, Hendra, yang tepat berulang tahun pada hari final itu, dan Ahsan, yang akan berulang tahun ke 32 pada 7 September itu, berhitung bukan fisik yang akan menentukan laga itu. Tapi, mental.

Dengan kalimat itu, boleh dibilang 75 persen kemenangan untuk Indonesia. Soal mental, merekalah yang bakal bisa lebih relaks di tengah lapangan, saat poin-poin kritis.

Hendra dan Ahsan memang tak cuma numpang lewat di jagat bulutangkis. Telah 12 tahun sejak menjadi juara dunia bersama Kido dan terakhir, menambah dua gelar juara bersama Ahsan pada 2013 dan 2015, juga dari turnamen terbuka tak perlu lagi mempertanyakan mental mereka. The Daddies datang ke Basel dengan bekal juara All England serta finalis Indonesia Open dan Japan Open 2019.

Sementara, pasangan Jepang sama-sama berusia 24 tahun. Mereka tampil bukan sebagai unggulan dengan ada di urutan ke-13 dunia dan di ajang world tour raihan terbaik sebagai runner-up Korea Open 2018. Sudah cukup bagus mereka melaju sebagai finalis dan tidak mengalami starstruck saat menghadapi Hendra/Ahsan.

***

Tanpa Beban Didukung Statistik Oke

Hendra/Ahsan lolos ke Kejuaraan Dunia 2019 dengan meyakinkan. Mereka tampil sebagai unggulan keempat.

Mentas dengan predikat unggulan membuat mereka setidaknya tak perlu menghadapi unggulan di babak-babak awal. Lagipula, mereka tampil di Kejuaraan Dunia 2019 itu sebagai pemilik dua gelar juara dunia yang diraih saat berduet, sedangkan khusus Hendra, dia sudah hat-trick, dengan satu gelar juara dunia didapatkan bersama Markis Kido pada 2007.

"Kalau saya lihat mereka (Hendra/Ahsan) lebih menikmati karena mereka sudah dua kali mendapat gelar Kejuaraan Dunia. Berbeda jadinya jika belum pernah." Begitulah kata pelatih pelatnas bulutangkis ganda putra, Herry Iman Pierngadi.

Gelar dua juara dunia itu bahkan dicapai dengan amat spesial oleh Hendra dan Ahsan. Dalam dua keikutsertaan di ajang itu, mereka selalu meraih medali emas.

Hat-trick gelar juara dunia meneguhkan pencapaian kesuksesan 100 persen di The Daddies di Kejuaraan Dunia Bulutangkis.

Tahun ini, Hendra/Ahsan cuma kehilangan dua gim dari lima laga yang dilakoni. Yakni, saat menghadapi Fajar Alfian/Mohammad Rian Ardianto di babak semifinal dan di final.

Saat menjadi jawara juara 2015, Hendra/Ahsan juga cuma kehilangan dua gim. Yakni, di babak pertama dari pasangan nonunggulan Prancis, Baptiste Careme/Ronan Labar dan di babak kedua saat menghadapi ganda Jepang Kenta Kauno/Kazushi Yamada.

Malah, pada Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2013, Hendra/Ahsan mencatatkan laju mulus. Mereka menyelesaikan babak demi babak dengan dua gim langsung. Salah satu laga menghadapi mantan Hendra, Markis Kido yang berpasangan dengan Alvent Yulianto pada babak ketiga.

Selain itu, Hendra masuk klub deretan pebulutangkis ganda putra yang meraih empat gelar juara dunia (terbanyak saat ini) setara musuh bebuyutannya dulu, Fu Haifeng/Cai Yun, dari China.

Hendra dan Ahsan sekaligus menjadi ganda putra Indonesia kedelapan yang sukses membawa pulan medali emas Kejuaraan Dunia. Sejauh ini, hanya 14 pemain Indonesia yang masuk klub juara dunia dari sektor ganda putra.


Mental Matang karena Fisik Sip

Kematangan mental bertanding Hendra/Ahsan tak perlulah dipertanyakan. Pengalaman panjang sepanjang karier dengan asam garamnya menjadi bekal meyakinkan untuk tampil di Kejuaraan Dunia di Basel itu.

Tapi, mental saja tanpa didukung fisik yang sip juga bukan jaminan. Justru seorang atlet disebut siap mental, percaya diri, saat fisik juga sip.

Kendati berusia tua untuk dibilang sebagai atlet veteran, Hendra dan Ahsan memiliki fisik yang tangguh. Mereka mempunyai resep khusus untuk memoles menjelang turun dalam setiap turnamen. Selain dukungan barisan pelatih pelatnas, Hendra dan Ahsan mendapatkan ilmu saat menjadi pemain bebas.

Hendra dan Ahsan, dengan sederet predikat juara, tak gengsi untuk menimba ilmu dari pebulutangkis negara lain. Mereka sangat terbuka untuk menerima hal-hal baru.

"Saat mengikuti liga bulutangkis di negara lain, saya sering bergabung dengan pemain Eropa yang sudah senior banget. Saya tanya-tanya latihan fisik dan lainnya untuk tetap bisa awet bermain," kata Hendra.


Status Profesional Rasa Magang

Hendra menjalani pelatnas tahun lalu dengan predikat magang. Sempat berada di luar pelatnas, namun dia dipanggil lagi untuk berduet dengan Ahsan. Predikat status magang itu cukup mengejutkan karena biasanya diberikan kepada pemain potensial, namun kuota PBSI sudah penuh sehingga si pemain harus membiayai tur kejuaraan-kejuaraan dunia, visa, dan biaya kesehatan sendiri. Di tahun 2018 mereka juara Singapore Open.

Selama setahun bersama-sama, mereka memutuskan untuk keluar pelatnas, menjadi pemain bebas rasa magang. Sebab, selayaknya pemain profesional, biaya ini itu ditanggung sendiri, namun bisa berlatih di pelatnas, di bawah asuhan barisan pelatih pelatnas ganda putra yang dipimpin oleh Herry Iman Pierngadi. Tahun ini, mereka bukannya kendur, namun malah menolak tua.

Hendra dan Ahsan membuktikan dengan menjadi juara All England, New Zealand, dan juara dunia, serta berderet predikat runner up; Indonesia Masters, Singapore Open, Indonesia Open dan Japan Open. Kini, peringkat dunia mereka cuma kalah dari Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon yang mendiami peringkat pertama. Ya, The Daddies mengisi urutan kedua dunia.

Hendra tak pernah merasa repot dengan urusan di luar pertandingan sebagai pemain mandiri yang seolah-olah magang itu.

"Untuk travel dan hotel, biasanya saya minta tolong kepada agen perjalanan. Jadi enggak repot kok," ujar Hendra.

Satu keuntungan Hendra dan Ahsan dengan status itu, mereka bisa lebih relaks menjalani turnamen dengan predikat magang itu. Dua tahun sebelumnya, Hendra pun sudah menyadari, PBSI membutuhkan tempat lebih luas agar leluasa melakukan regenerasi. Salah satu caranya, Hendra mundur dari pelatnas. Waktu itu dia bilang agar terbiasa apa-apa sendiri saat betul-betul meninggalkan pensiun nanti.

Tapi, khusus menuju Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2019 ini, mereka masuk dalam pembiayaan PBSI.

"Karena mewakili negara ya (biayanya) dari PBSI dong," kata Sekjen PP PBSI, Achmad Budiharto.


Kado untuk HUT Indonesia yang sedang Tidak Baik-baik Saja

Gelar juara dunia yang diraih Hendra/Ahsan di Basel tahun ini bukan cuma istimewa dari statistik. Hendra dan Ahsan meraih medali emas saat Indonesia dilanda krisis keberagaman hingga memunculkan aksi rasial.

Mereka, tanpa banyak kata, menunjukkan betapa perbedaan justru membuat Indonesia begitu disegani di dunia. The Daddies, yang memiliki perbedaan mencolok itu, mati-matian di tengah lapangan demi Merah Putih. Perlu diketahui, Kejuaraan Dunia Bulutangkis tak menawarkan hadiah uang, cuma poin untuk ranking peserta.

Hendra, yang seorang keturunan Tionghoa dan kristiani sedangkan Ahsan muslim yang taat, tak canggung untuk berlatih bersama pagi dan sore--setiap hari, makan satu meja, bertukar keringat saat berpelukan untuk merayakan kemenangan.

Dan, mereka memiliki jawaban yang sama saat ditanya,'Untuk siapa gelar juara dunia itu?' dalam sesi wawancara usai menggenggam medali emas itu.

"Untuk kado ulang tahun Indonesia!"

Sabtu, 10 Agustus 2019

Berlarilah Zohri, Berlarilah dengan Gembira Seperti di Atas Pasir Putih Waktu Dulu

Lalu Muhammad Zohri bicaranya irit, namun kecepatan larinya melimpah. Dulu kakinya kerap menapak di pantai-pantai Lombok Utara tanpa sepatu, kini Zohri menggenggam jalan di lintasan Olimpiade 2020 Tokyo dengan alas kaki yang bebas dipilihnya.



Zohri kecil memiliki taman bermain yang luas. Batasnya laut. Di sana dia bebas berlari.

Taman itu itu bukan trek lari artifisial seperti yang diakrabi Zohri belakangan ini. Taman itu penuh dengan pasir putih. Taman bermain itu ada di kampung halamannya. Di Lombok Utara. Di pantai-pantai indahnya.

Di sanalah dia lahir. Di sanalah dia berlari. Tanpa aturan, tanpa alas kaki. Bebas, tanpa beban.

"Saya juga punya keturunan yang jago lari. Kalau enggak salah, saya dengar cerita bapak saya dulu adalah pelari. Bapak bisa mengejar anjing," kata Zohri.

Tak hanya berlari di atas pasir, Zohri juga menjajal lintasan jalan raya.

Kegilaan Zohri berlari terendus Rosida, guru Zohri di kelas 1 SMP Negeri 1 Pamenang di Dasan Lontar. Tapi, Zohri tak menyadari potensinya. Dia menolak. Zohri melihat tak ada korelasi antara berlatih lari dan menjadi tentara seperti cita-citanya. Lagipula, waktu itu, dia lebih senang bermain sepakbola. Lagipula, Zohri tak memiliki sepatu.

Rosida tak menyerah. Rosida, yang tamatan jurusan Pendidikan Jasmani Olahraga Kesehatan IKIP Mataram tahun 1995 dan pelompat jauh saat masih menjadi siswa di Sekolah Guru Olahraga Mataram 1988-1991 itu, yakin Zohri memiliki bakat sebagai sprinter.

Sebaliknya, Zohri tak menyadari bakat itu. Zohri, yang sudah yatim piatu itu, sama sekali tak tertarik untuk berlari.

Dia bersikukuh berlari akan menarik saat dilakukan di atas lapangan hijau, sembari berebut bola dengan 11 pemain tim lawan. Dia sering melihat aksi kakaknya yang seperti itu, kakaknya yang tergabung dalam sebuah klub bola.

Zohri memang keras kepala.

"Saya sudah ditawari, saya disuruh lari. Dia kayaknya tahu orang cepat lari bagaimana. Dia tahu ciri-ciri bakat lari seperti apa. Tapi, saya enggak mau," ujar Zohri.

Dua tahun pdkt alias pendekatan Rosida buntu. Zohri bergeming. Dia sama sekali tak tertarik diajak berlari di lintasan.

Tapi, Rosida juga seorang yang keras kepala. Melebihi Zohri bahkan. Dia tak berhenti membujuk Zohri untuk berlari.

Seperti hepasan omba yang mampu merapuhkan batu karang, usaha tanpa henti Rosida mengikis keras kepalanya Zohri. Tepatnya, saat Zohri sudah duduk di kelas tiga SMP itu. Bukan cuma menyerah karena tak enak dengan Rosida, rupanya Zohri juga gagal masuk tim sepakbola sekolah waktu itu.

"Kelas tiga kan saya sudah enggak bisa ikut (sepakbola), akhirnya saya mencoba atletik. Lagipula, Bu Rosida tidak pernah menyerah, mengajak saya terus. Akhirnya, saya coba," dia menambahkan.

Kali ini, Zohri tak memikirkan soal alas kaki. Latihan pagi dan sore dijalani Zohri dengan cuek meski tak memiliki alas kaki. Toh, dia terbiasa berlari-lari di atas pasir putih tanpa sepatu.

Zohri memegang teguh kalimat gurunya yang keras kepala itu saja bahwa dia akan dipinjami sepatu setiap kali mengikuti lomba lari.

Malah, sepatu didapatnya bukan dari Rosida semata. Kakak Zohri, yang dianggap sebagai orang tuanya setelah ayah dan ibunya meninggal dunia, Baiq Fazila, juga membelikannya sepatu.

"Beli di pasar, enggak tahu mereknya," ujar Zohri.

Kekeraskepalaan Rosida dikombinasikan dengan latihan rutin yang dijalani Zohri berbuah manis. Zohri, yang diturunkan dalam Kejuaraan Daerah Atletik di lari 100 meter dan 200 meter tampil menggebrak. Zohri langsung juara dalam debutnya.

Berkat hasil itu, oleh salah satu guru di PPLP, I Komang Budagama, dan Sugabio dari Dispora Mataram, Zohri diajak bergabung ke PPLP.

Tidak langsung setuju, Zohri sempat bimbang. Sebab, dia tak tahu apa itu PPLP.

"Tapi, saya kan tidak tahu PPLP itu apa? Katanya ada di Mataram, itu jauh lo dari rumah saya, naik bus sekitar 1 jam," ujar Zohri.

Kendati jauh dari rumah, tapai tawaran Komang cukup menggiurkan. PPLP adalah tempat yang asyik. Di sana, dia bisa berlari lebih kencang.

Apalagi, satu janji dari Komang yang belum tentu bisa dicapainya andai ia bersikukuh tinggal di kampungnya.

"Di PPLP semua gratis. Saya ingat, saat itu, saat masih SMP, ekonomi masih kurang, saya enggak pernah pakai sepatu, kadang-kadang cuma saya sendiri yang enggak pakai sepatu di sekolah. Kemudian dapat fasilitas gratis sekolah, makan, dan tempat tinggal," kata Zohri.

Dengan tak membebani kakak-kakaknya, Zohri bisa relaks di PPLP. Saking kendornya, Zohri sempat menjadi pemuda yang bandel hingga nyaris dikeluarkan dari PPLP itu pada 2016.

Tapi, guru dan pelatih masih memberikan tempat kepada Zohri karena prestasi sip di lintasan lari. Penampilan sip Zohri tercium juga oleh pelatih pelatnas, Eni Nuraini.

Sebuah kejutan dibuat Zohri di Kejuaraan Nasional Antar-PPLP (Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar) pada 2017 di Rawamangun, Jakarta Timur. Zohri, yang tampil mewakili PPLP NTB, finis terdepan dengan catatan waktu 10,25 detik di lari 100 meter putra.

Dengan catatan waktu itu, Zohri sampai-sampai membuat panpel mengecek ulang alat pengukur. Setelah dinilai tak ada yang salah dengan alatnya, Zohri pun sah dinyatakan sebagai juara. Zohri sekaligus mencatatkan namanya sebagai pemilik rekor nasional dengan melewati catatan waktu milik Sudirman Hadi (10.45 detik).

Eni membuka pintu kepada Zohri untuk bergabung ke pelatnas. Dia pun berlatih bersama dengan atlet-atlet atletik terbaik Tanah Air di ibu kota pada Januari 2018.

Digodok di Jakarta, di bawah asuhan Eni dan mentoring langsung dari pelatih atletik asal Amerika Serikat (AS) Harry Mara, yang membawa Ashton Eaton, pemilik medali emas dasalomba Olimpiade 2012 London dan Rio de Janeiro, kaki-kaki Zohri semakin terlatih. Larinya semakin cepat.

Zohri merebut gelar juara Asia junior di nomor lari 100 meter di Gifu Asian Junior Championship Jepang pada 9 Juni 2018. Dia mencatatkan waktu 10,27 detik.

Sebulan kemudian, Zohri tampil di Kejuaraan Dunia Junior di Finlandia. Di sanalah Zohri membetot perhatian dunia. Zohri finis terdepan menjadi juara dengan waktu 10,18 detik.

Pintu rejeki terbuka lebar. Berkat prestasinya itu, juga tak bisa dimungkiri justru karena gaduh bendera Merah Putih pemberian ofisial Polandia, Zohri mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak. Uang tunai, rumah, asuransi, tabungan emas digelontor untuk Zohri.

Dengan pundi-pundi uang yang diterimanya, Zohri merasakan betapa mudahnya membeli sepatu sendiri. Dia bisa memilih membeli sneakers hingga sepatu khusus untuk berlari di atas lintasan tartan dari berbagai merk. Rumah tinggalnya yang dulu papan, kini sudah diperbaiki. Zohri juga memiliki empat rumah lain berkat kejutan-kejutan dari lintasan lari.

Seluruh apresiasi itu tak mengurangi keras kepalanya Zohri. Dia bahkan 'membangkang' dari instruksi pengurus PASi dan pelatih. Dijaga untuk pelan-pelan naik level dan menambah kecepatan, Zohri malah laksana main sulap.

Ya, PASI sempat cemas dengan keinginan publik agar Zohri tampil di Asian Games untuk nomor individu. PASI khawatir ekspektasi besar dapat membuat Zohri tergelincir cepat.

Tapi, Zohri tampil meyakinkan di Asian Games 2018. Tak meraih medali memang, namun Zohri amat dekat dengan catatan waktu manusia tercepat Asia Tenggara, Suryo Agung Wibowo. Zohri, yang tampil di lintasan 6, tepat di sebelah sprinter China yang juga juara Asia tiga kali, Su Bingtian, finis dengan catatan waktu 10,20 detik. Sementara, Suryo memegang rekor nasional dengan waktu 10,17 detik di SEA Games 2019 Laos.

Tak hanya itu, malah di nomor lari berantai, estafet 4x100 meter, Zohri bersama Muhammad Fadlin, Eko Rimbawan, dan Bayu Kertanegara, meraih medali perak dengan catatan waktu 38,77 detik.

Dengan dua catatan waktu itu, di nomor individu dan estafet, Zohri membuktikan dia tak canggung untuk naik kelas. Dia bukan lagi sprinter junior.

Sejak itu tampaknya kaki-kaki Zohri tak bisa lagi dikendalikan. Berdekatan dengan Su Bingtiang dan merasakan langsung embusan kecepatannya saat tampil di Asian Games 2018 itu membuat Zohri kian terobsesi untuk berlari sekencang-kencangnya. Apalagi, iming-iming Olimpiade nyata di depan mata.

PASI layak dipuji dalam hal ini. PASI menjadi pihak yang paling rajin meredam ekspektasi publik, namun menyadari keras kepalanya Zohri untuk berlari secepat-cepatnya. Makanya, PASI memberikan fasilitas terbaik kepada Zohri dan atlet-atlet yang berpeluang ke Olimpiade 2020 untuk bisa sampai ke Tokyo.

"Tiket Olimpiade 2020 lebih sulit ketimbang sebelumnya, setiap atlet akan lolos Olimpiade dengan menggunakan dua jalan, yaitu melalui limit dan skor atau rangking. Untuk mengumpulkan skor tak hanya harus rutin ikut, tapi kejuaraan yang diikuti harus lah berkualitas tinggi dan jaraknya jauh, seperti Eropa, Amerika Serikat." Begitulah kalimat dari pengurus PB PASI di awal 2019 sebelum kualifikasi Olimpiade 2020 Tokyo dimulai.

Tapi, sekali lagi, Zohri adalah manusia keras kepala. Dia juga hobi mendobrak kemapanan sprinter pendahulunya.

Saat masih berusia 18 tahun, Zohri dengan enteng merebut predikat sprinter tercepat Asia Tenggara dari tangan Suryo Agung Wibowo yang sudah menggenggamnya selama satu dekade.

Kemudian, saat tampil di semifinal Kejuaraan Asia 2019 Doha pada 22 April, Zohri mencatatkan waktu 10,15 detik yang kemudian diperbaiki dalam tempo dua hari dalam babak final menjadi 10,13 detik.

Catatan waktu itu tak membuatnya puas, Zohri merasakan lapar yang amat sangat untuk memangkas waktu di lintasan 100 meter itu. Tampil di Olimpiade tampaknya menjadi sebuah obsesi tersendiri bagi Zohri.

"Saya pribadi, saya harus, misalnya di kejuaraan ke depannya, saya harus lebih baik, lebih baik, dan memperbaiki catatan waktu kemarin. Ke depannya semoga bisa lolos limit olimpiade saja," ujar Zohri dalam persiapan ke Kejuaraan Estafet di Yokohama pada 11-12 Mei dan berlanjut ke Golden Grand Prix, Osaka pada 19 Mei.

Berlari di antara pelari dunia, Zohri menjawab hasratnya sendiri. Tampil di lintasan lari Yanmar Stadium di Nagai, Osaka, Jepang, yang pernah dipakai untuk menghelat tiga pertandingan Piala Dunia 2002, termasuk laga perempatfinal antara Turki melawan Nigeria, juga markas klub Liga Jepang (J-League), Cerezo Osaka, Zohri mencatatkan waktu 10,03 detik.

Di ajang itu, Zohri mengawali lomba dengan start paling tepi, sebagai tempat untuk pelari-pelari nonunggulan. Bahkan, Zohri sempat tak mendapatkan tempat hingga tampil sip di Kejuaraan Asia 2019 dengan waktu 10,15 detik itu. Zohri menjawab dengan berjarak 0,03 detik dengan Justlin Gatlin (10,00 detik) dan Kiryu Yoshihide (10,01 detik).

Eni optimistis Zohri bisa lebih cepat lagi. Eni melihat Zohri masih ragu menjelang finis.

"Startnya sudah membaik, tapi Zohri masih tengak-tengok menjelang finis. Itu perlu diperbaiki," kata Eni.

Kini, Zohri bisa memperbaiki detail penampilannya. Zohri sudah bisa lebih relaks usai tampil di Osaka. Dia telah memastikan tiket Olimpiade 2020 Tokyo, juga Kejuaraan Dunia di Doha tahun ini. Zohri juga tak perlu lagi memikirkan sepatu dalam tiap pertandingan.

Kini, fokus Zohri cuma satu: berlari sekencang-kencangnya di Olimpiade 2020 Tokyo. Akankah ada kejutan lagi dari Zohri, yang seorang Asia dengan genetik yang berbeda dengan orang Jamaika, di pesta olahraga terakbar sejagad itu? Zohri bisa menembus waktu di bawah 10 detik, misalnya. Mampukah?

Bisa jadi seperti kata Su Bingtian, sprinter China yang juga idola Zohri, saat dimintai peluang mendekati waktu tercepat Usain Bolt, si orang Jamaika itu.

'Di masa depan, mungkin itu akan terjadi. Saya rasa bisa.'

***
Dimuat di detikSport, 23 Mei 2019
Kolaborasi bareng Mercy Raya